19A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kimi ketawa membaca tulisan Kev di layar komputernya. Setelah satu minggu menghindar, akhirnya Kimi kangen juga sama percakapan-percakapan dunia maya mereka. Maka, malam itu, dia pun menyapa Kev. Dan seperti biasa, mereka pun asyik ngobrol tentang hal-hal nggak penting. Tentang pelajaran, guru-guru, tingkah polah teman-teman. Atau tentang Courage, si anjing pink yang penakut itu.

Kevin

Eh, gue jadi inget penggemar lo yang suka ngirim SMS itu. Gimana? Udah bener-bener habis tumpas gitu? Lo udah get over him?

Kimi tercenung membacanya. Hmmm... Ini dia. Ini dia. Ini dia.

Kimi

Gue malah udah lupa! Nggak ada kelanjutannya lagi tuh.

Kevin

Lo nggak pa-pa?

Kimi

Nggaklah. J

Kevin

Bagus. Gue seneng dengernya. J

Dan entah kenapa Kimi tersenyum membacanya. Ada nada care di dalam kalimat singkat itu.

Kimi

Kalau lo nebak, siapa kira-kira yang cocok jadi si pengirim SMS? Gue sih yakin orangnya satu sekolah sama kita.

Diam yang cukup lama.

Kimi

Kev?

Kevin

He-eh. Siapa ya kira-kira? Hmmm... gue nggak tahu ah. Kalo lo nebaknya siapa?

Kimi terkesiap tegang, ragu antara menuntaskan semua ini sekarang juga atau berlagak nggak curiga. Tapi kalau dia dan Kev nggak bisa jujur dan terus terang satu sama lain, apa gunanya mereka berteman, ya kan? Apalagi berteman seperti akhir-akhir ini. Berteman baik.

Kimi

Elo... J

Kevin

Hahahahahaha... beneran?

Hmmm... Kalo bener gue gimana? Lo marah?

Kimi menelan ludah. Marahkah dia? Ditelitinya hatinya dengan hati-hati. Dulu, mungkin. Sekarang... ah, rasanya nggak. Ya, nggak. Dia nggak marah. Oh, kenapa jantungnya memburu berdetak-detak? Mengapa jemarinya terasa dingin?

Kimi

Gapapa. Masa sih gue marah? Gue cuma pengin tahu, kenapa?

Kevin

Karena gue kepingin temenan sama lo... tapi gue malu. Lagi pula, gue takut lo langsung nolak gue, karena...

Kimi

Karena semboyan norak gue yang antipacaran itu?

Kevin

J

Diam lagi.

Kevin

Maaf kalau kesannya gue mempermainkan elo. Gue sama sekali nggak bermaksud begitu. Buat gue, lo cewek yang amat sangat menarik. Cerdas, pegang prinsip, dan manis.

Kimi langsung aja tersipu-sipu membaca semua ucapan Kevin itu. Belum pernah ada cowok yang nekat muji-muji dia begini. Belum ada yang berani melakukannya. Bahkan dulu Jopra pun nggak.

Kimi

Kev... jangan bikin gue malu ah! Udah! Serius amat... J

Kev

J

Kimi

Kev?

Kevin

Ya?

Diam yang panjang.

Kimi

I'm so glad it was you. Really.

Kevin

Me too, Kim. Me too. J

Dan betapa lega hati Kimi malam itu. Betapa bahagia. Betapa benar rasanya, menjalin persahabatan dengan cowok ini, tanpa desakan, apalagi tuntutan, meskipun Kev tahu dia harus menunggu sedikitnya satu-dua tahun lagi, sebelum Kimi bisa menjawabnya dengan cinta.

Ara udah bermenit-menit bergulak-gulik di atas tempat tidurnya. Sekilas dia melirik jam dinding dan melihat jarum pendeknya ada di angka sepuluh. Dia teringat pada Dion.

Dia menghela napas dan mendesah panjang. Malam ini betapa ingin rasanya dia menelepon dan mengobrol dengan cowok itu. Menceritakan harinya bersama Randy tadi. Menceritakan kegalauannya yang akhirnya sirna. Menceritakan betapa Randy akhirnya memeluknya dan betapa Ara akhirnya yakin bahwa cowok itu benar-benar menyayanginya, bukan hanya cemburu buta karena obsesi seperti yang dikhawatirkan Kimi.

Bercerita betapa bahagia dirinya. Dan betapa, entah mengapa, sampai sekarang masih ada satu tempat kecil kosong yang dulu selalu diisinya dengan obrolan bareng Dion hampir setiap malam.

Sekali lagi Ara mendesah. Itu salah satu hal yang sulit dimengertinya. Bahwa, meskipun dia merasa bahagia dengan hidupnya sekarang ini, dia selalu dan selalu berharap di dalam hati dia bisa menceritakan semuanya kepada Dion. Kayak dulu.

Monik suka hari ini. Suka rasa yang ditimbulkan oleh perpustakaan, garis-garis yang lahir di permukaan kertas gambarnya, dan kedekatan aneh dengan cowok bernama Dion. Kedekatan yang dijembatani garis, arsiran, dan warna. Dan Ara.

Aneh banget, pikir Monik. Bahwa dia pernah berharap menjalin hubungan istimewa dengan cowok ini. Bahwa dia pernah membayangkan mereka jadian. Tapi sekarang keinginan itu entah pupus ke mana, dan Monik menemukan dirinya menyukai kedekatan mereka seperti sekarang ini. Tenang. Hanya teman.

Monik senyum sendiri. Aneh memang, sesuatu yang kita anggap penting banget di suatu saat, ternyata kemudian nggak penting lagi. Ah, nggak ada yang abadi. Kita juga. Apa kata Dion tadi?

"'Yang fana adalah waktu. Kita abadi...'"

Kata Dion, itu petikan puisi Sapardi entah siapa itu, Monik belum pernah mendengarnya sama sekali. Tapi kata Dion, itu salah satu puisi kesukaan dia. Dan Ara.

Monik mendesah. Nggak seharusnya Dion menyembunyikan cintanya untuk Ara seperti ini. Kalau saja Ara tahu, pikir Monik. Kalau saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro