11 B

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mereka akhirnya pulang selewat jam sembilan. Tadi sehabis nonton Randy masih ngajak makan dulu. Lapar, begitu alasannya. Tapi suasana hati Ara sedang nggak beres. Film yang tadi mereka tonton, entah kenapa membuatnya jadi galau. Kimi begitu juga. Diam. Cuma Monik yang kelihatan nggak terpengaruh, tapi itu pun karena dia memang udah bawaannya tenang, nggak banyak omong.

Itu sebabnya Ara nolak dan ngajak pulang, dengan alasan Bapak pasti udah nunggu. Sebenarnya sih Ara udah SMS Bapak tadi sore, jadi dia kaget banget waktu lihat Bapak duduk di beranda. Nunggu Ara?

"Kok di luar, Pak?" ujar Ara.

Bapak menatapnya. "Di dalam panas, Nang." Lalu Bapak membuka mulut seperti ingin melanjutkan ucapannya, tapi urung.

Mereka diam-diaman sejenak. "Ara masuk dulu. Mau nelepon Dion," ujar Ara, disahuti anggukan tanpa kata oleh Bapak.

"Bagus filmnya?" Dion menjawab pada dering ketiga. Ekor matanya membaca jam di dinding. Pukul sepuluh.

"Bagus. Nggak kalah sama bukunya," sahut Ara tanpa semangat.

Dia duduk bersila di kursi rotan di beranda kecil di lantai atas. Sepertinya Bapak sudah masuk ke rumah, tadi terdengar suara pintu depan dibuka dan ditutup.

"Tapi?" pancing Dion.

Tapi nggak tahu gimana, ceritanya bikin sedih. Indah sih... akhirnya juga happy, tapi menyisakan kesedihan. Setidaknya buat Ara. Dan meskipun sama sekali nggak nyambung, bikin Ara teringat sama Bapak. Dan dirinya sendiri.

Dulu, Ara bercerita, rumah mereka penuh suara. Dulu itu artinya waktu Mama masih ada. Rumahnya penuh suara tawa, obrolan, senandung nyanyian, bahkan salakan si Pepsi. Sekarang? Pepsi pun memilih diam. Bapak diam. Ara diam. Padahal dua-duanya terperangkap dalam diam yang sama: diam yang sedih, diam yang merindukan Mama, diam yang menyesali kepergian Mama yang begitu cepat.

Dion terdiam di ujung sana. Dari suaranya, kayaknya air mata Ara mulai mengalir. Dibayangkannya wajah yang biasa cerah itu sekarang mendung. Tapi dia nggak tahu harus bilang apa.

Dion mendengarkan baik-baik waktu Ara melanjutkan ceritanya dengan setengah merenung. Bahwa Mama meninggal dalam kecelakaan mobil. Tujuh tahun yang lalu. Tabrak lari. Bahwa rasanya seperti diterjang badai waktu hal itu terjadi.

"Sejak itu rumah sepi, hidup sepi, hari-hari sepiii banget... Bapak lebih banyak diam atau pergi dinas ke luar kota, gue lebih banyak ngelayap," bisik suara berair mata di seberang.

"Makanya, cari pacar..." ujar Dion.

Ara mendengus pahit.

"Duh, bisa dibunuh Kimi kalo gue pacaran sekarang ini," sahut Ara, trus diam sebentar. "Lagian, menurut pengamatan si Kimi, gue itu pacaran nggak pernah bener..."

"Maksudnya?"

"Ngasal gitu," kata Ara. "Kayak main pungut nggak pake milih. Jadi mungkin ada baiknya gue ngikutin dulu saran si Kimi. Break dulu yang namanya pacaran. Tahu dulu visi misi pacaran yang gue mau." Dan ternyata hasilnya lumayan: tiga bulan ngejomblo, itu rekor baru bagi Ara.

Di seberang, Dion ketawa mendengarnya.

"Kok ketawa?"

"Visi misi pacaran. Emangnya ada?"

Dan Ara ikutan ketawa juga, meski pelan. Suara Ara masih jauh dari bersemangat sih, tapi kalo udah bisa melihat kekonyolan diri sendiri kan berarti cewek itu nggak sesedih tadi.

"Konyol dan bodoh gue, ya?" ujar Ara di sela air mata.

"Serius setelah enam mantan pacar, lo belum pernah jatuh cinta juga?"

"Ho-oh. Menurut Kimi sama Monik, gue pacaran cuma karena takut kesepian. Kalo dipikir-pikir, bisa jadi mereka bener. Makanya gue pacaran kayak gonta-ganti kaus kaki gitu."

Dion nggak percaya. Ck. "Trus ngapain aja acara pacarannya?"

"Nggak ngapa-ngapain. Nganter gue main bola atau renang. Nungguin. Nemenin gue nonton basket. Dengerin gue curhat. Nemenin gue ngelayap. Jadi lawan berantem. Jadi tempat buang emosi..."

Hahaha.

"Kok ketawa? Beneran, gitu doang acara pacaran gue. Tapi lama-lama mereka sebel juga kali ya! Yang satu melirik cewek lain. Yang satu lagi marah mulu kayak frustrasi. Mungkin dia frustrasi beneran. Habis, minta pegangan tangan, gue tolak. Minta peluk, gue ogah. Apalagi minta cium..." Ara terus bercerita tanpa malu.

Ck. Kalau saja dia tahu di seberang sana wajah Dion jadi merah padam...

"Yon, lo pernah pacaran nggak?" ujar Ara lagi setelah mereka terdiam beberapa saat.

Dion bilang nggak.

"Jangan pacaran karena kesepian, Yon. Atau karena status. Atau apa pun selain karena lo sayang sama orang itu..."

"Ha. Coba denger siapa yang ngomong," sahut Dion ngeledek. Ara ikutan ketawa.

"Ya ya, coba denger siapa yang ngomong," timpal Ara.

"Lexa..."

"Ya?"

"Inget dulu waktu kita belum bisa ngobrol kayak begini?" suara Dion teramat hati-hati.

"Waktu lo masih jadi arca dan gue burung gereja yang cerewet?" timpal Ara.

"Betul," sahut Dion. "Lo cerita dan cerita dan cerita, nggak peduli gue cuma diam dan nggak ngomong apa-apa. Ingat?"

"Ya." Terus Dion bilang, "Coba lakukan itu ke Bapak. Cerita dan cerita dan cerita, nggak peduli meski Bapak cuma diam mendengarkan."

"Kalo Bapak lagi dinas luar kota?"

"Kan ada telepon? Ceritain aja hari lo. Ceritain Pepsi. Ceritain apa aja," sahut Dion.

Ara menghela napas dalam-dalam trus terdiam sebentar.

"Memangnya mempan?" tanya Ara.

"Ya liat aja sekarang. Gue bukan arca lagi, kan? Meskipun lo masih aja burung gereja yang cerewet," sahut Dion, di seberang sana wajahnya melembut dan bibirnya tersenyum.

"Hmmm... bener juga. Ntar gue coba, Yon."

"Oke. Sekarang, ayo mandi dan tidur. Udah hampir tengah malam, dan besok bukan hari libur."

"Ya, ya!" sahut Ara, terus berdiri seraya menguap. "Oh ya, Yon. Tadi nontonnya berempat. Si Randy tiba-tiba nongol dan ngotot minta diajak. Lumayan juga sih, abis dia bayarin dan nganterin pulang kami semua," ujar Ara lagi.

Kalau saja Ara bisa melihat wajah Dion di ujung sana. Kalau saja itu terjadi... Ara pasti menyesal mengucapkan kalimat-kalimat terakhir itu.

Di kamar. Akhirnya. Kimi mengeluarkan HP dan membaca SMS itu.

Kayaknya udah waktunya kita ketemu. Gimana menurut kamu?

SMS itu dikirim tiga jam lalu. Dan sampai sekarang Kimi nggak tahu mau jawab apa. Apakah dia kepingin ketemu? Kimi nggak yakin. Begini aja rasanya cukup. Lebih asyik juga. Nggak perlu benar-benar melanggar janji. Nggak perlu mikirin harus jelasin apa ke Mama dan Papa. Nggak perlu repot. Nggak perlu ribet.

Mungkinkah semua ini terasa asyik karena memang nggak nyata? Terasa aman, ringan, dan menyenangkan karena dia nggak perlu menghadapi kenyataan? Hhh... Dia harus menjawab SMS itu! Atau nggak? Siapa bilang harus?

Itulah enaknya SMS-SMS ini, Kimi nggak terikat pada keharusan! Dia boleh jawab kalau suka, boleh juga diem aja kalau nggak suka. Asyik, kan? Nggak pake tanggung jawab. Atau... malah sebaliknya? Entahlah. Kimi capek. Dan nggak mau mikirin apa-apa. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro