Bab 14: Angin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana semakin menegang. Yefta memegang erat pegangan tasnya. Mencoba menyalurkan ketegangan, rasa gugup, dan perasaan bersalah. Ruangan ini tidak sunyi senyap, mamanya dan cowok idamannya sedang berdiskusi.

"Tante tahu, kok. Nggak apa-apa. Setidaknya tante tenang, ada kamu yang akan menjaga dia. Ada kamu di sisinya, kamu yang akan percaya padanya di saat dunia tidak percaya padanya. Tante butuh tahu itu saja, Nak. Sudah lebih dari cukup, tolong jaga anak tante ya," ujarnya memohon.

Permohonan yang tidak mungkin ditolaknya. Lagipula dia memang ingin menjaga Yefta, meskipun dia tidak tahu perasaan apa ini. Apakah cinta atau sekedar melakukan permintaan orang tua?

Sempat beberapa saat dia diam sejenak, menata pikirannya yang perlu diatur kembali, terlalu acak-acakan untuk sebuah kondisi yang mendadak disampaikan. Lalu menatap lekat ke arah Yefta yang juga menatapnya sedari tadi. Pancaran yang membuat Frey bisa merasakan adanya kepasrahan di sana, mereka memang butuh membahas ini empat mata. Mereka butuh meluruskan kesalahpahaman yang ada, dia tidak ingin mereka kembali bertengkar seperti tadi. Dia tidak marah pada gadis itu, hanya saja situasi di antara mereka akan semakin runyam jika tidak diselesaikan dengan segera. Ketakutan akan kehilangan Yefta begitu besar, dia takut kehilangan orang yang disayanginya dan berharga baginya, dan Yefta adalah salah satu dari orang yang berharga baginya.

Frey tersenyum lalu menatap kembali ke arah wanita itu, kali ini perasaannya sudah lebih tenang. "Baik tante, Frey terima."

Beberapa kata yang mengundang senyum bahagia di wajah wanita dan pria yang menginginkan anak mereka bersama, sementara Yefta merasakan kebahagiaan serta kegundahan. Bahagia karena doanya untuk menghabiskan sisa hidup bersama orang yang sangat dikasihinya akhirnya terkabul, dan gundah karena dia tahu Frey belum selesai dengan masa lalunya. Berat menjalin hubungan dengan orang yang belum selesai urusan dengan cinta di masa lalu. Sama halnya dengan membangun rumah tangga dengan orang yang tidak mencintai dirinya. Berjuang sendirian tidak pernah menyenangkan. Yefta takut dia tidak akan kuat, dia takut jika dia tidak sekuat itu. Matanya mulai berkaca-kaca, gemuruh hati dan gundah gulana menguasainya terlampau dalam. 

"K-kamu serius? Udah yakin mau nikahin aku?" tanya Yefta pelan. Pertanyaan yang memberikan rasa perih bagi Frey. Dia tidak pernah bermain-main, dan Yefta seharusnya menjadi orang yang paling tahu akan itu. Memutuskan sebuah keputusan selalu ada keuntungan dan kerugian yang harus dihadapi. Pahit dan manis kehidupan harus dihadapi dengan lapang dada serta tulus dan ikhlas. Sama halnya dengan keputusan, oleh karena itu perlu dipertimbangkan untung dan rugi dari setiap pilihan serta kondisi yang dihadapi. Memilih pilihan yang paling sedikit kerugiannya dan kondisi mengharuskan untuk memilih pilihan tertentu, maka harus siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi. Dalam hidup ini tidak ada yang tidak mungkin, semuanya mungkin bagi Tuhan. Sebagai manusia tugasnya adalah berusaha dan berserah dalam doa. 

Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil, oleh karena manusia memiliki keterbatasan maka setelah berusaha dan berserah, selanjutnya adalah meminta kekuatan dan meminta untuk dimampukan menghadapi hal yang akan terjadi kedepannya. Hari ini Frey memutuskan untuk menghabiskan hidupnya bersama teman dekatnya, menjadikan dia sebagai pasangan hidup yang menemaninya, menjaganya dalam mengarungi hidup yang penuh lika-liku penuh misteri. Saling menjaga dan menerima kekurangan satu sama lain, mereka sudah biasa melakukan hal itu dengan status teman dekat. Namun, sekarang akan berbeda statusnya menjadi calon pasangan hidup.

"Aku serius dan mau menerima perjodohan ini. Kamu sendiri bagaimana?" tanya balik Frey padanya. Gadis itu tersenyum tipis, entah kenapa Frey merasa kalau Yefta tengah mengejeknya. Mereka sudah lama bersama sehingga Frey bisa menduga-duga apa arti dari sikapnya. Namun, sekali lagi, wanita dan kemisteriusannya memang menjadi teka-teki bagi setiap pria di muka bumi. Frey beberapa kali juga salah mengartikan sikapnya, membuatnya terlihat lucu di mata gadis itu. Hanya saja, jika terlihat lucu membuatnya tertawa maka Frey rela mengesampingkan harga dirinya demi senyuman dan tawa lepas darinya. Kebahagiaan Yefta seakan-akan menjadi vitamin yang harus diminumnya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya.

"Aku juga menerima perjodohan ini."

Lega. Perasaan yang dirasakan wanita dan pria yang hadir di ruangan ini. Mereka sudah memikirkan rencana lain untuk membujuk anak-anak mereka supaya menyetujui rencana perjodohan ini. Ternyata semuanya berjalan lebih mulus dari yang mereka kira, meskipun ada drama sedikit tadi, setidaknya semua sudah teratasi.

"Finally! Akhirnya kita jadi besanan, ya," ucap pria itu sambil tertawa. Dia menjabat tangan wanita paruh baya itu. Senyuman terukir di wajah mereka, begitu pula tawa lepas yang menggema di ruangan ini, menandakan kebahagiaan yang terukir sejak malam ini dan seterusnya hingga anak-anak mereka mengucapkan janji suci pernikahan di hadapan pendeta di depan altar gereja.

"Rencana kita yang lain nggak jadi kepake," ujar mamanya Yefta sambil tertawa. 

"Iya, loh. Harusnya kita nggak usah diskusi via online sampai larut malam, ya?" balas pria itu sambil menggaruk rambutnya.

"Lah, itu mah karena kamu aja yang suka bercanda sama suami aku. Dasar."

"Yah, namanya juga jarang ketemu. Kita, kan, teman akrab makanya selalu ada yang dibahas." Pembelaan yang membuat wanita itu malas untuk membalas ucapannya.

"Ya udah, yang penting mereka udah oke. Kita bahas lagi soal tahap yang akan dilalui selanjutnya." Wanita itu sudah membereskan barang-barangnya ke dalam tas.

"Iya. Masih ada kerjaan juga yang harus diselesaikan. Mana besok ada presentasi lagi, bahaya."

Wanita dan pria itu sudah berdiri, tetapi Frey dan Yefta masih diam di tempat dan memandang satu sama lain. Tatapan yang tidak dapat diartikan oleh orang lain.

"Kalian mau sampai kapan tatap-tatapan gitu? Nggak mau pulang?"

"Hah? Oh iya, mau pulang kok, om," ujar Yefta gugup. Memandang Frey memang secandu itu, menenangkan hatinya yang tidak karuan oleh kebahagiaan dan kegundahan.

"Pa, aku ada bawa motor. Aku anter Yefta pulang ya?"

"Hah?" pekik mereka bertiga kencang. Pipi Yefta bersemu merah, tidak menyangka Frey akan seberani itu.

"Wah, udah nggak sabar mau menghabiskan malam sama calon isteri? Astaga. Kalo papa, sih, nggak apa-apa. Asal kamu jaga baik-baik Yefta."

Frey mengacungkan jempol, "Siap, pa. Aman." Cowok itu memandang ke arah mamanya Yefta, meminta restu untuk membawa anaknya pulang ke rumah.

"Ya udah. Kalian hati-hati. Jangan ngebut. Yefta nggak bawa helm lagi," ujarnya khawatir. Dia lebih khawatir anaknya yang tidak memakai helm ini ketangkep polisi sehingga mereka harus membayar denda karena kena tilang.

"Aman tante. Helm Yefta sudah saya bawa juga, selalu ada di sana."

"Selalu?" tanya mamanya Yefta lagi.

Frey tersenyum. Mereka sering pulang bersama, helm itu memang dibawa khusus untuk diberikan kepada Yefta. Bukan untuk gadis manapun. Hanya dia.

-Bersambung-

Jumlah kata: 1051

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro