Lantunan 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengakui perasaan bukanlah kesalahan, asalkan setelahnya kita tetap berpegang teguh tanpa melanggar batasan.

🍂🍂🍂

Adzan ashar telah berkumandang sejak satu jam yang lalu, suasana sekolah mulai terlihat lenggang karena sebagian murid telah pulang, menyisakan segelintir siswa yang masih sibuk dengan kegiatan ekskul-nya. Kinan terlihat sibuk dengan rutininasnya setiap rabu sore, yaitu piket mesjid. Beruntung hari piketnya sama dengan Adzra, sehingga nanti mereka dapat pulang bersama.

Teman-teman Kinan yang lain entah pergi kemana, sehingga hari ini Kinan dan Adzra hanya piket berdua saja.

Kinan bertugas mengepel lantai bawah mesjid, sedangkan Adzra bertugas membersihkan mesjid bagian atas.

Gadis bertubuh mungil itu merapatkan bibirnya, terlihat fokus membersihkan lantai bahkan dari debu terkecil pun. Beberapa kali ia menyingsingkan lengan kemejanya, bahkan kini sudah tidak terhitung berapa kali ia mengelap peluh yang mengalir di pelipisnya.

"Rajin," komentar seseorang yang membuat gadis itu celingukan.

Kinan memutar badan, di pintu pagar mesjid terlihat seorang pemuda membuka sepatu yang dikenakannya. Selanjutnya ia berbalik, membuatnya berhadapan langsung dengan Kinan yang kini tengah memegang erat gagang alat pel.

Sebuah senyum merekah di wajah Kinan, ketika didapati seseorang yang memberi komentar tadi adalah seseorang yang tengah mengisi hati, Rahman. Rasa lelah yang hampir menderanya kini seakan hilang entah kemana, bagaikan raib bersama hembusan angin ketika wajah teduh itu menampakkan senyumannya.

"Kamu sendirian?" tanyanya Rahman.

"Iya Kak." Kinan menjawab dengan cepat.

"Eh? Nggak."

Rahman terlihat mengerutkan alisnya.

"Saya piket sama Adzra, tapi dia bersihin bagian atas," ujar Kinan yang masih menetralkan degupan jantungnya yang seringkali tidak beraturan ketika di dekat Rahman.

Pemuda itu tampak menganggukan kepala.

Tanpa aba-aba pemuda itu mengambil alat pel, kemudian membersihkan area tempat wudhu. Hening menyelimuti, tidak ada yang membuka suara, kedua insan itu terlihat asik dengan pikirannya masing-masing.

Kinan terus mengepel bagian teras mesjid sedangkan Rahman sibuk membersihkan area tempat wudhu. Sejak tadi tidak ada yang memulai pembicaraan, Kinan terlihat hanyut dalam pikirannya. Beberapa waktu yang lalu gadis itu memutuskan untuk melupakan rasanya pada Rahman. Ya, sejak dia tahu bahwa ternyata Rahman pernah pacaran.

Namun melupakan ternyata tidak semudah perkiraan. Nyatanya berada di dekat Rahman selalu membuat debaran di dadanya kian tak beraturan. Untuk sekarang, Kinan membiarkan saja perasaannya terbawa oleh sang waktu.

Dalam diam. Kini hanya itu satu-satunya pilihan terbaik untuk Kinan.

Rahman sepertinya telah selesai membersihkan tempat wudhu. Pemuda itu kemudian melangkahkan kakinya mendekat pada Kinan yang tengah mengepel lantai. Namun pandangan gadis itu terlihat kosong.

"Kamu udah selesai?" tanya Rahman.

Kinan yang sedang berdebat dengan hatinya terperanjat, tanpa sengaja kakinya menyandung ember berisi air pel, membuat isinya berhamburan di lantai. Gadis itu kehilangan keseimbangan ketika kakinya menginjak permukaan lantai yang licin. Rahman yang berada di depan Kinan dengan sigap memegang gagang alat pel yang Kinan pegang erat, membuat Kinan dapat kembali menyeimbangkan tubuhnya.

"Astagfirullah hampir saja." Rahman menghembuskan nafas lega.

Kinan masih diam. Berusaha menetralkan debaran di dadanya. Ia menatap tangannya dan tangan Rahman yang masih memegang gagang alat pel yang sama, tanpa bersentuhan. Jika dipikirkan lagi posisi mereka saat ini seperti tengah memperebutkan alat pel.

Gadis itu bersyukur kejadian dia hampir jatuh tadi tidak berujung seperti dalam sinetron, yang berakhir dengan pegangan tangan kemudian saling tatap-tatapan. Walau sebesar apapun rasa kagumnya pada Rahman, ia tidak mau hal-hal yang menurunkan harga dirinya terjadi.

"Loh Kinan?" Adzra yang baru saja selesai membersihkan lantai dua berdiri di tangga dengan alis mengerut.

"Kak Rahman? Kalian lagi rebutan alat pel?" tanya Adzra berspekulasi sendiri atas hal apa yang ia lihat kini.

Kinan dan Rahman yang masih memegang gagang alat pel yang sama tersadar. Dengan cepat Rahman menurunkan tangannya. Sedangkan Kinan hanya menggelengkan kepala pada Adzra.

"Kak makasih ya, kalau gak ada kakak mungkin tadi aku bisa jatuh." Kinan mengucapkan terima kasih pada Rahman dengan malu-malu.

"Terima kasihnya sama Allah aja, kalau bukan karena Dia mungkin sekarang saya tidak di sini." Rahman mengakhiri ucapannya dengan senyuman.

Mendengar jawaban yang Rahman tuturkan, rasanya menentramkan hati Kinan. Apalagi ditambah senyum Rahman yang meneduhkan. Lengkap sudah hari ini.

Kinan tersenyum. Mimpi apa ia semalam?

"Kalau begitu kalian pulang saja lebih dulu, sudah sore. Nanti orangtua khawatir."

Kinan menggangguk.

"Ya udah Kak kita duluan, Assalamu'alaikum."

Kinan dan Adzra kemudian pulang terlebih dahulu, meninggalkan Rahman yang sepertinya masih ada urusan.

🍂🍂🍂

Kinan dan Adzra tidak langsung pulang, mereka kini mampir dulu ke kedai es krim di dekat sekolah. Kinan mengira ada yang ingin Adzra sampaikan kepadanya.

Sejak pergi bersama Rafa akhir minggu kemarin. Kinan perhatikan Adzra selalu menghindar ketika ada Rafa.

"Kin aku udah menyampaikan perasaan aku sama Rafa."

"Hah?" Kinan tersedak es krim green tea ketika mendengar apa yang Adzra katakan.

"Terus gimana Ra?" tanya Kinan.

Adzra kemudian menceritakan kejadian akhir minggu kemarin di coffe shop yang biasa ia kunjungi dengan Rafa.

"Raf?"

"Iya Ra?"

Adzra menarik nafas sekali lagi, diam-diam mengucapkan bismillah dalam hati.

"Rafa kalau aku suka sama kamu, gimana?"

Rafa terdiam. Pemuda itu menatap tidak percaya pada gadis di depannya.

"Kamu suka sama aku itu udah pasti soalnya kan aku ganteng." Rafa memang tidak pandai membaca situasi, di saat seperti ini pun kepercaya diriannya malah meninggi.

"Hahaha, kamu pasti lagi bercanda 'kan Ra?" Rafa malah tertawa polos.

"Aku serius!" Adzra mengucapkan dua kata itu dengan satu tarikan nafas.

"Aku suka kamu lebih dari sahabat Raf."

Rafa menghentikan tawanya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Tapi Ra, bukannya kamu sendiri yang bilang sama aku, kalau dalam islam itu gak ada yang namanya pacaran. Aku gak mau pacaran Ra, dan aku juga tahu kamu pun demikian."

Tangan Adzra sekarang gemetar, namun gadis itu berhasil menyembunyikannya dari pandangan Rafa. Apakah ini artinya Adzra ditolak? Ia benar-benar malu sekarang.

"Aku gak ngajakin kamu pacaran Raf. Seperti yang kamu bilang aku gak mau pacaran. Di sini aku hanya ingin mengutarakan apa yang aku rasakan," tandas Adzra.

Gadis itu membereskan alat tulisnya. Memasukannya dengan cepat ke dalam tas. Yang gadis itu inginkan sekarang hanyalah pulang. Dengan segera Adzra berdiri.

"Assalamu'alaikum."

Hanya salam, tanpa kata apa-apa lagi. Adzra melenggang pergi tanpa menolehkan diri. Tidak berani untuk menatap seperti apa wajah Rafa sekarang.

Adzra menyelesaikan ceritanya dengan mata berkaca-kaca, di depan Kinan ia runtuhkan seluruh dinding egonya. Kinan paham, yang Adzra inginkan sekarang hanyalah bahu sebagai sandaran, hanya teman yang menguatkan, memberikan uluran tangan, dan Kinan berusaha menjadi sosok itu untuk Adzra.

Adzra yang biasanya selalu terlihat kuat dan menguatkannya, kini membuat Kinan sadar bahwa sahabat memang seharusnya selalu ada ketika suka maupun duka.

Kinan menepuk-nepuk pundak Adzra, mencoba menyalurkan kekuatan di sana.

"Udah Ra, mengakui perasaan bukanlah kesalahan, asalkan setelahnya kita tetap berpegang teguh tanpa melanggar batasan."

Tangis Adzra mulai mereda, ia tersenyum sambil memeluk Kinan.

"Makasih ya Kin udah mau nemenin aku."

Kinan mengukir senyum, "itu kan gunanya sahabat Ra."

Adzra menghapus sisa air mata yang mengering di pipinya. Memperhatikan kedai es krim yang tampak sepi. Untung saja sepi, kalau ramai 'kan Adzra jadi malu karena sudah menangis seperti tadi.

"Oh iya Kin, kayaknya kamu mulai ada kemajuan ya sama Kak Rahman," ujar Adzra mengalihkan pembicaraan diiringi senyum jahilnya.

Kinan sekali lagi tersedak es krim green tea. Ia membulatkan pupil mata kemudian menunduk, menyembunyikan semburat merah yang tampak muncul malu-malu di pipinya.

Jika yang Adzra katakan benar. Berarti tidak mustahil kan? kalau Rahman akan menjadi sosok penyempurna agamanya di masa depan?

🍂🍂🍂

'Ambil hikmahnya jangan dicontoh yang buruknya'

Din🍂
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro