Bab 11: Harus apa?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Frey menarik napas dan menghembuskannya lagi, lalu menatap ke arah gadis itu. Wajah gadis itu terlihat pucat, dia takut kondisi gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu jarang sakit, tetapi mudah down karena hal sepele. Tentu saja dengan perasaan yang berantakan, akan mudah membuat stamina seseorang menjadi turun, dengan demikian akan mudah bagi orang itu untuk sakit. Dia tidak ingin gadis itu sakit. Mereka saling pandang, tatapan keduanya terpancar kekhawatiran.

Bila Frey khawatir akan kondisi kesehatannya, gadis itu khawatir akan perasaan Frey padanya. Dialah orang yang bisa membuatnya bahagia, dia juga yang bisa membuatnya overthinking berkepanjangan. Hal sepele yang membuat hari-harinya menjadi tidak lagi menyenangkan. Kalau Yefta bisa memutar waktu, dia ingin memutar waktu. Tidak ingin bertemu dengan Frey dan jatuh hati padanya. Menaruh harapan padanya membuatnya menginginkan dia dalam hidupnya. Menginginkan Frey menjadi pasangan hidupnya, orang yang akan menemaninya melewati pasang surut kehidupan yang kejam.

 Dunia perkuliahan saja sudah kejam, apalagi dunia kerja. Tentu akan lebih kejam lagi, tidak bisa semudah itu percaya pada rekan kerja, karena rekan kerja adalah saingan. Meskipun Yefta tidak menganggap mereka saingan, melainkan rekan kerja sekaligus teman seperjuangan. Ternyata mereka tidak menganggap gadis itu sebagai teman, saling menjatuhkan selalu didengarnya dari petuah-petuah mamanya.  Yefta paham, mamanya tidak ingin dia menangis karena kerasnya kehidupan pekerjaan. Tidak masalah, selama dia mempunyai orang-orang yang disayanginya dan percaya padanya maka semua akan baik-baik saja.

"Yefta? Mau duduk atau kita bicara di luar dulu?" Terdengar kekhawatiran dari pertanyaan itu. Seulas senyum terlihat dari wajah gadis itu. Perhatian darinya selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.

"Duduk di sini dulu aja. Kita masih punya banyak waktu buat bicara berdua."

Kalau Yefta menyetujui permintaan Frey untuk berbicara empat mata, yang ada akan berakhir dengan isak tangis. Dia tidak ingin mendengar Frey membahas cewek itu. Tidak sekarang, tidak di hadapan orang tuanya dan orang tua Frey. Jika dia menangis, mamanya akan khawatir. Lagipula dia tidak akan menyia-nyiakan makanan gratis. Mereka akan makan malam, hal yang sangat berharga untuk mahasiwa yang dompetnya sering menangis karena kesepian tanpa lembar-lembar uang.

Frey akhirnya mengangguk dan melangkah ke tempat duduknya. 

"Yefta ya?" tanya pria itu sambil tersenyum hangat. Senyuman hangat Frey ternyata berasal dari papanya. Gadis itu seperti bisa membayangkan Frey beberapa tahun kedepan akan terlihat seperti apa, menjadi pria yang tampan dan beribawa seperti papanya.

"Iya, om."

"Om udah pesan makanan, tadi mamamu udah kirim pesan mau dipesankan apa karena kalian akan terlambat datang. Tapi, kalau Yefta mau pesan lagi juga nggak masalah."

"Oh iya, om. Terima kasih banyak, loh, om tawarannya." Dia tertawa, padahal mereka baru bertemu, tetapi rasanya seperti sudah kenal lama. Easy going dan ramah, sikap dan perilaku yang disukainya. Ada rasa getir di relung hatinya, berandai-andai akan berada di sisi Frey hingga tua. Akankah itu terjadi? Atau hanya impian yang semu? Apakah ini hanyalah perasaan bodoh yang menyeretnya semakin dalam mencintai Frey. Sayangnya, bayang-bayang Bella Alvans tidak kunjung pergi. Membuatnya semakin kehilangan semangat dan energi. Semangatnya adalah Frey, jika dia tidak ada di dalam hatinya, lantas buat apa penantiannya selama ini?

Di saat dia sudah memutuskan untuk merelakan Frey, semesta justru mempertemukan mereka lagi di ruangan ini. Entah apa yang harus dilakukannya? Berhenti berharap atau terus berjuang? Semuanya tampak tidak jelas, semakin ragu akan perasaannya sendiri. Tidak tahu harus melakukan apa kedepan, dia tenggelam dalam keraguan.

"Jadi, kalian sudah saling kenal ya?" tanya mama Yefta sambil mengambil piring kosong untuknya dan Yefta. Tidak perlu memberikan piring kosong pada kedua lelaki itu, piring mereka sudah tersaji bersama dengan makanan yang lezat dan menggiurkan.

Yefta dan Frey saling beradu pandang sebelum menjawab pertanyaan itu. 

"Haduh, tinggal jawab doang juga malah tatap-tatapan gitu. Udah jawab aja, ini bukan ujian."

"Ih, mama apaan, sih?" Yefta merasa aneh, mamanya bisa sesantai itu. Padahal mamanya jarang seperti itu ketika mereka bertemu teman-temannya yang lain.

"Iya tante. Kami udah saling kenal. Yefta teman baik saya di kampus."

Kata teman semakin menusuk Yefta. Senyuman tipis, mau berusaha sekeras apapun tidak akan merubah statusnya bagi Frey. Statusnya hanya sebatas teman, tidak lebih. Menyakitkan memang, setelah menanti dengan sabar selama beberapa tahun dan inilah yang terjadi. Namun, Yefta tidak berhak marah dan mengamuk. Frey berhak atas perasaannya, lagipula perasaan itu tidak bisa dipaksa. Sesuatu yang dipaksa itu tidak baik, lebih baik menjalani dengan hati tulus dan iklhas. Meskipun harus gadis itu akui, masih sulit baginya untuk menerima kenyataan itu. Kenyataan yang sudah diketahuinya sejak lama, tetapi selalu dibantahnya. Sifat keras kepala itu membawanya sejauh ini, membawanya semakin menyukai Frey hingga sedalam itu.

"Bagus kalau udah saling kenal. Jadi, yang kita diskusikan bisa dijalankan. Bener, kan?" ucap pria itu pada mamanya Yefta. Mereka tersenyum bahagia, entah apa yang direncanakan. Namun, feeling Yefta semakin kuat. Mungkin masih ada kesempatan baginya untuk menghabiskan waktu bersama Frey. Namun, sanggupkah dia?

"Rencana apa, Pa? Frey nggak paham."

"Ya memang nggak paham, papa kan belum ngabarin kamu."

"Kalian, kan, udah saling kenal. Kami udah membahas ini sejak lama, kami berencana untuk menjodohkan kalian."

Frey dan Yefta tidak terlalu terkejut, sejujurnya mereka sudah berfirasat akan berakhir seperti ini. Mereka sudah merasakan jika ini bukan hanya sekedar makan malam, ada hal lain yang direncanakan tetapi tidak dibahas. Mungkin takut Frey akan kabur kalau tahu akan dijodohkan. Sementara Yefta, dia tidak bisa kabur begitu saja. Kalau dia kabur nanti mamanya akan khawatir dan mencarinya sepanjang malam. Hal itu hanya akan membuat wanita itu kecapean, dia masih harus bekerja lagi besok pagi. Yefta tidak ingin mamanya sakit, dia tidak sanggup melihat hal itu. Dia selalu berdoa untuk kesehatan dan pulih tenaga untuk beraktivitas lagi keesokan harinya. Mendoakan kesehatan semua orang, terkhusus orang yang disayanginya. Yefta juga tidak bisa membangkang, dia tidak mau membuat mamanya sedih karena menolak permintaan itu. Tidak sanggup melihat gurat kecewa terpancar di wajahnya. Hanya kebahagiaan yang diinginkan untuk orang terkasih.

Mereka saling menatap orang tua mereka dan tidak berkutik. Tenggelam dalam pikiran masing-masing, barulah saling melihat satu sama lain. Frey tentu bahagia, itu adalah penantiannya selama ini untuk menghabiskan waktu bersama Frey. Namun, bagaimana dengan cowok itu? Yefta paham kalau dia tidak ada di hati Frey, dia bukanlah tipe orang yang akan dijadikan pacar olehnya, apalagi calon isteri.  Namun, kalau sudah begini mereka harus apa? Maju salah, mundur pun salah. Entah apa yang harus diperbuat.

-Bersambung-

Jumlah kata 1045 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro