|Identitas yang Sempat Teretas (Tema: Ekonomi Sosial Budaya di Tengah Pandemi)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa-apaan ini!" Pria berbadan tambun itu melempar beberapa pecahan uang rupiah. Kepingan koin receh menghasilkan bunyi berisik ketika mendarat di atas permukaan meja. "Alam Gumilar, kau tahu sendiri ketentuannya, 'kan? Jika setoran tidak memenuhi target kesepakatan awal, maaf saja, tidak ada lagi mobil yang bisa kau gunakan di sini."

"Maaf, Bos. Selain biaya sekolah anak-anak, barusan ada razia polisi di jalan Cicurug. Katanya harus pakai masker. Dan angkot hanya bisa terisi 50% dari jumlah penumpang biasanya. Banyak penumpang saya yang langsung disuruh turun, Bos. Karena masker saya dipakai Melva, jadinya malah kena denda pula." Alam mengelap keringat yang mengucur di pelipisnya. "Saya mengerti, Bos. Saya akan mencari penghasilan tambahan yang lain. Setelah tersedia, saya akan menyerahkan kekurangan uangnya pada Bos. Tetapi, izinkan saya untuk kembali menarik penumpang dari angkot Bos, ya."

"Terserahlah. Yang pasti, selama target setoran belum terpenuhi, kamu belum bisa menarik penumpang dulu, Alam."

•   •   •

"Bapak! Tumben sekali, pulang cepat begini."

Baru saja membuka pintu, Alam tersenyum mendapati sambutan putri sulungnya. Alam mengangkat alis. "Yah, Bapak akan lekas ke pasar sehabis mandi. Menjadi kuli angkut serabutan terlihat lebih menguntungkan dibandingkan menarik angkutan saat pandemi begini. Bagaimana keadaan Ibu?"

"Ibu baru saja beristirahat. Adik akan menjaganya. Melva akan keliling dulu." Melva memperlihatkan keranjang di tangannya yang berisi aneka ragam camilan dan lauk-pauk sederhana. "Oh, ya. Téh Rosi juga menitipkan kroket dan dadar gulung. Lumayan, Melva dapat dua ratus rupiah perbuahnya."

Alam tertawa kecil.

"Pulangnya, Melva juga akan menemui Aakash dulu ya, Pak. Melva berangkat, assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam." Ketika Melva sudah menghilang dari pandangan, barulah Alam memasuki bilik kamar berukuran kecil. Alam memamerkan senyuman lebarnya pada seorang wanita yang sedang terbaring tak berdaya di atas dipan. Alam mendekat, mengusap rambutnya perlahan. "Bagaimana keadaanmu?"

"Alhamdulillah, membaik. Anak-anak merawatku dengan baik." Gilda berusaha bangkit, duduk bersandar. "Di jalan sedang tidak begitu baik, bukan?"

"Yah, begitulah. Untuk sementara, aku tidak akan narik penumpang dulu."

"Eh, apa pintu sudah dikunci?"

Ditodong pertanyaan mendadak seperti itu membuat kening Alam mengerut keheranan. "Hanya ditutup, seperti biasa. Kenapa?"

"Tidak ada. Hanya saja, barusan Téh Rosi mengantarkan jualannya sambil bercerita bahwa dia memergoki pencuri di rumahnya, tetapi berhasil kabur. Apa sewaktu berjama'ah di masjid, tidak ada yang membicarakannya?"

•   •   •

"Syukurlah kalau istrimu baik-baik saja. Ah, sehabis rapat pengurus DKM memang selalu lapar, ya. Kalau begitu, saya duluan, Lam. Assalamu'alaikum."

Langkah Alam terhenti di depan rumah Bandi, lalu berbalik arah. "Ah, saya lupa membeli koyok untuk Gilda. Wa'alaikumussalam, Pak Bandi."

Setelah menyimpan sarung dan pecinya, Bandi mendekat pada sosok hitam yang sedang sibuk mengutak-atik jendela menuju bagian belakang rumahnya. Tanpa bersuara sedikit pun, Bandi menggenggam erat lengan berbalut pakaian serbahitam itu. Manusia misterius itu terkejut dan berusaha meloloskan diri. "Kau siapa?"

Mulutnya tak mau terbuka, hanya gerakannya yang semakin berontak.

"Tidak mengaku dan terus melarikan diri hanya akan membuat situasimu semakin rumit. Kalau begitu, mohon maaf." Bandi berteriak, "MALING!"

Beberapa warga merangsek masuk ke rumah Bandi. Termasuk Alam, yang kebetulan melintas dari warung. Sebelum yang lain sempat menghakimi, Alam tersadar, lantas bergegas mendekat lebih dulu. Bandi melepaskan cengkeramannya. Tanpa ragu, Alam menarik masker gelap yang dikenakan pencuri itu. Pada detik yang sama, koyok di genggaman tangan Alam terlepas, mendarat di lantai. "Melva?"

Dengan menggigit bibir disertai napas tersengal, Melva memberanikan diri untuk menatap papanya dari bayangan tudung hoodie hitam yang hampir menutupi matanya. Demi menyaksikan kenyataan mengejutkan tersebut, setiap orang di sana hanya terdiam.

"Jadi ini, alasanmu selalu pulang terlambat saat mengaji? Ataukah sebenarnya 'mengaji' itu hanya alibimu untuk melancarkan aksi 'hebat' ini, HAH?" Alam berusaha menahan emosinya ketika Melva terlihat menunduk tidak berdaya. "Apakah pencurian di rumah Téh Rosi juga kelakuanmu, Melva? Jawab Bapak! Saat berbuat kesalahan, kau tidak pernah Bapak minta untuk menunduk seperti pengecut. Bapak selalu mengajarimu agar menatap ke depan, mengaku, dan bertanggung jawab atas yang telah diperbuat."

"IYA! Melva yang melakukannya." Bibir Melva bergetar. Patah-patah, Melva berusaha menatap kedua mata Alam. "Melva ... Melva hanya berusaha memberikan hak pada yang jauh lebih berhak menerimanya. Melva tahu, Téh Rosi mendadak berjualan kroket dan dadar gulung agar dapat mencairkan bantuan UMKM. Padahal sedari awal, Téh Rosi sudah menerima bantuan COVID! Pak Bandi juga. Pak Bandi tidak perlu susah payah mencari penghasilan. Gajinya datang seperti biasa, meskipun kerjanya hanya di rumah. Tidak seperti Bapak, orang tua Aakash, dan yang lainnya! Bapak ... Bapak harus bekerja mati-matian hanya untuk memastikan kami dapat makan, setidaknya sekali dalam sehari, meskipun itu berarti hanya sepiring untuk berempat."

"Melva—"

"Pak, Melva tidak bisa!" Dengan air mata yang meluncur semakin deras, Melva tak membiarkan Alam menginterupsi kalimatnya. "Diam saja tidak akan membuat perut kita penuh. Bungkam saja tidak akan memperbaiki kehidupan kita."

"MELVA, apa Bapak banting tulang hanya untuk mendidikmu menjadi seorang pencuri?" Alam membelai lembut kepala Melva. "Bapak bersyukur dengan kehidupan Bapak. Dan keluarga kita tidak pernah mau dikasihani, bukankah begitu? Kembalikan curian itu pada Pak Bandi. Semuanya."

Tanpa berani menatap Bandi, Melva menyerahkan segepok uang.

"Bagaimana dengan curian dari Téh Rosi?"

"Ada di Aakash. Kami berniat membaginya pada anak kampung sebelah yang ayahnya sedang sakit keras."

"Kembalikan."

•   •   •

Habislah. Warga sekampung pasti akan menggunjingkannya dalam sebulan penuh. Melva dan Aakash baru saja mengembalikan uang Rosi. Melva sedang merenung saat pintu depan diketuk. Melva tidak siap untuk menghadapi orang sini. Tetapi, tidak ada pilihan lain.

"Assalamu'alaikum, Melva."

Pak Bandi, juga sekerumunan penduduk lain. Melva menunduk. "Wa'alaikumussalam."

"Ini, sedikit untuk Melva sekeluarga."

Melva terkejut ketika di tangannya sudah ada sebuah kantong plastik yang berat. "P-pak Bandi tidak ... marah?"

"Bapak justru senang. Terima kasih telah mengingatkan Bapak untuk bersedekah. Oh, ya. Aakash juga akan mendapatkannya. Mau ikut memberikannya bersama-sama?"

Melva mengerjap, tunggu. Sorot matanya kembali berbinar, menatap Bandi lekat-lekat. "Benarkah? Boleh?"

Bandi tergelak, menepuk-nepuk kepala Melva. "Anak baik. Tentu saja. Kenapa tidak?"

Dan ... yah. Di tengah krisis ekonomi seperti ini, bukanlah saatnya kita tutup mata, tutup telinga. Ini adalah momentum kita untuk bersatu. Bukan lagi ribut-ributan soal siapa yang lebih berhak mendapat bantuan, melainkan tentang proses untuk bersama menghadapi masa pandemi dengan saling menguatkan. Kau dan aku, layaknya bendera merah-putih yang sudah seharusnya tetap bersatu.

Gotong royong. Hei, bukankah itu sudah menjadi identitas budaya bangsa?

•   •   •

—Note: ini harusnya kuikutkan dalam lomba di salah satu universitas gitu. Ta-tapi kelupaan ngirim:) Jadi yaudah lah ya, lumayan buat pajangan di WP:') Tapi seriously, aku nulis ini asik banget wehhh😭 Oiya, sekali lagi aku ngejiplak tokoh-tokoh di History Track. Maapkan:'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro