26| Harapan-harapan yang diaminkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setiap hari, setiap masa
Doa-doa disenandungkan
Doa-doa baik, doa-doa bahagia
Lalu diaminkan dengan dalam
Dengan tulus, dari hati ke ilahi
Semoga diaminkan para malaikat
Sampai ke hadapan Tuhan
Semoga lekas dikabulkan
Doa-doa dari para manusia
Yang bukan apa-apa

🌻🌻🌻

Omongan Angkasa benar. Ibuk menjelaskan semuanya kepada saya. Saya tersenyum lega tentu saja, lalu sekarang saya berada, menyantap pesanan yang tadi saya pesan. Di depan saya ada Pak Faiz yang tersenyum, lalu ada Angkasa pula.

Obrolan-obrolan menyambung di antara kami, membahas ini itu. Menceritakan segalanya, tentang kapan Pak Faiz dan Ibuk bertemu yang rupa-rupanya mereka pernah satu sekolah di luar negeri kala itu. Lalu saya tahu pula kenapa sejak awal Pak Faiz berkata saya ini anak baik, rupanya beliau sudah tahu mengenai saya.

Jangan lupa, bagian untuk mempersunting Ibuk lebih lanjut. Menjadikan insan sepasang. Katanya, bila tidak ada halangan akan dilaksanakan segera, barangkali setelah tahun baru. Di lembaran baru, di halaman pertama buku yang lebih baik.

Saya teramat bersyukur Ibuk mendapatkan orang seperti Pak Faiz. Lelaki baik dan bertanggung jawab. Murah senyum serta bijaksana. Semoga pilihan ini membawa kebahagiaan untuk seterusnya.

Selepas makan bersama, saya dan Angkasa pergi ke rumah sakit beserta anak band yang lain. Kami bersama memutuskan menjenguk Minggu, berharap selalu ia akan segera sembuh dan berkumpul bersama.

"Woy, ini rame-rame apa enggak papa?" Tentu itu Lion dengan pertanyaan randomnya. "Entar kalau dikira grebek gimana?"

"Tuolol, pol! Lu pikir lagi bikin konten utube apa, grebek-grebek segala!"

Yah, yah, mereka kembali beradu mulut lagi. Dilihat-lihat mereka berdua Ran dan Lion seperti tom jerry, banyak beradu tapi bisa saja berujung saling jatuh cinta. Ah, lucunya.

"Hus, kalian ini, di rumah sakit masih aja ribut!" Ayu menengahi, ia tampak jengah.

Angkasa di sebelah saya menghela napas. "Saling jodoh mampus dah lu!"

"Ogah, nggak sudi!" Seru mereka serempak.

"Nah, sama. Udah tanda-tanda jodoh." Flow yang sedari diam menimpali. Saya terkekeh, ada-ada saja.

"Lambene nguawur pol!" (Mulutnya sembarangan banget-red) Lion beringsut kesal.

Saya yang tahu artinya tambah terkekeh. Kami bersama sontak terdiam, mengunci mulut rapat-rapat sesaat seorang suster menegur kami karena berisik. Tapi itu tak berlangsung lama, selepas sosok suster itu pergi menjauh, Lion dan Ran kembali beradu, saling menuduh-salah siapa.

Hingga akhirnya kita tiba di ruangan Minggu. Di bangsalnya tubuhnya merebah, sebelum akhirnya dipaksakan untuk duduk saat melihat kami. Saya tersenyum nanar, sedangkan Minggu tersenyum manis. Ah, lelaki itu!

"Hi, Bro! Gimana keadaan lu?" Lion bertanya sembari memeluknya.

"Ya, gini-gini aja," jawabnya sambil terkekeh.

"Maaf ya, Minggu, kami datang mendadak gini." Ayu tersenyum, ia meletakan parsel buah ke atas meja. "Buahnya jangan lupa dimakan, biar cepat sembuh."

"Haha, enggak papa. Thanks Yu."

"You're welcome."

Saya yang di belakang mereka hanya diam mengamati percakapan-percakan kecil yang terjadi. Mengamati tubuh Minggu yang semakin ringkih dibalut pakaian rumah sakit. Ruam di tubuhnya agaknya tak kunjung hilang. Ah, ingin sekali saya memelukmu, tapi tidak mungkin juga kan sekarang.

"Apa enggak bosen bro di RS terus?"

Sontak pertanyaan Lion yang tiba-tiba itu mendapat pelototan dari yang lain. Ah, mulutnya, perlu dikeruwes.

"Bosen lah, njir! Lu udah tahu pakai tanya!" Ran mencibir.

"Haha, kalian ini, jodoh lho nanti." Minggu terkekeh. "Santuy, udah biasa gua mah."

Udah biasa?

Sudah biasa merasakan sakit maksudnya?

Sudah biasa terdiam di RS tanpa ada teman?

Sudah terbiasa meminum obat-obatan pahit?

Atau sudah terbiasa menderita sendiri?

"Ekhem." Angkasa berdehem, melirik saya sekilas sebelum kembali bersuara. "Lapar nih gua, nyari makan yuk? Gua tinggal dulu enggak papa, kan, Gu?"

Minggu mengangguk. Saya mengernyit. Lho bukannya Angkasa tadi udah makan di restoran dengan saya? Kenapa bilang lapar? Yang lain juga kenapa ikut-ikutan berdiri, sih?

"Gua ikut dong, yuk Yon ikut." Ran menarik tangan Lion, lelaki itu memberontak tak terima.

"Lho, kok-"

"Ayuk, ih!" Ia menariknya, ralat menyeret lebih tepat.

Ada apa, sih?

Anehnya, tiba-tiba Ayu mendekat ke arah saya sembari berbisik, "Good luck, Nin!"

"Eh?"

Mereka pergi, benar-benar pergi dengan Lion yang ditarik paksa oleh Ran. Menyisahkan kami, saya dan Minggu. Semenit setelahnya saya baru sadar, mereka tengah memberi saya ruang untuk bercakap dengan Minggu-lebih.

Ah, tiba-tiba degub jantung saya tak tentu. Makin gila!

"Kamu tidak ikut mereka?" Suara Minggu mengintropeksi.

Saya menggeleng. "Tidak. Kamu benar-benar baik saja, Minggu? Ruam di wajahmu lebih parah dari sebelumnya."

Minggu terdiam, mengamit tangan saya. Tangannya panas sekali. "Sebenarnya saya tidak baik-baik saja, tadi pagi kepala saya sakit sekali. Rasanya seperti mau pecah. Seharusnya saya tak bilang begini, 'kan? Supaya kamu tidak khawatir. Tolong jangan menangis."

"Tidak apa-apa, 'kan saya yang meminta. Sekarang bagaimana? Apa sudah sedikit reda?" Saya menatapnya, menatap iris cokelatnya.

"Iya, saat kamu datang sakitnya hilang."

Gombal! Dasar lelaki modus!

Saya terkekeh, menipuk lengannya pelan-teramat. "Haha, kamu ini! Sangat, sangat modus!"

Ia terkekeh. "Haha, tapi kamu sayang kan?"

"Kata siapa?" tanya saya sambil memajukan wajah.

Minggu ikut mencondongkan badannya, melirih pelan. "Makhluk bumi kemarin memberitahu, kamu bilang cinta sama baskara. Padahal ia tengah redup. Iya, kan?"

Sialan!

Minggu ini menyebalkan.

Saya tak terima, sok menggeleng. "Enggak, ya! Jangan mengada-ada!"

Ia tersenyum, mengulas senyum lebih manis. Jantung saya kian berdetak tak karuan, menggila di dalam dada.

"Kalau rembulan tidak mengakui ya tidak apa-apa. Asal dia tahu, baskara juga menyayanginya, sungguh. Doanya tiap hari hanya satu, semoga rembulan bahagia selalu. Apa kabar? Bagaimana hari ini rembulan? Walau baskara tidak bisa selalu di sisimu, semoga harimu menyenangkan."

"Senin, Minggu! Buka rembulan! Itu yang di luar sana baru rembulan. Kalau kamu tanya apa kabar dengannya, tuh ia sedang meninggi di angkasa, sinarnya terang sekali." Saya beringsut.

"Bagi baskara yang satu ini, rembulannya itu yang di hadapannya. Bagaimana? Apa kabar? Kamu sudah tahu kabar saya, curang sekali!"

Sialan!

Minggu, menyebalkan!

Dia selalu menggombal! Tidak tahu situasi sama sekali.  Sejujurnya, saya pun teramat bahagia hari ini, tapi saya tidak bisa mengatakan itu. Kalau saya mengatakannya apa dia akan berhenti menjadi baskara untuk saya? Ucapannya kemarin serta teka-teki yang belum selesai. Saya tidak ingin menyudahinya segera.

Memang, dia mau ke mana? Setelah saya bahagia?

Kediaman saya, tanpa sadar membuat mata saya terpaku pada sebuh buku yang menongol di dalam laci meja. Sejak kapan ada di sana? Buku apa itu? Tidak mungkin kan dia belajar buku Fisika saat tengah sakit begini?

Konyol, tidak lucu!

"Eh, itu apa? Buku apa?" tanya saya sambil mengambil buku itu.

Tubuh Minggu tampak menegang, tertangkap jelas dari ekor mata saya. Belum sempat saya membukanya, Minggu sudah dulu merampasnya. Mengambilnya dengan gesit dari tangan saya.

"Jangan dibuka!" Ia memeluknya, nadanya sedikit naik.

Saya terheran, menatapnya aneh. "Kenapa? Memang apa isinya?"

Dia terdiam.

"Minggu?"

"Tidak apa-apa, maaf sudah membentak." Ia menatap sendu.

Saya menghela napas. Walaupun saya teramat penasaran, bukan hak saya untuk memaksanya meminjamkan.

"Ya sudah."

"Ya sudah apa? Kamu marah?" Ia bertanya.

Saya menggeleng. Saya pun juga tidak tahu mengapa tiba-tiba kesal. Ah, atau saya sedang iri dengan buku itu? Bisa disayang dan dijaga Minggu sampai sebegitunya? Sedangkan saya dengan ia, semesta pun tak merestui.

"Kamu marah?"

"Enggak."

"Maaf." Ia melirih, lalu tiba-tiba menyodorkan buku berwarna cokelat itu. "Kamu mau membacanya?"

Saya meliriknya. "Katanya tidak boleh. Kamu kan sayang sekali dengan buku itu, sampai saya tidak boleh menyentuhnya."

"Buku ini, isinya tidak cukup baik. Isinya banyak kelam. Kalau kamu mau membaca tidak apa, ini."

Saya mengangkat alis, sembari menerimanya. Sedikit kurang enak sih, tapi kan, ya gimana.

"Beneran?"

"Iya. Maaf ya, sekali lagi kamu tahu sisi saya yang lain. Saya aneh, seorang lelaki tetapi suka menulis diary. Haha, konyol sekali ...." Ia tertawa hambar.

"Jangan tertawa seperti itu! Kamu tidak aneh, lelaki menulis diary tidak aneh. Kita semua tidak aneh, kita ini unik," ucap saya sambil tersenyum. "Saya baca, ya? Saya tidak akan membaca bagian tertentu yang tidak kamu izinkan."

Setelah berkata seperti itu, jemari saya dengan pelan membuka halaman pertama buku tersebut. Kertasnya kuning, seperti kertas novel, di atasnya tertulis beberapa kata dari tinta berawarna hitam. Belum apa-apa saja sudah menarik perhatian.

Buku harian milik Minggu.

Saya tersenyum. Lucu sekali. Kemudian membalikkan halaman selanjutnya.

25, Maret 20xx

Di luar, Mama dan Ayah bertengkar lagi. Padahal bulan sedang cantik-cantiknya. Saya capek. Bolehkah di saat saat seperti ini saya memohon Tuhan? Apakah akan Engkau kabulkan?

Kalau tidak, tidak apa-apa kok. Biar saya tulis saja, biar lega.

Harapan Minggu:
1. Tidak mendengar pertengkaran mereka lagi
2. Cepat menghafal semuanya, supaya Mama tidak marah
3. Jadi dokter
4. Makan es krim matcha di kedai xxx
5. Lihat senja di bianglala
6. Bersenang-senang
7. Menyudahi semua

Mata saya membulat sempurna menatap nomor tujuh, meski sudah tercoret-semuany-tetap ketara tulisannya. Maksudnya apa ingin menyudahi semuanya? Maksudnya apa? Kenapa dada saya sesak seperti ini. Kamu saat itu sedang tak berharap seperti pikiran gelap saya saat ini kan?

"Maaf, saat itu saya tengah tidak percaya dengan segala rencana Tuhan. Sudah, tolong abaikan, sekarang harapan saya bukan itu. Maaf."

Saya tak menggubris. Kembali melanjutkan membaca halaman kedua yang belum selesai tertulis.

Tuhan, maaf ya, saat itu saya tengah tidak percaya kepadamu.

Harapannya sudah saya ganti baru.

Saya ingin sembuh (coret)

Saya ingin melihat senyum gadis itu, sekali saja.

Semoga Senin bahagia, selalu.

Saya tanpa sadar meneteskan air mata, bulirannya terjatuh di atas lembaran buku Minggu. Perasaan saya senang, tapi lebih didominasi rasa bersalah, sakit, dan gelisah.

Minggu bodoh! Kenapa harapannya ia ganti menjadi supaya saya bahagia? Kenapa harapannya untuk sembuh malah ia coret dengan tinta merah? Minggu bodoh! Bodoh sekali!

"Jangan menangis, kertasnya basah. Haha, bercanda."

Minggu menghapus air mata saya. Membiarkan saya memejamkan mata rapat-rapat, mengatur emosi supaya lebih tenang. Tidak baik untuk menangis di depan orang sakit-lagi.

"Kenapa menulis itu?"

"Harapan saya hanya itu."

Lagi.

Sialan!

Saya tersenyum hambar, menyodorkan tangan di hadapannya. "Kalau begitu, apa kamu membawa bolpoin?"

Minggu terdiam berpikir sejenak sebelum memberikan saya sebuah pemsil dari dalam laci. "Ini  untuk apa?"

"Ada yang perlu saya tambahkan." Saya tersenyum. Sembari tangan saya menulis sesuatu di bawah kalimat tersebut.

Semoga Minggu lekas sembuh.

Semoga Minggu bisa menemani Senin di acara sekolah nanti.

Semoga Minggu dan Senin bisa mengunjungi toko Pak Tatok dan pergi ke panti asuhan lagi.

Semoga, kita bisa menua bersama, di beranda. (Coret)

Semoga kita bisa berteman, hingga tua, hingga lama. Walau nantinya berbeda pasang.

Lalu malam itu, dengan pijar rembulan yang teramat terang di depan sana. Saya amin kan harapan-harapan saya-kami-dengan tulus, dengan lantang, dari hati, supaya para malaikat Tuhan ikut mengaminkan, supaya doa saya sampai ke langit-ketujuh-di atas sana.

Semoga, Tuhan mengabulkannya. Segalanya. Malam ini. Dan saya aminkan lebih dalam lagi dengan buliran yang menetes. Meski perihal esok, saya tidak tahu apa yang akan terjadi.
















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro