13A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Beginilah Kimi mengingat masa-masa itu...

Hari demi hari berlalu tanpa SMS. Mula-mula rasanya sepi dan berat, apalagi kalau kebetulan Kimi menclok di saluran Cartoon Network dan mendapati film Courage The Cowardly Dog diputar di sana.

Langsung aja mood-nya berayun ke tempat jelek bernama kangen dan galau dan kesepian. Sungguh nggak asyik. Kalau sudah begitu, satu-satunya hiburan selain nelepon Monik atau Ara untuk sekadar berhahahihi, ya OL di FB. Berharap Kev sedang OL juga, dan akhirnya mereka ngobrol ngalor-ngidul lagi. Nggak penting. Ringan. Dan nggak menimbulkan perasaan bersalah.

Lalu pada suatu malam, entah gimana, dia dan Kev tiba di obrolan yang serius. Mungkin karena sebelumnya Kev tanya apakah Kimi kenal Courage si anjing kampung merah jambu. Dan ingatan Kimi lagi-lagi berpaling ke SMS-SMS itu. Atau mungkin karena udara sedang gerah aja, lagi pula, udara gerah bisa dikambinghitamkan untuk segala sesuatu yang nggak menyenangkan, bukan?

Kimi

Lo serius jomblo, Kev?

Kevin

Yup.

Kimi

Dengan segala reputasi playboy lo itu? Gue susah percayanya. J

Kevin

J J

Reputasi yang mana seh? Ada juga gosip, apalagi kalau bukan gara-gara duo Nina dan Dian yang ngekor terus kayak bayangan itu?

Kimi

Eh, sekarang nempelin siapa tuh mereka? Gue nggak pernah liat lagi mereka deket-deket Randy.

Kevin

Seluruh dunia udah tahu party boy itu terobsesi mati-matian sama Ara.

Kimi

Hahaha. Yep.

Kimi menimbang-nimbang sebentar. Rasa penasaran mendesaknya kayak rasa gatal di tenggorokan kalau lagi batuk kering. Dia mengetikkan pertanyaannya.

Kimi

Trus kenapa lo milih ngejomblo?

Satu menit. Dua menit.

Kevin

Memangnya nggak keren ya kalo ngejomblo?

Kimi

Memangnya lo nggak pengin punya cewek kayak temen-temen yang lain?

Kevin

Pengin sih. Tapi gue masih nunggu seseorang.

Kimi

Emangnya dia ke mana? J

Kevin

Masih belum siap ketemu gue kayaknya.

Kimi

Wuidiiiih, daleeeem! J

Kevin

Bukan dalem. Kenyataan.

Kimi

Terus sampe kapan lo mau nunggu dia?

Kevin

Sampe... gue nggak tahu, Kim.

Diam lagi. Trus:

Kevin

Lo sendiri? Kenapa pegang semboyan antipacaran gitu?

Kimi

So you've heard. J

Kevin

I've done my homework, Kimi. Ayo cerita!

Kimi

Hmmm... kasih tau nggak ya... J

Meski harus melalui proses tarik-ulur nggak jelas begitu, akhirnya Kimi toh cerita juga. Semuanya. Insiden Kak Biyan. Janjinya kepada orangtuanya. Dia putus sama Jopra. SMS-SMS gelap. Ajakan ketemu. Betapa dia tersadar nggak sanggup melangkah sejauh itu. Semua semua semua...

Kevin

Kim? U know what?

Kimi

Apa?

Gue kagum sama lo. Lo pegang janji meskipun mungkin seluruh dunia nggak ngerti.

Dan tulisan terakhir di jendela Kev itu bikin hati Kimi terasa ringan, berdenyar-denyar hangat mengusir sepi yang menggayutinya sejak SMS-SMS itu berakhir. Memberinya kekuatan. Ah, akhirnya Kimi menemukan satu teman yang memahami keputusannya, jalan pikirannya, pilihannya. Dan itu membuat bibirnya tersenyum, matanya berkaca-kaca.

Beginilah Ara mengingat masa-masa itu...

Karena nilai-nilai Ara dianggap udah teguh kukuh berlapis baja alias stabil, B-M-annya dengan Dion diputuskan tamat oleh Bu Tanti. Tapi toh itu nggak bikin Ara berhenti datang ke rumah Dion hampir setiap kali memungkinkan. Selain karena kangen sama Nenek dan Nenek juga kangen padanya, di rumah Dion Ara selalu betah. Ara sih nggak mau mengakui ini, setidaknya nggak ke orang lain, jadi dia merasa beruntung bisa jadi pengantar surat antara Dion dan Monik. Dengan begitu, nggak ketahuan-ketahuan banget dia memang betah datang ke rumah Dion.

Ara juga sepertinya sangat menikmati peran jadi pengantar surat. Dia terus menggoda keduanya---Dion dan Monik---dan terus ngomporin, meskipun, semula kalau sedang sendiri, kadang-kadang ada juga perasaan iri terbit di hatinya. Tapi hanya sedikiiiit kok! Dan itu kan manusiawi! begitulah Ara selalu membela diri setiap kali menegur dirinya sendiri.

Dan jika perasaan itu muncul, secepatnya dia menggilasnya habis dengan mengucapkan nama Monik. Monik. Monik. Monik. Ara nggak boleh egois. Monik bisa sedih kalau Ara nggak beres begini. Jadi, dengan sabar dan penuh tekad ditelannya perasaan itu. Untungnya sekarang setelah ada Randy, sepertinya perasaan itu semakin hari semakin luntur.

Perlahan-lahan, diam-diam, Ara memperhatikan perkembangan hubungan keduanya. Dion selalu pandai menutupi emosi, Ara sulit sekali membaca apa yang disimpan cowok itu di dalam hatinya. Tetapi nggak kayak dulu, sekarang ini Ara nggak perlu nagih-nagih, Dion sudah menyiapkan sepucuk balasan. Apa isinya, Ara nggak pernah tahu. Dia cuma mengawasi bagaimana wajah Monik berubah dari tenang hingga cerah saat membaca surat dari Dion. Seolah-olah wajah itu langit pagi saat matahari perlahan muncul dari timurnya. Hangat. Ekspresinya lembut ketika membaca surat yang diterimanya. Bikin senang yang melihat. Juga... iri.

Ah. Iri. Cemburu. Konyol banget rasanya merasa begitu, omel Ara sendiri. Sekarang sepertinya memang sudah saatnya Ara berhenti jadi tukang pos. Dengan begitu kan dua sejoli yang superpemalu itu bisa lebih cepat jadian! Dan misi Ara berhasil deh!

"Mon!" ujar Ara, saat itu mereka berdua sedang berbaring di rerumputan di bawah pohon flamboyan dekat perpustakaan. Menunggu Kimi yang nggak muncul-muncul juga batang hidungnya.

"Hmmm?"

"Ini bukan zaman kuda gigit besi, lo tahu kan?" ujar Ara.

"Maksud kamu apa sih, Ra?" Monik bertanya malas-malasan. Angin bertiup sayup-sayup, meninabobokan mata.

Ara memiringkan tubuh dan menyangga kepalanya dengan sebelah tangan. Dia memperhatikan seraut wajah yang berbaring di sebelahnya dengan mata terpejam. "Bukannya lebih enak kalo kalian telepon-teleponan, YM, atau ketemuan langsung aja ya?"

"Yang kamu maksud kalian itu siapa?"

"Lo sama Dion. Siapa lagi!"

Mendengar itu Monik langsung gelagapan dan bangkit dari tidur-tidurannya. "Kamu nggak kasih tahu Dion surat-surat itu dari aku, kan? Kamu udah janji, Ara!"

"Lah, terus apa gunanya kalo begitu? Mau sampe kapan begini terus? Aneh. Lo nggak ada bedanya sama si Kimi. Meskipun menurut gue si Kimi masih lumayanlah. Dia menolak ketemu sama si SMS karena kepentok janjinya sama ortu. Nggak mau ribet. Pengecut sih menurut gue, tapi mau bilang apa lagi, soalnya dia sendiri yang bakal nanggung semua akibatnya. Nah, kalo elo? Nggak ada aral melintang begitu, surat-suratan udah jalan beberapa kali gitu, eh, masih ngegantung juga. Gila aja!" Ara terus merepet. "Nunggu apa lagi sih, Mon?"

"Nunggu tanggal baik hari bagus, Ara," ujar Monik asal. "Lagi pula, menurut ramalan bintangku..."

"Hah, ngarang aja lo!" seruduk Ara dengan tampang cemberut.

"Ara..." ujar Monik beberapa menit kemudian.

Hmmm?

"Kamu sama Randy... nggak pacaran, kan?"

Ara menangkap perasaan waswas dalam pertanyaan Monik itu. Bibir Ara tersenyum.

Ah. Randy. Randy. Randy. Dia itu... Ara dalam bentuk cowok. Kayak angin, yang terus bergerak dan berputar dan bikin rambut berkibar-kibar. Dia menyeret Ara ke segala penjuru, dengan segala daya pikatnya, pemberontakannya, kenakalannya, kegelisahannya, dan emosinya yang kerap meletup-letup.

Sejak pesta Nina tempo hari, Randy terus mengejar dan memburu Ara ke mana saja. Setiap kali Ara muncul di rumah Dion, dia selalu muncul di sana juga, mengajaknya ke berbagai tempat lain, atau memaksa menjemput dan mengantarnya pulang. Setiap kali Ara selesai ekskul bola, dia juga sudah ada di pinggir lapangan, menunggunya dengan setia. Dia meng-SMS dan menelepon Ara bertubi-tubi, seolah-olah hari-harinya hanya berisi Ara dan Ara dan Ara.

Meskipun ini bukan pertama kalinya ada cowok yang naksir Ara, belum pernah ada cowok yang membuat Ara merasa seperti ini. Dipuja. Diinginkan. Dianggap paling istimewa. Perasaan ini bikin Ara melayang-layang dan kepingin terus tersenyum. Apalagi Randy jenis cowok yang nggak pernah segan memuji. "Kamu cantik, Lexa." "Pakai baju yang kemarin lagi dong, kamu kelihatan tambah imut dan manis. Aku suka lihatnya." Ara tahu wajahnya nggak jelek, tapi dipuji kayak gitu kan menyenangkan...

"Kok nanya begitu?" Ara akhirnya balas bertanya.

Monik berbaring telungkup, kedua tangannya menyangga dagu. "Pertama, sejak pesta si Nina itu kalian berdua 'aku-kamu'-an gitu. Kedua, kalian sering banget pergi berduaan. Ketiga, setiap kali kamu denger nama Randy, kayak barusan tadi itu, kamu langsung tersenyum maniiiis banget."

Ara cuma bisa ketawa pelan.

"Ara..."

Ara bangkit dan duduk bersila di hadapan Monik. Matanya berkilat-kilat dan wajahnya cerah. "Gue belum tahu ada apa antara gue sama dia. Tapi... "

"Kamu suka sama dia? Kamu sayang?" selidik Monik hati-hati.

Ara menghela napas. Sekelebat bayangan Dion yang menatap tajam saat Randy datang ke rumahnya untuk menemui Ara sekonyong-konyong muncul di benak Ara. Dipandanginya Monik.

"Gue belum yakin. Dia bikin gue seneng aja. Gue belum pernah ketemu orang kayak dia..." Kenapa sih?!

"Nggak..." Monik mengelak.

"Woi, Mon! Ada apa?" desak Ara.

"Denger-denger dia suka bolos..."

"Semua orang juga pernah bolos kan, Mon. Itu nggak bikin mereka jadi jahat," sela Ara.

Tahu-tahu dia merasa geli sendiri, karena tadi waktu jam istirahat pertama dia melihat Randy dijemur di tengah lapangan karena ketahuan membolos kemarin. Tampangnya konyol banget waktu melihat Ara lewat di koridor di dekat situ.

"Beliin teh botol dingin dong, Lexa! Bentar lagi aku bisa mati nih!" ujarnya memelas.

"Ntar aku kena skors gara-gara ketahuan bantuin napi," sahut Ara asal.

"Huuu! Nggak sayang nih sama aku! Ayo doong... beliin. Haus niiih..." Randy terus merengek, sampai akhirnya Ara nekat ke kantin dan membelikan seplastik teh botol yang diselundupkannya ke tangan Randy setelah celingukan ke kanan-kiri.

"Dia emang aneh, gue akuin. Bolos cuma karena iseng. Tapi dia nggak jahat," tandas Ara kepada Monik.

"...dan ikut party-party kelas atas yang gila-gilaan itu. Dia pernah cerita kenapa dia pindah kemari padahal tinggal satu semester sebelum lulus-lulusan?"

Ara tercenung. Belum. Mereka nggak pernah ngomong serius, karena obrolan mereka isinya cuma segala sesuatu yang konyol dan nggak penting.

"Coba kamu tanya, Ra. Atau kamu lihat deh dia gimana. Janji kamu nggak terbuai cuma gara-gara dia bisa bikin kamu terbang ke pelukan langit, ya, Ra," ucap Monik. Ditatapnya wajah Ara dengan serius. "Jangan bikin kesalahan yang sama seperti yang selama ini kamu lakukan dengan mantan-mantan cowokmu itu, Ra. Ntar nyungsep lagi..."

Tapi janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi... karena setiap kali si angin ribut datang seperti anak kecil dengan balon matahari dan rencana-rencana gila penuh petualangan, Ara selalu silau dan lupa pada janjinya. Dia langsung terseret masuk ke dalam pusat keributan itu, pusat yang membuainya, yang membuatnya lupa berpikir, membuat dadanya membuncah entah oleh apa. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro