Petunjuk Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dimana kami? Kami sedang berada di taman. Setelah semua yang kami terima dalam satu hari, mood kami down, terlebih lagi Ayi yang menderita trauma berat pasca insiden itu. Menurut info yang dikasih tau Obiet, kelas Ayi dipindahin sementara waktu ke ruang serba guna. Gue udah ngasih tau hal itu ke Ayi, tapi dia tetap gak mau sekolah, dia mau nenangin diri dulu. Gue sebagia seorang kaka Cuma bisa nurutin kemauan adik gue, gue paham gimana rasanya berada di posisi Ayi.

Saat ini Ayi lagi tiduran dipangkuan gue, dari tadi matanya tertutup dan deru nafasnya terkadang teratur, terkadang memburu. Begitulah cara Ayi bangkit dari keterpurukannya. Gue pandang lekat-lekat wajah gadis tomboy berjiwa feminim ini. Terlukis jelas rasa lelah dan sedih menghadapi menghadapi semua permasalahan yang datang dalam sehari. Gue pun merasakan hal yang sama. Gue capek, terutama saat gue mengingat apa yang dilakukan seorang kepala rumah tangga di rumah bersama seorang wanita yang gue kenal baik sebagai asistennya. Jangan-jangan selama ini papa gak pernah meeting keluar, melainkan meeting bersama wanita jalang itu. Persetan dengan mereka semua!!!

"Kenapa laki-laki Cuma bisa nyakitin hati dan perasaan seorang wanita?" Ayi bertanya dengan matanya yang tetap tertutup.

"Apa gue termasuk laki-laki yang lo maksud itu?" Ayi terdiam. "Gak semua laki-laki punya sifat bejat kaya orang-orang yang lo maksud. Laki-laki yang gak memiliki otak dan hatilah yang mampu menyakiti seorang wanita, mampu menciptakan kesakitan yang teramat dalam di hati seorang wanita lewat tindak-tanduk dan ucapannya, laki-laki yang lupa dari mana mereka berasal kalau bukan rahim seorang wanita. Laki-laki yang seperti itu pantas disebut banci, bermental lemah sebab dia gak bisa mempertanggungjawabkan kesalahan dia, gak bisa bertanggungjawab atas apa yang udah dia lakuin ke seorang wanita."

"Termasuk papa?"

"Ya."

"Apa lo bakal nurun sifat papa?" Pertanyaan Ayi satu ini membuat gue berpikir keras. Pepatah selalu mengatakan, "Buat jatuh tidak jauh dari pohonnya", gue takut itu terjadi, tapi gak menutup kemungkinan juga gue bisa menjadi yang lebih baik dari papa.

"Insya allah enggak. Kalau pun iya, lo boleh bunuh gue, karena gue pun gak akan sanggup kalo harus ngeliat seorang wanita meneteskan airmatanya karena ulah gue."

Ayi bangkit dari tidurnya, sorotan matanya tertuju penuh ke wajah gue, sulit buat gue mengartikan tatapan mata itu. Selang beberapa detik, dia meluk gue, pelukkan yang dalam dan cukup lama gue rasain. Debaran jantungnya bisa gue mengalir ke tubuh gue, memberikan sinyal bahwa organ tubuh yang ada di dalam sana sedang gak stabil, terdapat kegelisahan, kesedihan dan kepedihan yang bersatu di dalam sana. "Gue gak mau balik ke rumah, gue gak mau ketemu papa. Dia udah gak sayang lagi sama kita." Ucapan itu membuat gue terhenyak. Ayi gak pernah ngomong gini sebelumnya, sekeras apapun papa menampar Ayi, kalimat ini gak pernah keluar. Huh, wajarlah, kekecewaannya sudah berada di puncak, apalagi setelah semua yang dilaluin kemaren, memperburuk suasana hati Ayi. Gue usap lembut puncak kepalanya, membelai setiap surai rambutnya. Gue ngerti apa yang dia rasain saat ini.

"Kita bakal hidup berdua, gue 'kan udah punya penghasilan tetap sendiri, jadi lo gak usah khawatir bakal kekurangan." Gue acak-acak rambut adek gue sebagai bentuk kasih sayang.

Ya, gue emang punya usaha sendiri yang gak diketahui siapapun kecuali Ayi dan kak Dayat. Ah, si brengsek itu lagi. Usaha gue bergerak dibidang musik dan kuliner. Gue punya studio musik yang selalu di booking band-band terkenal atau pun lokal dan sebuah cafe bergaya Indo-Jepang.

"Gue gak perlu uang lo kok, gue Cuma butuh kasih sayang dan perhatian lo aja. Gue punya uang sendiri dari bisnis dunia internet gue." Ah iya, dia 'kan seorang hacker, mudah bagi dia untuk mendapatkan uang dengan cara apapun dan yang pasti halal.

"Gue janji bakal ngasih semua yang lo inginkan semampu gue." Ayi tersenyum dalam pelukkan gue. "I love you so much, brother."

"I love you too, my devil sister."

Hah, udah lama gue gak ngerasain kebersamaan ini. Ketenangan yang Cuma bisa gue rasain bareng adek gue, sayang Ozy gak ada. Andai aja dia masih bernafas, gue yakin ketenangan ini akan terasa dua kali lipat dari yang gue rasain sekarang. Tapi inilah takdir, terima gak terima ya harus dijalanin, gak ada yang bisa ngelawan takdir.

Mata gue jelalatan kesana-kemari memperhatikan segala aktifitas di taman. Ada yang lagi ngedance, ada yang lagi main skate, BMX, olahraga, dan beberapa komunitas yang lagi ngumpul salah satunya komunitas fotografer dan relawan baca buku. Satu pemandangan yang bikin gue iri, seorang kakak lagi ngajarin adiknya bermain skate, formasi mereka bertiga, persis kaya gue dulu. Gue jadi inget, dulu Ozy dan Ayi ngerek maksa gue buat ngajarin cara main BMX, gue selalu nolak karena beragam alasan. Gue pernah ngajarin mereka sekali, Cuma sekali dan gak pernah lagi sampe sekarang.

Drrtt...

Getaran yang membuat gue harus membangunkan Ayi dan mengajaknya pulang. Sesuatu yang mendesak telah mengganggu kebersamaan kami. Jujur ya, gue kesel banget kalo quality time gue sama adik gue di ganggu kaya gini, tapi.. Huft... Kuy lah pulang!!!

*****

Gue gak peduli mereka tau darimana rumah gue yang baru ini, tapi informasi yang mereka bawa jauh lebih berharga dari apapun. Obiet, dengan membawa nama OSIS berhasil mengumpulkan bukti-bukti dan mendapatkan bukti lain yang cuma diketahui mereka aja. Dinding yang menjadi TKP utama meninggalkan bercak darah yang kalo di satuin membentuk lambang yang asing bagi kami, bekas tancapan paku membentuk segitiga.

"Dan yang paling penting itu ini." Gabriel mengeluarkan selongsong peluru yang sama persis dengan benda pembunuh Ozy. "Gue dapetin ini di sela-sela lemari guru."

"Tapi 'kan Nyopon gak kena tembak sama sekali."

Rio menjentikkan tangannya. "Nah itu dia masalahnya dan di setiap masalah pasti ada jalan keluar, ada bercak darah di dekat selongsong ini, Deva udah ngirim sampelnya ke tetangga dia yang kebetulan pemilik rumah sakit, tinggal nunggu hasilnya besok."

"Cuma itu yang kalian temuin?" Pertanyaan Ayi memancing emosi Cakka.

"Masih untung kita bisa nemuin bukti-bukti, lah kalian ngapain aja seharian?"

Dan mereka terus berdebat tanpa ada yang bisa melerai, gue memilih untuk diem daripada ikut campur perdebatan mereka, bisa lebih panjang lagi urusannya kalo gue ikut campur. Foto-foto yang diambil Rio satu persatu gue amatin, gue coba terka siapa kira-kira pelaku dari permasalahan ini. Percaya atau gak, gue dan Ayi punya daftar semua penjahat kelas kakap dan kelas teri, individu maupun kelompok, mereka semua selalu meninggalkan ciri khas yang di sengaja ataupun gak di sengaja setiap kali melakukan kejahatan, gue hafal hampir semua ciri khas mereka dan kalau pun gak hafal gue masih punya bayangannya, tapi yang ini... Gue rasa dia atau mereka pendatang baru.

Salah satu foto menarik perhatian gue. Ada jejak di dinding yang menjadi senderan punggung Nyopon, jejak itu samar, tapi buat mata gue jejak itu jelas, membentuk separuh wajah tepatnya bagian mata. Apa maksudnya? Analisis gue kurang kalo Cuma ngeliat foto-foto ini, gue pindahin hasil temuan mereka ke laptop gue, nanti malam baru gue analisis ulang lewat aplikasi yang lebih memadai.

Hadeeh... Udah 15 menit lebih mereka berdua masih aja debat.

"Woii!!! Udah kali debatnya, gue jodohin baru tau rasa lo berdua."

"Yaelah kak Ray, dia bukan tipe gue. Emang lo mau punya ipar kaya dia?"

"Eh, enggak juga sih."

"Kamvret lo, Ray. Gue juga gak suka lagian sama adek lo." Protes Cakka.

Gue perhatiin Deva dari tadi sibuk menyatukan alisnya, dia emang lagi mikir, lebih tepatnya berpikir keras. Rio dan Gabriel aja sampe bingung ngeliat tingkah Deva. Kayanya sih baru kali ini mereka berdua liat Deva yang mematung sambil berpikir.

"Dev, udah Dev, gue tau beban lo berat, bagi-bagi dong ke kita." Ucap Ayi di tambah gurauan.

"Woi, Dev!!!" Teriak Cakka memukul bahu Deva.

"Ganggu lo semua, gue lagi mikir nih."

"Mikir apa sih sampe sefokus itu?" Tanya Gabriel.

"Luka di punggung Nyopon. Tulisannya K.U.A. Apa ini ulah mereka?"

Luka di punggung Nyopon? Bukannya Nyopon cuma diikat di tembok dan siksaannya karena paku doang? Terus, darimana Deva tau soal luka yang ada di punggung Nyopon? Dia 'kan gak ikut bopong Nyopon ke tandu gara-gara suster bilang ada beberapa bagian di tubuh Nyopon yang patah, terutama lehernya. Eh....

"Dia kebetulan di rawat sama temennya bokap gue, dia bilang, punggungnya Nyopon itu di ukir pake pisau SOG Seal Knife 2000, pisau itu khusus untuk militer. Terbukti dari polanya yang menempel di punggung Nyopon."

Seal? Kayanya gue pernah denger kata itu? Kata yang udah gak asing lagi di telinga dan ingatan gue. Masalahnya gue punya kebiasaan buruk, ingetan gue selalu lari-larian kalo gue belum dengerin musik seharian

"Navi Seal." Pekik Ayi yang merefresh kembali otak gue.

"Navi Seals angkatan laut."

"Lo berdua ngomong apa sih?! Yang jelas dong." Dumel Cakka.

"Seal itu kekuatan tertinggi militer elit seluruh dunia, mereka selalu menghasilkan warrior dan untuk menghasilkan seorang warrior itu butuh pelatihan yang sangat sulit, gak semuanya bisa dan itu berarti senjata ini salah satu Seal Weapon." Gue menjelaskan semampu gue tentang apa itu Seal.

"Jadi maksud lo kita berhadapan sama orang yang levelnya tinggi banget?" Pertanyaan Rio gue kasih acungan 4 jempol, karena memang begitulah faktanya.

"Tapi bisa juga kita ngelawan anaknya, bukan bapaknya." Ucap Ayi.

"Eh iya, ngomong-ngomong lo berdua tinggal disini?" Tanya Deva yang matanya berfokus pada Channel tv yang menayangkan film Tintin.

"Yap."

"Berdua doang?" Tanya Gabriel yang sedang menyuruput Cappucino.

"Hmmm..."

"Berarti kita bebas dong mau pulang jam berapa aja?!" Aish, tiga sekawan ini terlalu mengganggu, gak tau apa gue lagi mikirin strategi buat nangkep pelakunya dan monster yang mungkin aja berkaitan.

Satu tempat yang gak akan bisa di ganggu orang. "Gue ke kamar dulu, kalo mau makan atau minum ambil sendiri. Inget ya, jangan ganggu gue."

"Gue ikut kak!!!"

*****

Ada yang mengganjal dari tingkah mereka berdua, wajah mereka memang datar seperti biasanya, tapi sorotan mata dan aura tubuh mereka berkata lain. Secercah kesedihan terpancar dari mata mereka juga kebencian yang memenuhi aura mereka. Apa ini ada hubungannya dengan organisasi sialan itu, atau mereka kembali bertengkar dengan kak Dayat dan memilih untuk gak satu atap dengan laki-laki itu? Mungkin juga masalah lain. Apapun itu, masalah yang lagi mereka hadapan, bisa gue rasain berdampak buruk untuk batin mereka. Gue pengen banget tau, tapi mereka bukan orang yang mudah untuk curhat.

"Woi, Dev. Pulang kuy!!! Udah malam" Ajak Rio. Sejujurnya gue gak mau pulang, gue pengen nginep, gue sendiri juga lagi bertengkar sama adek gue, tapi... Gue gak punya alasan yang tepat buat nginep. Tidur di rumah Gabriel aja kali ya.

"Kuy lah, tapi yel.. Gue nginep dirumah lo ya."

"Silahkan, bro. Pintu gue selalu ke bawa buat lo."

"Lo gak pulang, Kka?"

"Gue mau ke sentul dulu, mau balas dendam sama si Sion cs yang udah bikin gue malu di depan orang banyak."

"Balapan?" Dia mengangguk. Ah, anak yang satu ini memang hobinya balapan, liar maupun resmi kalo ada yang nantangin pasti langsung dijalanin.

"Paling juga lo kalah." Cemoohan Gabriel cuma dibales dengan tatapan sinisnya Cakka. Gue jamin besok mereka bakalan ribut lagi.

"Yaudah, izin dulu sama si empunya rumah."

Kami berempat pergi menaiki setiap jenjang anak tangga untuk sampai ke kamar mereka berdua. Ruangan di lantai dua terlihat sangat 'sepi', gak ada barang-barang yang terpajang di setiap lorongnya, hanya beberapa lukisan buatan Ray di sebelah kanan dan Ayi di sebelah kiri, gue tau itu lukisan mereka karena ada inisial dan tanda tangan mereka di setiap sudut lukisan. Lukisan yang mereka buat memiliki banyak aliran, beberapa diantaranya ada aliran kubisme, realistik, kontemporer, konstruktivisme dan pop art. Seni mereka memang kuat.

Di lantai ini juga gak begitu punya banyak kamar, cuma ada 3, tapi salah satunya di segel. Gue tau deh maksudnya apa. Dan dua kamar lagi sedikit ke buka. Gue rasa ini kamar mereka.

"Mereka kemana?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Rio setelah dua kamar yang sedikit terbuka itu kami periksa dan gak ada mereka berdua di tempat. Kami bertukar pandang atas apa yang mungkin menimpa mereka.

Di kamar Ray—Gue tau ini kamar dia karena foto-foto dan peletakkan peralatannya yang sama persis kaya kamar dia dirumah sebelumnya—semua keliatan normal, kecuali meja belajar yang keliatan sedikit berantakan, laptop menyala dan kabel USB yang terpasang ke laptop dan... Jejak darah. Jejak darah yang ada di dua tempat berbeda, sisi meja belajar dan tempat tidur. Pikiran gue mengirimkan sinyal buruk atas kemungkinan yang menimpa mereka, gue juga yakin Ayi ada di kamar ini, karena Rio memeriksa kamar sebelah, kamarnya begitu rapi. Cakka yang dari tadi matung mulai bergerak mendekati meja belajar, tangannya mencengkram sisi meja itu dan matanya terpejam. Apa yang dia lakuin?

*****

Gift hand, inget film itu? Ya, itulah kemampuan gue. Bedanya, gue Cuma bisa ngeliat masa lalu dengan menyentuh objek terakhir yang dia sentuh atau dengan memegang barang-barang orang yang masa lalunya pengen gue cari. Gue juga gak mau orang-orang tau kemampuan gue ini, tapi masalah yang gue hadapin sekarang berbeda. Gue bisa ngerasain mereka berdua dalam bahaya, makanya gue terpaksa gunain kemampuan gue di depan mereka bertiga. Untung-untung sih mereka gak takut sama gue. Takut masa lalunya ke bongkar maksud gue.

Gue coba megang sisi meja belajar Ray, siapa tau gue bisa nemuin keberadaan mereka dan apa yang terjadi sama mereka. Semoga aja mereka bertiga gak berisik, gue gak bisa ngeliat masa lalu kalo gue sendiri gak fokus. Gue nutup mata biar lebih fokus dan seberkas cahaya langsung memasuki penglihatan gue.

Itu mereka!!! Baru aja masuk ke kamar ini. Ray menyalakan laptopnya dan duduk di kursi, tangannya terus-menerus mengotak-atik laptopnya, dia lagi mindahin file-file yang ada di hp ke laptop menggunakan kabel USB. Itu, foto-foto yang tadi siang gue dan yang lain ambil di TKP. Sedangkan Ayi duduk di tempat tidur sambil memainkan gitar.

"Waktu gue debat sama Cakka, lo nemuin sesuatu?"

"Hmm... Gue rasa iya, dari foto-foto ini." Ayi mengalihkan pandangannya ke laptop Ray, alisnya saling bertautan.

"Apa istimewanya foto itu?"

"Gimana jelasinnya ya? Pokoknya, gue ngerasa foto-foto ini bakal bawa kita ke si pelaku dan samar-samar gue juga ngeliat ada gambar mata gitu di dinding tempat senderan punggung Nyopon, gue mau mastiin kalo gambar itu bukan cuma mata aja."

Gak ada pembicaraan lagi setelahnya. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Gue ngeliat Ayi yang lagi bergitar ria dengan petikannya yang sendu, mungkin dia lagi sedih. Semua keliatan normal aja. Sampe beberapa menit kemudian gue ngeliat ada beberapa orang di teras kamar, mereka sama sekali gak sadar, bahkan orang-orang tersebut dengan mudahnya masuk ke kamar Ray tanpa membuat mereka curiga.

Saat Ayi nengok ke belakang, wajah Ayi dipukul menggunakan balok kayu cukup keras, membuat hidungnya ngeluarin darah. Ray yang nyadar ada suara pukulan juga langsung nengok ke belakang, tapi dia telat, penjahat yang mendekati Ray sudah lebih dulu membenturkan kepala Ray ke sisi meja, mereka berdua gak pingsan, malah mencoba melawan. Sayangnya perlawanan mereka gak berguna karena sudah dilumpuhin dengan sebuah suntikkan yang membuat mereka pingsan.

Kaget, itu yang gue rasain. Pertengkaran kaya gitu harusnya menimbulkan suara gaduh di bawah. Tapi kenapa gue dan yang lain gak denger suara apa-apa? Volume tv juga normal, gak terlalu keras juga gak terlalu kecil. Gak ada yang nyalain musik, karena semuanya berfokus pada film yang di tonton. Ini aneh, gak mungkin ruangan ini kedap suara.

Cengkraman tangan gue lepas, sebelum gue ceritain semua yang terjadi gue ngambil nafas dulu. Kemampuan gue ini cukup menguras tenaga. Setelah gue ngerasa pernafasan gue normal kembali, gue ceritain semua yang gue liat ke ketiga sekawan itu.

"Aneh, tapi... Berarti mereka diculik sama organisasi K.U.A itu lagi dong?"

"Gue rasa bukan, Dev. Pakaian yang mereka pake beda dari organisasi itu, pakaiannya kaya penjahat biasa aja."

"Kita harus cari mereka kemana?" Gue gak bisa jawab pertanyaan Rio karena gue sendiri gak tau harus jawab apa. Penculikkan mereka berlangsung cukup cepat.

"Menurut gue, kita gak usah nyari mereka sekarang. Mereka bukan anak sembarangan, gue yakin mereka bisa lolos besok. Tapi, kalo besok mereka gak balik juga. Huft... Terpaksa kita minta bantuan kak Dayat." Jelas Gabriel. Gue setuju. Badan gue udah capek dan kayanya gue juga gak jadi balapan lagi. Persetanlah dengan gelar itu, gue juga pasti bakalan bisa ngejar dan jadiin gelar itu milik gue.

"Kalo gitu kita tidur dirumah ini aja. Itung-itung jagain rumah mereka."

*****

Udah berapa hari gue gak ngobrol sama mereka berdua? Sarapan yang biasanya penuh canda mendadak penuh kebencian dan ketegangan, kepulangan gue biasanya di sambut dengan aroma sedap makanan, cemilan dan minuman favorit gue yang dibuat sama Ayi dan Ray seketika berpendar menjadi aroma busuk peperangan dan lukisan-lukisan yang baru mereka buat biasanya ditunjukin ke gue, sekarang? Galeri itu gak menampilkan lukisan yang baru seakan hobi lukis mereka hilang seiring dengan rasa benci mereka ke gue.

Kalo aja beberapa tahun yang lalu gue gak ketemu sama komplotan itu, mungkin sekarang keadaannya gak akan kaya gini, gak akan sesuram ini. Gue pengen ngejelasin sesuatu tentang hubungan gue dan komplotan itu, tapi mereka gak mau denger. Jangankan denger, temu pandang sama gue aja gak mau.

Dan yang lebih parahnya lagi, tadi malam gue baru tau kalo mereka kabur dari rumah gara-gara ribut sama uncle. Runyem banget kayanya masalah gue. Sekarang gue harus ngadepin rasa kesepian gue karena ditinggal mereka berdua. Gue tau mereka tidur dimana, gue pengen nyusul, tapi keadaan yang mengharuskan gue terpuruk dirumah ini sendirian, bersama seorang uncle yang udah bikin anak-anaknya kabur dari rumah.

"Aakhh... Ampun!!!" Gue denger ada suara teriakan dari kamar uncle. Teriakan kesakitan yang berasal dari dua suara berbeda jenis. Apa mungkin itu suara Ray dan Ayi? Tapi mana mungkin, butuh waktu seminggu lebih buat mereka untuk bisa kembali ke rumah ini setelah apa yang dilakuin uncle ke mereka, atau malah mereka gak akan pernah kembali lagi. Mana ada sih anak yang rela ngeliat orangtuanya selingkuh sama asisten sendiri.

"Aaakkhh!!!"Teriakan itu semakin jelas dan semakin besar volumenya. Gue penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Buru-buru gue datengin kamar uncle untuk sesegera mungkin dapetin jawaban atas rasa penasaran gue.

"Papa udah pernah bilang 'kan, gak ada satu pun orang yang bisa keluar dari rumah ini tanpa izin dari papa, sekarang kalian terima akibatnya!!!"

"Akkhh... Pa, sakit!!! Ampun pa!!!"

Sialan, tanpa gue liat gue tau apa yang uncle lakuin di dalam, gue juga tau apa yang terjadi. Suara itu cukup keras dan sangat meyakinkan gue kalau mereka lagi dicambuk. Gue gak bisa tinggal diem kalo adik-adik gue dihukum cambuk, hukuman yang lain masih gue izinin asal itu atas kesalahan mereka sendiri, tapi hukuman cambuk yang bukan kesalahan mereka.. Gue gak terima.

Pemandangan yang mengerikan membuat amarah gue yang memuncak tertunda beberapa menit. Ray dan Ayi berdiri menghadap dinding, mereka basah kuyup, tubuh mereka dicambuk berkali-kali menggunakan ikat pinggang, gak tau udah berapa banyak cambukan yang mereka terima, tapi jejak darah samar-samar tertera di baju mereka. "Uncle stop!!"

"Stay there!!!" Gue gak mempedulikan perintah uncle, yang gue pikirin cuma kesehatan dan keselamatan mereka. Mereka masih terlalu muda untuk menerima banyak cambukan, gue sendiri gak bakal sanggup kalo harus dicambuk lebih dari lima kali.

"Uncle!!! Kalo uncle gak berhenti, Dayat bakal teriak dan manggilin warga buat bawa uncle ke kantor polisi, ini namanya kekerasan pada anak, uncle bisa dijatuhin hukuman yang berat." Gue jalan perlahan menuju tempat mereka berdua disiksa, mencoba menyari peluang untuk ngambil ikat pinggang itu agar gak ngelukain tubuh mereka lagi.

"Tau apa kamu tentang hukum? Saya ini kebal hukum!!!"

"Pa, sakit!!!! Ampun, pa!!!" Cambukkan itu kembali dilayangkan ke tubuh mereka. Gue ngeliat kaki mereka udah bergemetar, mereka udah gak sanggup lagi nerima cambukkan itu dan kalo gak dihentiin, gue gak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi.

Ini saat yang tepat, gerakkan uncle melambat, mungkin tangannya mulai lelah terus-terusan mencambuk mereka. Kesempatan ini gak boleh gue lewatin. Gue harus nyelamatin mereka, anggap aja sebagai permintaan maaf gue karena udah ngelibatin mereka berdua dalam permasalahan yang berat.

"Dayat!!! Lepasin!!!" Berontak uncle. Percuma, tenaga gue jauh lebih kuat dari beliau.

"Dayat gak mau uncle, uncle udah keterlaluan menghukum mereka, mereka bahkan gak salah uncle, ini kesalahan uncle sendiri!!!" Mata itu, mata yang sangat membuat kami bertiga takut dikeluarkan sebagai senjata terakhir beliau, tapi gue gak mau kalah. Gue harus lawan rasa takut gue demi mereka berdua. "Bibi, bapak!!! Tolongin Dayat!!!" Gue meneriaki asisten rumah tangga yang kebetulan baru pulang dari kampung mereka.

Keduanya datang dengan cepat. "Bi, pak... Tolong bawa Ray dan Ayi ke kamar Dayat, obatin luka mereka juga." Mereka langsung mematuhi perintah gue tanpa melihat wajah uncle. Bener!!! Gue gak boleh ngeliat wajah beliau. Hal itu hanya bikin ketakutan gue bertambah besar. Setelah mereka pergi, gue nunduk, gue gak mau ngeliat mata itu, gue tarik ikat pinggang itu dan membuangnya keluar.

"Asal anda tau, anak-anak anda itu sedang berada dibawah tekanan, mereka lagi stres karena satu hal, jiwa mereka terguncang karena satu hal. Anda sebagai seorang ayah harusnya mengerti apa yang lagi dirasain anak-anak anda, anda harusnya menghibur mereka, bukan malah membuat beban hidup mereka semakin bertambah. Cerai akan menjadi pilihan terakhir saat istri anda tau apa yang sudah anda lakukan pada keluarga ini dan..."

Shitt!!! Omongan gue dipotong. "Bisa apa mereka hidup tanpa saya? Dan kamu, jangan mentang-mentang kamu anak kakak saya, saya gak berani main kasar ke kamu." Ah, rupanya suasana sudah semakin tegang dan kaku.

"Bisa apa? Tentu mereka bisa segala-galanya tanpa anda. Tanpa sepengetahuan anda, anak-anak anda sudah memiliki penghasilan sendiri, penghasilan yang jauh lebih besar dan cukup untuk usia mereka, bahkan dari uang itu mereka gak perlu sekolah, mereka sudah mapan tanpa anda, dan istri anda.. Bukankah butik yang dikelola istri anda sudah berkembang pesat? Cabangnya bahkan sudah ada di hampir seluruh Asia Tenggara. Mereka sudah mapan tanpa anda, keputusan apapun yang mereka ambil gak akan membuat hidup mereka sengsara. Yang ada, andalah yang akan sengsara tanpa mereka. Paham itu!!?" Kalimat terakhir gue menjadi penutup kepergian gue dari kamar ini sebelum laki-laki dewasa yang udah gak pantes lagi disebut ayah dan seorang uncle buat gue kembali berceloteh. Gue muak lama-lama dikamar ini, hawanya semakin negatif.

Gue ngatur nafas gue dulu sebelum dateng ke kamar. Gue ngatur nafas bukan karena emosi, tapi karena ketakutan gue yang gue tahan-tahan dari tadi. Heheh... Gue masuk ke kamar waktu Ray dan Ayi tidur, kayanya mereka udah selesai diobatin.

"Gimana keadaan mereka, bi?"

"Badan mereka anget, kak... Luka-luka di tubuh mereka juga cukup mengkhawatirkan, bibi takut mereka kenapa-kenapa, kak." Gue cukup tertekan mendengar penjelasan bibi.

"Emang apa yang terjadi sih, bi? Kok mereka bisa kembali kerumah ini?"

"Bibi juga gak tau, kak. Tiba-tiba aja ada tiga orang yang masuk kerumah ini bawa mereka. Mereka kayanya pingsan, kak. Kepala Ray berdarah dan bibir Ayi juga berdarah, kak." Gue yakin itu ulah uncle, mereka diculik dirumah mereka sendiri dan disiksa dirumah orangtua mereka. Tragis.

"Yaudah bi, bibi istirahat aja, makasih ya bi."

Bibi keluar dan gue nutup pintu kamar. Gue mandangin wajah mereka satu-persatu, cukup pucat. Kesan pertama gue waktu ngeliatin mereka. Gue jadi iba sama mereka, nasib mereka sejak ketemu organisasi itu jadi sangat kelam. Gue pengen banget mengakhiri penderitaan mereka, tapi gue gak bisa berbuat apa-apa, gue gak bisa ikut campur.

Gue tidur di sofa karena tubuh gue juga udah sangat lelah. Bimbingan sama dosen tadi membuat tenaga gue cukup terkuras, ditambah lagi gue belum nemuin judul yang tepat buat skripsi gue, setiap judul yang gue ajuin selalu di tolak. Ribet emang kalo ngambil jurusan kriminologi. Tapi mungkin setelah ini gue bakal dapet judul yang tepat, hati ini yakin banget.

00.30 WIB

Gue terbangun setelah mendapatkan sebuah mimpi, mimpi yang memberikan sebuah karunia atas apa yang bakal menjadi judul skripsi. Gue segera menghidupkan komputer, mencoba mengetikkan setiap kata yang terilhami sebuah mimpi, namun tertahan karena mendengarkan sesuatu. Suara nafas yang memburu seolah-olah mau ngambil seluruh oksigen yang ada, gue nengok ke belakang. Suara itu berasal dari mulut Ray, dia sesak nafas. Gue nyalain lampu dan terlihat jelaslah wajah Ray yang pucat semakin pucat, Ayi mungkin gak sesak nafas kaya Ray, tapi dia menggigil hebat. Gue panik, gue turun ke bawah buat bangunin bibi. Gue minta tolong beliau bantuin gue bawa mereka kerumah sakit.

*****

Udah seminggu lebih gue, Obiet dan tiga sekawan gak liat mereka berdua dan selama itu juga setiap temuan kami gak punya jalan keluar, selalu buntu. Bukti-buktinya sih masih ada, masih di simpen sampe mereka kembali, udah terlalu banyak, menuhin lemari gue ama bukti doang. Ahaha... Bercanda.

Pikiran gue melayang kemana-mana membayangkan nasib mereka. Setiap malam gue selalu mikirin mereka. Darah, laptop yang nyala dan kamar yang cukup berantakan, belum lagi gue coba nyari kak Dayat ke kampusnya, dia juga gak ada. Setiap guru absen, nama Ray selalu dilompatin seakan guru-guru tau apa yang menimpa mereka. Obiet nanya ke temen kelas Ayi juga gak ada yang tau. Mereka hilang kaya di telan bumi.

Baru kali ini gue sekhawatir ini sama orang lain, biasanya gue gak peduli.

Bu Winda, ya cuma bu Winda yang bisa ngasih gue info tentang mereka. Sejak kepergian Ozy, bu Windalah guru yang paling dekat dengan mereka, selain karena bu Winda guru BK, beliau juga orang yang paling simpati mengenai perubahan sikap mereka pasca di tinggal Ozy. Diem-diem gue cabut dari jam pelajaran matematika, Deva awalnya ngelarang gue keluar. Tapi, siapa yang bisa mencegah gue buat ngelakuin hal yang gue mau? Gue dorong Deva, pake kekuatan yang kecil kok, tubuh Deva cuma nabrak meja, dia gak luka, tenang.

Gabriel keliatan gak terima sohibnya gue perlakuin kasar. Gue cukup natap dia dan dia langsung duduk. Sampe sekarang gue gak tau kenapa semua orang takut sama tatapan gue yang satu ini. Tatapan yang gak bisa gue jelasin gimana bentuknya.

Gue nyari bu Winda di kantornya tapi gak ada, berarti bu Winda lagi ada di perpustakaan. Dua tempat yang udah gue hafal selalu di datengin bu Winda. Bu Winda tipe orang yang suka tempat sunyi. Di sekolah ini, ya cuma 2 tempat itu aja yang sepi.

"Bu!!!" Benerkan dugaan gue, bu Winda ada diperpustakaan lagi baca buku.

"Cakka? Sekarang 'kan belum waktunya istirahat, kenapa kamu keluar?"

"Maaf bu, tapi ini penting. Ray sama Ayi kemana?" Gue ngeliat persis gimana ekspresi bu Winda. Bola matanya membesar kemudian stabil kembali. Bu Winda kaget dengan pertanyaan gue dan raut wajahnya seakan sedang menutupi apa yang terjadi. "Bu, ibu 'kan tau baru kali ini Cakka khawatir sama orang. Pliss bu, kasih tau Cakka. Dimana mereka berdua? Abis waktu Cakka main kerumah mereka dan Cakka juga Gabriel cs mau pamit pulang, kami gak nemuin mereka bu. Yang kami temuin malah, kamar Ray berantakan dan ada bercak darah gitu, bu. Bu, pliss.. Kasih tau Cakka." Kayanya gue curcol ya? Gak pedulilah, yang penting gue bisa dapetin jawabannya. Gue masang wajah semelas mungkin.

"Ekhhm.. Mereka..." Bu Winda menggantungkan jawabannya. Aduh, gue paling gak suka digantung. Rasanya itu sakit banget. "Mereka ada di rumah sakit, kka. Beberapa hari yang lalu mereka kritis. Tapi, ibu denger kabar mereka berhasil ngelaluin masa kritis mereka. Sekarang lagi masa pemulihan."

"Kritis, bu? Kenapa?"

"Kata Dayat, mereka diguyur pake air dingin dan dicambuk berkali-kali sama papanya. Alasannya sih kabur dari rumah."

"Kabur? Gak mungkinlah bu, mereka 'kan tinggal dirumah mereka sendiri. Cakka main kok ke rumah mereka yang kedua waktu terakhir kali Cakka ketemu mereka."

"Masalahnya berawal dari sana Cakka. Papanya gak suka mereka keluar dari rumah tanpa izin papanya, makanya mereka dicambuk."

"Makasih ya bu." Gue keluar sesaat setelah mendengar bunyi bel istirahat. Waktu yang tepat buat gue ngasih tau hal ini ke yang lain.

Setelah gue pikir-pikir, biadab juga tuh orang tua. Ngasih hukuman ke anak-anaknya sampe segitunya, masa iya gara-gara itu doang mereka dicambuk sampe masuk rumah sakit, kritis lagi. Seumur-umur gue kabur dari rumah, gue gak pernah dicambuk. Palingan segala kemudahan gue disita. Penyitaan gak akan berdampak apa-apa buat hidup gue.

Alasan mereka kabur dari rumah, gue emang gak tau pasti sih kenapa. Tapi dari raut wajah bu Winda yang gue baca, alasannya pasti logis banget, sesuatu yang wajar yang bikin seorang anak kabur dari rumah. Mungkin bertengkar sama orangtuanya, perbedaan pendapat atau apalah itu masih banyak lagi. Sayangnya bu Winda gak ngasih tau ke gue dimana mereka dirawat. Katanya sih pesan dari kak Dayat buat ngerahasiain dimana mereka dirawat demi keamanan mereka. Berarti, bokapnya gak tau dong? Parah.

*****

Sialan si Cakka pake ngedorong Deva segala, Gabriel juga bukannya belain malah diem. Untungnya alasan Cakka ngelakuin hal itu ke Deva bisa gue terima, kalo gak, gue gak bakal tinggal diem sohib gue dikasarin begitu. Ngomong-ngomong, berita yang dibawa Cakka cukup mencengangkan. Gue pikir anak cerdas dan multitalent kaya mereka berdua punya orangtua yang baik, lembut dan selalu dukung mereka. Gue salah, gue lebih baik punya otak pas-pasan asal orangtua gue gak main tangan sama gue daripada punya kehebatan tapi orangtua kasar banget kaya gitu. Ngeri.

Sejak mereka 'menghilang', rumah yang mereka tinggalin jadi rumah kedua buat kami juga. Secara bergantian kami nempatin rumah itu sekalian ngejagain rumah itu. Cuma Cakka yang selalu stand by dirumah itu. Wajarlah, dia hidup gak beraturan, gak perlu mikirin orang rumah yang khawatir atau gak sama dia, karena toh orangtuanya juga pasti gak khawatir sama Cakka. Secara, tuh anak sering banget ilang-ilangan udah kaya casper.

"Kita tunggu aja sampe mereka keluar dari rumah sakit dan kita harus bertingkah kaya biasanya di depan mereka, seolah-olah kita gak tau apa yang terjadi sama mereka. Soalnya, mereka gak suka dikasihanin." Tutur Obiet yang lebih mengetahui sifat Ray.

Semua mengangguk sepakat. Hati gue justru bertentangan. Keadaan mereka yang drop pasti butuh dukungan dari orang lain, kalo mereka gak dapet dukungan dari keluarga, maka sebagai seorang teman gue harus dukung dan bantu mereka. Gue emang gak tau mereka bakal anggap gue temen atau Cuma sekedar partner buat nyelesain tugas dari komplotan itu, tapi jiwa sosial gue tinggi, gue gak tega liat temen gue yang gak salah apa-apa malah di hukum. Gak peduli gimana reaksi mereka atas sikap sok perhatian gue nanti, yang jelas, jiwa mereka harus dipulihin dulu. Feeling gue bilang, sifat mereka yang cukup nyeremin dan cuek bakal meningkat berkali lipat pasca hukuman yang mereka terima.

"Gue cabut ya, bye." Cakka beranjak dari duduknya. Cabut dalam artian sesungguhnya, bukan cabut yang artinya keluar kelas dan pergi ke tempat yang masih ada di dalam lingkungan sekolah. Percuma juga dia ada di sekolah ini, belajar gak belajar juga nilai tetpa aja tinggi. Beda sama gue

"Kantin kuy!!! Mikirin merekanya nanti aja." Ajak Gabriel.

"Gue gak ikut ya, tugas OSIS numpuk soalnya sejak di tinggal pergi sama Ray."

*****

Hari ini mereka datang, wajah mereka pucat, tubuh mereka lebih kurus dari biasanya, setiap ada yang nyapa mereka dan menyentuh bagian punggung mereka, mereka selalu membusungkan badan menahan sakit dan menepis tangan orang yang menyentuh agar menyingkir dari punggungnya.

Saat istirahat mereka gak keluar, maksud gue ke kantin. Mereka pergi ke UKS, gue ikutin mereka diem-diem, kalian tau apa yang gue liat? Mereka buka baju dan terlihat jelaslah luka-luka itu, sangat banyak, nyaris memenuhi punggung mereka. Ada Keke dan Debo, mungkin mereka disuruh bantuin Ray dan Ayi untuk mengoleskan salep ke punggung mereka. Oiya, jangan negatif thinking, gue emang liat Ayi buka baju, tapikan dia pake tanktop dan saat mau diolesin salep, Keke ngajak Ayi ke ruangan yang lebih tertutup lagi. Jadi, gue Cuma ngeliat Ray yang nahan kesakitannya. Gue gak bisa ngebayangin gimana keadaan mereka di malam penyiksaan itu.

Sekarang, gue dan yang lain yang terjebak dalam permainan si komplotan bertopeng itu lagi ngumpul di ruang perpustakaan. Masih inget dong dengan lubang besar di pojokkan perpustakaan yang ditemuin Ayi? Gak ada yang ngomong sama sekali. Otak gue masih berkutat dengan apa yang gue liat pas istirahat tadi.

"Buang semua penemuan kalian." Pada akhirnya Ayi mengeluarkan suaranya lebih dulu.

"Yang kalian temuin gak ada sangkut pautnya sama tugas dari kelompok brengsek itu. Nyopon cuma pembuka gerbang dari semua yang bakal kita hadapin ke depannya." Jelas Ray lebih lanjut.

"Kalian cuma harus mikirin lambang ini. Cari siapa anggotanya, pemimpinnya, rentetan kejahatan yang udah mereka lakuin dan dengan siapa mereka bekerjasama. Itu semua cukup buat nganter kalian nemuin si monster." Dia menunjukkan sebuah gambar sepasang mata elang, hidung anjing dan mulut manusia yang bersatu dalam satu wadah, wajah. Ah iya, telinga kelelawar juga ada di gambar itu.

"Tunggu, lo bilang tadi 'kalian'? Lo berdua juga ikut ke jebak dalam permainan mereka, kenapa cuma kita doang yang nyari tau? Kenapa kalian enggak?" Gabriel bener, gue baru sadar tadi mereka bilang 'kalian' bukan 'kita'.

"Huft, kita bagi tugas. Kalian inget film Kuroko No Basuke? Cahaya dan bayangan? Kalian cahayanya, kita bayangannya." Sumpah, gue gak ngerti maksud mereka.

Bener yang dibilang Rio di kantin kemaren, sifat mereka meningkat 2 kali lipat, mereka ngasih perintah seenaknya, ngumpulin kami seenaknya padahal jelas, tugas lagi numpuk banget dan sekarang? Ngasih teka-teki. Cahaya, bayangan? Apa coba maksudnya? Mana bisa teknik basket dibawa ke dunia kejahatan kaya gini. Sekalinya ketauan, ya ketauan semua. Eh.

"Gue ngerti maksud kalian." Seru gue yang ditatap datar sama mereka berdua dan ditatap antusias sama yang lainnya.

"Apaan Dev? Buru kasih tau!!!" Desak Cakka. Gue ngeliat Ayi dan Ray yang gak bergeming sama sekali. Ayolah!!! Hargain gue sedikit kenapa, gue 'kan berpikir keras buat ngejawab teka-teki mereka. Emang bukan teka-teki, tapi gue anggap begitu. "Kalian nyuruh kita bermain di dunia atas sementara kalian di dunia bawah tanah, yang artinya kita nyari tau semuanya dan kalian yang nentuin apa info yang kita dapet itu bener atau salah dan kalo kita ketauan, kalian juga bakal ketauan, gitu?"

"Nyaris bener." Tutur Ayi.

"Lebih tepatnya, kalian harus bertingkah kaya biasa, seperti sebelum kita semua disatuin dalam tempat aneh. Dengan begitu akan mempermudah kita buat nyari tau siapa anggota mereka dan tugas kita adalah memperhatikan gerak-gerik kalian dan sekitar, tempat dimana mata kalian gak bisa menjangkau sudut lainnya." Jelas Ray. "Kalo kalian tau atau dapet sesuatu, cukup kasih kode dengan tingkah kalian yang gak biasa."

Oke gue paham, tapi.... "Dari cara lo ngomong... Apa anggotanya ada di sekolah ini?"

Mereka gak menjawab. Irit ngomong banget mereka hari ini. Mereka cuma nunjukkin sebuah foto yang 2 minggu lalu kita dapetin, diperbesar dan tampaklah sebuah sobekkan kecil sebuah baju yang kita gak sadar sama sekali. Kemudian Ray memindahkan foto itu ke sebuah aplikasi yang gue gak tau apa namanya, mengutak-atik toolsnya, dari gambar yang Cuma berbentuk kumpulan pixel menjadi gambar yang terlihat sangat jelas. Potongan baju itu terlihat jelas berasal dari sekolah ini dan itu adalah seragam laki-laki, persis yang kami gunakan saat ini.

Gak cuma itu, masih di gambar yang sama, Ray beralih ke sudut lain, menampilkan sisi lain dari ruangan yang menjadi TKP kekejaman terhadap seorang siswa. Bukan sesuatu yang perlu di deskripsiin selain dari sebuah sarung senjata yang menjadi primadona sekolah ini. Itu sarung katana atau sebutan lainnya Samurai Sword, pemberian dari sebuah sekolah asal Jepang yang mengunjungi sekolah kami untuk melakukan kerjasama, desain dari sarung itu sangat khusus dibuat mereka untuk sekolah kami dan kami mendapatkan beberapa.. Apa ya sebutan untuk kumpulan pedang? Bodo, anggap aja 5 pack pedang yang satu kardusnya berisi sekitar 20 pedang. Itu pun kami duplikasi buat keamanan siswa yang berlatih, yang asli di simpan di suatu tempat yang amat terahasia. Ada perbedaan antara yang asli dan duplikat, dan yang ada di foto ini... Asli.

"Jelas?" Tanya Ayi yang di jawab setuju oleh semuanya, kecuali Cakka.

"Gue kagak ngerti apa istimewanya ini sarung." Ayi yang sangat paham bela diri hanya memutar kedua bola matanya.

"Kudet lo, Kka. Udah tinggalin aja nih anak, entar juga paham sendiri." Rio ada benernya juga. Otak Cakka udah dirancang untuk tanggap dalam memahami segala hal dengan mudah. Jadi, ya gak perlulah buang-buang waktu buat ngejelasin.

"Kalian dapet 2 info tingkat 4 aja, kita bakal ngasih sesuatu yang mungkin cuma bisa kalian liat di internet dan yang selalu bikin kalian penasaran." Ini yang gue suka. Ucapan Ray menambah semangat gue buat cepat-cepat nemuin info tingkat 4 itu. Siapa siswa di sekolah ini yang gak tau tentang mereka? Semuanya tau termasuk para haters mereka. Mereka adalah dua saudara yang sangat misterius dengan segala perlengkapan mereka yang mencurigakan. Berkali-kali ke tangkep sama guru, tapi gak ada satu pun yang tau alat apa yang di ambil guru dan alat yang ke tangkep itu selalu diberikan sepulang sekolah, gak pernah di sita.

"Oke, gue rasa ini cukup. Selebihnya, kita komunikasi lewat kartu ini. Inget!!! Kartu ini udah gue rancang khusus buat ngebahas persoalan ini aja, lebih dari itu.. Kartu ini bakal mati dengan sendirinya termasuk saat si pemilik udah ke tangkep sama musuh." Tuh 'kan, misteriusnya keluar lagi. Gimana coba caranya kartu ini tau kita lagi bahas apa dan gak mungkin kartu ini tau mana lawan mana kawan. Ya Tuhan, andai aja gue kenal mereka dari kecil, mungkin gue bakal kecipratan otak komputer mereka.

*****

Vote and Comment, please ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro