ᴀɴᴅʀᴇs's sɪᴅᴇ (01)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

secretalove
Point of View Author

Jakarta, 2 setengah tahun lalu.


"Pemirsa kebakaran terjadi di pemukiman padat penduduk di jalan Penata Kemerdekaan, Jakarta Timur. Untuk mengetahui informasi terkini kita terhubung dengan rekan Imel Chelliana. Selamat malam, Imel. Seperti apa kondisi terkini? Apa api sudah berhasil dilokalisir?"

"Ya. Selamat Malam, Annida. Kini kami melaporkan langsung dari Jalan Penata Kemerdekaan. Kita bisa lihat di belakang kami ini api masih terlihat. Namun, petugas pemadam kebakaran sudah mencoba memadamkan api yang ada di pemukiman warga. Informasi awal, api berasal dari sambungan arus pendek dan cepat merambat karena jarak antara rumah yang berdekatan.

Sampai saat ini, dinas pemadam Provinsi DKI Jakarta, sudah mengerahkan cukup banyak mobil pemadam kebakaran juga puluhan petugas yang masih berjibaku untuk memadamkan dan upaya pencegahan agar api tidak semakin meluas. Dan untuk mengenai korban jiwa, kami belum dapat mengkonfirmasi apakah adanya korban jiwa, meski kerugian mencapai ratusan juta rupiah. Laporan langsung dari Jalan Penata Kemerdekaan, Jakarta Timur."

Laki-laki berusia dua puluh sembilan tahun yang tengah memegang sebuah kamera mengacungkan jempol, memberikan kode agar reporter yang sejak tadi tersorot kameranya sedikit bergeser.

Tanpa menggeser badan kamera yang ia gunakan, Andres--laki-laki yang berprofesi sebagai camera person--mengambil gambar focus agar frame mendekat pada sasaran rumah yang berada di sisi depan.

Bulir keringat merangsek karena udara panas akibat kobaran api yang menjilat bangunan yang sudah setengah hangus. Alisnya bertaut, bukan satu-dua kali ia melihat kejadian seperti ini. Meski menyedihkan, tetapi melihat banyak orang kehilangan pengharapan adalah rutinitas yang kerap ia lakukan.

Dengan telapak tangan yang basah, ia menekan tombol zooming pada Sony HVR-HD 1000 P yang ada digenggamannya. Sorot mata tajam yang sejak tadi fokus tiba-tiba melebar ketika menangkap sosok yang ia sendiri tidak percaya terlihat pada view finder ketika ia menempatkan mata pada eyecup.

"Mel! Mel!" Andres berseru. Wajah laki-laki itu terlihat panik ketika menatap Imel dan meminta perempuan yang satu tim dengannya itu untuk mendekat.

"Kenapa, Bay?" Imel panik sendiri. Tidak biasanya laki-laki yang masih berprofesi sebagai camera person itu terlihat sangat ketakutan.

"Ilham, bilang sama petugas kalau di sana ada anak kecil. Dia butuh evakuasi secepatnya."

Andres menginstruksikan. Bulir keringat keluar lebih banyak dari pelipisnya ketika melihat sosok tidak berdaya di sana.

Laki-laki yang dipanggil Ilham itu berlari, mendekat ke bibir police line yang dipasang untuk menghampiri salah satu petugas pemadam kebakaran. Namun, nihil. Semua sibuk karena api menjalar pada gardu listrik dan menimbulkan ledakan juga api yang semakin besar.

Merasa tidak ada harapan, Ilham--junior Andres--menggeleng pada laki-laki yang menginstruksikannya memberi informasi.

Sial! Andres tidak bisa jika harus diam saja. Ini bukan masalah siapa yang bertanggung jawab, tetapi masalah kemanusiaan jika ia diam saja melihat bayi yang ia kira berusia dua tahun itu mati begitu saja. Tidak! Andres tidak akan sampai hati.

Oleh karena itu, laki-laki yang sejak tadi mengeraskan genggaman pada kamera itu bergerak, mematikan benda hitam yang bertengger di pundak dan memberikannya pada Imel sebelum berlari ke arah sumber air yang dibuat warga untuk membantu memadamkan api, mencelupkan jaket yang sebelum ia kenakan dan berlari menerobos garis polisi.

Sempat terjadi baku hantam karena petugas polisi melarangnya masuk. Akan tetapi, perempuan yang bertugas sebagai reporter kali ini membantunya melawan petugas keamanan.

Kejadian itu tak pelak menjadi sorotan warga dan media lain. Teguran atasan menunggu mereka setelah ini.

****

Ini adalah waktu terlama yang harus Andres dan Imel tunggu, setelah melawan petugas keamanan, dengan panik laki-laki itu memasuki bangunan panas dan menghampiri apa yang tadi ia lihat. Seorang bocah berusia dua tahun dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Dadanya penuh tiba-tiba saja dipenuhi oleh sesak. Bukan! Bukan karena kepulan asap yang menyelimuti. Demi apa pun, ia sudah terbiasa dengan satu bungkus rokok jika sedang libur atau berita kebakaran jika sedang bekerja. Jadi, asap apa yang dapat mempengaruhinya?

Sesak itu timbul lantaran mengingat kejadian masa lalu ketika sang adik hampir mati karenanya. Bayangan menyeramkan melintas begitu saja, bagai video rusak yang berulang-ulang diputar tanpa henti. Tidak boleh ada nyawa yang pergi sia-sia.

Tanpa menghiraukan panggilan siapa pun, Andres berlari seperti orang kesetanan, menyebrang sembarangan hingga pengemudi angkot berhenti tiba-tiba dan menghardiknya.

Sekarang, ketika sampai di sebuah rumah sakit dengan terengah-engah. Ia dipaksa menunggu, menunggu akan jawaban yang ia harap itu bukan kabar buruk. Tangannya tiba-tiba saja bergetar, buliran keringat masih setia merembes dahi pelipisnya meski suhu ruang tunggu bagian IGD dilengkapi pendingin sentral.

"Kalian berdua ini bener-bener, ya!"

Seseorang datang kemudian menghardik secara sepihak. Setelannya rapi, lengkap pomade yang membuat rambutnya senantiasa dalam keadaan rapi. Awalnya, laki-laki itu ingin melanjutkan amarahnya. Namun, terpaksa ia telan kembali saat sosok berbaju hijau dengan masker keluar dari pintu kaca buram.

"Siapa penanggung jawabnya di sini?" Andres dan Imel berdiri. Sementara Afriandar--pimpinan mereka--ikut maju karena terlanjur penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kami reporter yang lagi tugas di lokasi kebakaran, Dok. Dia korban kebakaran di perkampungan depan." Andres menjawab.

Dokter jaga itu hanya tersenyum. "Ahh, iya. Saya lihat beritanya di televisi." Dokter itu mengangguk. "Ada dislokasi pada bagian kaki kanannya. Untuk lebih lanjut, kita akan melakukan CT Scan untuk tahu seberapa parah kerusakannya dan kalau masalah paru-paru, kami sudah bantu dengan oksigen. Saturasinya juga masih normal. Untuk organ vital lainnya masih dalam pantauan."

Helaan napas lega menjadi jawaban akan kekhawatiran yang sejak tadi membungkus mereka. Sang dokter pun memperbolehkan mereka masuk, meski dibatasi untuk dua orang.

Imel menunggu di luar, Afriandar berhak tahu kenapa mereka melanggar SOP kerja dan memberontak pada petugas keamanan. Bahkan, karena panik Andres mengabaikan ambulans yang berjaga di sana dan memilih berlari menuju IGD terdekat. Sejujurnya, tindakan itu sangat melanggar aturan. Karena bisa saja Andres justru mencelakakan korban itu ketika di perjalanan.

Ketika keduanya keluar, sudah ada Ervin yang menyusul setelah jam kerjanya habis. Laki-laki berdarah Tiong Hoa itu menatap khawatir, sepertinya akan ada masalah besar yang Andres dan Imel hadapi setelah ini.

"Gimana?" tanya Ervin. "Tadi gue telpon Nara, tapi nggak diangkat-angkat."

"Jangan telpon Nara, Vin. Dia, 'kan, lagi cuti, lagian baru kemarin dia resepsi masa udah lo suruh kerja." Andres memberi alasan dan melarang Ervin mengabari Nara. Biar ini menjadi masalahnya sendiri. Akan tetapi, laki-laki yang baru saja dibicarakan tiba-tiba menelpon Ervin kembali.

"Angkat aja. Alesan, kalo tadi lo lupa naro barang gitu, sekarang udah ketemu." Imel mengusulkan.

Ervin mengangguk dan menjauh ketika menerima telepon dari Nara. Selesai memberi alasan, Ervin kembali dengan wajah khawatir yang kentara. Ia menatap semua rekannya dengan ragu kemudian menggaruk tengkuknya.

"Kalian bertiga tadi diminta direksi datang ke kantor besok pagi."

Sepertinya sidang akan segera dimulai. Mereka harus mencari siasat agar dapat selamat dari sidang. Imel yang paling khawatir saat ini. Kemarin malam--ketika mereka pulang dari acara resepsi pernikahan Nara dan Maudy--Andres bercerita tentang rencananya memulai usaha coffeshop. Perhitungannya sudah matang, laki-laki itu mengatakan sudah mengambil langkah berani dengan menggadaikan rumah tua peninggalan sang kakek untuk memulai usaha karena ia pun masih memiliki penghasilan tetap.

Namun, bagaimana caranya ia dapat membayar pinjaman ke bank jika laki-laki itu kehilangan pekerjaannya? Oleh karena itu, Imel mengusulkan agar Andres mengatakan pada pihak terkait bahwa ia melakukan itu atas dasar perintah Imel.

Usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Andres. Ia yang bersalah di sini. Jadi sudah sepantasnya ia yang menerima hukuman.

"Trus lo mau bayar cicilan lo dari mana? Ngepet?" Imel menukas tegas. "Tenang aja, gue udah dapat jalan keluar kalau seandainya gue harus resign. Yang penting, lo jangan terlibat apa pun. Lo tahu, 'kan, gue emang mau resign udah lama."

Andres tahu, lebih dari siapa pun. Bahwa keputusan Imel mengajukan diri bukan semata-mata menolong Andres, tetapi juga menolong hatinya yang belum dapat menerima kenyataan bahwa bukan ia pilihan Nara.

Mengingat acara pernikahan Nara, Andres seketika teringat akan satu buah senyum yang mungkin ia akan jadikan favorit. Gadis lucu dengan tingkah laku seperti anak kecil itu membuat ia ikut mengembangkan senyum.

Sebelum ini, Nara pernah mengenalkan Andres pada gadis yang sedang asik dengan orang tuanya itu. Namun, seperti anak kecil biasanya. Gadis itu tidak suka dikenalkan dengan orang yang tidak mau ia kenal. Dengan terpaksa gadis itu menyebutkan namanya yang mungkin akan Andres ingat entah sampai kapan. Maura.

ᴍᴜɴɢᴋɪɴ ᴅɪ ᴠᴇʀsɪ ᴍᴀᴜʀᴀ, ᴅɪᴀ ʙᴀʀᴜ ᴋᴇᴛᴇᴍᴜ ᴀɴᴅʀᴇs ᴅɪ ᴘᴇᴍᴀᴋᴀᴍᴀɴ ᴏʀᴀɴɢ ᴛᴜᴀɴʏᴀ. ᴛᴀᴘɪ ᴠᴇʀsɪ ᴀɴᴅʀᴇs ʙᴇʀʙᴇᴅᴀ ᴋᴀᴡᴀɴ.

ʙᴛᴡ ᴀᴋᴜ ᴍɪɴᴛᴀ ᴍᴀᴀғ ᴋᴀʟᴀᴜ ᴘᴀʀᴛ ɪɴɪ ɢᴜɴᴀɪɴ sᴜᴅᴜᴛ ᴘᴀɴᴅᴀɴɢ sᴇʀʙᴀ ᴛᴀʜᴜ, sᴇᴍᴏɢᴀ ɴɢɢᴀᴋ ᴘᴀᴅᴀ ʙɪɴɢᴜɴɢ ʏᴀ :(

ᴛᴇɴᴀɴɢ ᴀᴊᴀ, ᴀɴᴅʀᴇs's sɪᴅᴇ ᴄᴜᴍᴀ ᴀᴅᴀ ᴅᴜᴀ ᴘᴀʀᴛ ᴋᴏᴋ (ᴋᴀʏᴀᴋɴʏᴀ)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro