Bab 7: Tutur Batin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gemuruh di dada begitu berisik, mengiringi langkahnya menuju gerbang kampus. Ternyata, Yefta masih menginginkan cinta Frey. Gadis itu menginginkan Frey dalam hidupnya, menjadi pasangannya.

Gadis itu tidak pernah bisa melupakan Frey. Dia sudah mencobanya, sejak mereka masuk ke dunia perkuliahan, Yefta berusaha untuk melupakan Frey. Melupakan cintanya pada cowok itu. Sayangnya, dia malah semakin sayang padanya. Ternyata, perihal move on tidak semudah dengan mengucapkannya. Yefta menyayangi Frey dengan sepenuh hatinya, karena itulah hatinya sakit mendengar tutur kata Frey. Sebagai seorang perempuan, feeling-nya mengatakan jika Frey menyukai Bella Alvans. Jika perempuan itu akan ke kota ini, Yefta tidak yakin bisa bertahan melihat kedekatan mereka. 

Selama ini Yefta sudah biasa melihat Frey berbincang dengan perempuan lain, tetapi mereka tidak jatuh hati pada Frey. Hal itulah yang membuat Yefta tenang. Namun, beda cerita dengan Bella. Sulit baginya untuk menerima jika binar di mata cowok itu tertuju pada perempuan itu. Kenapa bukan dia yang ada di hati Frey? Kenapa begitu sulit untuk masuk ke hatinya? Jika memang begini akhirnya, buat apa mereka bertemu? 

Seharusnya mereka tidak bertemu di SMA kala itu, seharusnya Frey tidak perlu bersikap ramah padanya. Seharusnya Frey tidak usah membuatnya jatuh cinta teramat dalam kalau akhirnya dia memilih perempuan lain. Membuat Yefta terlanjur menginginkan lebih, membuatnya ingin mengikat janji sehidup semati padanya. Namun, kenyataan menamparnya begitu keras. Mungkin, dia yang sudah keras kepala. Frey tidak hanya ramah padanya, tetapi pada semua orang. Seharusnya dia tidak perlu semudah itu jatuh hati. Terlalu banyak kata seandainya dalam hidup dan pikiran Yefta, yang pada akhirnya membuatnya semakin sakit hati. Perihal mencintai memang tidak semudah yang dibicarakan, tantangan yang ada menguji mereka yang jatuh hati. Entah berhasil atau tidak, akan selalu ada konsekuensi dibalik keputusan.

Yefta sudah menemukan plat nomor motor yang dipesannya melalui aplikasi online. Sore ini, jalanan begitu ramai. Banyak orang yang pulang dari kantor, mahasiswa yang pulang dari kampus, siswa-siswi yang pulang dari sekolah. Semua orang dengan aktivitasnya masing-masing kembali pulang ke rumah untuk beristirahat. Menikmati waktu untuk mengembalikan tenaga, karena masih ada hari esok yang harus dihadapi.

Matanya berkaca-kaca, rasa sakit di hatinya tidak kunjung hilang. Mempertanyakan mengapa sulit untuk bersama dengan orang yang diinginkannya? Mempertanyakan jalan takdir yang dibuat Tuhan padanya. Yefta akan bertemu dengan mamanya. Wanita paruh baya itu sudah mengirim pesan padanya, kalau dia akan menemaninya bertemu seseorang. Entah acara apa itu, entah siapa yang akan ditemuinya nanti. Yefta tidak ingin memikirkan hal itu berlarut-larut. Lagipula, kalau memang dia akan dijodohkan pun, dia tidak akan menolak. Tidak ada alasan baginya untuk menolak, bukan?

Menentukan arah yang dia mau, menuliskan cerita yang diinginkannya bersama pangeran pujaan hatinya. Yefta kembali melamun, mengingat senyuman Frey yang menenangkan. Yefta ingin sekali dicintai olehnya, menjadi pasangan yang supportive. Yefta ingin sekali mendukung keinginan Frey untuk fokus pada karirnya, sebab Yefta juga mau fokus pada karirnya. Mengapa mereka tidak menjalin hubungan dan meniti karir saja? Apakah tidak bisa dua hal itu dilakukan secara bersama-sama? Hidup itu harus bahagia, bukan?

Ternyata kisah cintanya memiliki akhir yang sama, menyakitkan. Mungkin akan lebih menyakitkan nanti begitu dia melihat Frey bersama Bella. Membayangkan saja, dia sudah tidak kuat. Hal itu menyakitkan, tetapi itu dunianya. Frey sudah menjadi dunia Yefta. Hatinya terluka menyadari dia tidak bisa bersama Frey. Mempertanyakan kepada pemilik semesta, mengapa bukan dia yang menjadi pemiliki hati cowok itu? Pertanyaan yang tidak menjumpai jawaban.

Pikirannya kembali mengingat saat mereka di kantin tadi. Yefta berusaha tersenyum mendengar tutur kata Frey. Sekuat tenaga menahan tangisnya supaya tidak pecah, berusaha mengendalikan dirinya yang sudah lemas. Dia tidak ingin perasaannya ketahuan oleh Frey. Rasa takut akan kehilangan Frey begitu besar. Gadis itu tidak ingin hubungan mereka menjadi canggung karena hadirnya perasaan. Perasaan yang bahkan kembali bertepuk sebelah tangan. Perasaan yang tidak seharusnya ada, hanya menorehkan luka lama pada hati yang rapuh.

"Hei? Kok diem?" tanya Frey lagi. Perubahan ekspresi Yefta membuatnya sadar, ada yang tidak beres pada gadis itu.

Yefta tersenyum tipis lalu menundukkan kepalanya. Menatap ke arah rice bowl kesukaannya tanpa minat. Dia ingin menangis, tapi tidak bisa. Dia ingin cinta, ingin menjadi Bella supaya dicintai Frey. Namun, dia tidak bisa. Yefta tetaplah Yefta. Tidak bisa berpindah ataupun berubah menjadi Bella. Gadis itu menghela napas panjang.

"Nggak kenapa-kenapa, kok. Santai aja," ujarnya lagi sambil tersenyum.

Frey sadar, gadis itu tidak jujur padanya. Namun, dia tidak ingin memaksa gadis itu untuk jujur. Dia sadar, ada alasan dibalik sikap dan gelagat anehnya itu. Entah apa alasannya, dia tidak ingin Yefta terluka karenanya.

Sayangnya, Yefta memang terluka karenanya. Dua orang manusia dengan perasaan yang tidak sejalan. Frey menghargai semua orang, karena itu dia bersikap baik pada semua orang. Dia juga menyukai Yefta, tetapi hanya sebatas teman. Bagi Frey, karir adalah segalanya. Ada tanggung jawab yang harus dipikulnya. Ada keluarga yang harus dijaganya, masih ada adik-adik yang membutuhkannya. Tidak ada waktu baginya untuk memikirkan perasaan untuk menjalin hubungan. Yefta paham soal itu, dia pernah bertanya soal keinginan Frey untuk berpacaran. Hanya saja, sulit bagi Yefta untuk menerimanya.  Apalagi, melihat Frey bersama perempuan lain. Dia tidak sanggup.

"Seharusnya aku memang tidak ada di dunia ini. Pada akhirnya hanya menyusahkan orang lain saja," gumamnya pelan.

Kali ini, Frey mendengar ucapan itu dengan jelas. Membuat keningnya berkerut mendengar penuturan itu. Dia tidak menyukai ucapan Yefta. Namun, fokusnya teralihkan begitu melihat panggilan yang ada. Nama Bella Alvans tertera di layar ponselnya. Begitu Frey melihat ke arah Yefta, gadis itu sudah melihatnya juga. Dia tersenyum tipis lalu menengok ke arah Frey.

"Kamu angkat aja. Aku pulang duluan, ya. Udah nggak ada urusan lagi di sini."

"Loh? Bentar. Kita pulang bareng aja gimana?" tawar balik Frey. Dia masih belum puas dan belum tenang kalau ekspresi Yefta saja terlihat putus asa kayak begitu. Cowok itu takut Yefta melakukan hal yang aneh-aneh yang membahayakan nyawanya. Terkesan lebay, tetapi dia pernah membiarkan teman baiknya tenggelam dalam kekecewaan dan mengakhiri hidupnya sendiri. 

Waktu itu Frey tidak mengira temannya akan begitu mudah mengambil jalan pintas seperti itu. Frey baru saja selesai mengerjakan tugasnya dan membantu adik-adiknya mengerjakan tugas begitu melihat panggilan tidak terjawab pada layar ponselnya. Pesan yang masuk membuatnya bergegas menuju ke rumah temannya. Sayangnya dia terlambat, temannya sudah pergi untuk selamanya. Meninggalkan trauma yang teramat dalam bagi Frey, dia kehilangan teman baiknya. Oleh karena itu, dia tidak ingin kejadian ini terulang kembali pada Yefta. Gadis itu, tidak seharusnya dia bersedih seperti itu. Dia harus bahagia.

-Bersambung-
1

053 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro