ᴛɪɢᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴜᴀ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •


Ini adalah tiga hari terlama yang pernah aku jalani selama hidupku. Rasanya, jam dalam satu hari tidak lagi berputar hanya dua puluh empat jam, mungkin lebih dari itu.

Meski hanya lecet-lecet ringan. Kak Nara memintaku tetap tinggal di rumah setelah kejadian kecelakaan kemarin dan inilah yang aku kerjakan, tidak lain hanya tidur, melamun, dan makan ketika Kak Maudy memintaku keluar kamar.

Seperti apa yang dikatakan Kak Nara tempo hari, tidak ada sosok Andres yang tiba-tiba datang seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin, Kak Nara sudah tahu tentang apa yang terjadi padaku dan Andres setelah sidang yang dijanjikan Kak Afriandar ketika di kamarku.

Ponselku berbunyi dan menampilkan nama Sherly. Cepat-cepat aku menggeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih itu di telinga.

"Iya, Sher?" tanyaku ketika telepon tersambung.

"Nanti sore gue ke rumah lo, ya? Sama Andra, ada yang mau diomongin sama Andra, Ra."

Aku menelan ludah susah payah ketika Sherly menyebut nama Andra. Aku tahu, seharusnya Andra tidak ada sangkut pautnya dalam masalahku dan Andres, tetapi berat rasanya ketika aku harus mengingat kebohongan kakaknya padaku.

"I-iya. Kalian berdua aja?" Pada akhirnya perasaan tidak enak menolak membuatku menerima permintaan Sherly.

"Iya, berdua doang, 'kok. Ya udah, sampe ketemu nanti, ya, Ra. Cepet sembuh bidadari FKOM."

"Apaan, sih?" Aku tertawa mendengar panggilan yang pernah disematkan Joni padaku sebelum menutup teleponnya.

"Maura, sarapan dulu, yuk. Kak Nara udah nunggu nih." Itu suara Kak Maudy yang berada di bibir pintu kamarku.

Aku mengangguk dan mengikutinya hingga ke dapur. Namun, langkah Kak Maudy terhenti ketika ada suara ketukan pintu dari luar.

"Siapa yang dateng pagi-pagi gini?" Kak Maudy bermonolog sembari mendekati pintu utama, sementara aku terus berjalan ke meja makan yang sudah ada Kak Nara.

"Nar, kedatangan tamu jauh, nih." Suara Kak Maudy terdengar senang. Aku menoleh bersama Kak Nara yang langsung memutar bola matanya secara malas.

"Gajian masih lama. Boleh, 'kan, ikut sarapan di sini?" tanya Imel saat duduk di kursi yang ada di samping kiriku.

"Alesan." Kak Nara menyeloroh. "Pacar lo, 'kan, kaya. Kalau cuma makan, dia bahkan bisa beliin restoran cepat saji buat lo."

"Tenang aja, Aksa nggak sekaya itu. Kalo dia sekaya itu, gue udah nggak mau kenal sama lo." Imel berucap santai dengan tangan sibuk menyendok nasi goreng yang dibuat Kak Maudy.

Kak Maudy hanya tertawa melihat Kak Nara yang jengkel dengan sikap Imel. Rupanya, cerita Kak Maudy tentang Tom and Jerry versi kantor mereka benar adanya. Kami makan tanpa menjawab ucapan Imel.

"Ohh iya, lo tahu Ubay masuk rumah sakit?"

Pergerakanku terhenti ketika nama itu kembali disebut. Bahkan Kak Nara melempar sendoknya ke piring, memberikan tanda bahwa ia tidak ingin mendengar nama itu disebut lagi.

"Kok bisa, Mel?" Tiba-tiba saja Kak Maudy mengajukan pertanyaan.

"Maudy ...." Kak Nara memperingatkan.

"Nggak tahu. Katanya, sih, abis dipukulin preman. Perforasi usus yang gue denger dari Afriandar, sih."

"Tapi keadaan Ubay baik-baik aja, 'kan, Mel?" Kak Maudy bertanya panik. Aku lihat Kak Nara tidak lagi memperotesnya, mungkin, diam-diam Kak Nara ingin tahu keadaan Andres.

"Nggak tahu juga. Belum sempat ke sana, sih, Dy. Mudah-mudahan cepet mati deh tuh orang."

"Perempuan kalo ngomong jangan suka sembarangan!" Kak Nara melemparkan gumpalan tisu pada Imel ketika perempuan itu selesai berbicara.

"Kenapa? Nggak ada gunanya lagi, 'kan dia? Selama ini dia hidup cuma buat bantuin orang kalo ada masalah. Gue, elo, Ervin, Maura, Andra. Sampe dia lupa kalau dirinya itu manusia. Sekarang orang yang butuhin dia nggak ada lagi. Mau apa lagi dia?"

Kak Nara berdiri ketika mendengar ucapan Imel. Jujur saja, kata-kata Imel benar-benar keterlaluan menurutku. Meski Andres jahat, aku rasa tidak sepantasnya Imel mengatakan hal seburuk itu.

"Kenapa? Nggak terima sama apa yang gue bilang? Kalau gue yang bilang kayak gini dia nggak akan sakit hati, karena gue bukan siapa-siapanya. Tapi lo! Katanya temen, tapi enteng banget bilang 'kalau nggak mandang Lil udah abis lo sama gue' seolah hidupnya sekarang cuma berharga karena anak itu."

"Kak Imel. Kak Nara kemarin emosi cuma karena mau belain aku, Kak." Aku mencoba membela Kak Nara.

"Ya emang dia belain lo. Dari dulu juga begitu, 'kan? Selalu akan ada yang belain lo. Enak dibelain?" Pertanyaan Imel bernada sarkas, ia tersenyum mengejek ke arahku.

"Sekarang gue tanya sama lo, Anak Kecil. Ubay udah buat apa sama lo sampe Kakak lo ini tega mau bunuh dia?"

Entah apa yang ada dipikiran Kak Maudy, tetapi Kakakku justru terlihat setuju dengan apa yang dikatakan Imel. Buktinya, ia malah pergi mengambil air seolah tidak terjadi perdebatan hebat di depannya.

"Sekarang lo mau gue gimana, sih, Mel? Please, ini masalah keluarga gue. Lo jangan ikut campur." Kak Nara kembali duduk, ia menyenderkan bahunya seraya mengembuskan napas berat.

"Gue juga nggak mau ikut campur, 'kok. Cuma mau bilang, bokapnya Lil bukan cuma Ubay, tapi Ervin sama Afriandar juga. Kalau lo beneran mau abisin Ubay, abisin aja. Ada Ervin sama Afriandar juga yang urus Lil nanti." Imel meminum air putih yang ada di gelasnya. "Gue balik, ya. Ada liputan pagi."

Setelah kepergian Imel, Kak Nara jadi pendiam. Ia memang tidak bertanya padaku tentang apa yang aku alami saat bersama Andres. Akan tetapi, aku tahu ia punya rasa penyesalan terhadap teman yang ia kenal sejak zaman kuliah itu.

"Kamu yang minta Imel ke sini?" tanya Kak Nara.

"Maaf, Nar. Aku rasa, kamu butuh damai sama Ubay." Kak Maudy tahu pertanyaan itu ditujukan untuknya. Ia menundukkan kepala sembari memilin jari.

"Masalah Ubay, biar jadi urusan aku, Dy."

"Tapi, Nar ...."

"Udah. Kita mulai sarapan lagi, aku nggak mau ada bahasan tentang Ubay atau siapa pun lagi di meja makan."

Nafsu makanku menghilang entah ke mana. Aku meminum air yang dituangkan Kak Maudy dan pamit dari meja makan.

Aku sadar, aku tidak berhak apa pun atas Andres. Seharusnya--dari semua yang dia sembunyikan--aku dapat dengan mudah membenci laki-laki itu. Akan tetapi, kenapa ketika mendengar kondisinya yang buruk aku kembali mencemaskan laki-laki itu?

Tanpa tahu apa yang hatiku harapkan, aku membuka pintu dan mendapati Imel masih bersandar pada mobil putih besar di depan rumah kami.

"Kakak tahu kamu bakal dateng." Begitu katanya ketika aku bergerak mendekat.

"Kak Imel pernah suka sama suami orang?" tanyaku pelan. Sedikit takut membahas topik sensitif pada orang yang tidak begitu aku kenal.

"Pernah," jawabnya, seolah itu bukan masalah besar. "Duduk dulu, yuk. Ada yang mau Kakak bicarain sama kamu."

Imel mengajakku duduk di depan teras rumah. Ia menghela napas, kemudian memelukku erat. Pelukannya hangat, aku dapat merasakan jika ia bukan orang kasar seperti yang ia tunjukkan di depan Kak Nara tadi.

"Aku datang ke sini bukan untuk bahas kehidupan aku. Aku tahu apa yang ada di pikiran kamu sekarang, tapi yang kamu harus tahu, bukan cuma kamu yang merasa kesulitan di sini. Laki-laki yang kamu suka itu pengecut dan itu yang jadi kelemahan dia selama ini."

"Tapi, Kak ...."

"Soal Lil? Anak kecil yang dibilang Afriandar anaknya Ubay? Iya! Dia memang anaknya Ubay. Nggak ada yang menyangkal soal itu. Dan dia nggak cerita sama kamu dari awal pun itu sebuah kesalahan." Imel mengelus pelan pundak ku ketika air mata kembali mengalir di pipiku.

Sejak tadi, jujur saja aku berharap ini semua adalah sebuah kesalahpahaman yang mungkin akan Imel luruskan, tapi ternyata perempuan berkemeja putih itu hanya membenarkan kenyataan yang masih sangat sulit aku terima.

"Aku nggak punya kuasa untuk ngejelasin apa pun, itu urusan antara kamu sama Ubay. Tapi aku harap, kamu bisa lebih dewasa nerima semuanya, karena bisa aja, kenyataan lebih pahit dari apa yang kamu tahu saat ini."

Sekali lagi Imel memelukku. Mencoba menyalurkan kekuatannya pada gadis yang mungkin saja di matanya sangat bodoh ini.

"Aku pamit, ya. Kalau ada perlu, telepon aja."

Aku mengangguk seraya menghapus jejak air mata yang sejak tadi membasahi pipi. Ikut berdiri ketika Imel berdiri dan mengantarnya pada mobil putih yang ia gunakan sebagai kendaraan.

"Oh iya, tadi aku cuma bercanda soal Ubay masuk rumah sakit, kok. Tapi jangan bilang Nara, ya? Biar dia mikir sebelum mukulin orang, apalagi temennya sendiri," katanya sebelum menyalakan mesin mobil. Aku mengangguk sebagai jawaban permintaannya.

Aku mengembuskan napas panjang ketika mobil Imel menjauhi rumah. Mencoba, mempersiapkan hati atas apa yang akan terjadi.

Aku lihat tanggalan ternyata ini sudah tanggal 24 dan kalau sesuai jadwal harusnya tamat di tanggal 31 Agustus. Kok kayanya aku nggak rela, ya :(

Tapi makasih loh buat kalian yang udah support cerita ini sampai sini. Semoga cerita ini bisa menghibur kalian di sela-sela kesibukan kalian, ya!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro