Lantunan 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagiku rohis bukan hanya sekedar organisasi, jauh di balik itu, merupakan saksi perihal hati yang diam-diam mengagumi.

🍂🍂🍂

Kinan kembali pada rutinitasnya, yaitu melaksanakan sholat dhuha jika sedang berlangsung jam kosong. Memang jam kosong adalah hal yang paling menyenangkan sekaligus dinanti sepanjang masa sekolah, apalagi jika sang guru sama sekali tidak memberikan tugas. Bukankah itu merupakan salah satu nikmat yang patut disyukuri?

Kinan menghabiskan waktu luangnya di mesjid sekolah, setelah membereskan mukena gadis itu tidak langsung kembali ke kelas. Ia berdiam diri terlebih dahulu di balkon lantai dua mesjid, memandang lapangan serbaguna yang terlihat licin oleh guyuran air hujan. Gadis itu menghirup udara segar, suasana seperti ini yang paling ia sukai. Suasana setelah hujan, bau tanah yang perlahan menguar berkat hantaman ribuan tetes air dari langit.

Kabut tipis masih menghiasi sebagian pemandangan di sekolah, sebab matahari hari ini belum juga menampakkan sinarnya. Seperti yang sudah diketahui sekolah Kinan ini memang dikelilingi oleh bukit, tetapnya berdiri di kaki bukit nan hijau.

Ar-rahman

Allamal quraan

Khalaqa-insaan

Allamahul bayaan

Kinan yang sejak tadi memandang lapangan serbaguna menolehkan kepala, ketika terdengar lantunan al-qur'an dari lantai pertama.

"Ini kan.." suara itu terdengar familiar di telinganya.

Kakinya perlahan melangkah, kemudian berdiri tepat di pagar pembatas lantai atas, melongokkan kepala ke bawah sana.

Pemuda berpeci hitam itu bersila sembari membacakan surah ar-rahman, terlihat khusu. Sampai-sampai dia tidak menyadari keberadaan Kinan yang sejak tadi memperhatikan. Dialah sang pemuda ar-rahman.

Kinan menyunggingkan senyuman.

Teka-teki itu sudah menemukan jawaban, pemuda ar-rahman itu Fandi, pemuda ar-rahman itu adalah orang yang sejak lama ia kagumi, Rahman Khairan Alfandi.

"Ehem," suara dehaman itu menyadarkan Kinan.

Gadis itu membulatkan mata, ketika Rahman menengadahkan kepala, menatap tepat ke dalam manik kopinya.

"Boleh bicara sebentar?" Rahman memberi isyarat dari lantai pertama.

Kinan menggigit bagian bawah bibirnya sembari mengangguk kaku. Wajah gadis itu sedikit memerah, merasa tertangkap basah.

"Sejak kapan kamu ada di mesjid?" tanya Rahman.

"Eh.. udah sedikit lama Kak soalnya tadi lagi jam kosong juga," ucap Kinan sambil melangkah di koridor dan sekarang dia tidak berjalan sendirian karena kini Rahman tengah berjalan beriringan bersamanya.

"Sama, saya juga."

Kinan hanya ber-oh ria.

"Kinan."

"Iya Kak?"

"Sebentar lagi pergantian kepengurusan, sebentar lagi saya akan lengser dari jabatan saya sebagai ketua rohis." Kinan masih menyimak setiap kata yang diucapkan Rahman.

"Kalau boleh tahu, sebenarnya bagi kamu rohis itu apa?" tanya Rahman.

Kinan terdiam sejenak, bahkan kakinya juga ikut menghentikan langkah.

"Bagiku rohis bukan hanya sekedar organisasi, jauh di balik itu, merupakan saksi perihal hati yang diam-diam mengagumi," ucap Kinan dengan mata yang tepat menembus ke tatapan elang itu.

Seandainya bisa, bukan hanya suara dari bibirnya yang ia katakan, tapi tepat dengan tatapan lurus itu ia ingin menyampaikan suara hatinya yang tidak bersuara, yang hanya bisa terdengar oleh minda gadis itu saja.

Dalam waktu dan detik yang sama, dengan jarak beberapa meter, berdiri seseorang yang menatap Kinan dan Rahman yang kini berjalan bersisian. Tatapan mata itu tidak dapat diartikan, namun kamera ponselnya terarah tepat pada objek yang ia lihat, dalam hitungan detik jemari itu menekan tombol merah, mengabadikan sosok keduanya.

🍂🍂🍂

Kinan menemani Adzra yang ingin mengembalikan buku ke perpustakaan. Tanpa sengaja di koridor itu matanya menangkap sosok Aksa yang tengah berjalan ke arahnya. Sekarang Kinan tidak sedingin dulu, ya, tepatnya setelah ia mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia mengagumi Rahman.

Kinan menyunggingkan senyum dan berniat menyapa Aksa.

"Hai!" sapa Kinan hangat.

Namun, orang yang di sapanya hanya melirikkan mata sekilas kemudian berlalu begitu saja. Tampak tidak menghiraukan sapaan pasiennya itu.

Kinan mengerutkan kening, apa apa dengan Aksa? Biasanya pemuda itu akan mengganggunya setiap bertemu, menyapa dengan ceria dan selalu mengatakan bahwa dirinya adalah dokter cinta yang khusus diciptakan untuk Kinan.

"Kenapa tu orang Kin?"

Kinan mengangkat kedua bahunya.

"Lagi dapet kali, udahlah bodo amat sih!" ujar Kinan sekenanya.

Adzra hanya terkekeh pelan mendengar tanggapan Kinan, keluar lagi deh sifat dinginnya, pikir Adzra.

Tawa yang menghiasi wajah Adzra memudar, ketika tanpa sengaja matanya menangkap keberadaan seseorang yang terlihat sedang berjalan, mendekat padanya dan Kinan. Tepatnya karena akan berpapasan.

"Assalamu'alaikum," ucap Rafa menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada kala tanpa sengaja berpapasan dengan Kinan dan Adzra.

Ah, sedikit informasi, sesama anak rohis memang membudayakan untuk saling mengucap salam ketika bertemu.

"Wa'alaikumussalam," ucap Kinan dan Adzra berbarengan.

Sejak tadi Adzra hanya menjatuhkan tatapannya pada sepatu.

"Duluan ya!" Rafa kemudian berlalu pergi untuk melanjutkan langkah tanpa melihat lagi ke belakang.

"Ra?" Kinan menatap sahabatnya.

Adzra perlahan mengangkat kepala.

"Iya?"

"Kamu sama Rafa sekarang gimana?"

"Maksudnya?"

"Yaa, kalian masih saling jauhan?" tanya Kinan hati-hati.

Adzra menghela nafas, "Aku juga ga tahu Kin."

"Tapi kalian masih sahabatan, kan?"

"Ga tahu Kin, sebenarnya aku gak suka kalau harus bahas ini, aku.. merasa malu aja sama diri aku sendiri."

"Maaf."

Adzra tersenyum, "kamu gak perlu minta maaf Kin, kamu gak salah apa-apa, aku hanya.. apa ya? Yaa... mungkin akunya aja yang terlalu baper."

🍂🍂🍂

Hujan. Ini bukan yang pertama kalinya hujan turun hari ini. Tidak aneh memang karena ini sudah memasuki musim penghujan. Namun, yang membuat Adzra sedikit kesal adalah fakta bahwa hari ini ia tidak membawa jas hujan bahkan jaket saja ia tidak bawa.

Maka gadis itu memutuskan untuk berteduh. Ia tidak mau jika seragam sekolahnya basah. Karena biasanya pakaian putih yang basah akan membuat pakaian lain yang ia kenakan menjadi menerawang. Walau pun kini ia menggunakan kerudung yang panjang, tetap saja jaga-jaga harus dilakukan, kan?

Jemari tangan Adzra memutih, pertanda ia kedinginan, bahkan tubuhnya pun terlihat sedikit menggigil.

Seperti pesan Mama, "Kalau hujan deras harus berteduh, tapi ingat! Berteduhnya harus di tempat yang ramai, banyak orang, jangan yang sepi, terus kalau mau berteduh lihat dulu tempatnya jangan sembarangan! Kamu lihat Adzra di berita banyak tanah yang rawan longsor terus banyak pohon yang tumbang ke tengah jalan."

"Iya Ma bawel deh,"

"Adzra dengerin kalau Mama bicara, Mama teh khawatir sama kamu, takut ada apa-apa gitu, ngartos?" ucap Mama Adzra dengan logat sunda yang kental.

"Heem." Itulah kata yang biasa Adzra ucapkan sebagai tanda meng iya kan.

Adzra tersenyum kecil ketika tiba-tiba petuah Mamanya ia ingat.

Seseorang baru saja memarkirkan motornya, ikut berteduh juga di depan jejeran toko di pinggir jalan.

Pemuda itu menyugar rambutnya yang basah, tanpa sengaja pandangannya menangkap seorang gadis yang ia kenali.

"Loh? Adzra?"

Adzra menoleh ketika ia mendengar seseorang menyebutkan namanya, gadis itu membulat mata.

"Rafa?" gadis itu merutuk, kenapa ia harus bertemu dengan Rafa?

Gadis ini cukup malu untuk menyimpan mukanya.

"Berteduh juga?" tanya Rafa.

"Iya."

"Sudah dari tadi Ra berteduh di sini?"

"Iya."

Rafa kehilangan topik pembicaraan, karena sejak tadi Adzra hanya menanggapi ucapannya dengan singkat.

"Kamu dingin ga, Ra?"

"Iya."

"Butuh kehangatan ga?"

"Iya."

"Eh?" Adzra menolehkan kepala.

Rafa tersenyum, kemudian melepas jaket biru navy yang dikenakannya, kemudian menyodorkannya pada Adzra.

"Pakai aja kalau kamu dingin," tawar Rafa.

"Ga perlu, makasih."

"Ra?" Rafa memanggil Adzra lagi.

"Kamu masih marah, ya?" tanya Rafa.

"Maaf."

"Gak. Harusnya aku yang minta maaf Raf, Maaf ya."

"Soal pembicaraan kita di kedai kopi beberapa minggu lalu—"

"Rafa tolong jangan dibahas!" potong Adzra.

"Maaf Ra."

Selanjutnya hening, tak ada lagi yang melanjutkan percakapan. Adzra menyibukkan dirinya menatap rintik hujan yang menjatuhkan dirinya ke tanah. Gadis itu berpikir, dia harus belajar ikhlas pada hujan yang rela menjatuhkan diri berkali-kali, sebagai sumber kehidupan, walau ada sebagian manusia yang merutuki dirinya karena beberapa aktivitasnya menjadi terhenti.

Adzra mengerjap ketika jaket biru navy itu disampirkan di badannya. Ia menoleh pada Rafa yang berdiri di sisinya, menatap pemuda itu dengan alis berkerut.

"Jangan nolak Ra, aku tahu kamu kedinginan dan aku tidak mau kamu sakit," pemuda itu menatap langit, memperhatikan hujan yang kini turun tidak begitu deras, "aku duluan ya, Assalamu'alaikum."

Rafa tersenyum tipis, menyalakan motornya, kemudian melaju, menembus hujan dan membelah jalanan. Meninggalkan Adzra yang masih diam menatap kepergiannya.

🍂🍂🍂

'Ambil hikmahnya jangan dicontoh yang buruknya'

Din🍂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro