Eps. 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangan terlalu percaya pada manusia, jangan pula terlalu menaruh harap padanya, sebab bisa menjadi sumber luka yang paling nyata."

—🖤—

SELAMA apa pun menjalin hubungan, kalau memang tidak ditakdirkan, pasti akan kandas di tengah jalan. Tak usah terlalu meratapi kesedihan, mungkin di balik itu semua Allah telah mempersiapkan sesuatu yang lebih baik dan membahagiakan.

"Kalau kamu tinggal di resort bagaimana dengan hubungan kamu dan Angga?" tanya Hartawan yang kini tengah berdiri menghadap jendela yang terbuka, membelakangi sang putri yang saat ini sedang duduk di pembaringan.

Nayya menghela napas singkat, langkahnya semakin mendekat ke arah Hartawan. Ia menampilkan sedikit senyum lantas berujar, "Selesai."

"Maksud kamu?" cecar Hartawan kaget bukan kepalang.

"Kita putus, Pa."

"Kok bisa? Pikirkan baik-baik, hubungan kalian sudah melibatkan keluarga besar, bahkan pernikahan pun sudah di depan mata, Nayya."

Nayya terdiam beberapa saat. Perkataan sang ayah memang benar, hubungan mereka sudah terlalu jauh. Terlalu banyak pihak yang dilibatkan, dan ia sadar betul sebagai seorang ayah, Hartawan pasti menginginkan akhir yang indah, yakni duduk bersama di pelaminan.

"Tante Sonya ternyata gak merestui hubungan aku dan Angga, Pa."

Hartawan membelalakkan mata tak percaya. Selama ini hubungan di antara dirinya dan orang tua Angga baik-baik saja, bahkan tidak pernah sedikit pun menunjukkan tanda-tanda terhalang restu orang tua.

"Kamu jangan ngarang, Nay!"

Nayya menggeleng kuat. "Aku pun berharap itu sebuah karangan, tapi pada nyatanya itu memang kenyataan. Tante Sonya sudah menjodohkan Angga dengan anak dari kerabatnya."

"Kenapa kamu baru menceritakan ini sama Papa?"

"Kita baru putus minggu lalu, aku masih cari waktu yang pas untuk membicarakan ini sama Papa."

"Seharusnya Angga gak bisa memutuskan secara sepihak, dia harus menemui Papa. Perlu Papa perjelas, hubungan kalian sudah melibatkan keluarga, kalau memang mau disudahi ya harus pamit secara baik-baik," tegas Hartawan.

"Aku gak mau ketemu dia lagi."

Hartawan yang semula diselimuti kabut emosi, seketika melemah saat mendengar rintihan sang putri dengan diikuti isakan pelan. Tanpa sepatah kata pun Hartawan merengkuh tubuh putrinya.

"Menangislah, Papa tahu kamu pasti sangat terluka karena sudah memendam perasaan ini sendirian," bisiknya tepat di samping telinga sang putri.

Tangis Nayya semakin menjadi, ia tak lagi bisa menahannya. Rasa sesak benar-benar menghimpit dada. Ia sangat amat kecewa dan terluka, karena sudah menitipkan harapan lebih pada lelaki bernama Angga Ardiansyah.

Seseorang yang dicintai ternyata berakhir melukai. Seseorang yang dikasihi ternyata tega mengkhianati. Seseorang yang diharapkan bisa mengucap ikrar suci, ternyata ujungnya menyakiti.

Awalnya memang manis, tapi ternyata berbuah tangis. Sungguh MIRIS.

"Papa jangan membenci Angga dan keluarganya, jangan salahkah dia, hubungan kita selesai karena memang sudah jalannya seperti itu. Aku baik-baik saja."

Hartawan semakin mengeratkan pelukannya, ia sama sekali tak tega melihat putri semata wayangnya disakiti dengan sedemikian rupa. Jika saja emosi bisa menyelesaikan masalah, mungkin kini dirinya sudah mendatangi Angga untuk memaki-maki dan menghajar  habis-habisan dokter muda tersebut.

"Papa akan selalu ada buat kamu, menemani kamu, dan akan berusaha untuk membahagiakan kamu, Sayang," tutur Hartawan terdengar sangat tulus dan menenangkan.

Nayya mendongak dan mengangguk singkat, ia pun memaksakan diri untuk tersenyum. "Gak ada satu pun laki-laki yang lebih mencintai dan menyayangi Nayya sebagaimana Papa. Makasih, Pa."

Hartawan pun menarik lepas kedua sudut bibirnya lantas menghapus jejak air mata sang putri lembut. "Makanya nurut sama Papa, jangan bandel-bandel, jangan bikin Papa darah tinggi," candanya.

Nayya tertawa kecil, tapi cairan bening itu ikut meluncur bebas tanpa bisa ditahan. Ia ingin terlihat tegar, tapi matanya tak bisa bohong dan tak kuasa untuk membendung rasa sakit. Alhasil seperti itulah, tertawa sambil menangis itu menyakitkan.

"Istirahat, sudah malam," titah Hartawan sembari menuntun tangan sang putri menuju tempat tidur.

"Aku gak bisa tidur kalau laper," sahutnya seraya menampilkan deretan giginya yang berjajar rapi.

Hartawan melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini sudah lewat dari jam makan malam lho."

"Aku belum makan dari tadi siang."

Hartawan dibuat geleng-geleng. "Memangnya kamu gak bikin video makan-makan? Tumben, biasanya tiap detik mulut kamu gak bisa diem, doyan banget makan."

Nayya mendengkus kasar. "Aku lagi gak mood buat nge-vlog."

"Efek galau?"

"Mungkin, tapi lebih tepatnya aku gak enak sama Chef Zayyan. Gara-gara video aku yang viral dia jadi dipecat, aku terlalu ceroboh," akunya cukup merasa bersalah.

"Lain kali jangan kayak gitu lagi, jangan melampiaskan kekesalan kamu sama orang lain. Kalau ada pihak yang dirugikan kayak waktu itu, kan gak baik," nasihat Hartawan lembut.

"Iya, Pa. Aku ngaku salah."

Hartawan mengacak gemas puncak kepala sang putri. "Ya sudah kalau gitu besok kamu minta maaf sama Chef Zayyan. Jangan musuhan lagi."

Nayya menggeleng cepat. "Gak mau. Bisa besar kepala dia!"

"Kepala Chef Zayyan bukan balon yang kalau ditiup membesar. Minta maaf itu gak merugikan, justru itu merupakan kebaikan. Perbuatan mulia yang gak bisa semua orang lakukan," sahut Hartawan.

"Iya deh iya gimana besok aja, yang paling penting sekarang ini adalah urusan perut dulu. Papa tega emang kalau anaknya yang cantik ini mati kelaparan," tutur Nayya terdengar berlebihan.

"Hubungi bagian resepsionis, minta tolong diantarkan makanan ke kamar."

"Boleh emang? Ini, kan sudah larut malam."

"Pelayanan resort kita 24 jam kalau perlu Papa ingatkan."

"Ish, bukan itu. Aku mau masakan Chef Zayyan, tapi gengsi bilangnya, terus takut dianya sudah istirahat. Ini, kan bukan jam kerjanya," ucap Nayya blak-blakan.

"Harus banget Chef Zayyan yang masak?" goda Hartawan dengan kerlingan mata jahil.

"Kok Papa nyebelin sih!"

Hartawan tertawa puas, saat melihat Nayya yang tengah tersipu malu.

"Emang bener apa kata orang, jangan terlalu membenci takutnya malah jatuh hati."

Nayya bergidik dibuatnya. "Nauduzbilahimindzalik, Papa ngaco. Mana ada kayak gitu, aku emang lagi pengen makan makanan sehat aja. Gak lebih!"

"Masa?"

Nayya bangkit dari duduknya, berjalan cepat keluar kamar dan meninggalkan sang ayah yang masih asik tergelak. Papanya itu benar-benar menyebalkan!

"Astagfirullahaladzim!"

Pekikan nyaring terdengar kala Nayya tak sengaja menabrak seseorang, sampai tersungkur di lantai.

"Makanya kalau jalan pake mata sama kaki. Jangan malah sibuk teleponan!" sembur Nayya.

Zayyan mendongak dan segera berdiri tegap saat mendapati suara melengking anak dari atasannya. "Mbak Nayya yang jalan gak lihat-lihat. Kayak orang yang lagi dikejar-kejar setan aja. Rusuh!"

"Lo belum tidur, kan? Mending sekarang lo masakin gue makanan. Laper nih."

Mata Zayyan membola sempurna. "Maaf yah, Mbak, ini bukan jam kerja saya."

"Berani banget lo nolak permintaan anak yang punya resort. Sudah gak betah kerja? Mau pesangon?"

Zayyan terdiam, berulang kali menarik napas untuk meredam emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Kalau tidak butuh uang, ia pasti akan lebih memilih untuk hengkang.

Ia harus bisa sesegera mungkin mengumpulkan uang untuk modal nikah. Sangat tidak sabar untuk menghalalkan Zalfa dan membina sebuah keluarga. Walaupun sampai saat ini sang calon istri belum kunjung bisa dihubungi, tapi ia akan tetap berprasangka baik dan menyiapkan bekal yang cukup untuk mereka ke depannya.

"Mbak mau saya masakin apa?"

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Selasa, 04 April 2023

Sudah sahur belum?
Sahurnya ditemani Nayya nih, gimana sama Bab kali ini? ...

Next or No

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro