Eps. 41

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Berpenampilan sederhana dengan berpegang teguh pada agama, tak usah ikut-ikutan trend viral di jagat maya."

—🖤—

NAYYA mematut dirinya di depan cermin. Memakai sedikit lipstik agar bibirnya tidak pucat, tak lupa juga membubuhkan make up tipis agar tak seperti mayat hidup.

"Gimana? Bagus gak?" katanya saat Zayyan baru saja keluar dari kamar mandi.

"Gaya hijab kamu ngingetin aku sama guru agama pas zaman sekolah," cetus Zayyan terkekeh pelan.

Nayya mencebik sebal. "Itu tuh style hijab yang lagi hits tau. Hijab Inara."

Alis Zayyan terangkat satu. "Inara siapa?"

"Inara Rusli."

"Rusli siapa lagi?"

Nayya tak menjawab, dia lebih memilih untuk mengganti hijabnya seperti yang sehari-hari dia pakai. Zayyan memang bukan suami romantis, untuk sekadar memuji saja sangat antipati sepertinya.

"Nah ini baru Nayya, yang tadi aku nggak kenal," katanya tanpa dosa.

Nayya mendengkus sebal. "Nggak ngerti trend fashion emang kamu!"

"Tutorial hijab itu sudah ada di dalam al-quran, nggak perlu ikut-ikutan yang lagi viral. Yang penting hijabnya menutup dada dan tidak menerawang, itu sudah cukup, Nay," sanggah sang suami.

"Iya, iya, iya, terserah!"

"Jangan cemberut, masih pagi ini."

"Emangnya kalau mau cemberut harus lihat jam? Ada jadwalnya?" timpal Nayya.

Zayyan menggeleng pelan.

"Ya udah ayo berangkat," ajaknya.

Zayyan kembali mendudukkan Nayya di kursi meja rias. Melepas heels yang dikenakan sang istri lalu berkata, "Wanita hamil nggak disarankan untuk memakai sepatu tinggi. Biasakan pakai flatshoes kalau mau berpergian yah."

"Aku lupa kalau lagi hamil," sahutnya begitu santai.

Zayyan geleng-geleng. "Bisa-bisanya kamu lupa, Nay."

"Ya, kan perut aku masih rata, ya berasa kayak biasanya aja. Bedanya paling cuma morning sicknes doang."

"Baru juga satu bulan, wajar kalau belum kelihatan, tapi kamu harus menjaga kesehatan. Jangan capek-capek, harus dijaga baik-baik kandungannya," peringat Zayyan.

"Iya, iya, bawel banget sih."

Zayyan bangkit untuk mengambilkan flatshoes, lalu memakaikannya pada kaki Nayya. "Itu namanya perhatian, bukan bawel."

"Iya Pak Suami yang protektifnya nggak ketulungan."

"Handstock-nya mana? Lupa yah."

Nayya menampilkan cengiran. "Iya, notice banget sih kamu sama aku, sampai detail sekecil itu aja aware."

"Perempuan itu kadang suka lupa kalau pergelangan tangan juga aurat, kamu harus istiqomah kalau keluar rumah handstock sama kaus kaki jangan lupa dipakai, karena kaki juga aurat," terang Zayyan lembut.

"Iyaa, kalau keluar malem lupa nggak papa, kan? Nggak akan ada yang lihat juga, kan gelap."

"Zayyan kembali berdiri. "Mana ada kayak gitu, mau pagi, siang, ataupun malam kalau keluar rumah ya harus dijaga baik-baik auratnya. Harus ditutup rapat."

"Padahal aku ngidam mau pakai ootd kayak anak-anak muda zaman sekarang," cetus Nayya.

"Jadilah perempuan yang cara berpakaiannya diatur oleh agama, bukan dunia. Paham, Sayang?"

Mendengar kata 'sayang' yang Zayyan lontarkan membuat buku kuduk Nayya meremang. Tidak pernah sekalipun sang suami belagak sok manis dalam hal panggilan. Di mata Nayya jatuhnya bukan romantis, tapi mistis.

"Geli tahu, Yan. Nggak usah panggil-panggil sayang!"

Zayyan malah tertawa puas. "Sayang Nayya, Sayang, Sayang, Nayya Sayang."

Nayya meletakkan tangannya di dahi sang suami. "Panas, pantes kamu aneh!"

Dia berlalu meninggalkan kamar, sedangkan Zayyan tertawa puas melihat kepergian Nayya. Senang saja rasanya bisa mengerjai sang istri.

Nayya menunggu Zayyan yang saat ini sedang memanaskan motor. Dia duduk santai di teras rumah seraya melihat-lihat gawai.

"Yuk!" ajak Zayyan berhasil menghentikan kegiatannya.

"Sarapan bubur dulu yah, Yan," pintanya kala motor sudah mulai membelah jalanan.

"Perasaan tadi kita udah sarapan nasi goreng deh, Nay," sahut Zayyan mengingat-ingat.

"Iya, tapi sekarang laper lagi. Ngidam bubur ayam yang ada depan resort," katanya.

Zayyan mengangguk sebagai jawaban.

Beruntung morning sicknes yang Nayya alami tidak separah pas awal-awal. Sekarang sudah mulai bisa dikondisikan, meksipun masih sering muntah-muntah di pagi hari, ataupun mual kala mencium sesuatu yang memiliki aroma menyengat.

Zayyan menepikan motornya kala sudah sampai di tempat tujuan. Dia memesankan dua porsi bubur, sedangkan Nayya sudah duduk anteng di tempatnya.

"Pipi aku makin melar, Yan," ocehnya seraya melihat potret diri yang kini sedang bercermin di kamera gawai.

"Makin cantik, bukan makin melar."

"Bulshit banget kamu, Yan. Bohong dosa," sahutnya merasa geli.

"Buat apa aku bohong, itu fakta."

"Manis banget mulut kamu pagi ini. Dikasih gula berapa sendok, hm?"

"Pakenya madu bukan gula."

Mendengar jawaban Zayyan, sontak Nayya pun melotot tajam. "Madu kamu bilang? Mau cari madu lagi buat aku?"

Zayyan menghela napas singkat. "Madu asli, bukan madu poligami."

"Awas aja kalau kamu sampai macam-macam!" ancamnya.

"Gini yah, Nay. Kalau sapi, kan untuk tujuh orang, kambing untuk satu orang, nah kalau kamu untuk Zayyan seorang," gombalnya dengan alis dinaik-turunkan.

Nayya menyemburkan teh tawar hangat yang belum sempurna ditelan. "Gombalan macam apa itu? Harus banget disamain sama hewan kurban?"

"Bentar lagi, kan Idul Adha, Nay."

Nayya geleng-geleng. "Kamu tuh jarang banget ngegombal, bahkan mungkin nggak pernah. Tapi sekalinya gombal, bikin bulu kuduk aku meremang. Udah deh, Yan, kamu tuh bukan tipikal cowok bermulut manis."

Zayyan membersihkan sendok dengan tissue lantas menyerahkannya pada Nayya. Sarapan part dua mereka sudah terhidang di meja.

"Gombalin istri sendiri juga. Nggak ada tersipu-sipunya kamu, Nay," cetus sang suami.

Nayya terkekeh geli. "Udah bukan zamannya lagi baper karena gombalan. Bukan masanya."

Zayyan tak merespons, dia lebih memilih untuk melahap bubur yang sudah menggoda iman.

"Yan kok ada kacangnya sih? Lupa kamu. Aku, kan alergi," ungkap Nayya saat akan mengaduk bubur miliknya.

"Ketuker sama punya aku deh, Nay. Mana udah aku makan lagi, aku pesenin yang baru," sahut Zayyan.

Nayya menggeleng pelan. "Nggak usah, aku makan punya kamu aja, kita tukeran."

"Mending kamu pindahin aja kacangnya ke mangkuk aku, Nay. Bubur aku udah sisa setengahnya ini," tolak Zayyan.

Laki-laki kalau makan memang pakai kecepatan kilat, beda cerita dengan perempuan yang ritualnya sangat amat memakan waktu.

"Okeyy."

Zayyan pun memindahkan kacang tersebut, setelah selesai barulah Nayya memakannya.

"Aku kenyang, Yan," katanya saat bubur tersisa sekitar dua sendok lagi.

"Kebiasaan," sahut Zayyan lantas menghabiskan bubur milik sang istri.

"Begah banget ini perut aku, kamu kalau makan kebiasaan banget nggak pernah dihabiskan. Bisa-bisa perut aku maju ke depan ini."

Nayya malah tertawa tanpa dosa. "Katanya kalau menggemuk bersama itu tandanya rumah tangga yang dijalani bahagia. Jadi, kamu nggak usah merajuk kayak gitu."

"Harus banget kayak gitu, jadi bapak-bapak beneran dong aku."

"Kamu, kan calon bapak-bapak."

"Iya, calon bapak dari anak-anak kamu, kan?" sahut Zayyan sedikit menggoda Nayya.

"Anak aja, nggak usah pake anak-anak. Konotasi anak-anak itu pasti banyak."

"Kok gitu?"

"Satu aja belum keluar ini, masa udah mau mikir buat nambah lagi. Aku bukan mesin yah," katanya.

"Iyaa, gimana kamu aja."

Nayya menunjukkan kedua jempolnya. "Bagus, kita ikut program pemerintah aja. Nggak usah mementingkan kuantitas, tapi harus fokus pada kualitas."

Zayyan mencubit pelan pipi Nayya. "Kayaknya emang bener sih, Nay, pipi kamu makin melar."

Nayya melirik sebal dan menjauhkan tangan suaminya. "Jangan ditarik, bisa makin melar nanti."

Sontak Zayyan pun langsung tertawa terpingkal-pingkal.

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Selasa, 27 Juni 2023

Roman-romannya makin panjang aja ni cerita 😂🤣✌️

Next or No?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro