ᴅᴜᴀʙᴇʟᴀs

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Hari ini aku meminta Sherly untuk menginap. Dengan alasan mengerjakan tugas-tugas kuliah, sekalian aku membujuknya untuk tinggal selama kakak pergi ke Lombok. Namun, ditolak karena orang tua Sherly butuh bantuan untuk mengurus pesanan katering. Terpaksa aku harus tinggal sendiri di rumah. Tidak peduli dengan pesan Kak Nara untuk meminta tolong pada Andres jika butuh bantuan.

Lepas mengerjakan tugas, berganti pakaian, kemudian mencari makan di luar karena masak terlalu banyak untukku sendiri. Jam baru menunjukkan pukul delapan malam, sudah mengendarai mobil hingga setengah jam aku belum juga tahu harus makan apa malam ini.

Perkara makan malam saja begitu sulit memutuskan ketika sendiri.

Aku mengoceh sendiri sambil terus mengetukkan jari pada setir sebelum kemudian memutar arah dan kembali ke rumah dengan tangan kosong. Setengah jam waktuku terbuang sia-sia karena bingung perihal memilih makanan.

"Kamu habis dari mana, Ra?"

Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba Andres ada di belakangku ketika aku keluar dari mobil. Tangannya terlipat di depan perut dengan sorot mata sinis ditujukan kepadaku.

"Abis beli makan," jawabku sekenanya.

Keningnya mengerut, bola matanya melirik ke arah tanganku yang kosong dan berkata sinis. "Kakak nggak tahu kalau mau makan angin aja harus beli. Emang ada yang jual?"

Aku memutar bola mata, melangkah menjauhi Andres ke arah pintu rumah, mengeluarkan kunci yang ternyata tidak ada di sakuku. Aku panik, merogoh semua saku dan mengingat-ingat di mana kuletakan kunci tersebut, tetapi dengan mudah Andres meraih kenop pintu dan membukanya.

"Lain kali jangan lupa cabut kuncinya sebelum kamu pergi. Bahaya kalo sampe ada maling masuk. Apalagi kamu lagi sendiri."

Andres masuk mendahului kemudian menutup pintu setelah aku masuk. Aku diam, tidak menjawab peringatannya dan malah masuk menuju dapur. Barangkali ada mie instan yang bisa kumasak sebelum tidur.

Akan tetapi, ketika di dapur, aku melihat beberapa makanan yang sudah siap santap. Dua potong bebek goreng lengkap dengan sambalnya, tempe goreng dan tumis kangkung lengkap dengan nasi yang dibagi menjadi dua bagian. Perutku semakin berteriak minta diisi.

"Cuci tangan kamu abis itu makan."

Begitu ucapan yang keluar dari mulut Andres sebelum mendahuluiku duduk di meja makan. Aku melangkah pada wastafel, mencuci tangan kemudian menyusulnya dan duduk di hadapan Andres yang sudah memindahkan potongan bebek goreng ke piringku.

"Kok, Kakak tahu aku belum makan?" Aku mencocol sambal dengan cuilan bebek goreng dan memasukannya pada mulutku. Rasa gurih bercampur pedas menyatu dalam lidah dan aku menyukainya.

"Enak, Kak!" Aku berkomentar. Seketika rasa canggungku padanya menguap entah kemana.

Aku lihat Andres hanya tertawa sebelum kembali menggigit timun sebagai lalapan. Laki-laki itu tidak banyak bersuara ketika di depanku, tetapi dia tahu bagaimana cara untuk membuatku merasa nyaman dan semakin jatuh padanya.

Setelah makan. Aku disuruh Andres untuk mencuci piring yang kami gunakan. Ia mengecek ponsel, bibirnya menyunggingkan kurva tipis ketika membaca sesuatu yang ia baca dari benda pipih itu.

Apa mungkin itu pesan yang dikirim oleh Imel? Tapi ... kemarin Kak Maudy bercerita jika Imel ada hubungan dengan Aksa--penyanyi idolaku. Apa mungkin Imel berselingkuh?

"Kalo nyuci piring jangan sambil melamun. Udah malam, besok kamu kuliah. Anak kecil nggak boleh tidur malam-malam."

Aku mencebik kesal.

Sembarangan dia mengataiku anak kecil! Dia pikir dia sudah dewasa? Usia kami bahkan hanya terpaut tiga belas tahun!

"Iya, Pak Tua." Aku membalasnya dengan nada sinis.

Bukannya marah. Andres justru tertawa dengan sebutan yang aku layangkan padanya.

"Yang tua itu semakin matang loh, Ra." Aku menoleh, memberikan ekspresi heran padanya, tetapi Andres justru membalas tatapan mengejekku dengan ekspresi bangga, terlebih ketika ia mengedipkan sebelah matanya.

Aku bergidik ngeri. Ia justru semakin terbahak melihat reaksi yang aku berikan.

"Udah malam, Ra. Kunci mobil Kak Nara mana?"

Tanpa pikir panjang dan menanyakan apa maksud Andres menanyakan kunci mobil. Aku memberikannya sesaat selesai mencuci piring dan di detik kemudian aku mengerutkan kening ketika ia memasukkan kunci mobil itu ke dalam tasnya.

"Loh, Kak?"

Aku memasang wajah menuntut penjelasan tentang apa yang dilakukan Andres.

"Kamu nggak akan Kakak ijinin bawa mobil. Besok pagi Kakak jemput dan sorenya Kakak jemput di kampus. Kalo Kak Ubay nggak bisa jemput, nanti Kakak minta Andra untuk antar kamu ke coffeshop."

Penjelasannya hampir saja membuatku menjatuhkan rahang. Dengan seenaknya Andres mengatur bagaimana aku akan pulang atau pergi ke kampus. Oke! Memang aku akui hari ini melakukan kesalahan dengan meninggalkan kunci, tetapi bukan berarti laki-laki ini bisa bertindak seenaknya bukan?

"Nggak, Kak! Aku mau bawa mobil sendiri aja." Aku memerotes.

Andres menghela napasnya. Sepertinya ia sering sekali melakukan itu di hadapanku. "Kalo kamu nggak mau Kakak jemput, nggak masalah. Tapi untuk kamu bawa mobil sendiri itu nggak, ya! Kamu belum punya SIM juga jarang banget bawa mobil. Kalau ada apa-apa, siapa yang repot?"

Aku kembali mencebik.

Andres mengambil jaket dan tasnya dari sofa dan melangkah ke pintu utama. "Jangan lupa kunci pintu sebelum kamu tidur. Kalau ada apa-apa, coffeshop deket dari sini. Jangan ragu telpon Kakak."

Aku hanya mengangguk dan menyusulnya ke bibir pintu, mengulaskan senyum tipis sebagai tanda terima kasih atas makan malam yang ia bawakan. Andres balas tersenyum, tangannya terangkat dan mengusap kepalaku pelan sebelum memasang helm di kepalanya.

Aku menatapnya lamat-lamat ketika motor Andres hendak keluar dari gerbang rumah. Persis dua tahun lalu, ia melambai sebelum memutar motor dan menjauhi rumah. Namun, ada yang berbeda kali ini. Kali ini, aku tahu namanya, kali ini, aku tahu bahwa besok kami akan bertemu kembali.

Sewaktu hari, Kak Nara pernah bercerita tentang kehidupan kuliahnya bersama Andres. Aku banyak bertanya tentang Andres, bagaimana kehidupannya, karirnya, sifatnya. Dan Kak Nara menjawab, bahwa kehidupan Andres itu banyak mengalami masa sulit. Ia seringkali tertawa meski ia banyak dirundung masalah. Laki-laki itu juga sering kali menolong orang meski ketika kesulitan, ia berusaha lari dari banyak orang.

Kak Nara berkata, banyak yang mengatakan Andres seperti sebuah pensil. Ia akan dianggap tidak ada ketika banyak pulpen di dekat orang sekitarnya. Namun, ketika tinta pulpen itu habis, semua orang akan tetap mencarinya karena mereka tahu Andres tidak akan pernah pergi dari mereka. Dan selayaknya sebatang pensil, apa pun yang dilakukan Andres banyak sekali yang mengapusnya seolah itu tidak penting.

Aku termangu setengah jam sebelum tidur karena mengingat cerita Kak Nara. Hatiku mendadak merasakan apa yang selama ini Andres rasakan. Jika apa yang dikatakan Kak Nara benar adanya. Pantaskah aku mendiaminya hanya karena aku marah ia tidak membalas perasaanku? Kini aku mengerti, aku rasa itu tidak adil untuk Andres.

Sepertinya, mulai saat ini aku akan mencoba menjadi teman atau adik yang baik untuk Andres.

ᴀᴋᴜ ᴍᴀᴜ ʙɪʟᴀɴɢ ᴀᴘᴀ ʏᴀᴀ ᴅɪ sɪɴɪ?
ɴɢɢᴀᴋ ᴀᴅᴀ ʟᴀʜ, ᴄᴜᴍᴀ ʙɪʟᴀɴɢ ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ ᴠᴏᴛᴇ ᴅᴀɴ ʙᴇʀɪ ᴋᴏᴍᴇɴ ʏᴀᴀ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro