28| Kabar dari ponsel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bila nanti kamu pergi
Barang sejenak atau selamanya
Tolong beritahu saya
Supaya sampai jumpa
Atau selamat tinggal
Bisa terlontar dari bibir
Meski 'tuk terakhir kali

🌻🌻🌻

Tubuh saya melaju, pergi ke panti asuhan selepas pulang sekolah. Meski tanpa Minggu. Naik bus kota, menatap orang-orang yang berdesak-desakkan, atau menatap jalanan luar yang kian ramai. Bagai sosok-sosok yang lari tunggang langgang dikejar momok menakutkan-waktu.

Tujuan saya pergi ke panti cukup sederhana, meminta mereka untuk mendoakan Minggu lelas membaik walau barangkali, tanpa saya minta pun pasti mereka sudah mendoakan dengan sangat tulus. Toh agaknya saya juga rindu, rindu tawa dan senyum cerah mereka.

Kehadiran Minggu membawa perubahan besar. Sadar tidak sadar.

Saya lekas turun dari bus selepas tiba di halte yang saya tuju. Dengan dua tas di punggung, dan sebuah totebag-cukup besar-yang berisi origami bangau yang baru jadi 462. Ah, setengahnya saja belum, apa nanti bisa jadi seribu?

"Senin ...."

Wanita yang suah familiar tersebut, tersenyum hangat menyambut kehadiran saya. Saya membalasnya, membalas senyuman dan pelukan yang beliau berikan setelah itu. Lalu perlahan menyelipkan kertas persegi putih di genggamannya. Tanpa perlu saya jelaskan, pasti sudah tahu.

"Anak-anak apa kabarnya, Bu?" tanya saya selepas kami duduk di kursi, ya, sedikit obrolan dulu dengan dua cangkit teh hangat yang sempat beliau ambilkan.

"Mereka baik, baru saja selesai makan. Senin sendiri bagaimana? Kenapa wajah cantiknya ditekuk begitu?"

"Saya baik kok, hanya kepikiran tentang Minggu. Ibu sudah tahu?"

Beliau mengangguk, meneguk tehnya. "Sudah, baru saja kemarin Ibu besuk. Dia itu anak baik, ya, dulu di usianya yang masih muda dia sudah mendonasikan banyak uangnya di sini. Dia banyak bercerita walau sepatah patah tentang hidupnya, tapi Ibu mengerti kalau dia hanya seorang anak yang kesepian, malang. Ah, kalau mengingat kondisinya, rasanya Minggu tidak pantas menerima ini semua."

"Iya, kadang Senin juga merasa seperti itu. Semoga saja Minggu lekas sembuh."

"Amin." Beliau menjeda. "Maaf ya, malah banyak bercerita. Mau bertemu dengan anak-anak kan? Sini Ibu antar. Boleh Ibu bertanya isi tasmu itu apa? Kelihatannya kok penuh sekali."

"Ah, ini, origami burung bangau. Teman Senin bilang katanya bisa mengabulkan harapan, tapi belum selesai," jawab saya.

Beliau ber'oh' sejenak, berjalan di depan saya, melangkahkan kaki menuju tempat anak-anak berada. Bermain mungkin.

"Mau Ibu minta tolongkan kepada anak-anak? Mereka pasti mau. Bagaimana? Tidak perlu sungkan, kita ini keluarga."

Keluarga, ya?

Ternyata Minggu membuat keluarga saya lebih banyak. Lingkaran hangat di mana-mana, yang mendukung lagi mendekap. Ya, saya setujui tawaran beliau yang setelahnya disambut senyum khas dari mereka dan ceplosan-ceplosan antusias.

"Kak Senin!"

"Kakak cantik datang."

Ah, tentu saya masih ingat-sebagian. Opang yang memamerkan deretan gigi putihnya. Rian yang tersenyum sumringah. Siti dengan rambut panjangnya. Dan Bintang, gadis itu masih saja cantik benar-benar seperti bintang, dunianya mungkin gelap, tapi cahaya yang ia buat tidak mampu dikalahkan.

Saya tersenyum sembari menyapa mereka. Duduk di tengah-tengah dan sekadar basa-basi. Mereka bagaikan anak-anak kucing yang lucu, tapi ya lebih lucu.

"Kak Senin apa kabar?"

"Baik, Opang tampaknya lebih gendut ya. Haha, makanya pasti lahap banget ya? Maaf ya, Kakak ke sini enggak bawa apa-apa."

"Enggak papa kok, Kak. Kakak ke sini saja sudah bersyukur, kak Minggu katanya sakit, ya?" Rian bertanya di atas kursi rodanya.

Saya mengangguk kecil. Mengusap kecil rambutnya. "Doakan saja, ya, semoga kak Minggu lekas sehat. Nanti kita main bersama."

Mereka mengangguk serempak, sembari mengaminkan. Doa-doa mereka, semoga Tuhan mendengarkan, walau ujungnya tidak tahu akan seperti apa.

"Kak Senin mau buat origami bangau, ya? Mau kami bantu? Kata Ibu kurang, ya?"

"Iya, kalian ini, baik banget deh. Makin sayang." Saya mengeluarkan kertas lipat dari dalam tas, menyerahkan ke hadapan mereka yang matanya berbinar-binar. "Kalian tahu cara membuatnya?"

Opang dengan bangganya memukul kecil dadanya yang membungsung. "Kalau ini mah, kecil. Opang bisa!"

"Haha, Opang-Opang jangan sombong dulu ih."

"Haha, benar! Ah, ayo segera bantu Kak Senin, tapi aku ajari ya, aku belum bisa."

"Tentu!"

Saya terdiam, mengamati interaksi mereka. Lama-lama kagum, lama-lama tersentuh. Bukan sedarah, tapi menganggap keluarga-lebih, dalam satu rumah, yang senyumnya tercurah. Semoga kalian bahagia selalu, terima kasih sudah hadir.

Tangan saya seperti ada yang menoel, sontak saja saya menoleh-tersadar dari lamunan-mendapati Bintang di sebelah kanan saya.

"Ada apa, Bintang?"

"Maaf ya, Kak Senin Bintang enggak bisa bantu." ia berujar.

"Tak apa kok, terima kasih." Saya mengusap rambutnya. Lucu sekali.

Bintang hanya diam, setelahnya ia menyodorkan sesuatu di tangannya yang entah kapan ia ambil-dari mana.

"Ini Kak, bintang mau ngasih ini."

Saya menerimanya, membolak-balikan amplop berawarna kuning dengan tulisan 'untuk Senin' di bagian kanan bawahnya. Pertama saya pikir ini dari Bintang, atau dari anak panti, ternyata bukan.

"Sepertinya waktu Kak Minggu datang ke sini pagi-pagi sekitar seminggu yang lalu untuk menengok kami dan memberikan hadiah, amplop itu terselip di hadiahku. Lalu Siti bilang, ada nama Kak Senin, jadinya aku simpan soalnya kak Minggu udah pergi. Sepertinya kak Minggu mau menyerahkannya buat Kakak," jelasnya.

Sedikit bingung. Tumben Minggu memberikan saya surat? Gerangan apa yang merasukinya saat itu-saat ia menulis ini? Aneh. Kenapa tidak bilang langsung saja.

Isinya tidak aneh-aneh kan? Seperti rumus fisika-mungkin. Haha, konyol!

Saat pikiran saya penasaran akan isinya, ponsel saya di dalam saku tiba-tiba berdering terus menerus. Segeralah saya ambil, telepon dari Ibuk yang segera saya geser ke warna hijau. Ada apa? Saya kan sudah izin. Hari ini sepertinya tidak ada acara penting pula.

".... "

"Waalaikum salam, ada apa Buk?"

".... "

"Iya, Senin masih di panti kok, nanti pulangnya."

".... "

"Hah? Minggu kritis Buk? Ibuk jangan bercanda, enggak lucu Buk."

".... "

Deg

Saat itu, kabar darimu seperti tikaman pisau yang menusuk ulu hati. Hingga bernanah, tumpah darah ke tanah.

🌻🌻🌻

Keringat membanjiri tubuh saya, kaki saya tak henti hentinya melaju, dengan mulut komat-kamit terus merapal doa. Kabar dari ibuk, membuat saya bergegas pergi dari panti, dengan jantung yang tak henti-hentinya berdetak memburu. Belum lagi omongan Ibuk yang memutar di kepala saya, bagai kaset rusak yang disetel berulang-ulang. Tak henti-hentinyam

Minggu tidak membaik.

Minggu kritis.

Minggu mengejang.

Dilanda hujaman kesakitan. Sendirian. Dan saya sekali lagi tak bisa berbuat apa-apa. Manusia bukan dewa, manusia tak bisa menyembuhkan manusia dengan sekali bimsalabim. Sedari tadi, saya bercakap, dengan keheningan, tukar saja kesehatan saya dengan Minggu, barangkali bila nyawa sekali pun.

"Senin ...." Suara Ibuk menyambut saya, tangannya memeluk saya. Membiarkan saya menangis, walau ada pula Angkasa dan Pak Faiz di sini yang tatapannya layu.

"Minggu .... Minggu gimana Bu? Dia akan bangun kan Buk? Buk ...."

Usapan tangan di punggung saya semakin dalam. "Sst ....Dia pasti bisa melewati masa kritisnya. Bersabarlah, banyak-banyak berdoa kepada Tuhan. Minta supaya Minggu lekas sembuh."

"Senin takut Buk, takut."

"Ibuk tahu, tapi di sini kita semua berharap yang terbaik untuk Minggu."

Suara tak asing datang menerobos indera pendengaran. Saya melepas pelukan dari Ibuk, dengan pipi yang basah oleh air mata menatap Om Ari yang air mukanya tak bisa diartikan.

"Keadaan Minggu semakin memburuk, dia harus mendapat perawatan intensif. Lusa, saya akan membawanya ke Singapura."

Hati saya mencelos terjatuh begitu saja. Pandangan saya perlahan lahan menatap lantai, memegang ujung rok dengan erat. Terasa sesak.

Enggak papa, Senin, enggak papa. Enggak perlu menangis. Minggu di sana akan dirawat dengan baik, walau entah sampai kapan nantinya.

"Om ... nanti kalau pergi, Se ... nin kabari ya. Supaya bisa mengucapkan sampai jumpa. Nanti di sana tolong jaga Minggu baik-baik ya Om."

Tolol.

Jangan menangis. Berhenti.

Tidak bisa.

"Iya. Nanti Om akan kabari. Om bawa pergi Minggu sebentar, ya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro