Eps. 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Manfaatkan waktu dengan sebaik mungkin, karena jika sudah terlewat tidak akan bisa diulang."

—🖤—

DUDUK berdampingan di ranjang, dengan lengan saling menggenggam. Itulah yang kerapkali Zayyan dan Zalfa lakukan kala mereka menghabiskan malam bersama.

"Berasa udah lama kita nggak kayak gini, Fa," katanya sembari melirik sang istri.

"Iya, aku juga kangen sama Mas," sahutnya lalu bersandar di bahu Zayyan.

Zayyan mengecup puncak kepala Zalfa singkat. "Mas juga kangen sama kamu, Fa."

"Hubungan Mas sama Nayya gimana?" tanya Zalfa.

Zayyan membawa genggaman tangan mereka agar mendekat ke wajahnya, lalu dia mengecup singkat tangan Zalfa. "Ya, seperti yang kamu lihat."

Zalfa mendongak dan menatap Zayyan lekat. "Mas masih mencintai aku, kan?" tanyanya tiba-tiba.

"Kok nanya gitu? Cinta Mas sama kamu itu nggak pernah berkurang sedikit pun. Meskipun sekarang ada Nayya, tapi kalian itu punya tempat tersendiri di hati Mas," ucapnya tulus dan jujur.

"Nggak papa, cuma nanya doang. Sikap dan perlakuan Mas mungkin bisa sama, takarannya sama rata untuk aku dan Nayya. Tapi, kan aku nggak pernah tahu isi hati Mas kayak gimana. Aku takut, Mas lebih mencintai aku, atau mungkin sebaliknya."

"Kalau Mas lebih mencintai Nayya aku tenang, karena di akhirat aku nggak akan menuntut keadilan. Tapi kalau cinta Mas lebih berat ke aku, aku khawatir Nayya akan menuntut keadilan di akhirat nanti. Aku nggak mau memberatkan hisab, Mas," tukasnya diakhiri sunggingan.

Zayyan terenyuh mendengar pengakuan Zalfa. Dia kira Zalfa akan menuntut atau mengeluhkan dirinya yang belakangan ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nayya. Namun, justru kekhawatirannya tidaklah benar.

"Mas jujur sama aku, Mas lebih mencintai aku atau Nayya. Nggak usah takut ataupun sungkan. Aku akan menerima apa pun jawaban Mas."

Zayyan menangkup wajah Zalfa lembut, dia pun mendaratkan kecupan singkat di dahi sang istri. "Nggak ada lebihnya, kamu dan Nayya punya bagian masing-masing di hati Mas. Mungkin sekarang waktu Mas sedikit berkurang untuk kamu, tapi cinta dan perhatian Mas akan tetap sama seperti dulu, sebagaimana awal kita menikah."

Zalfa melingkarkan tangannya di leher Zayyan lalu bersandar pada dada Zayyan. "Mas nggak usah berpikiran seperti itu, lagian aku yang mau. Aku emang sengaja lebih mendekatkan Mas dan Nayya."

"Untuk?"

"Supaya Nayya bisa segera mengandung," bisiknya tepat di samping telinga Zayyan.

Sekujur tubuh Zayyan seketika memanas, wajahnya pun mendadak merah karena menahan malu. Zalfa ini kalau menggoda tidak tanggung-tanggung memang.

"Kamu emangnya nggak kesepian kalau Mas lagi sama Nayya?" tanya Zayyan saat sudah mampu merilekskan diri.

Zalfa menggeleng kecil. "Ada murottal yang nemenin aku tidur, tasbih juga nggak pernah lepas dari tangan aku. Tenang dan damai, karena yang nemenin para malaikat."

"Kamu nggak nyaman kalau Mas tidur di sini?"

"Kok Mas malah berpikiran gitu sih. Ya, enggaklah. Aku tuh seneng kalau Mas nemenin aku, tapi, kan kita nggak bisa setiap saat punya waktu berdua. Aku harus berbagi suami dengan Nayya," katanya begitu legowo.

"Mas merasa bersalah dan berdosa sama kamu, Fa. Sama Nayya juga begitu, kayak kok Mas gampang banget gitu pindah ke Nayya, pindah ke kamu. Sedangkan kalian setia saat Mas nggak ada di sisi kalian. Ini nggak adil buat kamu dan Nayya," jawab Zayyan apa adanya.

"Mas nggak boleh berpikiran seperti itu. Kalau Mas sama Nayya, yang ada di pikiran dan hati Mas cukup Nayya aja, jangan libatin aku. Tapi, kalau sama aku, Mas bebas. Aku nggak akan keberatan ataupun tersinggung. Sebisa mungkin aku berusaha untuk menjaga perasaan Nayya, dan membuat dia nyaman berada di tengah-tengah kita."

Sebagian besar waktu yang Zalfa dan Zayyan habiskan ya hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran. Bahkan, obrolan di antara mereka tidak lepas dari pembahasan Nayya. Zalfa selalu menanyakan apakah suaminya bahagia? Apakah Nayya bahagia? Dan lain sebagainya.

Dia mengesampingkan perasaannya sendiri. Lebih fokus untuk mendekatkan Zayyan dan Nayya. Tidak ada sedikit pun rasa iri, justru dia akan senang kala melihat Zayyan dan Nayya keluar dari kamar dengan wajah berseri-seri. Bahagianya Zalfa saat ini sangat amat sederhana.

Dalam seminggu paling dia dan Zayyan hanya menghabiskan waktu sekitar dua hari. Itupun diisi dengan sebuah evaluasi dan rencana apa yang ke depannya akan dijalani.

"Mas nggak tahu harus ngomong apalagi, Fa. Ucapan dan tindakan kamu selalu selaras. Kamu mampu menepati janji kamu, bahkan segala perkataan yang keluar dari mulut kamu pun sangat bisa dipertanggungjawabkan," ungkap Zayyan tak habis pikir.

Mengapa ada istri seperti Zalfa?

Zalfa terkekeh pelan. "Mas nggak usah berlebihan kayak gitu ah. Oh, ya sekarang Mas alih profesi yah?"

Zayyan mengangguk mantap. Istrinya ini sangat pintar sekali mengalihkan pembicaraan, agar tak membuat Zayyan kepikiran. "Mas diminta Papa untuk mengelola resort, belum lagi bisnis Papa juga di mana-mana. Mas harus banyak belajar."

"Bagus dong, alhamdulilah Papa memberikan Mas kepercayaan. Harus dijaga itu, Mas harus jadi pemimpin yang amanah," sahut Zalfa begitu senang dan antusias.

"Alhamdulillah, walau sabarnya harus lebih diperbanyak. Semoga bisa meringankan beban Papa, kasihan beliau, sudah saatnya untuk menikmati hari tua," katanya.

"Semangat Mas Suami!"

Zayyan tersenyum dan mencubit pipi Zalfa pelan. Istrinya ini selalu ada saja tingkahnya.

"Kan Mas besok libur, tapi Mas mau keluar sebentar ada urusan," ungkapnya.

"Apa?"

Zayyan menunjukkan gawainya, di sana menampilkan sebuah pesan yang berasal dari seseorang yang Zayyan mintai bantuan untuk mencari tahu dalang dari kecelakaan Zalfa.

Zalfa mengambil alih gawainya. "Udah yah, Mas jangan dicari tahu lagi. Kita tutup buku dan buka lembaran baru. Nggak usah ungkit-ungkit masa lalu."

Zayyan menggeleng tegas. "Nggak bisa kayak gitu dong, Fa. Mas udah cukup sabar menunggu kabar baik ini, sekarang udah ketemu, tinggal cari pemilik mobilnya aja. Besok Mas akan cari tahu."

"Kalau tersangkanya ketemu, mau Mas apain?"

"Mas jeblosin ke kantor polisi."

"Ya Allah, Mas nggak boleh gitu ah. Kasihan tahu," larang Zalfa.

"Pokoknya Mas tetep mau usut tuntas masalah ini. Meskipun nggak ada bukti rekaman video, tapi ini udah lebih dari cukup. Kamu masih mengingat betul, kan mobil dan plat nomornya?" putus Zayyan tak ingin menerima penolakan.

"Iya masih, itu emang bener mobil yang nabrak aku. Tapi, udah telat juga kalau mau diperkarakan ke pihak polisi," jelasnya.

"Lebih baik terlambat daripada enggak sama sekali."

Akhirnya Zalfa pun mengangguk pasrah. "Ya udah terserah Mas aja, tapi ingat hati-hati. Mas juga jangan lupa bilang sama Nayya, besok jadwalnya Mas sama dia lho. Apalagi besok Mas libur, nggak boleh korupsi waktu."

Zayyan malah tertawa. "Mas cuma minta waktu Nayya dua jam, janji nggak akan lebih. Lagian Nayya juga pasti nggak akan keberatan."

Zalfa mendengkus pelan. "Kepedean banget Mas ini, gimana kalau Nayya ngelarang?"

"Mas akan bujuk Nayya sampai mau kasih izin, pokoknya harus berhasil. Besok Mas harus tahu pelaku yang udah nabrak kamu."

Zalfa hanya geleng-geleng. "Jangan maksa yah, jangan buat Nayya tersinggung. Harus lemah lembut bujuknya."

"Iya, siap, Tuan Putri."

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Senin, 19 Juni 2023

Kira-kira berhasil nggak yah misi Zayyan?🤔

Next or No?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro