17A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sepertinya cinta dan matahari sangat cocok. Begitu juga dengan bunga dan kupu-kupu. Begitu juga dengan tawa dan binar mata dan sepasang lesung pipi Ara yang menekuk dalam. Dan rambutnya yang berkibar-kibar dipermainkan angin.

"Hmmm... dia udah kayak iklan cinta berjalan aja," ujar Kimi yang terus memperhatikan dari tempatnya duduk di kantin. Tangannya mengaduk-aduk es jeruk, sepertinya tanpa sadar, sementara pandangannya terus terarah kepada Ara---percikan cahaya matahari bermain-main di sekujur sosok mungil temannya itu.

Monik mendongak dan tersenyum. "Kayak gitu kali kita ntar kalo jatuh cinta..."

"Kita?! Kok masih 'kita' aja lo ngomongnya? Lo sama Dion kan..."

Monik mengangkat bahu tak acuh. Dia nggak mau Kimi menyelidik lebih jauh. "Kami memutuskan untuk temenan aja," ujarnya kalem.

"Kenapa?" serbu Kimi. Tatapannya penuh selidik, menyorotkan "Kayaknya-ada-yang-nggak-beres-nih" dengan penuh ancaman.

"Kenapa harus kenapa? Kamu sama Kev juga cuma 'temenan', kan?" balas Monik sambil tangannya terangkat membentuk tanda petik, "Atau... kalian sebenarnya lebih dari yang kalian akui?" ujar Monik, terus ketawa ketika lihat Kimi memonyongkan bibir.

"Makanya, hati-hati, Kim... udah semboyan-sembayon bilang antipacaran akhirnya nyungsep juga ngikut dunia..." Monik terkekeh senang.

"Huh! Gaya ngomong lo udah mirip si Ara aja. Kayaknya lo seneng banget deh, kalo gue khilaf!" tukas Kimi judes.

"Eh, tapi kok beberapa hari terakhir ini kamu menghindar mulu dari Kev? Kenapa, Kim?"

Kimi terdiam. Monik benar, udah tiga hari ini Kimi enggan ketemu Kev. Dia sengaja menghindar, baik di sekolah, di HP, maupun di dunia maya. Ada sesuatu yang sangat mengusik pikirannya. Sesuatu yang dikatakan Kev, sesuatu yang dikatakan Ara, sesuatu yang berhubungan dengan SMS-SMS gelap dulu itu.

"Kim... are you okay?" Monik mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kimi.

"Lo inget nggak, waktu gue galau nggak bisa belajar gara-gara SMS-SMS gelap itu?"

Monik mengangguk.

"Terus gue janjian belajar sama Kev, tapi paginya dia nggak bisa nemuin gue dan..."

Monik langsung ngerti. "Dan dia minjem HP Ara, terus Ara cerita si Kev mencet nomor kamu nggak pake nanya...?"

Mereka lihat-lihatan.

"Kamu curiga si pengirim SMS gelap itu Kev?"

Kimi mengangguk tegas. "Pertama, dia hafal nomor gue. Kedua, sekitar waktu itu si pengirim SMS ngilang dan Kev juga ngaku bahwa HP-nya lagi ngadat. Ketiga..."

"Apa yang ketiga?" serbu Monik degdegan.

"Ketiga, belakangan waktu gue chatting sama dia di FB, sebagian ucapannya sama persis dengan beberapa SMS gelap dulu itu..." ujar Kimi.

Hmmm... "Nah, kalo dia beneran si pengirim SMS? Kamu marah?" tanya Monik hati-hati.

Kimi menggeleng lemas. "Gue nggak tahu, Mon. Kayaknya sih nggak. Gue akui, gue udah lama lupa sama SMS-SMS gelap itu..."

"Lupa karena udah terobati sama Kev juga, kali... "

"Huuuu. Sembarangan aja kalo ngomong! Gue sama Kev tuh sejak awal nggak ada cinta-cintaan. Beda sama lo dan Dion, yang emang udah sengaja di-set begitu. Kenapa sekarang malah cuma temenan?" Kimi dengan luwes mengalihkan pembicaraan. Dia nggak kepingin ngomongin Kev saat ini. Belum. Nanti aja, saat dia udah tahu bagaimana sebenarnya reaksinya kalau benar Kev-lah yang selama ini menjadi pengirim SMS gelap itu. Marah? Atau...

"Iya, di-set sama orang sinting, alias kamu sama si Ara. Huuu! Dari awal juga udah aku bilang, bintangku sama si Dion itu nggak cocok... " kilah Monik.

"Lho, bukannya lo berdua udah beberapa kali pergi bareng?"

"Nggak pergi bareng. Kebetulan ketemu di tempat yang sama. Pulangnya aja baru sama-sama," kilah Monik.

"Hadeeeuuh, sama aja, kali!"

"Dan itu bukan berarti aku sama dia pacaran, kan!" tandas Monik.

Monik memandang kejauhan. Ara masih mendongak memandang cowok di depannya, menertawakan entah apa. Senang rasanya menyaksikan wajahnya yang penuh cahaya. Senang dan sekaligus sedih, saat sekelebat bayangan Dion muncul di benak Monik.

"Kamu kok nggak pernah aku liat bareng Ara lagi, Yon?" Monik teringat percakapannya ketika bertemu Dion setelah "penolakan" halus cowok itu beberapa minggu sebelumnya.

Sore itu danau tampak menari dan mengerling karena pantulan sinar matahari, begitu memikat untuk dilukis. Monik sengaja datang ke sana lengkap dengan peralatan melukisnya, dan betapa kagetnya dia waktu nemuin Dion udah ada di sana, asyik membuat sketsa seorang bapak yang memancing nggak jauh dari situ.

Awalnya, Monik enggan menegur. Ara pernah cerita cowok ini suka banget bikin sketsa, tapi Monik nggak tahu tempat ini salah satu tempat pilihan Dion. Kalau saja tahu, Monik nggak bakalan ke sini deh.Tidak setelah Dion "menolaknya". Takut ketemu. Malu. Dan... meskipun dia tahu Dion menyukai cewek lain, dia tetap menyimpan suka juga pada cowok ini. Cowok pendiam dan rendah hati ini. Cowok yang menenteramkan hati. Dan jelas enak dilihat. Apalagi matanya.

Monik ingat cowok itu ngajak ketemuan beberapa hari setelah Ara mutusin berhenti jadi tukang pos mereka. Dia teringat jantungnya berdegup sedikit lebih cepat saat menerima telepon cowok itu (pasti Ara yang ngasih nomor teleponnya, siapa lagi?!), dia teringat harapannya sedikit melambung, bertanya-tanya mungkinkah setelah Ara dekat dengan Randy, Dion akan...

Meskipun, di sudut hatinya Monik sebenarnya tahu... entah bagaimana, bahwa cowok ini jelas menginginkan hal yang berbeda dengannya. Surat-surat cowok itu selalu berkisah tentang Ara. Ara. Ara. Dan konyolnya, justru surat-surat itulah yang membuat Monik makin menyukai Dion.

Duh. Monik tahu dirinya konyol karena membiarkan harapannya tumbuh begitu saja. Padahal jelas-jelas cowok itu sukanya sama Ara... Oleh sebab itu, meskipun rasanya sulit, Monik bergegas mengikat balon-balon harapannya kuat-kuat supaya nggak terbang lepas dan akhirnya melukai hatinya.

Pertemuan itu singkat saja, di bangku semen di bawah pohon flamboyan dekat perpustakaan. Dan seharusnya pilihan tempatnya pun udah jadi petunjuk nggak bakal ada kisah cinta di sana. Tapi toh hati memang terkenal bandel, apalagi hati yang berharap, sebab petunjuk sejelas apa pun bisa-bisanya nggak mau dilihat.

"Monik, maaf. Gue berharap gue salah mengartikan keinginan elo... Tapi kalau gue nggak keliru, sepertinya gue nggak pantas dapetin perhatian elo itu," ujar Dion serius waktu itu.

Suaranya dalam. Dan tulus. Sehingga meskipun Monik rasanya malu bukan kepalang, dia nggak tersinggung, apalagi merasa terhina. Dia malah semakin respek sama cowok ini.

Ah. Sayang. Cowok itu udah kadung jatuh cinta sama cewek yang selalu jadi inti surat-suratnya.

"Lo suka kemari juga? Lexa nggak pernah cerita," sahutan Dion menyeret Monik kembali dari lamunannya.

"Ara juga nggak pernah cerita kamu suka kemari. Nggak ngajak dia? Padahal dia paling suka tuh kalo digambar sama kamu. Trus dipamerin dengan bangganya gitu ke aku sama Kimi," ujar Monik seraya ketawa.

Wajah Dion merah padam. Dipamer-pamerin? Bangga? Kok dia nggak pernah tahu!

"Kamu gambar apa?" Monik bertanya.

Dion memiringkan sedikit kertasnya, dan terpampang di sana sketsa yang sangat halus dan indah.

"Wah! Bagus banget, Yon!" ujar Monik, lalu mengambil posisi di bangku batu di dekat situ.

Setengah jam lebih mereka tidak berbicara, asyik dengan gambar masing-masing, dengan guratan, warna, dan arsiran.

"Gue udah lama nggak ngobrol sama Lexa," gumam Dion nyaris nggak terdengar.

"Serius? Ara mana bisa nggak ngomong sehari aja sama kamu? Bisa gatel-gatel tuh!" sahut Monik setengah menyimak, terus menuangkan pemandangan di depannya ke kertas gambarnya.

Dion tercenung. Itu juga dia nggak pernah tahu.

Dia terdiam. Sampai akhirnya Monik mendongak menatapnya.

"Yah. Itu dulu. Sekarang nggak lagi."

Monik mengerutkan kening. Randy. Pasti itu penyebabnya.

"MON! Woooiiii!" kini Monik tersentak kaget. Ditatapnya Kimi yang memandangnya dengan jengkel. "Nggak sopan banget nih, ngelamun sementara gue ada di sebelah lo! Apa sih topik lamunan lo? Paling-paling Dion lagi, kan?" tukas Kimi panjang-pendek.

"Duh, curiga aja deh Kimi!" sahut Monik. "Aku sama Dion cuma temenan. Titik. Dari tadi udah aku bilang begitu!"

"Hah! Gue tetap nggak percaya! Kenapa? Apa sebabnya? Surat-suratan jalan lancar. Lo jelas cinta maut-mautan sama dia..."

"Cinta maut-mautan dari Monas! Huuuu!" tukas Monik jengkel.

"Lah, itu kalian surat-suratan udah kayak..."

"Nggak berarti isi suratnya mesti cinta, kan?" potong Monik.

Perlahan dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Salah satu surat paling indah yang pernah dilayangkan Dion. Sudah sejak lama surat itu dibawa-bawanya ke mana-mana.

Sudah beberapa kali dia ingin menunjukkannya kepada Ara, supaya cewek itu tahu, bahwa diam-diam Dion menyukainya. Tapi berkali-kali pula Monik mengurungkan niatnya, setiap kali dia melihat Ara tampak sangat bahagia bersama Randy. Dia merasa nggak berhak merusak kebahagiaan Ara.

Kimi membaca surat yang disodorkan padanya. Kertasnya lecek, dirobek dari buku catatan, sama sekali nggak ada indah-indahnya. Tapi... isinya sungguh berbeda. Isinya teramat menyentuh.

Kimi menatap Monik lekat-lekat.

"Jangan ngomong lo, dia jatuh cinta sama si bintang iklan cinta itu?!" ujarnya seraya mengedikkan dagunya ke arah Ara.

"Pure and simple," sahut Monik. "Dan sekarang sepertinya mereka berhenti temenan."

"Karena?" sambar Kimi.

Monik mengangkat bahu. "Tanya aja si Ara. Karena sekarang aku mau capcus. Ada janji gambar bareng di ruang perpustakaan," ujarnya enteng.

"Waaah, masih usaha bikin dia jatuh cinta, ya? Go go Monik go!" ujar Kimi heboh.

Terang aja dia langsung ditoyor oleh Monik. Dasar Kimi sinting! Emang dia pikir cinta kayak sandal, bisa ditukar-tuker seenaknya. Geblek! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro