|Lukisan Langit Agustus (Tema: Agustus)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak pernah menyukai senyuman yang tak lekang bertengger di bibir tipisnya. Oh, bukan. Senyuman itu memang membuatku terjatuh. Tetapi penggunaan berlebihannya yang membuatku muak. Hei, overdosis juga tidak baik, bukan?

Dialah samudera, yang tak pernah membuatku lelah untuk terus mengarunginya. Tenggelam. Tiada dasar. Tiada ujung. Lantas lama kelamaan, rasanya aku tidak ingin pernah kembali ke permukaan lagi.

Hari itu diperingatinya kemerdekaan bangsa. Aku mengingatnya dengan jelas. Ketika perlahan, bendera dwi-warna itu membumbung tinggi di angkasa. Berkibar gagah diterpa angin sore. Ya, pemandangan yang kulihat di atap sekolah bersamanya senja itu. Tadi pagi, sekolahku mewajibkan seluruh siswa mengikuti upacara. Sebagian besar langsung pulang ke rumah begitu acara selesai. Tetapi tidak denganku, juga ... manusia robot di sampingku ini.

"Hei," kataku mengawali pembicaraan sekenanya. "Menurutmu, apa hakikat dari merdeka?"

"Berdasarkan KBBI, merdeka itu bebas dan berdiri sendiri."

"Bagaimana denganmu? Apa dirimu sudah merdeka?"

Lelaki itu terkekeh pelan. Lagi-lagi mengulas senyuman. "Kau ini bicara apa?"

Aku bangkit dari mode berbaring. Sosok di sampingku ini mendadak saja membuatku jauh lebih tertarik dibandingkan hamparan jingga di atas sana. "Kau tahu? Kau ini tidak merdeka sama sekali. Lihatlah senyuman sok manismu itu! Kau tidak melakukannya berdasarkan keinginanmu sendiri."

Sialnya, dia malah semakin tergelak. "Tidak, tidak. Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu? Senyumanku ini seratus persen berada di bawah kendaliku. Tidak ada yang mempengaruhiku, oke? Aku melakukannya secara independen."

"Oh, ayolah. Mana ada manusia normal yang tidak pegal menarik bibirnya sesering itu?"

"Kau tidak ingat bahwa kau sendiri yang mengataiku abnormal? Abnormal bagimu adalah suatu hal normal bagi manusia abnormal sepertiku."

"Aku hanya—"

"Ssshh!" Dia memungkas kalimatku. "Kau akan tahu, nanti. Semua ini ... adalah lukisan untuk hari-hari panjangmu yang menanti di ujung sana."

Aku membeku. Tidak. Bukan karena telunjuknya yang menyentuh bibirku. Melainkan hal yang jauh lebih krusial dari itu: untuk pertama kalinya, kulihat senyumnya membentangkan kehampaan.

Sejak itu, aku tahu segala hal yang terjadi adalah kesalahan. Dua jam berikutnya, yang mengelilingiku adalah denting elektrokardiogram yang membentuk garis panjang, memutuskan tali kehidupan. Lalu kusadari, ia pergi layaknya mentari yang menepi. Bedanya, aku tak pernah tahu kapan ia akan kembali terbit dalam hidupku.

Satu tahun berlalu. Dan aku masih menatap langit yang sama seperti waktu itu. Hal berikutnya yang kusadari adalah, aku tidak pernah membenci senyuman itu. Aku ... hanya terlalu takut untuk kehilangannya suatu saat. Dan itu bukan sekadar ketakutan lagi.

Dialah sang angkasa, melukiskan setiap senti senyummu. Hanya itu yang tersisa untuk hari-hari panjangku, persis seperti yang kau katakan kala itu.


—Note: Ini flashfiction. Selalu ngiler buat bikin novel kayak gini, hikd. Soon, maybe?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro