ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ sᴀᴛᴜ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Meski sejak kedatangannya Kak Nara tidak berhenti berbicara--menceritakan perihal kelakuan kakakku yang tidak dapat tidur jika tidak ada bantal kesayangannya--Setidaknya kepulangan mereka membawa hikmah untukku.

Kak Maudy memintaku membantunya membongkar koper besar milik Kak Nara. Isinya hanya oleh-oleh makanan ringan, seperti dodol rumput laut, manisan tomat, dan keripik kangkung rumput laut.

Aku membuka bungkusan keripik dan mencobanya, rasa asin dan bau rumput laut menyapa lidahku. Aku menyodorkan itu untuk Andra yang duduk di sebelahku. Meski ragu, tetapi Andra menerima tawaranku.

"Bagi Kak Ubay juga, Ra." Kak Nara mengusulkan. "Ada Andra aja kamu lupa sama Ubay."

Kak Maudy dan Andres hanya tertawa mendengar perkataan Kak Nara. Aku menyodorkan bungkus keripik itu pada Andres, ia menerimanya kemudian tersenyum dan mengatakan 'terima kasih' padaku.

Senyum hangat itu akhirnya kembali.

Sekelebat bayang malam itu kembali pada sel otakku, cepat-cepat aku menarik kembali bungkus keripik dari tangan agar Andres tidak menangkap atensi yang kuberikan padanya.

"Aku mau ambil minum dulu, Kak. Yang lain mau juga?" tanyaku yang tiba-tiba saja menjadi gugup karena kontak yang sebentar itu dengan Andres.

"Sekalian aja buat semuanya, Ra."

Setelah mendengar instruksi Kak Nara, aku beranjak menuju dapur, mengambil sirup jeruk di kulkas dan menyiapkan lima gelas pada meja.

Aku berbalik, kembali ke kulkas untuk mengambil es batu. Namun, ketika aku berbalik ada Andres yang sudah mengambil batu es itu terlebih dahulu dan menyodorkannya padaku.

"Makasih, Kak." Aku otomatis menunduk.

"Kamu nggak perlu takut kalo ngeliat Kakak, Ra."

Aku lihat ia duduk di bangku yang menghadap meja tempatku membuat minuman. Kami sama-sama diam, tetapi aku merasakan bahwa Andres memperhatikan gerak-gerikku.

"Kakak tahu perkataan kakak tempo minggu lalu keterlaluan sama kamu. Terlebih lagi Kakak sama sekali nggak nanyain kabar kamu selama seminggu ini. Kakak minta maaf."

Pergerakanku yang tengah menuangkan air ke dalam gelas terhenti ketika mendengar ucapan Andres. Ini dia sikap Andres yang aku tidak mengerti, sesaat dia mengatakan agar aku menjauhinya, tetapi dikemudian hari ia akan meminta maaf karena pernah mengatakan itu padaku.

Seperti ada dua Andres yang berbeda. Jika memang iya, Andres yang mana yang bertemu denganku sesaat setelah pemakaman dua tahun lalu?

"Kakak itu aneh banget, sumpah!"

Aku membanting sendok ke meja di depan Andres, mengambil es batu kemudian memasukkannya ke dalam gelas secara brutal hingga percikan sirup berceceran di meja.

Tiba-tiba saja aku teringat akan kamera mirrorless yang aku temukan. Andra bilang, itu milik Andres, jadi aku harus menanyakan itu sekarang, ketika sikapnya belum berubah aneh dan menyebalkan nantinya.

"Kakak tunggu di sini!"

Aku membawa nampan berisikan sirup ke depan kemudian mengambil kamera dan kembali ke dapur. Ternyata, Andres masih duduk di posisinya, menunggu seperti yang aku minta padanya.

Aku menariknya keluar melalui pintu belakang. Mengunci pintu itu dari luar agar tidak ada yang mengganggu percakapan kami.

"Kenapa dikunci, Ra?" tanyanya ketika aku berbalik.

"Ada yang mau aku tanyain ke Kakak." Aku menunjukan kamera itu padanya. "Ini punya Kakak?"

Andres tidak memberikan respons berarti, hanya mengerutkan kening tanpa membuka mulutnya untuk berbicara sama sekali.

Kami sama-sama diam untuk waktu yang lama.

"Kenapa kamu tanyain itu ke Kakak?" Andres tertawa kemudian mengusap dahinya.

Aku mengerutkan kening. "Kenapa Kakak ketawa?"

"Ya kamu aneh. Kamu yang pegang kamera itu, kenapa tanya Kakak siapa yang punya?"

"Andra bilang ini punya Kakak."

"Apa Andra bilang kalau Kakak juga satu-satunya yang punya kamera itu?" Andres merogoh saku jaketnya, mengeluarkan kamera berwarna hitam yang sama persis dengan mirrorless yang aku genggam.

"Kalau ini baru punya Kakak."

Aku kehilangan kata-kata. Ternyata, Andra mengira kalau kamera itu milik Andres hanya karena bentuk dan warnanya sama persis. Aku duduk pada bangku kayu, menatap air yang turun dari air terjun buatan pada kolam ikan. Rasanya kini aku tidak lagi punya harga diri untuk menatap wajah Andres.

"Maura," panggil Andres.

"Kakak ke depan aja. Aku mau sendiri di sini." Mataku memanas, membayangkan apa yang tengah Andres pikirkan tentangku saat ini membuat aku semakin malu menatap matanya. Tanpa sadar buliran air mata itu kembali jatuh, aku berusaha untuk tidak terisak di depan Andres.

"Maura dengar Kak Ubay."

"Iya, Kak! Aku bakal lupain Kakak. Aku udah usaha, tapi emang susah! Meski Kakak menjauh, aku nggak bisa berhenti!" Tanpa sadar aku berteriak tertahan. Sakit, sudah pasti. Namun, aku bisa apa?

Andres duduk di sebelahku. Tangan besarnya mengusap pundakku--berusaha menenangkan--tanpa menjawab perkataanku sama sekali.

"Kakak minta maaf, Ra."

Hanya itu kata yang berhasil keluar dari mulutnya. Permintaan maaf itu, membuat aku merasakan sakit lebih lagi. Rasa sakit apa ini? Kenapa rasa sakitnya sama sekali tidak dapat aku tahan?

"Aku janji sama Kakak, kalo aku bakal lupain Kakak, cari pengganti Kakak dan berusaha agar Kakak nggak terbebani dengan perasaan aku."

Aku mengusap air mata, berusaha menetralkan suaraku agar tidak mendapat respons aneh ketika kembali ke dalam nanti.

"Sebelum aku ngelupain Kakak. Apa boleh aku minta sesuatu dari Kakak?"

Andres menatapku lamat-lamat. "Apa?"

Jantungku berdegup kencang. Aku harus menguatkan hati, memberanikan diri untuk pertama juga yang terakhir kalinya.

Aku mendekatkan wajah pada Andres. Semulanya ia sedikit menjauh sebelum kemudian mendekatkan wajahnya padaku hingga bibir kami kembali bersentuhan. Aku memejamkan mata, menikmati gelanyar hangat ketika Andres membuka bibirnya.

Ini menjadi hari di mana pertama kalinya aku berani memulainya dengan seorang pria. Aku tidak menyesal sama sekali, karena orang itu Andres.

Aku membuka mata ketika tautan kami terlepas. Pipiku secara otomatis memerah ketika melihat Andres. Ia membuang muka, mencoba menutupi rona merah yang ada di wajahnya.

"Kakak harus pulang."

Andres kembali bersikap seperti malam sebelumnya, di mana ia pernah terburu-buru pulang setelah menciumku. Aku mengerutkan kening ketika melihat gelagatnya saat mencoba membuka pintu yang tadi kututup. Apa mungkin Andres salah tingkah? Tidak mungkin, 'kan, seorang Andres, laki-laki berusia 32 tahun belum pernah berciuman?

Aku mengikutinya ketika ia berjalan tergesa-gesa menuju ruang tamu. Benar saja, ia pamit pulang ketika bertemu Kak Nara.

"Bentar dulu! Ini sekalian titip buat Aje sama yang lain." Kak Nara yang tidak mengerti bersikap santai dengan memasukkan oleh-oleh ke dalam papper bag yang akan ia bagikan pada karyawan coffeshop.

Andra tidak memperhatikan. Ia sibuk dengan bungkus kecil manisan tomat yang diminta Kak Maudy untuk dibagi sama rata.

Aku menatap Andres dengan penuh selidik. Tangannya bergetar, dan berusaha menghindari kontak mata denganku. Namun, tiba-tiba saja Andres berlari keluar, membuka kasar pintu.

Aku, Kak Nara, Kak Maudy, dan Andra mengikuti. Andres tengah berusaha mengeluarkan isi perutnya di pelataran tanah depan teras rumah.

"Lo nggak apa-apa, Bay?" tanya Kak Nara dengan nada roman khawatir. Ia membungkukkan badan dan mengusap punggung Andres dan cairan kuning berhasil keluar, sepertinya perut Andres kosong.

"Lo masuk angin? Gue anter ke dokter, ya?" Kak Nara melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini sudah jam sembilan dan klinik 24 jam lumayan jauh dari sini. "Maura coba ambil air putih."

Aku berlari secepat mungkin ketika Kak Nara memerintahkan. Menuang air kemudian berlari menghampiri Andres yang dikelilingi oleh Kak Nara, Kak Maudy, dan Andra.

Namun, melihat aku mendekat Andres justru menjauh. Wajahnya pucat pasi dan dipenuhi bulir keringat. "Tolong jangan dekat-dekat."

Hanya itu kalimat yang diucapkan Andres sebelum kembali memuntahkan isi perutnya. Kak Maudy mendekat padaku kemudian mengambil gelas yang niatnya kuberikan pada Andres.

"Mending kita ke rumah sakit deh, Bay. Mukalo pucet banget asli!" Guratan khawatir tercetak jelas di wajah Kak Nara.

Andres hanya menggeleng. Sebelum melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya. "Gue balik aja, Nar, Mau."

"Yaudah gue anter," kata Kak Nara. Ia masuk ke dalam rumah dan mengambil jaket serta kunci mobil.

"Kalian istirahat aja. Kamu tidur dulu ya, Dy. Aku anter Ubay dulu. Jangan nunggu aku pulang." Itu pesan Kak Nara sebelum membawa masuk Andres yang dibantu oleh Andra ke dalam mobil.

Aku dan Kak Maudy kompak mengangguk.

Dalam diam aku terus saja memikirkan bagaimana kondisi Andres. Sebelum ini, kami juga pernah melakukannya, kemudian ia menghilang entah kemana dan kembali dengan sikap yang luar biasa tidak aku sangka.

Aku mulai berpikir, apa mungkin penolakan Andres ada hubungan dengan kondisinya saat ini? Tetapi, tidak mungkin, 'kan, seorang Andres Baihaqi alergi terhadapku?

ᴀᴋᴜ ᴊᴀᴅɪ ᴘᴇɴᴀsᴀʀᴀɴ, ɢɪᴍᴀɴᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴋᴀʟᴀᴜ ᴀᴅᴀ ᴅɪ ᴘɪʜᴀᴋ ᴜʙᴀʏ?
ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴍᴀᴜ ᴛᴀᴜ ᴊᴜɢᴀ ɴɢɢᴀᴋ?

ᴋᴀʀᴇɴᴀ ᴀᴋᴜ ʙᴇʀɴɪᴀᴛ ᴀᴋᴀɴ ʙᴜᴀᴛ 2-3 ʙᴀʙ ᴋʜᴜsᴜs ᴜɴᴛᴜᴋ sɪsɪ ᴜʙᴀʏ ɴᴀɴᴛɪɴʏᴀ, sᴇᴍᴏɢᴀ ɴɢɢᴀᴋ ʙɪᴋɪɴ ᴅɪᴀ ᴅɪsᴇʙᴇʟɪɴ ʟᴀɢɪ :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro