20A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sungguh mati, mestinya hari ini Ara nggak masuk sekolah aja sekalian! Kepalanya rasanya kayak batu kali seberat satu ton, dan pusingnya hadoooooh... belum pernah Ara merasa seperti ini.

Tadi pagi-pagi bangun tidur dia terus aja memuntahkan seluruh isi perutnya, dan sekarang rasanya dia hanya setengah sadar, kepingin tidur aja, kepingin mematikan matahari yang terang benderang dan menyakitkan itu...

"Lexara! Lo kenapa?" suara Kimi seolah menusuk telinganya.

Ara mencoba membuka mata.

"Lo sakit?" Kimi meletakkan punggung tangannya di dahi Ara. "Nggak demam tuh." Kimi menggoyang-goyangkan bahu Ara. "Ra. Lo baik-baik aja? Mau gue anter pulang?"

"Kenapa dia?" Monik ikut-ikutan nanya dengan nada prihatin. "Aku beliin jeruk hangat mau, ya?"

Ara melek begitu mendengar jeruk hangat disebut-sebut.

"Aqua aja, Mon. Tolong. Jangan yang dingin ya," ujarnya lemas. Dia harus mengeluarkan sisa-sisa minuman entah apa yang ditenggaknya semalam.

Semalam.

Duh.

Rasanya kok kayak udah bertahun-tahun yang lalu jauhnya. Dia ingat Randy mengajaknya ke salah satu pesta yang diadakan teman lamanya. Lagi jutek, katanya. Ara ingat bilang, kalau memang itu alasannya, berarti udah dua minggu ini Randy jutek terus. Soalnya selama itulah Randy terus-menerus ngajak Ara pergi dari satu pesta ke pesta lainnya, dan mereka selalu pulang hampir tengah malam.

Terus Randy bilang, kali ini sebenarnya bukan pesta. Cuma kumpul bareng beberapa teman karena ortu David---itu nama teman yang jadi tuan rumah---kebetulan lagi ke luar kota dan di rumahnya ada berbagai jenis alkohol.

Tentu saja potongan info terakhir nggak disampaikan Randy ke ceweknya. Ara baru tahu setelah tiba di sana. Itu pun setelah lewat bujuk rayu cukup alot dan diakhiri ucapan Randy, "Terserah deh kamu mau ikut apa nggak. Aku ngajak karena kamu cewek aku, Lexa. Karena aku pikir kamu sayang sama aku, jadi kamu pasti kepingin ikut ke mana aja aku pergi."

Ara tahu banget Randy ngambek. Tapi...

"Nilai-nilaiku jeblok lagi, Ran. Kalau aku nggak buru-buru benerin bisa-bisa nggak naik kelas..."

Mendengar itu, Randy malah cuma ketawa mengejek.

Ara terdiam. Entah mengapa tawa Randy terasa menyakitkan di telinga. Dan hatinya.

"Halah! Nilai lagi yang dipikirin. Hidup cuma sekali, Lex. Dan hidup nggak mentingin nilai ulangan, tahu!"

Mungkin kamu bener... tapi kalau nilaiku jeblok dan aku nggak naik kelas, gimana tanggung jawabnya ke Bapak? kepingin rasanya Ara berteriak begitu. Trus aku sendiri gimana?

"Aku nggak pengin tinggal kelas trus jadi veteran, Ran!"

"Ah, lebay banget! Nggak mungkin kamu nggak naik kelas cuma karena nilai yang kepeleset sedikit. Pokoknya putusin deh. Ikut apa nggak. Terserah. Kalo kamu nggak ikut trus aku mabok, ya itu karena kamu nggak ada untuk jagain aku."

Dan kalimat itulah yang bikin Ara memutuskan ikut. Untuk jagain Randy.

Seminggu lalu, waktu Ara menolak ikut, Randy nggak cuma minum. Nyimeng juga. Padahal belum pernah Randy menyentuh barang haram itu sejak dia kenal Ara. Dan yang bikin hati tambah ketar-ketir, dari salah satu teman Randy akhirnya Ara tahu bahwa Randy nyaris tabrakan karena nekat nyetir pulang dalam keadaan high. Duh, merinding rasanya Ara membayangkan hal itu beneran terjadi.

"Tapi pulangnya jangan kemaleman, ya, Ran," ujar Ara lagi.

Bapak memang nggak nungguin karena tahu Ara perginya sama Randy. Dan Bapak nggak marah-marah, tapi Sabtu lalu Bapak bilang begini ke Ara, "Boleh saja bersenang-senang menikmati hidup, tapi jaga diri baik-baik, ya, Nang."

Duh.

"Iya iya. Gimana? Jadi ikut, kan? Aku perlu kamu untuk jagain aku," ujar Randy lagi. Tapi nggak manis. Sudah beberapa waktu ini Randy nggak pernah lagi bersikap manis pada Ara.

Ara mengangguk. Tentu saja ucapan itu cuma klise, karena ujung-ujungnya malah Randy berhasil membujuk Ara untuk mencoba mencicip minuman entah apa semalam.

"Ara..." suara Kimi terdengar lagi. Lebih lembut. Tangannya mengusap kepala temannya yang berambut tebal.

Ara menunduk dalam-dalam. Kepalanya seperti nyaris pecah dan pandangannya sedikit goyah. Dia mencoba memejamkan mata, tapi malah semakin parah aja sakit kepalanya.

Ah, salahnya sendiri nggak sanggup menolak bujuk rayu Randy semalam.

Minuman itu terasa pahit dan mengirimkan panas ke kerongkongan dan hidungnya. Ara nggak suka rasa minuman itu. Dia mencecapnya sedikit, lalu mendorong gelas minuman itu menjauh. Tapi Randy sepertinya berkeras minuman itu baik untuk Ara. Katanya kalau sudah terbiasa pasti enak. Berulang kali cowok itu membujuknya agar mencoba, dan Ara meneguknya beberapa kali lagi demi memuaskan cowok itu.

Tetap saja minuman itu menggigit lidahnya. Juga penglihatannya. Dan kepalanya. Ara ingat tadi mencari-cari Randy untuk mengajaknya pulang.

"Badanku nggak enak, Ran!" dia berkata.

Randy manggut-manggut bilang sebentar lagi, dan sebentar itu ujung-ujungnya berakhir di jam sebelas juga.

Botol aqua bersedotan yang disodorkan ke bibirnya kembali menyadarkan Ara.

"Ayo, minum yang banyak. Biar enakan," bujuk Monik. Bersama Kimi, dia duduk mengapit Ara, memperhatikan lekat-lekat.

"Nggak mending pulang aja lo?" ujar Kimi akhirnya.

Ara menatap Kimi. Matanya merah. Kimi akhirnya mengerti, Ara lagi hangover.

"Gue harus ngadep Bu Tanti nih. Nilai gue jeblok, Kim. Harus ikut BM-an lagi," Ara berhenti sebentar dan menenggak aqua-nya. "Dipasangin lagi sama Dion."

"Bagus dong. Dijamin nilai lo pasti bisa beres lagi, Ra," ujar Monik.

Ara menggeleng. "Randy bakal ngamuk kalo gue BM-an sama Dion. Jadi gue mau ganti pasangan aja," bisik Ara pelan.

Duh! Cukup! Kimi jengkel dan gemas mendengar ucapan Ara barusan. Jengkel dan gemas melihat keadaannya sekarang. Dia nggak ngerti sejak kapan temannya ini berubah jadi mayat berjalan begini! Seingat Kimi, minggu-minggu Ara baru jadian sama Randy rasanya selalu ada matahari di wajah manis cewek itu. Selalu ketawa, selalu berseri-seri, selalu penuh canda.

Terus tahu-tahu, pelan dan nyaris tanpa disadari siapa pun, Ara mulai berubah... pertama-tama berhenti main bola, entah apa penyebabnya. Lalu semakin jarang nongkrong dengan Kimi dan Monik, dengan seribu satu alasan yang intinya adalah Randy. Terus Ara sering menghilang sebelum istirahat kedua, beberapa kali duduk tepekur di depan kantor Kepsek karena dipanggil, terus terakhir ini. Mata merah. Wajah lecek.

"Yuk, gue anter pulang aja, soal B-M, biar Monik yang bilang ke Dion supaya diurusin. Randy mana? Gue belum lihat dia seharian ini," ujar Kimi.

Ara menggeleng. Miskolnya sejak pagi belum dibalas juga. SMS pun tidak disahuti. Tapi Ara nggak heran. Semalam Randy lebih gila-gilaan minumnya. Duh. Kenapa juga Ara mau disuruh mencicipi minuman sinting itu?

"Mon, kita anter pulang aja yuk!" ujar Kimi kepada Monik, "Naik mobil gue aja. Jam segini Pak Maman biasanya udah ada di parkiran kok." Lalu berdua mereka membantu Ara bangkit dan membimbingnya perlahan-lahan menuju parkiran. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro