9A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Kalau Sabtu dan Minggu masuk hitungan, berarti udah seminggu SMS-SMS itu pada piknik entah ke mana. Mungkin udah lupa alamat menuju inbox Kimi. Mungkin juga udah bosan karena nggak pernah disahuti.

Kimi menghela napas dalam-dalam. Setiap kali Ara dan Monik tanya apa ada SMS baru, Kimi cuma menggeleng pelan. Semalam lagi-lagi dia nggak bisa tidur. Menimbang. Ragu. Trus dengan berat hati diambilnya HP, lalu setelah menekuri layar HP yang kosong, dia pun membuka SMS-SMS itu satu demi satu.

Gimana hari ini? Jangan lupa, ada orang-orang yang hadir dalam hidup kita sebagai berkat, ada juga yang datang untuk menjadi pelajaran.

Pencet. Delete.

Semoga hari ini mataharimu cerah, langitmu biru, dan awanmu putih.

Pencet. Delete.

Ada orang di luar sana yang selalu mendoakan kebahagiaanmu. Ayo, senyum!

Pencet. Delete.

Tawamu selalu dan selalu menciptakan pelangi.

Pencet. Delete.

Semoga hari ini senyummu mengisi seluruh jiwamu dan membuatmu bahagia.

Pencet. Delete.

Trus begitu, sampai akhirnya inbox-nya kosong-melompong. Sekosong hatinya. Yang nyebelin, meskipun hatinya kosong, bukan berarti pikirannya tenang. Nggak berarti pelajaran yang dia baca semalaman dapat tempat lega di otaknya dan bisa nyangkut dengan sukses. Sebaliknya, malah nggak satu pun bisa nyangkut. Bikin jengkel. Bikin frustrasi. Bikin kesal. Bikin panik. Kalo besok nggak ada ulangan sih nggak pa-pa. Lah, kalo kayak sekarang? Kan bikin pengin jambak-jambak rambut aja. Keseeeeeeeellll!

Tiba-tiba jendela kecil di kanan bawah halaman FB-nya ngedip. Kev. Tumben. Kimi mengklik.

Kevin

Lagi ngaps?

Kimi menimbang-nimbang. Lalu menoleh ke belakang. Pintu kamar tertutup. Tidak mungkin tahu-tahu Mama dan Papa nongol di sana, kan? Hal terakhir yang diinginkan Kimi sekarang adalah kepergok chatting sama cowok. Bisa panjang urusannya. Dia kembali memandang layar komputernya. Jemarinya siap di atas tuts. Jawab. Nggak. Jawab. Nggak.

Kimi

Bete. Bsk ul Fis. Nggak nyangkut.

Kevin

Sini gue ajarin. Pel ke-brp?

Kimi

Dua.

Kevin

Bsk pg2 klo mau.

Kimi

Serius lo?

Kevin

Yup.

Kimi ragu lagi. Rasanya dia nggak kepingin dicibir orang lain karena ketahuan dapat "bimbingan" dari kakak kelas. Nggak ada bedanya sama Ara dong! Padahal selama ini Kimi telanjur terkenal sebagai si otak encer sejati, bukan hasil pupukan orang lain atau semacamnya gitu.

Dia terdiam. Dan merasa aneh sendiri saat menyadari jalan pikirannya. Aneh. Dia baru tahu dirinya segitunya mementingkan reputasi. Mementingkan pandangan orang terhadap dirinya. Padahal nggak ada salahnya juga nerima bantuan orang, kan? Dan... harus diakuinya, ternyata butuh keberanian besar untuk menerima bantuan orang lain. Setidaknya bagi Kimi.

Kevin

Kim?

Kimi

Ok. Thx, Kev.Bsk pg kalo gt.

Kevin

Ok. Di koridor lab ya. Biar sepi.

Kimi

Noted.

Bahkan waktu chatting mereka selese, Kimi masih aja mengerutkan kening. Pertama, dia nggak bener-bener kenal cowok yang namanya Kev ini. Murni cuma temen di FB. Nggak pernah kopi darat kecuali dadah-dadahan berhadiah pelototon Nina dan Dian dan Nindy dan Riska. Pokoknya cewek-cewek high class yang kinclong-kinclong itu deh. Terus tahu-tahu besok janjian ngajarin Kimi, gitu?

Hmmm... Kimi mengangkat bahu seraya mematikan komputer. Mematikan lampu kamarnya. Mematikan pikirannya. Dua yang pertama berhasil, tapi pikirannya entah kenapa nggak mau dimatikan juga, bikin tidur nggak datang-datang.

Dia menatap nyalang dalam kegelapan. Ketika sendirian dengan dirinya seperti sekarang ini, Kimi harus mengakui, dia kehilangan si pengirim SMS karbitan itu. Dan ya, dia mulai menyukai perasaan-perasaan yang diterbitkan SMS-SMS itu.

Pikirannya berhenti berdesing. Diam. Namun waspada, seolah tahu apa yang bakal muncul setelahnya: kebenaran. Suara hati kecilnya. Yang kerap mengingatkan Kimi pada janjinya.

Sebelum ini, Kimi nggak pernah menyesal bikin janji itu pada Mama dan Papa. Dia bahkan nggak pernah menganggap janjinya sebagai beban, meskipun saat itu dia terpaksa melepaskan Jopra, cowok pertamanya. Cinta monyetnya waktu kelas tiga belas dulu. Sebab Kimi percaya janjinya memang benar.

Kimi bangkit dan turun dari tempat tidur. Lalu menyeret kursinya ke depan jendela. Nyaris tak terlihat apa-apa dari sana, kecuali sepotong kecil langit dengan bulan yang terang benderang, yang cahayanya menyeret hidup semua yang dijeritkan hati kecilnya selama sebulan belakangan ini.

"Mama sama Papa hanya ingin kamu janji satu hal, Kimi. Jangan membuka hati kepada anak laki-laki, setidaknya sampai usiamu matang. Sampai kamu selesai studi. Sampai kamu siap. Tidak perlu bergaul dengan mereka. Jauhi dulu. Itu saja. Maukah kamu berjanji?" Papa berkata hampir empat tahun yang lalu.

Waktu itu Kimi baru duduk di kelas tujuh. Dia menatap wajah ayahnya yang sarat kesedihan. Papa balas menatapnya, dan mungkin dia juga menemukan kesedihan di wajah Kimi, karena setelah sejenak, dia memeluk Kimi. Ketika itu, mereka baru saja kehilangan Biyan, kakak Kimi satu-satunya.

Dan kehilangan orang yang kita sayangi selalu memberikan efek seperti habis disambar petir. Apalagi jika mendadak. Saat usia orang itu masih belasan tahun. Dan... ini yang paling menimbulkan perih: kematian itu diputuskan dalam keadaan putus asa, seorang diri, terperangkap dalam belitan masalah yang disimpan Biyan rapat-rapat, tanpa jalan keluar.

Ya. Biyan hamil. Di saat usianya belum genap enam belas. Siapa yang menghamilinya, sampai sekarang tak ada yang tahu. Biyan begitu pandai menutupi semuanya.

Tak seorang pun mengira dia menanggung beban seberat itu. Biyan tetap rajin ke sekolah. Yang berbeda hanya satu: nilai-nilainya mulai terjun bebas, padahal selama hidupnya BIyan dikenal sebagai murid brilian. Supel. Dan luar biasa cantik. Kebanggaan keluarga. Kebanggaan adiknya, Kimi.

Kimi menarik napas dalam-dalam. Malam ini bakal panjang, bahkan bulan purnama pun tak sanggup mengusir bayang-bayang gelap dari benaknya. Kimi ingat dia mengangguk berkali-kali, memberi jawaban atas janji yang ditagih Papa Dia ingat, jawaban itu diberikannya dengan sepenuh hati, karena dia sendiri percaya bahwa itu adalah langkah yang benar. Yang seharusnya juga dipegang BIyan.

Tapi... mengapa sekarang janji itu terasa seperti beban? Mengapa sekarang janji itu seolah memisahkan diri darinya, atau tepatnya, mengapa sekarang dia seolah memisahkan diri dari janji itu? Seolah janji itu nggak lagi satu pikiran, satu tujuan, satu hati dengan dirinya?

Kimi sungguh nggak ngerti. Dan tersiksa. Bahkan bayangan kakaknya dan seluruh kisah sedih yang mengantar Biyan pada kematian nggak sanggup meneguhkan hati Kimi untuk memegang janjinya sekuat dulu.

Ah, sedahsyat itukah dampak SMS-SMS gelap? Ironis! Sekali lagi dia menghela napas dalam-dalam, lalu menjauh dari jendela dan kembali ke tempat tidurnya. Kimi tahu dia harus mengambil keputusan tegas. Demi kebaikannya sendiri.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro