Episode - 10: Kerusakan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Obi membuka mata perlahan, setelah pandangannya terbuka sempurna dia sungguh tidak percaya. Ini kamarnya, kamarnya di Sidoarjo. Obi telah kembali ke masanya, dia benar-benar bisa memainkan jam saku ini tanpa menyiksa badan. Perutnya mulai berbunyi, membuat dia sadar bahwa pekerjaan menjelejah waktu memang menghabiskan energi.

Suasana ruang makan yang sepi memang mendukung Obi untuk mengambil makanan diam-diam. Ia mengambil apel, mangga, dan air mineral. Pisau sudah hampir menyatu dengan buah ketika lampu dapur menyala terang.

"Mas Obi kalau mau motong makanan jangan gelap-gelapan gitu. Emangnya uji nyali?"

Syukurlah suara itu bukan suara Ibu, melainkan Nina. Ia melanjutkan acara memotong buahnya dan melirik gadis remaja itu. "Mau, Nin?"

Tak disangka, Nina terlihat antusias. "Sudah lama nggak dikupasin Mas Obi buah."

Nina kemudian duduk di meja makan menunggu Kakaknya yang sedang mengupas buah-buah tersebut. Beberapa menit kemudian, Obi duduk di meja makan dengan piring berisi buah-buahan. Nina mencomot potongan buah apel.

"Mas sibuk banget sekarang."

Obi menyomot potongan buah apel. "Namanya juga kuliah, Nin. Oh ya, sekolah kamu gimana?"

"Lancar-lancar aja sih, Mas. Nina juga dapat banyak teman baru." Dia mencomot buah mangga. "Mas Obi kuliahnya gimana? Lancar?"

Obi tersenyum santai.

"Mas, emang bikin disertasi itu gampang ya?" tanya Nina.

"Gampang kalau kamu mampu dan memang bisa melakukannya di waktu yang tepat." Nina dari dulu adalah anak yang selalu ingin tahu segala hal, jadi Obi harus pintar-pintar menjawabnya.

"Tapi, kata teman-teman Nina yang Kakaknya sudah lulus pada bilang kalau ngerjain karya ilmiah macam skripsi dan semacamnya susah benar."

Obi mengunyah sebentar mangganya. "Itu karena Kakak teman kamu merasa kurang mampu ngerjainnya. Padahal kerjain karya ilmiah itu kalau teliti dan tekun bisa lancar."

"Terus, kok Mas Obi belum lulus-lulus juga?"

Obi langsung tersedak, Nina buru-buru berdiri dan memukul punggung sang Kakak. Setelah di rasa tenang, Obi baru bisa berbicara. "Kan ini beda, Dek. Kakak bikin teori baru, levelnya udah paling tinggi di antara jenjang kuliah. Doakan Mas Obi bisa selesai dengan lancar."

"Pasti dong. Oh ya, Mas Obi, tahu anonim yang bernama PANDORA?"

Sungguh dia Tidak menyangka, adiknya bisa menanyakan hal seperti itu. "Taulah, siapa sih yang nggak tahu anonim terkenal itu. Dari zaman Mas sekolah sudah banyak yang bicarain." Ia berusaha menjawab sesantai mungkin.

"Pandora kayak gimana sih, Mas? Dukun apa robot?"

"Kenapa kamu nggak coba kirim surat ke dia aja?" Obi menanyakan balik pertanyaan Nina.

"Nggak ah, males," tolak Nina, menusukkan garpunya ke potongan mangga. "Kalau curhat berhadiah uang atau barang-barang berbau DC sih aku mau." Nina nyengir, memamerkan giginya yang putih.

"Terus, teman-teman kamu banyak yang ngirim surat ke dia?"

"Banyak, Mas." Nina menanggapi dengan senang, "Temen-temen aku juga banyak berubah hidupnya setelah berikirim surat ke Pandora. Katanya sih, sarannya tokcer banget. Sayang, nggak mau surat-suratan lewat e-mail, mungkin takut ada orang yang tahu kali ya."

Obi membenarkan tanpa menjawab tanggapan Nina. Dia menghembuskan napas pelan, selama ini dia memang tidak pernah memberi tahu keluarganya terkait mengirim surat ke anonim itu bersama tiga sahabatnya dulu. Bisa pingsan mereka ntar kalau tahu.

Sepertinya mata kritis Nina berubah menjadi-jadi. "Terus Mas, aku jadi penasaran. Siapa sih Pandora itu?"

"Terus, kalau misalnya sudah tau, mau kamu apakan dia?"

"Ya mau bilang aja kalau mau nolong orang ya nggak usah pakai anonim segala."

Obi tersenyum takjub atas jawaban adiknya. "Nanti kalau tau orangnya, ntar dikira jadi cari muka."

"Iya sih. Eh, tapi, Mas merasa nggak sih, kalau Pandora itu kayak suka ngamatin seseorang yang sudah Ia tunjuk jadi 'anak kesayangan'." Nina memberi penekanan sedikit pada bagian akhir.

"Maksud kamu, Nin?"

Nina berpindah posisi ke sebelah sang Kakak lalu menurunkan volume suaranya. "Jadi, kata temen aku yang sering kirim surat ke Pandora itu bilang, kalau terpilih jadi 'anak kesayangan' dia itu bakal jagain kita melalui barang-barang yang Ia berikan. Misalnya nih, aku dikasih sama Pandora mainan gitu, berarti dia sedang mengamati anak kesayangannya agar jangan sampai Ia terluka. Kalau hadiahnya fungsional, kayak yang dibutuhkan gitu, tandanya Pandora mengajak kita bermain dan membantunya memecahkan suatu masalah."

"Teman kamu itu tahu dari mana?" Obi suka sekali membalikkan tanggapan adiknya.

"Dia bikin kesimpulan dari seluruh balasan Pandora sih, Mas."

Suatu fakta yang baru saja diketahui Obi. Jadi selama ini, Pandora bisa juga meminta bantuan pada anak kesayangannya. Jam adalah alat fungsional, dan selama ini dia baru tahu kalau Pandora membutuhkan bantuannya. Lalu apa hubungannya dia dengan Dhani? Itu sepertinya adalah masalah kedua yang harus Ia pecahkan.

"Hadiah fungsional kayak tantangan banget sih, Mas. Ada teman, anak kelas sebelah tapi. Dia dapat alat fungsional, tetapi masih belum bisa diaktifkan karena belum waktunya."

"Oalah. Terus, setelah melihat teman-temanmu seperti itu. Kamu masih pengen, Nin?" Obi memancing Nina.

Nina menggeleng, "Kan udah dibilangin dari tadi. Ah Mas Obi nggak konek, Nina males." Nada gadis itu mulai kesal dan bangkit menuju kamarnya, namun lengannya di tahan Obi. "Ya deh, Kakak paham kok Nin."

"Ya sudah kalau gitu, ini udah mau jam satu malam. Besok aku sekolah dan nggak mau bangun telat. Suara Ibu lebih nyeremin dari Mas Obi yang mendadak protektif tiap Nina bawa cowok ke rumah."

Nina berpamitan ke kamar duluan dan mematikan lampu, begitu juga dengan Obi.  Ia melihat kembali tumpukan kertas disertai yang Ia ketik dengan mesin tik.

"Aku harus kembali ke masa lalu," gumamnya pada diri sendiri.

Obi mengeluarkan jam saku dari balik kemeja dan membukanya.  Dia mengarahkan ke jam beker di meja belajar. Sependar cahaya mengenai Obi, perlahan menghisap badannya hingga Ia menghilang ditelan jam saku.

**

Satreskrim Polrestabes Surabaya di malam hari, 2021

Rana yang sedang menyusun pemetaan pelaku pencurian barang antik terperangah ketika melihat dua temannya yang sedang membawa pelaku pencurian barang antik yang heboh di media massa. Salah satu pelaku melirik ke arah Rana dengan tatapan menggoda yang langsung dibalas dengan pelototan oleh wanita itu.

Pintu ruangan AKBP Eno Sudarisman terbuka, menunjukkan orangnya yang sedang mengatur tempat duduk pelaku untuk melakukan pengecakan. Rana kembali fokus dalam melakukan pemetaannya. Beberapa menit kemudian, dia melirik di balik papan pemetaan alat bukti, suasana sudah tidak seramai tadi. Mungkin ada yang masih di interogasi, ada juga yang langsung masuk sel.

Rana mundur sejenak, memperhatikan rancangan papan pemetaan alat bukti. Sejauh ini, kasus pencurian perhiasan berlian di kompleks elite Surabaya dan pencurian barang antik di salah satu Museum adalah titik awal. Jarak waktu pencurian berlian milik orang elite dan barang antik itu cuma beda sebulan, berarti ini sudah direncanakan. Kalau dadakan, mana mungkin kerjanya cekatan. Telinganya masih tersambung dengan ponsel yang mendengarkan rekaman pelaku.

"Saya hanya ... mendapat perintah dari atasan ... ketika saya sudah berhasil, atasan saya malah memberi upahnya separo dari pencurian ketika barang antiknya berhasil terjual." Rana mematikan rekaman tersebut. Suara pelaku sungguh kesal, marah, dan tertipu. Sepertinya dia hanya preman biasa yang ahli dalam mencuri barang-barang mewah.

"Untuk apa juga barang antik dicuri? Toh ada beberapa barang yang harganya tidak memuaskan. Itu pun dihargai tinggi kalau memang edisi terbatas." Rana sungguh bingung dan heran, hingga memberinya gagasan. "Berarti aku harus turun ke TKP lagi nih besok. Bukti-buktinya kurang memuaskan."

Dia melihat Hendra yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Rana setengah berlari ke arahnya. "Mas Hen ... mau nemenin Rana besok ke TKP Museum itu nggak? Rana baru aja nemuin petunjuk baru."

IPDA Hendra tampak bingung sebentar. "Aku usahain deh, Ran."

"Beres." Rana mengacungkan jempolnya dengan senang.

*

Museum Surabaya, siang hari, 2021.

Rana menghembuskan napas pelan, dia sungguh tidak menyangka bahwa Musum yang terletak di gedung SIOLA telah dipasang garis kuning di bagian tempat kejadian. Nggak bisa dibayangkan waktu kejadian ini masih heboh, walikota sudah mulai kesal dan ingin ikut beraksi menemukan pencuri artefak-artefak tersebut. Barang yang dicuri tersebut terletak di bagian barang-barang antik.

Rana mengamati tempat hilangnya mesin ketik dan tiga benda keramik penting yang hilang. Sementara itu, satu temannya yang berada di divisi forensik mulai asyik memotret beberapa sisi yang menurut Rana mencurigakan.

"Mbak Rana ... coba kesini."

Suara dari temannya yang di divisi forensik membuat Rana penasaran. Ia cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Lantai ini kan bersih, Dit. Kamu ini aneh-aneh aja," ucap Rana.

"Bersih sih, Bu. Tapi coba lihat kalau sudah saya kasih sinar khusus." Didit menyinari lantai yang mengkilap di sekitar tempat hilangnya mesin ketik kuno. Sungguh di luar dugaan Rana,  bahwa ada bekas jejak sepatu disana. Rana bergegas menyuruh Hendra untuk mengikuti kemana jejak alas sepatu itu berakhir.

Jadi, rupanya benar dugaan Rana. Pasti mereka punya bos besar. Nggak mungkin mereka kerja sendiri. Sidik jarinya tidak berantakan dimana-mana. "Terangin terus, Dit." Didit mengikuti perintah Rana.

"Oh ya, Hendra sudah kamu kasih kan senter khususnya?" Rana menginterupsi sebentar hingga membuat Didit mengangguk gemas.

Dari bentuk tapak jejak sepatu yang tidak beraturan karena banyak bentuk, membuat Rana berspekulasi kalau itu adalah merek sepatu boots mahal. Guratan ini cukup dalam. "Ini merek sepatu boot mahal, dan bukan dari Doc Mart. Menurut kamu ini sepatunya merek apa, Dit?"

Didit ikut mengamati juga, "Ini merek CAT, Bu. Sepatu yang identik sama bulldozer itu. Saya pikir ini merek baru mereka yang edisi terbatas."

"Kalau asumsi saya, orang ini adalah kolektor. Alasannya karena kolektor, terutama kolektor barang-barang antik, pasti tahu banget tentang barang yang akan jadi target pencurian. Menurut kamu gimana?" Rana menatap Didit dengan serius. Sangat bukan Rana sekali.

"Bisa sih, Bu. Kolektor model begini punya ciri khas dalam berpakaian.

Rana mengambil walkie talkie dan menghubungi Hendra. Terdengar suara Hendra menyapa dalam kata sandi kepolisian. "Gimana, Hen?" Tanya Rana tanpa basa-basi.

"Oke .... Jejak sepatu tak terlihat ini berakhir di dekat jembatan Gantung, Ran. Kamu tahu, pas aku keluar dari museum tadi, jejaknya langsung terlihat."

Sungguh fakta baru lagi, rupanya sepatu itu ajaib juga rupanya. Rana berpikir agak keras. "Nanti kamu coba hubungi ketua komunitas kolektor barang antik se Surabaya dan minta data-datanya. Tugas kita selesai sampai disini." Wanita itu langsung memutuskan hubungan walkie talkienya.

Rana dan Didit menemui Hendra yang sudah berada di parkiran Museum. Sebelum pulang, Rana meminta Didit untuk mengirimkan hasil foto jejak sepatu tersebut ke email kantornya. Rana menghembuskan napas dengan sangat dalam, berharap kasus ini cepat selesai.

*

Kantor Satreskrim Polrestabes Surabaya, hari yang sama, 2021.

Divisi Satreskrim dan Divisi Satresnarkoba memang terlihat lebih santai karena mereka tidak diharuskan memakai seragam. Rana menggunakan kerudung coklat langsung pakai, kemeja putih panjang dan dasi merah serta celana hitam yang dipadukan dengan ankle boots ketika sedang di kantor. Padahal disini Rana bekerja sebagai divisi profiler, dimana Rana harus mengutamakan keahlian psikologinya dalam memecahkan kasus.

Rana memang tidak dinas hari ini, tetapi dia masih dirudung rasa penasaran tentang jejak sepatu itu. Sehingga dia memutuskan untuk lembur, toh dia juga sudah makan tadi sore. Wanita itu sedang menjelajahi internet terkait merek jejak sepatu yang tadi difotoin Didit dan Hendra.

"Tuh kan ...," Dugaan Rana benar, sepatu itu memang sepatu boots khusus dari merek CAT yang buat outdoor, herannya mengapa seseorang memakai sepatu boots harus banget gitu mencuri mesin tik kuno?  "Zaman sekarang orang-orang makin aneh aja."

IPTU Andre yang kebetulan lagi dinas malam datang menghampiri Rana dari belakang. Ia mengamati layar computer Rana yang menunjukkan laman merek sepatu boots. "Ran, mana cocok kamu pake model sepatu begituan?" celetuknya.

Rana terjungkang sedikit dan melototi Andre yang berada di belakangnya. "Gara-gara nemu petunjuk baru nih. Aku masih nggak puas sama pengakuan pelaku yang ditangkap Hendra kemarin. Mereka nggak bakal ngaku tau, dan ternyata masih ada satu pelaku yang lolos dan meninggalkan jejak di area hilangnya mesin tik kuno," cerocos Rana.

"Itu sepatunya edisi terbatas, Ran. Aku pengen banget belinya tapi masih mahal. Padahal aku ngincer itu udah dari lama, eh duitnya mendadak ku putar buat nikah sama Aima." IPTU Andre malah masih terfokus pada sepatu tersebut sehingga membuat Rana tak tahan memutar bola matanya.

Andre adalah senior Rana di kantor yang mukanya garang tapi hati hello kitty. Tipe-tipe cowok tsundere yang biasa ada di webtoon. Parahnya lagi dia rupanya sudah pacaran lama dengan Aima, mantan dari sahabatnya Kak Bi. Walaupun senior, Rana malah memanggil Andre dengan nama, bukan embel-embel 'Pak' dan semacamnya.

"Bos," Rana berdiri dan menepuk bahu seniornya tersebut. Terdengar suara printer beradu dengan kertas, Ia mengambil kertas tersebut dan menyerahkan pada Andre. "Aku yakin Sembilan puluh persen kalau orang yang lolos ini akan mendekati kita pada pelaku sebenarnya." Rana menunjuk ke gambar sepatu boots, "Aku yakin, orang yang lolos satu ini adalah orang kaya yang berpenampilan nyentrik. Soalnya kalau orang kaya yang nggak nyentrik mana mungkin punya sepatu boots outdoor yang edisi terbatas gini."

Andre tidak bisa berkata apa-apa.

"Kalau besok ada interogasi lanjutan, aku mau kamu serahin foto ini ke pelakunya. Aku ingin lihat reaksinya seperti apa."

Rana kali ini menatapnya dengan serius. Sudah menjadi hal biasa kalau Rana sukanya membuat suasana kantor menjadi cerah, tetapi kalau dia sedang kerja. Jangan ditanya, pasti benar-benar serius.

"Kalau kita bisa nangkap pencuri berlian kemarin, kita juga bisa nangkap pencuri barang antik itu. Meskipun kuno, tapi nilai keasliannya itu lho ... yang harus kita jaga. Semangat." Andre mengepalkan tangan, mengucapkannya dengan berapi-api seperti Rana.

**

Jakarta, Agustus 1980

Obi mondar-mandir di sekitar serambi rumah Dhani. Ia menggerutu sebal karena lelaki itu masih belum pulang juga. "Ah, pasti kencan lagi sama Lastri," gerutunya.

Selain jam saku yang membuat Obi bisa bolak-balik ke masanya lalu masa lalu lagi, rupanya ada mode percepatan waktu. Jadi dia bisa maju ke beberapa hari ke depan dari kedatangan dia. Tak lama, terdengar raungan mesin mobil Datsun SSS berhenti di depan pagar rumah Dhani, memunculkan dia dengan kekasihnya, Lastri. Obi selalu geli melihat kemesraan mereka.

Dhani menghampiri Obi ketika mobil Lastri sudah menghilang. "Maap, Bi. Kan maklum kagak pernah ketemu."

Obi mengelus dada dan menghela napas, kemudian menunjukkan waktu di jam sakunya ke wajah Dhani. Dhani malah berucap dengan enteng, "Ya ampun woy, ini masih jam delapan malam. Ketahuan banget ya lu kagak pernah keluar malam." Dhani meninggalkan Obi dengan tawa lebarnya sehingga membuatnya menggeram kesal.

Obi mengikuti Dhani sampai ke kamarnya. "Ada sesuatu yang harus aku sampaikan ke kamu, Dhan."

Dhani membuka suspender dan kemejanya sembari berkata, "Kalau lu kagak ngrestuin gua sama Lastri ya kagak apa-apa. Yang penting Nyak udah merestui gua udah senang."

Obi menepuk kepala, berusaha menahan geramnya. Sungguh terlalu percaya diri orang satu ini. "Bukan itu maksud aku, Dhan. Aku barusan bikin pemetaan dan coba kamu lihat."

"Bentar sabar napa elah, Bi. Kayak Nyak aja." Dhani tergopoh-gopoh berjalan sambil menarik celana santainya ke atas pinggang. Sesampainya di kamar Obi, Dhani memandang takjub dengan apa yang Ia lihat.

"Selama situ lagi enak-enaknya kencan sama pacar, aku bantuin kamu nyusun catatan pencarian Babe kamu." Padahal sebenarnya, Obi mengerjakannya dengan metode percepatan waktu. Ia menjelaskan penyusunannya sementara Dhani menyimak dengan cermat tanpa ada interupsi.

"Jadi, batu-batu ini adalah peninggalan jejak Babe lu. Anggaplah Babe lu seperti apa yang dikatakan sama Lastri, ber-ke-la-na. Dan itu yang beliau lakukan, batu-batu ini ..." Obi menunjukkan masing-masing batu di peta Jakarta, "Adalah cara kita menemukan Babe kamu. Terakhir kan di Tanjung Priok, tujuan selanjutnya adalah ...."

"Taman Mini," sambung Dhani. Ia melihat peta Taman Mini yang masih belum diberi titik.

Obi menjentikkan jarinya, "Tepat sekali. Model batunya harus sama persis dengan batu yang kamu temukan di Tanjung Priok kemarin."

Dhani mengambil batu yang Ia ambil dari titik peta Tanjung Priok, "Ini kayak terbuat dari batu giok, Bi."

"Tapi ingat, mulai sekarang kita harus terlihat biasa saja. Jangan sampai ketahuan siapapun, termasuk pacar kamu, Dhan." Obi memperingatkan.

"Beres." Dhani mengacungkan jari. Ia menepuk bahu Obi, "Gua mau tidur dulu ya. Karena besok mau kerja. Dada." Dhani berjalan meninggalkan kamar Obi sembari bersiul kencang.

Tidak butuh waktu lama untuk mendengar dengkuran Dhani yang keras. Ini adalah saat yang tepat untuk pulang ke masanya. Dia mengeluarkan jam saku dan memutar jarum panjang jamnya menuju angka dua belas tepat di dekat jam dinding kamar. Ia memejamkan mata untuk menerima pantulan cahaya.

Tidak ada cahaya.

Obi mencoba sekali lagi.

Tetap tidak ada.

Obi panik setengah mati. Dia buru-buru mengambil kursi untuk membuka jam sakunya. Tidak ada kerusakan berarti, baterainya pun masih penuh. "Nggak, nggak. Nggak mungkin, duh jangan dong.  Aduh gimana ini?" gumamnya panik.

Sebuah suara semak-semak yang bergoyang menarik perhatian Obi. Dia memastikan Dhani tidak terbangun sama sekali, barulah dia bisa keluar rumah dengan aman. Rupanya ada seseorang yang menggunakan jubah hitam dan topeng porselen putih.

Obi mendengus, "Ternyata kamu."

"Halo, Obi." Suara robotik yang terdengar dari sosok itu menyapa.

"Pandora."

Baru kemarin dia berdiskusi dengan Nina, dan sekarang sosoknya muncul di hadapannya untuk pertama kali. "Aku nggak menyangka Pandora bisa melakukan perjalanan waktu."

Pandora tidak bersuara, masih berjalan mondar-mandir.

"Sekarang mau kamu apa, Pandora? Dan apa hubunganku dengan Dhani?" Mumpung Pandora ada di hadapannya. Jadi ini adalah kesempatan Obi untuk langsung berkonfrontasi.

"Ah ... rumah kembaran kamu ini sungguh asri dan menenangkan. Sayang, di masa yang akan datang tempat ini sudah digusur untuk pembangunan apartment." Pandora tidak menjawab pertanyaan Obi.

"Kamu datang kesini bukan buat prediksi masa depan, kan?" tebak Obi.

Kini, langkahnya terhenti. Pandora menatap lurus tepat di hadapan Obi. Perlahan, anonim itu melangkah menuju arahnya. "Aku ... datang kesini, ke masa lalu, untuk memperingatkanmu, Obi yang cerdas."

"Peringatan apa?" Anonim itu berjalan semakin dekat, dan berhenti tepat di hadapannya. Anonim itu melirik jam saku yang ada di genggaman Obi, "Itu," tunjuknya.

"Ini." Obi menunjukkan jam sakunya.

"Aku datang kesini untuk memperingatkanmu, Obi yang cerdas." Pandora mengulang pernyataannya. "Jam saku kamu mengalami kerusakan, pasti kamu tidak bisa kembali kan, ke masa kamu?"

Mulut Obi kelu, seperti dia merasa tidak boleh mengeluarkan suara sama sekali. Pandora melanjutkan perkataannya, "Itu adalah peringatan waktu untuk menolong Dhani. Jam saku ini ajaib, tapi keajaibannya tidak akan bertahan selamanya. Rusaknya jam saku ini...." Obi menyerahkan jam saku padanya tanpa terpaksa, dan Pandora menyentuh batu yang menempel di tengah tutupnya.

"... adalah hitung mundur hilangnya kekuatan ajaib yang ada disini. Batasnya hanya tiga kali. Lewat dari itu, maka kekuatannya akan hilang dan kamu akan terjebak selamanya disini. Waktumu sekarang mulai sempit untuk menyelesaikan permainanmu di masa ini. Rahasia yang ku maksud dalam suratku itu menyangkut kamu, Dhani, dan Ayahnya yang hilang itu." Anonim itu kembali meletakkan jam saku itu di telapak tangan Obi.

"Kamu pernah bilang di surat yang kamu kirim pas kelulusanku, bahwa jika jam saku ini aktif, maka aku telah menemukan pendamping yang tepat?"

Pandora menoleh ke arah lain dan berjalan sedikit menjauh dari Obi. "Memang, dan pendamping hidupmu sudah dekat. Tetapi bukan di masa ini, melainkan di masa kamu, Bi."

Desiran pasir mulai terbang seiring Pandora berjalan menuju pintu pagar rumah Dhani. Sungguh, pernyataan terakhir Pandora membuat Obi kembali di rudung penasaran. Alih-alih pertanyaan soal pendamping hidup, malah kalimat ini yang keluar dari mulutnya, "Bagaimana caranya agar kekuatan ajaib dari jam saku ini kembali?"

Pandora menoleh seklias, "Minta benarkan saja sama Dhani. Dia bakal tahu kok komponen mana yang rusak. Tenang saja, dia tidak akan menyentuh bagian ajaibnya, mungkin cuma ganti mesin." Anonim itu teringat sesuatu, "Kamu bisa pulang dan pergi layaknya penjelajah waktu pada umumnya, Obi. Tetapi jangan pernah membuang-buang waktu, permainan ini belum berakhir. Selamat bermain."

Obi terbangun dari tempat tidur kamarnya di masa lalu bersamaan dengan menghilangnya Pandora. Nina benar, Pandora bukan anonim sembarangan. Dia menarik napas sedalam-dalamnya ketika duduk di birai tempat tidur, kali ini tidak boleh main-main. Permainan ini harus segera diselesaikan, atau dia akan terjebak selamanya di masanya Dhani.

Bersambung

•••

A/N:
Akhirnya nulis 3100 words LOL. Jangan lupa bacanya sambil dengerin mulmed, soalnya cocok sama suasananya.
Happy reading!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro