4. SEPERTINYA JODOH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Besok yang ditunggu berjalan cepat. Sepulang kampus, Nabila menyuruh Aruna masuk ke kamarnya.

"Ini punya lo?" tanya Aruna agak terkejut saat melihat koleksi sepatu bertabur kristal yang terlihat mewah berlabel Jimmy Choo.

"Dari Om Ihsan," sahut Nabila singkat.

Mungkinkah pengusaha sekelas Om Ihsan membeli barang palsu seharga dua ratus ribu?

"Duduk sini." Nabila menepuk-nepuk kursi rias. Bermacam botol, tube, lipstik, maskara, dan kuas tertata di atas meja. Aruna terkadang menonton channel beauty vlogger di YouTube. Sedikit banyak dia tahu harganya.

Nabila cekatan merias wajah Aruna. Primer, foundation, loose powder, eye shadow berwarna tanah yang membuat area matanya seperti habis ditonjok Chris John, eye liner yang menyebabkan matanya seperti punya sayap, masih ditambah maskara pula. Nabila membubuhkan perona pipi lalu terakhir, lip cream.

"Ah, cantik kebingitan," Nabila memuji hasil kerjanya.

"Lo mendingan bikin channel YouTube," saran Aruna yang takjub.

"Terus saingan sama Tasya Farasya? Eh, sesama dokter gigi jadi beauty vlogger gitu ya," ucap Nabila sambil membuka lebar pintu lemarinya. "Nah ini bagus." Dia melepas dress penuh mote mengkilap dari penggantung pakaian.

'"Kita mau ketemu Om Ihsan di mana kok mesti heboh gini?" Aruna menurut saja memakai dress.

"Baltimore Club. Tempatnya eksekutif muda dan ekspatriat." Nabila sekarang mendandani dirinya dengan riasan persis Aruna. Mereka jadi pinang dibelah dua, saudara kembar hanya karena make up.

Nabila melapisi dress-nya dengan kardigan hitam, meminjamkan kardigannya pula untuk Aruna. Pagar indekos akan dikunci pukul sepuluh malam. Maka mereka harus bergegas keluar sekarang. Aruna memesan Grab car dari depan Alfamart.

Arus kendaraan menuju pusat kota masih padat. Mobil mengarah ke kawasan hutan pencakar langit, Jalan MH. Thamrin. Aruna sekali mengunjungi Plaza Indonesia. Selebihnya dia lebih nyaman belanja di Kelapa Gading atau ITC.

"Itu Kaiser Tower, Mas." Nabila menunjuk gedung bernuansa moderen.

Pengemudi Grab car menurunkan Nabila dan Aruna di lobi. Petugas berseragam hitam tersenyum ramah memeriksa clutch dua perempuan muda itu, lantas mengarahkan ke lift khusus yang mengantar sampai lantai 25.

Penjaga pintu Baltimore Club telah mengenal Nabila. Om Ihsan sering mengajaknya bersenang-senang melepas penat. Biasanya setelah menyogok istrinya dengan Hermes. Nyonya Ihsan tak pernah curiga suaminya main serong dengan gadis awal dua puluhan. Kehidupan seks mereka membara. Malah belakangan Om Ihsan tak pernah lupa membelikan bunga setiap akhir pekan. Romantis bagai pemuda kasmaran.

Musik lembut mengalun dan penerangan temaram menunjukkan kelas Baltimore Club. Tiga orang ekspatriat berwajah Kaukasia ditemani perempuan berperawakan mungil duduk di sofa dekat bar membahas bisnis sembari bersenang-senang.

"Tunggu di situ yuk." Nabila menunjuk sofa. "Om Ihsan barusan WA, udah otw kok."

Aruna menurut. Mereka memesan minuman tanpa alkohol serta sepiring churros. DJ memainkan musik nge-beat. Nabila melepas kardigan sehingga bahu telanjangnya terpampang. Berjoget mengikuti irama.

"Om Ihsan." Nabila melambai pada laki-laki gempal yang baru datang ditemani sesosok pria tinggi menjulang.

"Halo sayang." Om Ihsan mencium pipi Nabila, membelai bahu telanjangnya penuh minat. "Aruna ya?" sapanya ramah. Pipi berlemaknya mengkilap tertimpa cahaya redup.

Aruna mengangguk rikuh, terkejut memandang laki-laki yang menemani Om Ihsan. "Aidan," gumamnya.

"Wah, Mas Aidan memang terkenal. Di grup kolektor Panerai pun ada. Semakin mantap saya kerjasama dengan Organext."

"Aruna." Aidan menyalaminya.

Dua jam kemudian, Aruna dan Nabila bertingkah layaknya pajangan, mendengarkan negosiasi Om Ihsan dan Aidan. Organext memiliki perkebunan edamame di Temanggung. Berkat promosi Om Ihsan, Belanda yang sedang menyukai kedelai jepang setuju menjajaki kerjasama dengan Organext.

"Oke, Mas Aidan. Tinggal urus dokumen aja ya." Om Ihsan mengangkat gelas berisi bir. "Cheers."

"Cheers." Aidan menyentuhkan gelasnya ke gelas Om Ihsan, demikian pula Aruna dan Nabila.

"Nggak suka ya?" Om Ihsan memperhatikan mimik Aruna. Sangat tersiksa saat bir membakar kerongkongan.

"Maklum Om, teman Bila nih gadis pingitan," sahut Nabila.

Aruna tersenyum canggung. Ingin ke toilet memuntahkan isi perutnya, tetapi khawatir dikatai kampungan. Pengunjung semakin padat. Musik lembut bertransformasi menjadi EDM. Penuh semangat, mengundang orang melantai. Asap vape diembuskan banyak tamu bergulung mengaburkan pandangan.

"Kita turun." Om Ihsan menggandeng Nabila.

Aidan melirik Aruna lalu mengulurkan tangan. Aruna sedikit gemetar saat menerimanya. Clubbers bersorak menikmati dunia. Nabila menyapa teman-temannya, sesama daun muda seksi.

"Kamu belum pernah clubbing?" tanya Aidan pada Aruna yang mematung di tengah keramaian.

"Hah?" Aruna berteriak mengalahkan kebisingan.

Aidan menggenggam telapak tangan sedingin es Aruna.

"Kamu nggak suka di sini?" tebak Aidan to the point.

"Nggak biasa."

Aidan membimbing Aruna kembali ke sofa lantas meminum sisa bir dalam gelas. Apa enaknya minuman berbusa itu? Kepala Aruna pening padahal hanya minum seteguk.

"Belum pernah clubbing ya?" ulang Aidan tersenyum geli. Perempuan kebanyakan mempertontonkan kemulusan. Perawatan mahal memang bertujuan untuk dipamerkan. Hanya Aruna yang mengancingkan kardigan rapat-rapat.

Orang buta pun tahu betapa salah tingkahnya Aruna. Percuma berbohong. Jam ponsel menunjukkan pukul sebelas. Pagar indekosnya sudah ditutup. Ke mana dia pulang setelah ini?

"Saya juga nggak suka. Pak Ihsan memaksa ke sini. Sebenarnya kami janji mau ketemu siang. Tapi beliau meeting mendadak dengan orang dari Badan Karantina Pertanian."

"Aidan mau ekspor edamame?" Aruna berbasa-basi.

"Iya. Wulan ada lahan di Temanggung. Sejak setahun lalu Organext mulai menggarap edamame. Baru tahu kalau Belanda impor dari Indonesia."

"Asik banget pacarannya." Om Ihsan kembali bergabung. Napasnya terengah. Staminanya digerogoti usia. "Udah malam nih," ucapnya sembari merengkuh pinggang Nabila yang bersandar manja.

"Iya, kita pulang," sahut Aidan.

"Pulang?" Om Ihsan terbahak, "Saya sudah reservasi kamar. Kayaknya bakal sibuk ditemani dua gadis manis." Tangannya bergerilya meremas bokong Aruna.

Kamar yang dimaksud apa lagi kalau bukan kamar hotel. Nabila masih betah bergelayut, sebaliknya Aruna mengkerut tidak siap melayani Om Ihsan. Perlahan dia mendongak, mencari manik mata cokelat karamel Aidan, meminta tolong.

“Mas Aidan mau main bareng juga boleh. Makin ramai makin asyik kan?” Seringai Om Ihsan melebar tidak sabar mencoba mainan baru. Sebelum ke sini dia telah meminum obat kuat agar tahan minimal dua ronde.

“Sepertinya lain kali saja. Istri saya menunggu di rumah,” tolak Aidan halus.

“Ah, istrinya kurang sesajen makanya rewel. Ya kan, Sayang?” Om Ihsan mengerling pada Nabila. "Oke Mas Aidan. Nanti kita contact-contact lagi.”

Aruna ingin berteriak. Dia menautkan alis menatap Aidan agar tak meninggalkannya bersama Om Ihsan.

"Pak Ihsan, keberatan kalau Aruna saya bawa?" Aidan berkata sopan.

Om Ihsan terbahak. "Tentu tidak. Silakan, silakan. Mau saya reservasikan kamar?"

Aruna menghela napas lega. Aidan memang juga pria seperti Om Ihsan, tetapi ada sebuah magnet dalam dirinya yang menarik kepercayaan Aruna. Kalau harus menghabiskan malam, setidaknya bersama pria yang dia suka.

Aidan mendekap mahasiswi istrinya. "Saya punya hotel langganan. Terima kasih, Pak. Sampai ketemu."

***

Hello Readers,

Selingkuhan CEO bisa kamu baca di Cabaca ya. Gratis kok. Baca karyaku yang lain juga di sana. Sudah tamat.

Love,

💋 Bella 💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro