2b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kimi membaca SMS yang baru diterimanya. Mau nggak mau bibirnya tersenyum. Rasanya menggelikan banget nerima SMS-SMS kayak begini. Sudah sebulanan hal ini berlangsung. Dan kalau awalnya SMS-SMS ini cuma datang sesekali, sekarang malah rutin setiap hari. Semua datang dari nomor yang sama. Pernah nih Kimi coba-coba menghubungi nomor itu, dengan niat ngamuk-ngamuk kesetanan. Tapi nggak diangkat. Sebagai gantinya, beberapa kali SMS-SMS itu dibalas Kimi dengan jutek dan nyolot:

Ini siapa ya?

Iseng banget! Ini pasti bukan cowok betulan. Ya kan?

Ngumpet aja bisanya.

Lo pasti jelek banget, ya kan? Beraninya cuma SMS.

Juga berbagai SMS galak nan bengis lainnya. Tapi nggak ada yang mempan tuh... karena SMS-SMS selanjutnya terus aja mengalir dengan lancar. Sampai Kimi capek jutek terus. Curiga terus. Lagian, meskipun kayaknya iseng, isi SMS-SMS itu selalu manis, bahkan kadang juga bagus dan ngasih semangat. Lama-lama akhirnya Kimi terbiasa juga dan bisa menerima SMS-SMS itu tanpa merasa terlalu terganggu.

Dulu nih, satu-dua minggu pertama, tanpa cerita tentang SMS-SMS gelap itu, Kimi masih tanya ke teman-teman lain---termasuk Ara dan Monik---apakah ada yang mengenali nomor si pengirim SMS. Hasilnya nol besar.

Ada juga masanya dia sering duduk di bangku koridor depan kelas, sekadar memperhatikan orang yang lalu-lalang, mencurigai siapa kira-kira yang cocok jadi pengirim SMS misterius itu. Tapi itu pun nggak bertahan lama. Kimi pikir, kalau dia nggak menganggap penting SMS-SMS itu, kenapa pula dia harus buang-buang waktu kayak gitu.

Sampai sekarang dia belum cerita sama sekali ke Ara dan Monik. Dia nggak mau kedua temannya pada heboh. Bisa-bisa itu malah merugikan Kimi, dan bikin si pengirim SMS berasa dapet angin. Jadi Kimi memutuskan untuk menyimpan rahasia ini sendiri. Seenggaknya untuk sementara.

Tapi toh dia tersenyum membaca SMS terakhir:

Senyum dong. Senyum kamu bikin matahari makin ceria.

Gombal, Kimi tahu itu. Tapi tetep aja bikin bibirnya tersenyum.

Dia mendongak dari HP, lalu setelah ragu sejenak, balas melambai. Di kejauhan tampak Kev, salah satu cowok kelas dua belas berotak paling encer, berjalan diapit dua cheerleader paling populer sesekolahan---Nina dan Dian.

Kimi tersenyum. Dasar playboy cap es mambo, pikir Kimi. Udah diapit dua cewek cantik pun masih sempat-sempatnya melambai ke Kimi. Padahal suwer deh, Kimi nggak pernah benar-benar kenal sama cowok itu. Mereka hanya temenan di FB, itu pun Kev duluan yang meng-add dan Kimi nggak enak kalo nolak, secara cowok itu selalu melambai padanya setiap kali ketemu atau sekadar tersenyum. Lagi pula, Kev kan kakak kelas dua belas.

Tapi sejujurnya, Kimi nggak pernah punya temen cowok. Yang deket, maksudnya. Kimi cuma bergaul sekadarnya sama cowok-cowok. Buat Kimi, cowok berarti masalah. Setidaknya begitulah yang diyakininya selama ini.

Nggak usah jauh-jauh, lihat aja Ara. Gonta-ganti pacar, dan akibatnya nilai-nilainya jatuh kayak daun berguguran. Cowok bisa datang dan pergi, tapi nilai-nilai jeleknya itu kan nggak bisa dihapus begitu aja dari rapor. Hhhhh... tapi memang dasar Ara susah dibilangin, desah Kimi dalam hati.

Sekarang Nina ikutan nengok ke arah Kimi, jadi Kimi buru-buru menurunkan tangan dan mengalihkan pandang, dan... melihat sosok yang tergopoh-gopoh di kejauhan.

"Ara!" suara Kimi yang sedikit cempreng ngalahin semua kebisingan jam istirahat pagi itu. Dia memasukkan HP-nya ke saku tas.

Ara menoleh dan melihat Kimi berjalan mendekat, rambutnya yang pendek ikal bikin wajahnya yang manis kelihatan makin mungil saja. Kimi manis, sangat manis. Sayangnya yang punya wajah nggak pernah tahu, pikir Ara. Atau mungkin tahu, tapi sengaja ngumpet di balik penampilannya yang sangat nggak trendi: kacamata tebal jelek yang kemungkinan besar warisan neneknya. Dan, uh... sepasang matanya yang besar dan menyorotkan kecerdasan itu lebih sering dingin jika dihadapkan ke cowok-cowok.

Menurut pengakuan Kimi sih, itu perlu supaya cowok-cowok jadi nggak kepingin nyoba PDKT atau naksir segala. Repot. Padahal dengan sikap dingin itu, siapa juga cowok yang niat deketin Kimi. Temennya yang satu ini emang aneh. Kalo ditanya, jawabnya ya itu-itu aja: kepingin fokus sama pelajaran. Katanya sih, cowok dan cinta cuma penghalang. Dan makhluk-makhluk yang sebaiknya disingkirkan sejak awal, nggak usah dicoba-coba dijajal jadi teman segala.

"Kenapa sih semboyan hidup lo aneh gitu, Kim?" pernah suatu hari Ara nanya. Dia, Kimi, dan Monik memang deket sejak SMP dulu. Jadi di SMA, walaupun nggak pernah sekelas, mereka tetep akrab. "Gara-gara cinta pertama lo kandas waktu kelas delapan dulu itu? Sama siapa tuh? Si..."

"Jopra!" sambung Monik antusias.

Wajah Kimi langsung merah padam.

"Kalo gue bilang iya, kalian bakal berhenti bahas itu apa nggak?" tukas Kimi judes. Dia paling nggak suka kalau topik itu diungkit-ungkit.

"Yaaah, gitu aja marah! Jopra itu nggak penting, Kimi! Cowok cungkring yang cuma ngerti bolos sama nyontek gitu. Banyak Jopra-Jopra lain kalo lo mau! Tinggal pungut! Nah, kalo lo tuh baru deh, jempol! Pernah jadi ketua OSIS, bintang seangkatan, cemerlang di mana-mana. Dia yang rugi pas kalian bubar jalan, bukan sebaliknya...," ujar Ara panjang-lebar.

"Gue udah tahu kok! Gue cuma nggak mau bahas nama itu lagi. Titik! Masa gitu aja susah banget sih kalian nangkepnya?" sergah Kimi seraya pergi meninggalkan Ara dan Monik, yang bengong dan bingung kenapa reaksi Kimi lebay banget gitu.

Sekarang cewek bernama Kimi itu sudah berdiri di depan Ara, lengkap dengan pantat botol berbingkai kusam yang duduk manis di hidungnya. Duh, kalau Ara punya wajah semanis itu, otak seencer itu... nggak bakal dia mau jadi ceweknya Doddy si mata keranjang itu! Dia bakal ngejar cowok-cowok kualitas nomor satu. Para bintang basket, para bintang renang, para...

"Lo dicariin Dion Herder tuh." Tiba-tiba pikiran ngelantur Ara dibuyarkan kata-kata Kimi.

"Ntar aja. Sekarang gue mesti ngadep Kepsek. Lebih penting!"

"Nggak mungkin karena lo mau dikirim jadi wakil sekolah buat pertandingan apa gitu, kan?" sindir Kimi.

Ara menghentikan langkah. "Sayangnya bukan, Kimi. Itu mah elo. Gue... gue..."

Huaaaaaaaa! Tangis Ara tahu-tahu tumpah ruah. Sejak baca surat sakti itu semalam, hatinya langsung galau. Nelepon Kimi, nggak aktif. Nelepon Monik, masuk voice mail. Nyebeliiiiiin! Itulah nggak asyiknya jadi jomlo. Nggak ada yang stand by setiap kali dia galau dan butuh curhat.

"Ssst... ssst... kenapa? Ara? Lo kenapa?" bujuk Kimi seraya memeluk sahabatnya itu, menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan.

"Su...su...rat. Su...su...rat," bisik Ara di tengah tangisnya.

"Surat apaan? Surat cinta?"

Ara menggeleng.

"Surat kaleng?"

Gelengan lagi.

"Surat ancaman?"

Gelengan. "Makin ngaco. Ini nih...," ujar Ara seraya mengeluarkan surat yang udah lecek dari saku ranselnya. "Dari Kepsek. Buat Bo...bokap. Biasa deh. Soal nilai."

Dia mengusap air matanya dengan lengan baju, terus duduk di pinggir bak tanaman, sama sekali cuek bak tanaman sungguh nggak pernah cocok sama rok putih.

Kimi membuka surat itu, membaca sebentar. Lalu mengulurkan sebelah tangannya ke Ara dan mengajak cewek itu ke rerumputan teduh di bawah pohon tua yang rindang di sebelah perpustakaan. Untung di situ sepi.

"Tapi kan lo udah tahu kalau nilai-nilai lo pada anjlok...," bisik Kimi lembut.

"Ya sih."

"Terus, kenapa lo kayak shock gitu? Dimarahin Bokap?"

Ara menggeleng pelan. "Kalau dimarahin sih gue udah biasa."

Ditatapnya Kimi dalam-dalam, matanya masih berkaca-kaca. "Yang bikin nggak enak hati itu justru karena Bokap nggak marah, Kim." Ara mendesah panjang. "Gue nggak nyangka Bokap bakalan tahu. Kasihan, tahu."

Kimi menghela napas dalam-dalam. "Ya kalau kasihan sama Bokap buruan aja lo perbaiki nilai-nilai lo, Ra."

"Ya sih."

"Terus?"

"Gue males kalo dipasangin B-M sama Dion."

Lah, apa hubungannya? Alesan! pikir Kimi.

"Gue denger-denger, dia paling oke lho soal urusan B-M. Semua adik kelas yang jatuh ke tangan dia selalu berhasil, Ra."

Ara diam. Lalu berbaring telentang di atas rumput yang empuk. Langit sedang bersahabat, angin bertiup sepoi-sepoi. Ara memejamkan mata, diam-diam berharap semua masalahnya bisa lenyap terbawa embusan angin. Dia kangen Mama.

"Ara?"

"Gue diledekin gara-gara urusan si Herder. Katanya semua juga tahu, kalau sampe dipasangin sama si Herder, itu artinya gue bolot. Berarti gue tuh kasus paling parah. Mission Impossible. Jadi berasa jadi orang paling bloon banget gue di sekolah ini."

Kepingiiiiin banget Kimi ketawa ngakak. Ara memang aneh. Sering banget kelihatannya nggak peduli sama omongan dan anggapan orang tentang dirinya. Tapi kadang-kadang, kayak sekarang, terbukti tuh anak nggak sepenuhnya cuek bebek.

Padahal kan masih lebih mending dianggap bolot daripada bolot beneran, terus jadi murid veteran alias nggak naik kelas. Ih. Kimi geli sendiri.

Tapi langsung aja dia urung ketawa waktu lihat wajah Ara yang ditekuk ketat. Wajah yang biasanya penuh tawa dan matanya yang kerap berkilat jail itu sekarang kelihatan muram.

Sejak Kimi kenal Ara di SMP dulu, nggak sekali pun Ara pernah kesulitan di bidang akademik. Nilai-nilainya memang nggak yang tertinggi, tapi itu karena dia nggak pernah belajar serius. Segala sesuatu sepertinya dipandang enteng, semua dinikmati dan dicoba, sesukanya, seenteng tawanya setiap kali gagal atau langkahnya terhambat. Seolah dia nggak kenal susah. Padahal anak itu kehilangan ibunya tujuh tahun yang lalu.

Duh, tahu nggak sih lo sering banget bikin gue iri, Ra? batin Kimi. Lo begitu santai dan bisa sesuka lo... meskipun kalau dilihat sekarang, Kimi ogah juga jadi Ara.

"Kim...," ujar Ara seraya membuka mata. "Kok lo diem aja sih? Menurut lo gimana? Gue mau ngadep Kepsek nih, supaya gue bisa ganti pasangan B-M-an."

"Emangnya boleh ganti pasangan?"

Nggak juga sih. Tapi gue kan mesti usaha dulu, pikir Ara. Siapa tahu kalau dateng pake nangis buaya, Bapak Kepsek bakalan luluh hatinya.

"Siapa aja sih anak kelas dua belas yang jadi pembimbing B-M?" tanya Kimi lagi.

"Anthony Maha XII F, Kevin Wibawa XII A, Lucy Surya XII E, Elfrida Sirait XII B, sama Dion. Yang lain udah penuh. Mending gue pindah ke siapa nih?"

Hmmm... Kimi menimbang-nimbang empat kemungkinan itu. Lucy pinter, tapi kurang bisa ngajar, konon begitu katanya. Frida entah kenapa cuma manis sama cowok, kalo sama cewek bawaannya kayak pembunuh berantai gitu. Jadi mending dicoret.

Tony... hmmm... sebenernya oke, tapi cowok itu pernah nembak Ara, jadi mending nggak usah ngusulin dia. Ntar malah akhirnya jadian dan bukan belajar. Berabe. Hmmm... Kev? Di mana-mana cowok itu selalu dikelilingi cewek-cewek. Jangan-jangan playboy beneran, jadi mending nggak usah direkomendasiin aja sekalian. Salah-salah yang encer bukan cuma otak, tapi juga rayuannya kelewat licin, trus jari-jarinya... hadeeuuh.

"Nggak mau coba dulu sama Dion? Siapa tahu tampangnya aja menipu! Siapa tahu ternyata dia hangat dan ramah," bujuk Kimi lagi.

Mendengar itu Ara memonyongkan bibir.

"Maleeessss bangeeeetttt! Gue udah survei tentang dia, Kimi! Yang suka sama dia cuma anak-anak kayak lo! Yang tipe gue langsung jiper!"

"Maksud lo kayak gue gimana?" tanya Kimi tersinggung.

"You know-lah! Tipe-tipe haus jadi juara gitu. Atau kalaupun bolot tapi serius kepingin mengubah nasib. Nggak kayak gue. Mampus aja gue dipasangin sama dia! Kimiiiii! Gue nggak mau dipasangin sama DION HERDER!"

"Nama gue Dion Nathanael."

Deg.

WHAT?! Kimi---apalagi Ara---langsung kalap, duduk, trus melotot kayak ikan keselek. Seraut wajah dingin dengan rambut kriwilnya menatap nggak pake ngedip. Sial sial sial sial! maki Ara dalam hati. Udah dari kapan nih makhluk galak berdiri di situ?

"Eh, eh... Katanya...katanya lo nyari gue?" Ara salah tingkah.

"Sebenernya kalo lo keberatan dipasangin sama gue, tinggal ngomong kok. Tapi jangan seenaknya nggak pernah muncul padahal lo udah tahu jadwalnya. Delapan kali gue nungguin lo," suara yang dalam itu berkata datar.

"Uh, eh, iya... maaf. Gue kebanyakan kegiatan. Suka lupa."

"Kalo soal kegiatan, gue juga punya kegiatan selain nungguin lo muncul," tukas cowok itu, masih tanpa emosi.

Dan entah kenapa, ucapannya yang datar dan seolah tak acuh itu malah menyulut perasaan jengkel Ara. Entah kenapa dia jadi berasa dituding-tuding gitu, padahal dalam hati dia berasa kesalahannya nggak seberapa.

Ya, ya, gue salah, tapi nggak segitunya juga kali... tukas Ara, tapi cuma berani di dalam hati. Di luar dia pasang tampang jutek.

Cowok itu mengangkat bahu acuh tak acuh, terus bersiap berbalik akan pergi.

Dan entah datangnya dari mana, tahu-tahu aja, "Emang apa sih kegiatan lo sampe segitunya lo marah? Yang jelas nggak mungkin di sekolahan kan, secara gue kenal semua orang yang punya andil di kegiatan sekolah ini. Ya, kan?" cerocos Ara meremehkan.

Cowok itu mengerutkan kening. Lalu matanya mengeras. Bibirnya yang tanpa senyum membentuk garis tipis, dan rahangnya yang kokoh bagai dikertakkan. Seolah-olah dia sampai harus menguras tenaga untuk menahan emosi yang bergejolak di dada.

Nggak sepatah kata pun dilontarkannya untuk membalas serangan Ara. Dan entah kenapa, itu semakin membuat kejengkelan Ara berkobar-kobar, jenis kejengkelan yang biasanya mengikuti perasaan bersalah.

"Ya, kan? Paling-paling kegiatan lo B-M-an doang... Ap..."

"Gue saranin lo lapor aja ke Kepsek kalo mau tukar pasangan. Biar cepet beres masalah lo."

Dion menelan ludah, dan terdiam sebentar. Lalu tanpa ba-bi-bu cowok itu berbalik dan berlalu, meninggalkan Ara mati gaya dengan dada sesak oleh emosi yang nyaris meledak kayak petasan mercon.

"Huh! Songong banget! Mentang-mentang pinter!" gerutu Ara begitu Dion berbelok di koridor perpustakaan.

Mendengar itu Kimi menghela napas dalam-dalam. "Tersinggung kali, Ra. Dia nggak salah apa-apa lo udah kayak kebakaran jenggot gitu nolak bantuan dia. Cuma gara-gara dia orangnya kaku dan beda sama lo. Trus dia ngomong sedikit aja langsung lo serang gitu..."

Ara bersedekap dan memandang Kimi penuh kejengkelan.

"Kenapa lagi?" tanya Kimi.

"Lo temen gue apa temen dia sih?!" bentak Ara.

"Temen lo!" sahut Kimi.

"Ya udah, nggak usah panjang-panjang gitu belain dia."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro