Episode - 14: Pertemuan Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

        

Rumah Dhani, Jakarta, September 1980

Lastri datang ke rumah Dhani dengan penampilan yang jauh lebih rapi. Karena, kencan kali ini lebih spesial. Entah ada angin apa, Dhani ingin bertemu dengan kedua orang tuanya secara resmi. Dhani sebenarnya ingin datang sendiri, menaiki kendaraan umum, tetapi Lastri melarangnya karena area rumahnya berdekatan dengan rumah keluarga presiden. Lastri tidak mau membuang-buang waktu pertemuan kedua belah pihak hanya karena harus melalui pemeriksaan berlapis-lapis. Jadilah dia disini sekarang, sedang menonton acara televisi.

Dhani menyambutnya dengan kecupan di pipi. "Sebentar ya, sayang. Aku ganti baju dulu." Lelaki itu meninggalkan Lastri sendirian di ruang televisi.

Lastri yang tidak betah berdiam diri mengelilingi rumah Dhani. Sejenak, dia kagum atas interior rumah Dhani yang masih mempertahankan khas rumah lama  zaman Belanda. Hal yang berubah disini adalah beberapa cat telah di cat ulang atau perabotan yang sudah berganti.

Langkah Lastri terhenti karena ada pantulan cahaya dari sebuah pintu. Wanita itu melangkah perlahan, lalu menarik pintunya sedikit. Pemandangan yang dilihatnya sungguh tidak bisa dipercayanya.

"Oh mijn God, ik vergis me. Dit is onmogelijk (Oh Tuhan, aku pasti salah lihat. Ini tidak mungkin)," gumamnya.

Ada sebuah cahaya yang berasal dari benda yang dipegang Obi. Lastri terus memperhatikannya di balik pintu. Cahaya itu perlahan menghisap tubuh lelaki itu sampai hilang seutuhnya. Lastri menahan napas, ini benar-benar aneh tapi nyata.

"Dugaan aku selama ini benar. Hij is geen bewoner (Dia bukan pendatang)." Pikiran wanita itu bercabang lagi, membuat Lastri mengusap dagunya. "Siapa dia sebenarnya? Apa yang dia mau dari Dhani?" Lastri menghembuskan napas, terlalu banyak cabang di pikirannya saat ini, "Aku harus cari tahu lebih banyak tentang dia. Kalau dia makhluk ajaib, Misschien helpt dat mijn plan (Mungkin itu bisa membantu rencanaku)."

"Jadi pergi bertemu orang tua kamu, sayang?" Dhani muncul dari pintu kamarnya dengan pakaian rapi dan suspender. Lastri sungguh menyukainya, membuat sudut bibirnya tertarik ke atas dengan cepat.

"Ja, liefje. Ik kan niet wachten (Iya, sayang. Aku sungguh tak sabar)." Wanita itu berjalan dan menarik tangan Dhani cepat-cepat menuju mobil. Dhani tidak menjawab, hanya pasrah mengikuti langkah wanitanya.

Tunjungan Plaza  Surabaya, 2021

Seorang lelaki yang mengenakan pakaian polo lengan pendek dan celana panjang jins warna biru muda, di tutup oleh jaket jeans serta paduan sepatu vans warna hitam sedang mencari tempat duduk. Walau sudah banyak sekali gerai makanan yang tersedia di berbagai gedung berbeda, tetapi tetap saja foodcourt ini makin ramai. Ada meja kosong, akhirnya bisa membuat acara makan lelaki itu menjadi tenang.

Tidak hanya agenda makan saja yang ada pada rencana hari ini, tetapi dia sedang menunggu seseorang. Tidak menunggu lama, karena ada seorang wanita berjilbab melambai kencang kepadanya lalu berlari tergupuh-gupuh menuju mejanya.

Wanita itu mengatur napas. "Maaf,ya, Kak Bi. Rana habis nyelesain kerjaan dulu baru kesini."

"Santai saja," jawab Obi. Lelaki itu menunjuk kursi kosong yang berada di depannya. "Duduk aja dulu."

Rana mendaratkan tubuhnya di kursi. Ia tidak bisa menahan rasa bahagianya kali ini, Kak Obi masih sesuai dengan apa yang dia lihat di sosial media. Apalagi aslinya memang jauh lebih tampan. "Aduh, Rana lupa pesen makan. Titip tas Rana dulu ya, Kak Bi." Wanita itu berdiri dan langsung melesat berkeliling area foodcourt. Obi tersenyum sekaligus menggeleng, wanita di hadapannya memang tidak berubah sama sekali. Masih saja suka lupa.

Rana kembali datang dengan makanan cepat saji. Obi sedikit menyingkirkan tasnya, sehingga Rana bisa leluasa menaruh nampan makanannya. Selama acara makan, Obi tidak bisa berhenti menatap gaya makan Rana.

Dia memang benar-benar masih seperti Rana zaman SMA, batin Obi.

Rana mengunyah sisa nasi ayamnya lalu berkomentar, "Ayam kentaki di foodcourt makin crispy aja Kak Bi," Ia menyuap lagi campuran nasi dan daging, mengunyah dengan cepat, "Bumbunya meresap. Ah Rana makin suka."

"Namanya juga ayam kentaki, Dek Ran. Dimana-mana sama kali." Obi memberi komentar Rana. Ia menyesap es teh.

"Ih Kak Bi, setiap orang tuh beda-beda. Walau kentaki ini ada dimana-mana, tapi hasil masakan orang-orangnya ada bedanya meskipun kemungkinannya cuma nol koma nol nol nol nol nol satu persen." Rana tetap mempertahankan argumennya.

"Kak Bi nyobain kentaki yang di Amerika juga sama sih rasanya, Dek." Obi mengutarakan kalimat yang sedikit meledek.

Mata Rana membulat. "Serius, Kak?" Wanita itu menatap ayam kentakinya yang dagingnya sudah tinggal sedikit. Rana memakan sisanya tanpa mencabut dagingnya terlebih dahulu, membuat gaya makannya terlihat seperti orang rakus. Obi lagi-lagi tetap santai, karena baginya cara tiap orang menghargai makanan berbeda-beda.

Obi yang hafal dengan tingkah Rana sehabis makan langsung menyodorkan tisu makan. "Biar mulut kamu nggak makin belepotan."

Rana mengucapkan terima kasih dengan agak tengsin, lalu membersihkan sisa makanan yang agak belepotan di mulutnya dengan tisu sampai tak tersisa. Ah, ini sungguh berita bagus, Kak Bi mengalami kemajuan. Tapi lagi-lagi, Rana harus tetap menginjakkan kakinya di tanah, perjuangan masih panjang.

"Dek Ran, kita mau kemana sekarang? Katanya kamu sudah selesai sama tugas-tugasmu." Obi berjalan berdampingan dengan Rana setelah meninggalkan area foodcourt.

"Pengennya ke toko buku, sudah lama Rana nggak lihat buku resep masakan baru."

"Masih suka masak kamu, Dek?" tanya Obi.

Rana mengangguk semangat. "Tapi setelah jadi polisi udah jarang masak. Harus dituntut siap walau mukanya muka baru bangun tidur. Mana sempat masak." Suara Rana mengendur, mengungkapkan kerinduannya terhadap hobi yang sudah tradisi Ia dan Bundanya sedari kecil. Sesaat, ada obrolan kedua temannya  muncul dari walkie talkie Rana, namun itu bukan yang penting.

Rana dan Obi  bercerita, kebanyakan mengingat masa sekolah. Tidak ada kecanggungan sama sekali, rasanya seperti tidak pernah terpisah jarak dan waktu. Sesampainya di toko buku yang berada di Tunjungan Plaza satu, Rana menelusuri ke rak buku hobi, sedangkan Obi menelusuri rak buku politik dan komunikasi.

Rana membolak balikkan buku masakan dari chef idola yang sering ditemui Bundanya. Ia terkesima akan metode masakan yang masih menggunakan ulekan, tapi hasil fotonya sungguh rapi. Saking asyiknya menikmati berbagai buku masak, tiba-tiba telinga Rana berdenging.

Suara orang yang sedang bercengkrama, bercampur dengan suara dentingan piring serta wajan dan sutil yang saling beradu. Suara itu makin kencang ketika terdengar suara bising orang-orang yang memesan makanan. Rasa dengung itu semakin menyakiti telinganya, peluh keringat mulai membasahi wajah dan bagian tubuh lainnya. Rana meringis, menahan suara lengkingan yang makin terdengar jelas. Lengkingan itu sukses memblok pendengaran Rana di area toko buku.

"Argh ..." Rana menjerit pelan. Menahan rasa sakit agar tidak menarik perhatian pemilik toko.

Semakin Rana menahan untuk bersuara, lengkingan itu makin terdengar jelas. "Arghhh ...," jerit Rana, mengeraskan volume suara. Badannya ikut terjembap ke tanah, buku masak yang Ia pegang sudah terjatuh dengan keras. "SAKIT ... to ... long. ARGH." Rana melirih, tidak tahan dengan dengungan telinga yang penuh dengan suara orang-orang.

"Mbak, Mbak. Kenapa?" Salah satu pengunjung menghampiri Rana dengan panik.

Rana tidak menjawab, masih menghalau rasa sakit akibat lengkingan di telinga. "Argh sakit ... SAKIT." Jeritannya makin menjadi, membuat tadinya satu orang yang menghampirinya menjadi banyak orang mengerumuninya.

Obi yang mendengar jeritan Rana langsung menghampiri wanita itu dengan sedikit melewati kerumunan. Lelaki itu terduduk dan membetulkan posisi Rana menjadi duduk bersandar di rak buku. "Dek Ran ... shhsttt sshhhttt. Tenang ya, tenang." Ia memegang kedua bahu Rana, menatapnya lekat. Panik, itu pasti. Belum pernah Obi melihat Rana sesakit ini, seingatnya wanita itu jarang mengeluh sakit sama sekali.

"Sakit, Kak Bi ..." balas Rana diiringi tangisan, "Ini nyiksa telinga Rana banget. Rana nggak tahan."

"Mas, bawa ke dokter THT aja. Siapa tahu ada apa-apa sama telinganya?" ujar salah satu orang memberi saran.

Obi membalikkan kepalanya menghadap orang tersebut. "Terima kasih sarannya," Ia menatap Rana lagi, ekspresi bahagia wanita itu sirna sudah, "Kamu bisa bangun, Dek?"

Rana menggeleng, rasa sakit ini kuat sekali sehingga membuat sekujur tubuhnya lemas. Obi langsung melingkarkan lengan Rana di pundaknya dan mengangkatnya perlahan-lahan. Salah satu pengunjung  mengambil tas Rana untuk diberikan pada Obi, Ia menerimanya dan mengeluarkan headphone yang sudah tertancap di ipodnya. "Mungkin ini bisa membantu meredakan rasa sakitmu sementara."

Rana mengangguk, dan langsung memasang headphone. Mereka berdua berjalan tergupuh keluar dari toko buku. Beberapa langkah keluar dari toko buku, suara yang menyakitinya berlangsung menghilang, berganti dengan dua orang yang saling bercengkrama. Tapi latarnya sama, masih di restoran. Ini sungguh aneh, ada apa dengan telinga Rana hari ini?

"Kak Bi, stop," pinta Rana. Suaranya masih lemah.

Obi menuruti permintaannya. "Kamu sudah nggak apa-apa?"

Rana tersenyum, tetapi lengannya yang masih melingkar di bahu Obi masih belum terlepas. "Aneh deh ...," gumam Rana sambil menebarkan pandangannya ke sekitar lantai tiga, "Kak Bi tadi pas di toko buku, denger ada orang yang cakap-cakap disini, nggak?"

Obi menggeleng. "Ini kan koridor toko pakaian sama toko buku, Dek. Kan foodcourt TP satu masih dua lantai dari sini."

"Masa sih, Kak Bi?" Rana mengerjap bingung, "Tapi suaranya kedengaran jelas banget. Itu suara wajan sama percakapan pribadi dua orang Bapak-bapak saling beradu di telinga Rana."

"Ya sudah, kalau gitu coba kita ke foodcourt." Karena tidak ingin membendung rasa ingin tahu Rana, Obi memutuskan untuk membuktikan perkataan wanita itu. Jadilah sekarang rute pulang berubah menjadi rute menuju lantai 5 TP 1.

Sayangnya, Rana kecewa karena itu bukan suara-suara yang didengarnya. Ini malah kebanyakan suara orang. Rasa kecewa tadi Ia pelan dan mengubahnya ke rasa bertanya-tanya, "Kak Bi, kira-kira restoran apa yang sering pakai wajan sama panci buat masak?"

"Masakan Asia. Restoran Cina setahu Kakak sering pakai kayak gitu."

"Kalau gitu, ayo kesana." Rana dengan semangat menarik tangan Obi. Obi yang belum siap jadinya berjalan dengan agak terseok untuk menyeimbangkan gaya berjalannya.

"Disini ada dua restoran masakan Cina, Dek Rana. Coba kira-kira yang mana yang cocok?" Mereka berdua sudah ada di jalan turun persimpangan. Ada dua restoran masakan Cina, satunya kecil dan dilihat dari kejauhan harga makanannya murah dengan porsi besar. Satunya adalah kebalikan, makanan porsi kecil harga selangit.

Meraba-raba, Rana mengingat suara tadi. Tak lama, jarinya menunjuk ke restoran Cina yang mewah dan memasang harga selangit. "Rana yakin ini suaranya. Setahu Rana, wajan yang mahal bisa membuat lengkingan suara adukan sutilnya makin tinggi." Wanita itu mengangguk mantap.

Mereka berdua membuka pintu, dan sudah ada salah satu pelayan yang menyambutnya ramah. Dugaan Rana tepat, suasana ramainya persis seperti yang Ia dengar. "Selamat datang, reservasi buat berapa orang?"

"Dua orang ya," jawab Rana terlebih dahulu.

"Mari ikut saya." Pelayan itu mempersilahakan mereka berdua berjalan di belakangnya menuju meja yang ditunjuk. Meja yang dipilih pelayan adalah meja yang lebar dengan empat kursi kayu dengan ukiran khas Cina. Pelayan itu menyodorkan dua buku menu. "Nama saya Merita, kalau sudah siap tinggal panggil saja. Saya permisi." Pelayan itu menangkupkan kedua tangan di dada lalu meninggalkan mereka.

Suara percakapan itu menggema lagi di telinga Rana, tetapi tidak ada rasa sakit. Malah Rana merasa dekat dengan sumber suara tersebut. Obi mengintip di balik buku menunya. "Ada ap--?"

"Shhht," potong Rana, "Sumbernya sudah dekat. Cuma aku nggak tahu posisinya dimana." Rana mempertajam konsentrasi. Ia memejamkan mata, Suara tersebut menunjukkan posisinya, dan terdengar lebih keras dari sebelah kiri Rana tetapi jaraknya cuma sekitar dua meja dari kursi mereka.

Obi mengangkat alis ketika Rana membuka matanya. "Mereka sedang berbincang sesuatu. Kak Bi perhatikan dua meja dari posisi di belakang Rana. Jangan persis, arah jam dua."

Pria itu melihat ke arah yang dimaksud, dan rupanya benar. Ada dua orang bapak-bapak yang sedang berbincang, mereka mengenakan pakaian bekerja. Mungkin sedang late lunch meeting. Tapi dari gestur tubuhnya, mereka seperti agak ketakutan kalau terlihat orang lain.

"Kamu dengar mereka ngomong apa, Dek? Dari jarak segitu?" Obi sungguh tidak mempercayai apa yang dilihatnya.

"Iya. Memangnya aneh ya?" balas Rana santai seakan itu hal lumrah.

Obi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Aku aja nggak dengar mereka ngomong apa. Coba kamu utarakan mereka ngomong apa." Sebenarnya Obi sendiri tidak heran kalau Rana itu memiliki keunikan dalam dirinya, tapi yang ini benar-benar lebih dari sekedar unik saja. Rana menirukan intonasi suara Bapak-bapak tersebut pada Obi.

"Gimana proses persiapan acara pameran barang antik di Jatim Expo?"

"Lancar Pak Badri. Rencananya barang apa yang mau anda koleksi?"

"Saya akan memamerkan alat tulis kuno milik saya, Dek Roy, tapi akan ada yang berbeda. Kali ini saya akan memamerkan koleksi buku sastra lama cetakan pertama. Kali ini juga, ada orang umum yang boleh membacanya, cuma tetap saya batasi."

"Perkembangan bagus Pak Badri."

"Bagaimana dengan kode hijau dan lainnya? Aman?"

"Saat ini aman, Pak. Cuma kalajengking semakin giat mencari bukti kode hijau."

"Kode hijau harus tidak diketahui. Kalau sampai tahu, kamu  tahu, kan, apa yang akan mereka lakukan."

Rana mengepalkan tangan, menggeram pelan.

"Hei, Dek Ran." Obi bingung dengan ekspresi Rana yang berubah-rubah. Tapi itu tidak lama, wanita itu merasa seperti menemukan sesuatu, dan buru-buru harus Ia sampaikan secara langsung. Rana mengguncang pergelangan tangan Obi, "Kak Bi, bawa kendaraan nggak?"

Obi menggeleng. "Tapi Kakak bisa temani kamu kok sampai kos-kosan atau rumah orang tua kamu Dek."

Rana menggeleng cepat. "Rana nggak mau pulang dulu, mau ke kantor. Mau kasih tau ke tim."

Obi mengangguk paham,.

Rana berdiri dan berjalan terburu-buru meninggalkan restoran, meminta maaf sejenak pada pelayan yang bertugas karena batal memesan makanan. Mereka berdua akhirnya berpisah di lobby depan.

*

Rupanya, pertemuan kembali dengan Rana adalah bagian kecil dari kejutan yang disiapkan semesta oleh Obi. Sesampainya di rumah, dia melihat Nina yang asyik bercengkrama dengan perempuan yang mengenakan pakaian santai dan rok selutut bermotif bunga-bunga. Mereka membicarakan tentang pelajaran sekolah. Dia sungguh mengenal perempuan itu.

"Nisa?" panggil Obi.

Nisa menoleh, lalu berdiri. Aroma parfum rasa stroberi menguak indera penciuman Obi. "Eh, Mas Obi sudah pulang?" sambutnya ramah.

"Kamu tumben main kesini?" Obi menanyakan maksud dan tujuannya. Tidak ada basa-basi sama sekali.

Belum Nisa menjawab, Nina sudah berdiri di samping Nisa. "Mas Obi ini gimana sih? Orang Mbak Nisa lagi pengen main ke rumah." Ia memeletkan lidah. Nina kesal karena acara bercengkrama cantiknya harus terganggu oleh kehadiran Kakaknya.

Obi lagi malas meladeni adiknya, tapi untungnya Nina sadar diri untuk meninggalkan mereka berdua. Obi yang masih agak terkejut berusaha bersikap sewajarnya pada Nisa. Reaksi Nisa sendiri terlihat senang dan tersenyum sopan.

"Mas Obi, masih main piano?" tanya Nisa.

Obi berpikir sejenak. "Masih, cuma nggak seintens dulu, Dek. Ada komposisi baru yang kamu buat?"

Ditanya seperti itu membuat rona wajah Nisa memerah. Obi seperti tahu pikirannya. Obi sungguh tahu ekspresi malu-malu tersebut. "Cuma takutnya nggak enak didenger," ucap Nisa malu-malu.

"Nggak apa-apa kali Dek. Kritik itu membangun perkembanganmu dalam bermain musik."

Nisa dengan ragu mengeluarkan sesuatu dari tas mungilnya. Dia menaruhnya di meja. "Semoga suka ya, Kak." Dalam hati wanita berambut pendek itu berharap bahwa Obi sangat menyukainya. Berkali-kali Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk santai, tidak usah gugup, tapi masih saja keulang. Obi mengambil flashdisknya dan mengucapkan terima kasih.

Nisa sendiri yang tadinya agak canggung, mulai bisa membaur dan nyaman berada di sekitar Obi. Ah, sungguh, ingin rasanya Nisa berlama-lama disini. Tetapi sepanjang pengamatannya dalam acara pembicaraan, Obi sungguh berbeda. Apalagi terselip nama 'Rana Arsyinta'. Rasa bahagianya seakan memuncak, seakan dia jatuh cinta.

Nisa mengikuti pembicaraan tersebut, tetapi pikirannya dihantui oleh nama yang tadi disebut Obi.

Perpustakaan Keluarga Van Hesther, September 1980.

Acara makan malam tadi berlangsung lancar. Papa dan Mama benar-benar menyetujui hubungannya dengan Dhani. Bahkan Papanya ingin sekali mengajak Dhani kembali untuk makan malam atau acara lain. Saat ini, Lastri sedang mencari-cari sebuah literatur yang mendukung apa yang dipikirkannya sejak tadi.

"Papa moet het boek hebben. Maar zet je waar? (Pasti Papa punya buku itu. Tapi taruh dimana ya?)," gumam Lastri. Otaknya berputar, kira-kira di taruh mana buku incarannya? 

Perpustakaan ini luas dengan rak yang menjulang. Bau kertas dari buku menghampiri indra penciuman Lastri. Wanita itu tidak menghiraukannya, yang penting bukunya dapat. Ia berkeliling dan membongkar beberapa buku dari satu rak ke rak lain.

Buku yang dimaksud akhirnya ketemu di salah satu rak paling ujung. Lastri menuruni tangga dengan hati-hati. Ia membersihkan sisa debu yang menghinggapinya. Lastri dapat membaca judul buku tersebut yang masih terlihat jelas walau sudah dimakan usia.

Makhluk Mistis yang Terlihat

Lastri membuka halaman demi halaman buku tersebut dengan irama cepat, mencari tujuan yang memuaskan rasa ingin tahunya. "Ayo, mana sih ah. Pasti ada deh." Jempolnya mengecap lidah untuk mempercepat penggantian halaman yang Ia mau. Muka wanita itu tersenyum tatkala menemukan halaman yang Ia mau.

Doppelganger

Lastri membaca pelan-pelan tentang halaman itu. Tanda-tanda yang tertulis di buku itu jelas-jelas menggambarkan ciri-ciri Obi. Hal ini semakin menguatkan dugaan Lastri bahwa dia memang bukan manusia, tetapi makhluk mistis entah dari mana.

"Dari mana kira-kira dia sebenarnya? Apa yang dia mau dari Dhani? Tapi, kalau aku kasih tahu Dhani sekarang, pasti dia nggak bakal percaya kalau Obi adalah kembarannya dari entah alam manalagi," gumam Lastri pada diri sendiri.

Seutas seringai terangkat dari bibir Lastri.

Sebuah ide brilian.

Bersambung

•••

A/N:
Aku rindu apdet cerita ini. Maaf ku tak inspired dan sedang menikmati hari santai di waktu Lebaran hehe.
Selamat hari raya Idul Fitri 1439 H, mohon maaf lahir dan batin 🙏🏼.

Rana sekali-sekali pake baju warna terang 😂.

Nisa versi santai dan pakai pakaian warna gelap . Ya sekali-sekalilah 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro