Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jogja dingin. Belakangan diguyur hujan. Teh dalam cangkir porselen masih utuh tak tersentuh sejak tadi, lambat laun uapnya menghilang, mendingin dimakan angin kesorean.

Mata saya memejam, punggungnya tertempel pada kursi kayu yang berdenyit kecil.

Sudah lima tahun, ya?

Cepat sekali rupanya sejak kamu putuskan untuk benar-benar pergi dari hidup saya. Sejak kamu putuskan resign dari tempatmu menjadi baskara.

Banyak pula hal yang suah terjadi di tahun-tahun tanpamu. Pak Tatok, kedai tokonya semakin ramai tiap harinya barangkali tempatnya sudah tersohor karena nyatanya memang epik. Anak-anak panti juga sudah tumbuh dewasa, tahun lalu-setelah sekian lama- akhirnya saya mengunjungi mereka. Mereka masih hangat, sama saat datang pertama kali.

Lalu, Ibuk menikah dengan Pak Faiz, membina rumah tangga harmonis, penuh suka cita lagi kasih yang tiap hari menguat seiring umur menua, dan tiga kucing di sekolah kala itu akhirnya saya bawa pulang, dijadikan keluarga dan diterima dengan tangan terbuka.

Tentu saja, Angkasa menjadi Kakak tiri saya. Kamu tahu Minggu, sekarang lelaki yang setahun lebih tua dari saya itu, tahun lalu lulus dari UI, cumlaude. Nilainya sempurna. Dia itu rupanya pintar ya? Walau hobinya bermain gitar dan membaca komik, ah ditambah lagi menceramahi saya melalui telepon genggam.

Benar, kamu tak salah, saya pergi, beranjak dari Ibukota menuju Jogja demi berkuliah di ISI yang tentunya kamu pasti tahu  jurusan apa yang saya pilih-berkatmu juga.

Pergi dari Ibu kota, menyibukkan diri, bergaul dengan manusia-manusia baru tidak semena-mena bayangmu memudar. Nyatanya tak tersamarkan, mengintil di belakang yang tiap hari membuat nestapa menyelonong masuk mengisi fuad yang tak tertata.

Sosokmu masih terasa nyata di mana pun kaki saya berpijak, Minggu. Bukumu masih senantiasa saya emban. Saya baca berulang-ulang, walau di tahun-tahun pertama kamu pergi rasanya menyesakkan.

Saya mulai paham perihal cerita yang kamu bungkam. Perihal sosok kecilmu yang dipaksa melakukan sesuatu yang tak kamu mau, bahkan bermain dengan teman-teman pun kamu tak diizinkan barang semenit. Ibukmu keras, sekali. Saya pun sadar tentang makna pelukan dengan harga sewa, ya, Ibukmu memelukmu bila nilai IPA-mu sempurna, bila dalam sekejab kamu mampu menghafal padahal kamu lebih mahir mengitung angka yang terjabar. Bila tidak, satu pukulan mengenaimu, memerah di bagian tubuh yang dilanda nyeri berdenyut-denyut.

Lalu deritamu mulai tak terbendung, kamu terlalu lelah hingga harapanmu ingin menyudahi segalanya, dan semesta dengan senang menunjukkan permainannya. Ibu dan Ayahmu meninggal dalam kecelakaan saat malam natal, dan kamu masih bernapas, diperlihatkan oleh Tuhan sosok Ibukmu yang berdarah sembari tersenyum untuk yang terakhir kali, "Minggu, anakku yang tersayang. Maafkan Ibuk Nak."

Sejak itu, kamu menyesal. Sejak itu kamu meruntuki harapanmu. Semesta memang menyudahi deritamu tuk dituntut lebih, tapi semesta memberikanmu sebuah penyesalan yang menghantui bagai dosa yang teramat angkut. Jiwamu terguncang, psikismu terganggu, pergi ke psikiater adalah rutinatas mingguanmu. Hingga tak lama, dengan tetap sok kuat dan baik-baik saja, penyakit menggerogotimu. Tubuhmu meringkih sejak saat itu.

Saya mulai paham, alasan jarang melihatmu di sekolah. Bukan karena kamu ansos, bukan karena kelas kita berjauhan, bukan pula kamu sibuk belajar, tapi jadwal berobat sudah tertata dalam jadwal bulananmu. Namun, demi menebus penyesalanmu, kamu rela belajar mati-matian, meski nilaimu selalu saja bagus Fisika dan Matematika, meski piala olimmu berlimpah, tapi penyesalannya tak kunjung hilang dari pikiran.

Demi Tuhan. Membaca buku harianmu membuat saya mengisak setiap waktunya, padahal sudah berulang-ulang saya baca, hingga pada bagian saat kamu menemukan saya, pada saat itulah kamu menjadikan saya alasan untuk hidup. Alasan untuk mengais mimpi dan melakukan apa yang kamu suka. Alasanmu untuk rajin berobat supaya lekas sembuh. Alasanmu untuk semangat melakukan rutinitas membosankan di Ibukota. Dan alasanmu untuk jatuh cinta.

Lalu, berujung seperti apa yang sudah terjadi. Takdir main-main lagi. Kita terpisah, dengan lebih dulu kamu ketahui, bahwa umurmu tak panjang, bahwa umurmu hanya sebiji jagung. Bodohnya, di catatan terakhirmu di rumah sakit, kamu masih bisa menuliskan doa untuk saya, supaya saya bahagia, supaya saya tetap tersenyum meski bila esok kamu telah tiada. Meski bukan bersama kamu.

Doa itulah yang barangkali alasan saya pergi jauh dari Ibukota. Di Jogja, tempat yang katanya romantis, tapi malah terasa melankolis untuk saya yang kehilangmu. Andai saja kamu masih ada, apa Jogjanya akan terasa indah? Apa rasa gudeg dan teh hangat semakin membuat saya ketagihan? Apa dengan menaiki vespamu senja kesorean si Jogja akan semakin indah? Ah, andai saja, ya.

Tok, tok, tok ....

Lamunan saya pudar, siapa gerangan yang datang dikala hujan mengguyur? Apa teman kuliah saya? Atau Flow yang ikut beranjak dari Ibukota bersama saya? Tapi kan tak mungkin bila mereka datang tiba-tiba.

"Siap-"

"Senin?"

Mata saya membulat, suara itu sedikit serak dengan rambut serta bajunya basah diguyur hujan. Saya pikir itu kamu, Minggu, nyatanya tidak manakala mata saya mengedar pada sosoknya. Matanya tajam, netranya hitam pekat, rambutnya gondrong, dengan tas kebesaran di punggungnya.

"Hei!"

Saya tersentak. "Eh, ya? Kenapa?"

Dia menggeleng. "Sepertinya sedang menunggu seseorang, ya?"

"Minggu?"

Tahu dari mana. Mata saya melotot, menatap sebuah buku familiar di tangannya. Buku harian Minggu, sejak kapan? Sejak kapan bisa ada di tangan lelaki gondrong ini? Bahkan saya pun tak mengenalnya sama sekali.

"Dari mana? Kok bisa ada di kamu?"

"Oh, ini, kamu meninggalkannya di perpus kemarin. Aku menemukannya, maaf aku buka, ternyata ada namamu, lalu Minggu. Aku tanya ketemenku, kebetulan ada yang kenal kamu, ya sudah aku kemari kebetulan rumahku dekat sini. Ini." Dia menyodorkannya, langsung saya rampas begitu saja.

Bisa-bisanya dia baca buku ini!

Tunggu kalau begitu-

"Kamu tahu semua isinya?"

Tak membalas, omongannya malah jadi rancau setelah itu. "Beberapa hal memang datang untuk memberi pelajaran. Beberapa hal memang tidak ditakdirkan untuk menetap selamanya. Belajar mengikhlaskan, Senin, beranjak, jangan terlalu terkurung. Sudah ah, aku pulang, bye."

Dia berlarian pergi, tubuhnya hilang di balik derasnya hujan. Dengan pertanyaan tercekat di tenggorokan, barangkali biarkan saya ucapkan terima kasih dulu.

Saya menghela napas. Orang aneh. Kemudian masuk kembali ke dalam rumah. Memeriksa buku harian Minggu, untung masih utuh, tidak basa pula. Hebat, bagaimana lelaki tadi bisa menjaga buku ini tetap kering.

Sebuah kertas putih jatuh dari sela-sela buku yang lembarannya menguning. Tulisan tegak bersambung tertata di lembaran yang sekarang berpindah di tangan saya.

Besok kalau bawa buku jangan sampai ketinggalan. Apalagi buku serahasia ini. Jangan ceroboh! Untung aku yang nemu.

Terus, aku enggak tahu perasaanmu, tapi aku harap kamu jangan terkurung oleh perasaan yang harusnya milik masa lalu. Buka hatimu untuk orang lain, Senin.

Kamis-

Ada-ada saja.

🌻🌻🌻

Akhirnya, setelah hampir satu bulan epilognya jadi juga. Entah kenapa sedikit terasa berat saat menulisnya. Maaf, ya, kalau kalian menunggu terlalu lama, belakangan sibuk dengan banyak hal.

Aku juga tidak tahu kapan surat dari Minggu akan aku publish. Semoga tidak lama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro