21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Sebenarnya belum lagi sepuluh menit menginjakkan kaki di tempat ini, Ara udah tahu, ada yang sangat nggak beres. Ini bukan bau pesta-pesta yang biasa mereka kunjungi.

Ada bau yang teramat menyengat memenuhi ruangan. Asap di mana-mana. Botol-botol minuman entah apa menggeletak sembarang di meja. Suara musik yang ingar-bingar mengentak-entak. Beberapa orang menenggak minuman. Beberapa membakar sesuatu. Yang lain asyik mengisap atau head banging.

Randy mengajak Ara masuk lebih dalam, menemui tuan rumah. Tambah jelas bahwa ini bukan pesta kacangan seperti yang selama ini mereka hadiri. Tidak ada teman-teman sebaya, wajah-wajah yang dilihat Ara sejak masuk tadi jelas bukan lagi berumur belasan. Dua puluhan paling nggak. Tapi Randy sepertinya nggak keberatan. Dia terus menarik Ara masuk, sementara jantung Ara mulai berdegup cepat dan kencang.

Ara menarik tangannya kuat-kuat.

Randy berhenti melangkah. Menoleh. Keningnya dikerutkan. Ada apa?

"Aku nggak suka di sini. Kita pulang aja, Ran!" Ara berseru mengalahkan ingarnya musik.

"Nanti," cowok itu menjawab singkat.

Ara menatap Randy. Ruangan yang remang-remang menyembunyikan sebagian wajah cowok itu. Entah itu, atau suasana kelam yang seperti membungkus mereka ini yang bikin Ara sekonyong-konyong tersadar. Bahwa dia nggak ingin berada di sini. Demi apa pun. Dia. Mau. Pulang.

"...Jangan pernah kehilangan diri lo. Jangan. Banyak orang kehilangan diri mereka, entah demi cinta, keinginan orangtua, cita-cita... dan nggak ada yang baik datang dari semua itu. Tidak ada. Kecuali kesedihan."

Ara menarik napas dalam-dalam. Kapan Dion mengatakan itu padanya? Ah. Rasanya sudah lama sekali! Ara pun menguatkan tekadnya yang sering kali rapuh jika dihadapkan pada seorang Randy.

"Aku nggak suka. Aku mau pulang," tandasnya sekali lagi.

Randy sendiri langsung mengerti. Diam-diam dia mengenali tekad yang terwujud perlahan di wajah cewek yang menatapnya lekat-lekat itu. Dia menelan ludah, namun untuk satu detik itu, nyaris tanpa disadari sendiri olehnya, Randy setengah lega melihat keteguhan Ara. Ingin rasanya dia berseru, Ayo lawan aku. Bilang tidak. Selamatkan dirimu, Lexa. Sebelum aku menghancurkanmu.

Tapi... itu hanya sedetik.

Detik berikutnya, keegoisan dan kebenciannya kembali menang, karena sudah kadung dipupuknya selama bertahun-tahun hidupnya. Randy sama sekali nggak suka dengan apa yang dilihatnya.

"Setengah jam," ujarnya dingin. "Kamu tunggu aja di sini," dia menunjuk sofa kosong di tengah ruangan.

Ara nggak bilang apa-apa lagi. Di dalam hati dia masih sibuk membangun keberaniannya untuk pergi dari sana kalau Randy ingkar janji dan nggak muncul-muncul juga. Dia bergidik. Jantungnya terus memburu. Matanya nanar mengawasi sekitarnya.

Tiga minuman. Satu-dua hirup si putih. Randy menatap langit-langit. Ara akan meninggalkannya. Sekarang dia yakin itu. Dan pasti cewek itu akan langsung lari ke pelukan Dion. Bayangan keduanya bergandengan tangan sambil tertawa bahagia seolah mengejeknya. Randy mengumpat dan mengibaskan tangan mencoba melenyapkan bayangan itu. Sialan. Sialan.

"Randy. Ran!" Seseorang tahu-tahu menggoyang-goyangkan bahunya.

Randy membuka mata. Ara.

Sayangkah aku padanya? Bencikah? Dia tidak tahu jawaban keduanya.

Ara menatap dengan sepasang matanya yang besar dan jernih. Memandangnya dengan iba. Randy benci dikasihani. Mau apa sih cewek ini? Pergi sana! Pergi! Jangan ganggu aku!

"Aku mau pulang," suara Ara terasa jauh.

Apa?!

AKU MAU PULANG.

Randy mengangkat tubuhnya. Rasanya aneh. Dipijatnya keningnya dengan telunjuk dan ibu jari. Ara memandangnya sebentar, lalu menoleh dan beranjak pergi.

Mau ke mana dia? Ke Dion? Tidak boleh! TIDAK!

Randy bergegas bangkit dan menyambar tangan Ara. "Kamu pulang sama aku," ujarnya tegas.

Ara meronta. "Kamu mabuk!" tukasnya.

Randy ketawa. Entah kenapa Ara membuatnya geli. Siapa yang mabuk? Yang jelas bukan dia.

"Ayo!" ujarnya setengah menyeret cewek itu.

Ara menolak. Meronta lagi.

Apa-apaan sih! Katanya tadi mau pulang?! Sekarang nggak mau! Jadi maunya apa?! Randy memaksa Ara masuk ke mobil. Lalu dia sendiri menyelinap ke belakang kemudi.

Ara mulai panik. Dia mengedarkan pandang ingin meminta tolong. Beberapa orang tampak di sekitar situ. Asyik sendiri. Tenggelam dalam dunia tak bernama. Tak seorang pun mengacuhkan mereka, apalagi menawarkan bantuan. Ara ganti memandang Randy, tahu benar cowok itu bukan hanya mabuk minuman. Dia pasti telah mengisap sesuatu.

"Randy..."

Tapi Randy nggak peduli. Mereka ngebut. Melesat. Seperti angin.

"Randy..." Ara sekali lagi mendesah tak berdaya. Dia berpegangan erat-erat. Jantungnya berdegup gila-gilaan. Ketakutan mencengkeramnya amat sangat.

"Kenapa? Takut? Kamu mau lari ke mana? Ke Dion? Ya, kan? Pasti ke Dion," Randy mulai meracau.

Ara mengatupkan rahang erat-erat. Dia terkesiap ngeri. Dia sama sekali nggak ngerti kenapa Randy bicara seperti itu.

Kenapa dia hanya menemukan kebencian di wajah Randy? Di dalam nada suaranya? Mungkinkah dia telah keliru selama ini, mengira cowok ini mencintainya?

"Ayo ngaku! Ya, kan? Kamu mau kita putus supaya kamu bisa ke Dion, ya kan?!" berondong Randy gusar.

"Randy! Aku sayang..."

Randy mengibaskan tangan dengan kasar. "Nggak ada yang sayang aku. Nggak pernah ada. Jadi, nggak usah repot-repot berbohong!" sergahnya.

Ara terdiam. Air mata mengalir perlahan membasahi pipinya. Dia nggak benar-benar mengerti mengapa dirinya menangis. Dia hanya merasa sedih. Untuk dirinya yang mencintai Randy. Untuk Randy yang terperangkap dalam kebencian dan peperangan batinnya sendiri...

"Tapi kalau kamu berpikir aku akan melepaskan kamu begitu saja, kamu keliru, Lex. Nggak bakal!" Tawanya lagi-lagi pecah. Tawa yang kosong. Tawa yang getir.

Terdengar suara decitan yang menusuk telinga.

Disusul guncangan sangat keras dan suara yang seolah menjerit memecahkan keheningan malam.

Lalu segalanya gelap.     

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro