Episode - 18: Serangan, Cinta, dan Pengamatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sat Reskrim Polrestabes Surabaya, November 2021.

"Iya ... yang penting kan, Kak Bi udah sampai ke kontrakan. Besok Rana jenguk pas jam istirahat kantor ... hoya naik jet Kakak ... haha enggak bercanda. Teman-teman Rana lagi pada dinas di ruang sebelah, Rana lagi analisa ... iya oke Kak Bi, selamat istirahat."

Menjadi seorang penegak hukum membuat Rana harus menghabiskan lebih banyak waktu di kantor, atau kadang pergi ke TKP bila diperlukan. Kemudian, ketika dapat jatah istirahat, dia menghabiskannya dengan tidur. Itu juga yang membuat Rana kecewa dengan diri sendiri ketika Obi ternyata opname di rumah sakit. Yang lebih bikin kecewa adalah dia baru bisa jenguk Obi sehari sebelum pulang dari rumah sakit.

Perasaan sedih itu harus ditepisnya, ini sudah menjadi resiko menjadi polisi. Rana menarik napas dan kembali bekerja, laporan analisis berikutnya harus selesai. Wanita itu sedang membesarkan ukuran foto yang Ia jepret ketika acara pameran Benda bersejarahnya Badrian Notonegoro. Foto keluarga yang dimana salah satunya mirip sekali dengannya. Rana memeriksa lebih rinci, dan mengamati latar belakang foto itu sebisanya.

Dua puluh menit kemudian, ada beberapa hal yang dia temukan. Pertama, lelaki yang disamping 'Kembaran', gayanya nyentrik, menandakan bahwa sikapnya suka lawak, sayangnya Rana tidak bisa menebak lebih jauh lagi karena dia sedang pakai kacamata. Kedua, mobil yang jadi sandaran, dari hasil googling, itu adalah mobil Datsun tipe SSS. Mobil yang terhitung mewah pada saat itu. Ketiga, dilihat dari rumput dan sekitarnya, keluarga ini adalah keluarga kaya raya. Melihat dua pasangan yang berdiri di serambi rumah menggunakan pakaian bermerek.

Melepas headset, suara-suara percakapan orang sekitar kantor muncul lagi. Sampai dia mendengar suara teman polwannya yang sedang melangkah melewati ruangannya.

"Di lobby ada cowok ganteng. Tapi ngapain juga dia malam-malam kesini? Kan, nggak mungkin ngurus SKCK."

"SKCK mah di gedung sebelah, Ning. Mungkin mau minta surat kehilangan kali."

Saat itu terdengar suara tas plastik menggesek.

Rana menyunggingkan senyum ceria, Ia menarik kursi dan melangkah ke lobi. Wanita itu melipat tangannya di dada ketika melihat pria yang sangat dikenalnya sedang duduk santai kebingungan serta membawa dua buah tas plastik.

"Pakai kode kita banget, Mas Ben?" Kode suara tas plastik beradu adalah kode yang selalu diberikan Benny kepada Rana ketika dia datang ke rumahnya untuk mengajak bermain.

Benny menengadah, berusaha tersenyum semanis mungkin. "Kalau nggak gitu, mana mungkin kamu bakal kesini, Dek."

Rana duduk di samping Benny. "Ada angin apa Mas Ben main ke kantor Rana? Kangen ya?" Wanita itu tersenyum lebar.

"Geer." Benny mencibir. "Nih, Mas bawain sego sambel Mak Yeye kesukaan kamu, kebetulan Mas juga habis beli tahu tek." Ia mau membuka bungkus makanan ketika tangan Rana menahannya. "Makan di pantry aja, nggak enak disini."

Benny mengikuti langkah Rana menuju pantry. Beberapa polisi yang melewati mereka disini rata-rata tidak menggunakan seragam, hanya mengenakan pakaian putih dan dasi merah. Polwan-polwan yang berjalan menatap Benny malu-malu sekaligus senyum. Rana sungguh hafal tingkah seperti itu, menandakan bahwa Benny adalah pemandangan baru. Yah jarang-jarang ada cowok tampan pakai kemeja dan masih mengenakan nametag rumah sakit disini.

Di pantry tidak banyak orang, cuma beberapa polisi yang sedang membuat minuman dan tukang kebersihan yang sedang menyiapkan alat-alat kebersihan. Benny mengambil kursi terdekat sedangkan Rana mengambil piring dan sendok.

Rana mengaduk makanannya sambil melirik teman-temannya yang lewat. Dia mengunyah terlebih dahulu baru berceletuk kepada salah satu temannya. "Coy, liatin Mas aku segitunya."

Teman Polwannya berbicara sebentar habis itu pergi. Benny berusaha menahan tawanya, lelaki itu memaklumi polwan tadi. Mereka berdua melanjutkan makan sampai selesai, lalu bersantai ria.

"Ran ...," Benny memulai percakapan, "Yakin nih kamu nggak pulang malam ini? Om sama Tante belum pulang, dan Mas sendirian." Bukannya tidak suka di rumah orang tua Rana sendirian, tapi merepotkan juga menumpang terus. Maka dari itu, Benny menyisihkan gajinya sedikit demi sedikit untuk menabung agar bisa beli rumah sendiri.

Rana mengangguk. "Rana dinas malam ini, Mas. Sampai nggak sempat main ke kontrakan barunya Kak Bi, gara-gara menemukan analisis terbaru yang melelahkan."

Benny terperangah. "Lho, Obi sakit apa memangnya?" Pantas aja, mukanya nggak enak betul ini anak.

Rana menyeruput kopi hitamnya, lalu mengangguk pelan. "Katanya sih, dia hampir jadi korban perampokan. Tapi pas teman aku yang habis dari TKP, barang berharganya masih utuh semua. Yang  hancur cuma barang-barang sama beberapa pintu sama jendela."

Lelaki itu menyeruput kopi hitamnya, tidak bersuara. Rana sebenarnya senang kalau Mas Benny main ke kantor, kasihan dia sendirian terus di rumah Ayah dan Bunda tiap dia dinas malam atau kebanyakan di kosannya terus.

Rana bertanya lagi,  "Mas Ben, tumben main ke kantor. Ada angin mamiri apa?"

Pertanyaan Rana mengingatkan Benny pada tujuan semulanya kesini. Dia bingung untuk mulai dari mana karena dia sendiri masih mengira-ngira. "Anu ... gini, Dek." Benny menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Mas pingin tanya satu hal. Begini ..., " Dia makin bingung, tapi memaksakan diri untuk bicara, "Mas ... salah nggak sih kalau suka sama perempuan lagi?"

Rana terdiam, tapi sedetik kemudian dia tertawa kencang. Sampai orang-orang sekitar pantry menoleh ke arahnya.

"Cuma ngomongin itu doang, Mas? Kagak penting bener." Rana berucap di sela-sela tawanya, "Eh tapi Ceilehhhh ... Mas aku akhirnya punya rasa lagi ... cieeeee." Volume bicara Rana meninggi, kemudian mencubit gemas pipi Benny. Benny berseru kesakitan, cubitan Rana kencang sekali.

"Siapa sih, Mas?" Rana kepo, tapi sedetik kemudian dia paham, "Sama Nisa, ya?" tebaknya.

Benny tersenyum tipis, dia mengangguk pelan. "Eh tapi diem aja." Benny buru-buru mendiamkannya sebelum wanita itu dalam mode mencerocos. Rana memperagakan resleting tertututp di bibirnya. Wanita itu tidak berhenti tersenyum lebar, dia turut senang karena Kakak Sepupunya bisa jatuh cinta juga.

"Sejak kapan, Mas?" Rana bertanya lagi. Kali ini bukan murni kepo, tapi tulus bertanya.

Benny tidak menjawab, berpikir. Dia tidak tahu kapan bisa ada rasa sama Nisa. Yang Benny tahu, dia nyaman sama Nisa. Bahkan ketika Nisa lebih banyak memberinya penolakan, rasa nyaman itu tidak hilang. Komunikasi mereka juga tidak putus, dan kebanyakan yang dibahas memang pekerjaan dan sedikit pribadi. Kencan saja baru tiga kali, mengingat pekerjaannya jauh lebih menuntut tenaga dan nyawa manusia.

Benny angkat bahu, "Yang Mas tahu sih, cuma nyaman aja sama Nisa. Banyak sih yang bilang Nisa pendiam banget, tapi aslinya asyik banget anaknya. Ya ntar lihat aja deh ke depannya gimana."

Rana mengerucutkan bibir, "Ah Mas Ben nyangkal melulu. Coba gitu kek, ajak Nisa kencan lagi, tapi yang nggak nyita waktu kalian." Wanita itu paham kalau Kakak Sepupunya cuma butuh waktu lebih banyak, iya, lebih banyak meyakinkan diri.

"Eh tadi sore Rana sempat ketemu Nisa habis jenguk Kak Bi."

Benny bereaksi, tapi tidak bersuara. Rana melanjutkan pembicaraannya, "Nisa manis banget, mukanya agak bule gitu. Cuma dikit sih. Cocok sama Mas Benny" Rana menggantungkan kalimatnya karena tatapan Benny yang menerawang.

Ingatan lelaki itu melayang ke sore tadi, melihat Nisa bersama salah satu pasien laki-laki. Dari interaksi mereka berdua, Nisa terlihat jauh lebih bahagia. Entah dari mana yang membuat rasa sesak dari diri Benny, dia sudah kelah telak dengan lelaki itu.

"Ih diam-diam bae dikau, Mas." Rana menyentaknya.

"Tapi tadi omongan kamu beberapa menit sebelumnya ada benarnya, Dek. Kapan-kapan kita double date aja, gimana?" tawar Benny.

"Aku sih, terserah Mas aja." Kopi yang diteguk Rana sudah habis, dia berdiri dan mencuci gelasnya tersebut. "Mas atur aja jadwalnya dulu. Biar Rana ngikutin."

"Asik, makasih Adekku sayang." Gantian Benny yang mencubit gemas pipi Rana, membuatnya kesakitan. Mungkin kencan sekali lagi bisa meyakinkan Benny apa perasaan itu bertumbuh atau sebaliknya? "Mas Ben pengen kenal sama Obi, biar makin akrab."

"Kak Bi udah pernah berkali-kali main ke rumah kali. Mas Ben aja yang pas itu nggak ada."

Benny melebarkan senyumnya, kuliah kedokteran memang menyita waktu sampai-sampai belum sempat melihat secara langsung lelaki pujaannya Rana. Tapi sedetik kemudian, senyumnya pudar. Rana memegang telinganya dan berteriak kesakitan, dia sigap menahan tubuh Rana yang hampir jatuh di pelukan. "Ran ... kamu dengar apa?"

Rana menggeleng kuat. Ini bukan suara lengkingan, tapi ledakan, suaranya berasal dari kantor utama. dengan deru sepatu dan pukulan. "Mas Ben ..." Ia menoleh ke Benny sebentar, "Sa ... kit, Mas."

Benny menurut, dia melingkarkan lengan Rana ke tengkuknya. Sudah banyak anggota polisi dan beberapa cleaning service yang berlari cepat ke jalur evakuasi. Satu orang pria menghampiri posisi mereka.

"Ran ... mendingan kowe cepat ke atas. Ada orang tak dikenal menyerbu kantor," perintah Andre cepat. Rana mengangguk lemah, walkie talkienya bersuara, memerintah penghuninya untuk segera ke jalur evakuasi dan keluar melalui pintu darurat. Sementara untuk para polisi harap membantu personil mereka yang sedang melawan segerombolan orang tak dikenal.

Rana dan Benny hampir saja sampai akhir jalur evakuasi ketika ekspresi wanita itu terkejut sepenuhnya. "Dokumen Rana." Ia melepas rangkulannya, "Mas tunggu di titik berkumpul. Rana nggak lama kok."

"Ran ... Rana ... woy. Aduh." Benny berteriak, tapi tak digubrisnya. Wanita itu menghilang di balik kerumunan orang-orang, lelaki itu mengikuti langkah orang-orang sebelum Ia ikutan terseret.

*

"Pemirsa, saat ini melaporkan langsung dari Polrestabes Surabaya bahwa terjadi penyerangan besar dari beberapa orang tidak dikenal di luar gedung. Kerusakan parah terjadi di gedung sat reskrim. Tidak ada korban jiwa dalam penyerangan tersebut, tetapi pasukan polisi langsung meringkus orang yang tak dikenal yang terjebak ..."

Obi mematikan televisi yang menayangkan Sekilas Info, dan menyambar ponselnya. Terdapat nada sambung yang cukup lama sampai suara ramai terdengar. "Halo ... Ran ... Rana," seru Obi. Si penjawab masih terdiam.

"Dek Ran ... Rana ... kamu tidak apa-apa, kan?" Suara Obi panik.

Suara batuk menyambut jawaban Obi. "Ada ... uhuk ... apa ..., Kak?" Suaranya tidak terlalu jelas lantaran banyak sekali suara-suara lain menghalangi.

"Rana ... Kakak kesana ya?" lirih lelaki itu.

"Nggak ... uhuk ... usah ... Kak," balas Rana, suaranya melirih. Wanita itu berusaha menjawab meskipun sulit, "Rana ... aman ... kok, ada Mas Benny ... uhuk ... sama Andre."

Ada nada sangat yakin dalam suara Rana, Obi bernapas lega. Walau sebenarnya rasa khawatirnya masih ada. "Kamu hati-hati ya disana, Dek. Kabarin Kakak selalu."

"Iya, Kak Bi." Rana merasakan kekhawatiran Obi, tapi dia tidak mungkin menyuruh lelaki pujaannya tersebut jadi nekat ke kantor. Dia masih dalam masa pulih. "Kak Bi juga hati-hati ... uhuk." Sambungan terputus.

Obi meyakinkan dirinya sendiri berkali-kali, walau Rana adalah wanita ekspresif, tapi pekerjaannya terlalu menantang maut. Ingin rasanya Obi nekat kesana, cuma rasanya nggak mungkin, luka yang di perut masih dalam pemulihan. Ditambah tingkah Nina yang semakin over protektif, terus Nisa yang ikut menginap di kontrakan baru karena Nina nggak mau membiarkan Nisa sendirian di kos. Tapi, sejak kapan dia khawatir segininya sama Rana? Hoam.

Rasa kantuk menguasainya, lelaki itu berjalan sedikit gontai kamar. Ingin dia melanjutkan kerjanya yang sempat tertunda, tapi dia takut kalau Nina tiba-tiba masuk dan mengomelinya habis-habisan. Sesampainya di sana, Obi malah tidak bisa tidur, rasa khawatir itu masih saja ada.

Sesaat pikirannya kembali ke kejadian itu. Sebelum pingsan, Ia sempat mendengar preman tersebut menyebut 'Bos Badrian'. Siapa pula Badrian itu? Ah aneh-aneh saja.

Tubuh lelaki itu mulai rileks, membuat proses berbaringnya mudah. Posisi tidurnya menghadap kanan. Itu dia, Obi melihat asap hijau yang berada di pinggir kaca cermin. Asap hijau yang sama ketika di rumah sakit. Lagi-lagi, seakan diperintah, Obi perlahan beranjak dari tempat tidur dan melangkah ke cermin.

Tangannya merentang lurus ke depan, dan berhasil menyentuh cermin itu. Teksturnya bukan kaca, melainkan air. Sentuhan berubah menjadi memegang, ada sedikit sensasi tersengat listrik, tapi tidak menyakitkan.

Rasa setruman berubah jadi sakit, pergelangan tangannya terhisap ke dalam cermin. Obi berteriak, berusaha menarik tangannya keluar dari cermin ajaib ini. Naas, tangannya semakin terhisap dalam cermin. Ia berteriak semakin keras sambil menarik dirinya.

Pintu kamar berdentum keras. "Mas Obi?" Nina berteriak keras.

Obi menoleh sekilas. "To ... long."

Tanpa diperintah, Nina sudah berdiri di belakang dan memegang pinggang Obi, menambah kekuatan tarikan Kakaknya. Seakan bermain tarik tambang, mereka saling tarik menarik. Tarikan Nina yang makin kuat, membuat tangan Obi perlahan keluar. Mereka terjatuh ke belakang, Nina berguling ke samping kanan, sementara Obi memegangi punggungnya yang sakit. Lelaki itu mengerjapkan matanya kuat-kuat, meringis.

Nina bangun terlebih dahulu, lalu membangunkan Kakaknya. "Itu tadi apa sih, Mas? Untung aja Nina lebih cepat kesini, coba kalau enggak."

Obi mengendikkan bahu, dia sendiri juga bingung.

Nina tidak cepat puas. "Masa? Nina yakin kalau cermin itu mau menghisap Mas. Pasti Mas ada hubungannya."

"Mas nggak tahu, Dek. Tiba-tiba Mas udah ada di depan cermin itu dan ..." Obi menggantungkan kalimatnya.

Nina berpikir, cermin ajaib? Bisa makan orang? Ini benar-benar di luar akal sehat. Sejak kapan ada hawa-hawa mistis disini? Ini juga masih rumah kontrakan, dan letaknya tidak dekat kuburan. Mata Nina kemudian menangkap cahaya hijau dari balik kaus Obi. "Itu apa, Mas?" tanyanya sembari mengangkat sedikit kepala ke arah cahaya.

Cahaya? Obi tersadar sempurna dan menoleh ke bawah. Kalung jam sakunya mengeluarkan cahaya hijau. Ia buru-buru memeras kausnya, tapi malah menimbulkan kecurigaan Nina. "Mas, aku mau lihat," rajuknya. Nina berusaha menggapai remasan kausnya, Obi menghindarkan dirinya ke kanan sampai tidur menyamping. Adiknya mengambil posisi berhadapan dan menarik tangan Obi dari remasan. "Ih sini, Kak. Nina mau lihat, kan penasaran ...," rajuk gadis remaja itu makin jadi.

Sakit punggungnya kembali melemahkan Obi sampai Nina tidak sengaja menarik benda di leher Kakaknya sampai rantainya patah. Ternyata benar, cahaya hijau itu berasal dari benda berbentuk lingkaran berlapis emas. Nina mengambilnya terlebih dahulu dan membuka penutupnya.

Jam.

Ini jam saku.

"Mas, dari mana Mas dapat ini? Ini barang mahal. Mas nyuri ya?" tuduh Nina.

"Itu ...," mendadak lidah Obi kelu. Ada sesuatu yang menghalanginya untuk berkata jujur.

"Itu apa, Mas?" Nada suara Nina berubah menuntut.

"Mas ... Mas." Maafkan Mas, Nina. Mas nggak bisa bilang, ini semua rumit sekali.

Nina menatap nanar Kakaknya, perlahan sebuah kilas balik menyadarkannya. Dia paham sekarang, tidak heran mengapa teman-temannya di sekolah memuja anonim itu. "Sejak kapan ... sejak kapan Mas berurusan dengan Pandora?"

"Sejak ... sejak SMA." Obi akhirnya bisa berkata jujur. Entah lega atau sedih.

Bagaikan bom atom yang meledak keras, ini sungguh di luar dugaan. Kakaknya selama ini sudah berurusan dengan makhluk anonim tersebut sejak dia balita dan tidak pernah cerita sama sekali. Pantas saja dia dulu selalu mengumpulkan kertas usang di kamar lamanya.  "Ceritakan Mas, ceritakan semua yang Mas tau." Pandangannya kecewa.

Obi menunduk, dia menyalahkan dirinya sendiri. Harusnya dia bercerita dari dulu. Menghela napas sungguh dalam, kata demi kata meluncur pelan dari bibir lelaki itu. Nina mendengarkan dengan seksama tanpa memotong, ada rasa lega dari Obi.

Suara baskom plastik jatuh dari ambang pintu memotong cerita Obi.

Nina dan Obi sama-sama menoleh ke sumber suara.

Sejak kapan Nisa berada disitu?

"Jadi ... selama ini Mas Obi ...," Nisa menutup mulutnya, tak percaya dengan cerita yang Ia dengar.

Pasar Senen,  Jakarta. Akhir Desember 1980.

Pemandangan mengejutkan datang dari toko jam Dhani. Penjual yang berada di sekitarnya mengerumuni toko, mereka saling berbisik dan menggumamkan sesuatu. Dhani yang kepalang terkejut langsung memeriksa uang yang berada di balik meja kasir. Ketika membukanya, uang tersebut masih utuh. Lelaki itu memerintahkan karyawannya untuk menghubungi polisi.

Dhani bertanya kepada para penjual tadi, namun mereka tidak tahu apa-apa. Mereka baru tahu ketika sedang membereskan barang mereka untuk jam buka toko. Yang mengherankan adalah, semua uang di toko ini masih utuh, hanya barang-barang dagangan dan sekitarnya yang hancur.

Polisi yang datang beberapa menit kemudian mulai memeriksa situasi, membawa beberapa bukti, dan menanyai saksi-saksi, terakhir mereka memasang garis kuning dan menyuruh orang-orang untuk menjauhi area toko.

"Pak, tunggu." Dhani menghentikan aksi polisi tersebut menutup titik terakhir garis kuning.

"Ada apa, Pak Dhani?"

"Boleh saya masuk sebentar?" pinta Dhani. Si polisi mengerutkan kening, tapi Dhani tetap kekeuh dengan pendiriannya, "Saya cuma mau ambil barang saya yang di dalam."

Polisi akhirnya membolehkan Dhani masuk ke ruangan dengan syarat harus mengenakan sarung tangan dan menggunakan sepatu tanpa tapak. Lelaki itu setuju, dan disinilah dia mengamati TKP sembari berjalan ke kantornya.

Tujuan Dhani masuk ke kantor adalah untuk mengambil barangnya yang penting. Barang tersebut berupa buku-bukunya, setelah dirasa cukup, dia mengambil gagang telepon dan menekan beberapa nomor.

"Halo, ada apa Dhani?" tanya Lastri, suaranya terdengar panik.

"Las, kamu kenapa?" Dhani sesaat mengurungkan niat untuk menceritakan apa yang Ia alami.

"Itu, sayang, tokoku hancur. Ada seseorang yang menghancurkan barang-barang daganganku, tapi anehnya uangnya masih utuh. Mereka berniat menghancurkan bisnisku, hiks."

Dhani terpana, masalah mereka datang bersamaan. Ia menceritakan kronologi masalahnya, membuat Lastri yakin sekali. "Mereka pasti orang yang sama."

"Sudah ya, Las, aku nggak bisa lama. Nanti sorean aku ke rumah kamu." Dhani memutus sambungan dan meninggalkan tokonya. Sebelum pergi, Ia memberi pengumuman libur pada karyawan sampai polisi selesai menyelidiki hal ini.

*

Kediaman keluarga Van Hesther, Menteng. Akhir Desember 1980.

Ke rumah Lastri, berarti harus menghadapi gerbang kompleks yang dijaga ketat oleh aparat berpakaian serba hijau. Tidak mengherankan, karena rumah Lastri berjarak tidak jauh dari rumah keluarga presiden. Setelah lolos serangkaian tes, Dhani sampai di rumah yang berhalaman lebar tersebut.

Lastri menyambut Dhani dengan pelukan erat, mereka bersantai di ruang tamu.

"Dhan, aku rasa ada seseorang yang mau mengganggu kita." Lastri berucap tanpa basa-basi.

"Aku juga berpikir begitu." Dhani setuju, karena mereka mengalami hal ini bersamaan.

Tatapan Lastri berubah menjadi serius. "Ada yang nggak suka sama kita. Menurut kamu siapa?"

Dhani tersenyum tipis, dan ikut berpikir. "Orang tua kamu nggak mungkin, Las, mereka malah setuju sama hubungan kita. Teman-teman kamu, nggak mungkin. Katamu mereka tidak bisa berbuat banyak waktu pemerintah mencabut paspornya ketika mereka memilih untuk tinggal di Belanda padahal teman-teman kamu tidak terlibat gerakan G30S."

Lastri teringat sekali dengan hal mengerikan sekaligus menegangkan, dia dan beberapa temannya yang lagi kuliah di Belanda memilih. Pilihannya yaitu pulang ke Indonesia dan mengabdi ke Orde Baru atau paspor mereka dicabut. Terang saja wanita itu tidak terima, Ia langsung menyurati Papa dan Mamanya di Jakarta mengenai masalah ini. Hasil akhirnya adalah paspor Lastri dan beberapa temannya aman karena terbukti tidak memihak politik kiri. Sedangkan teman yang lain bernasib sebaliknya.

"Las ...," Dhani menyadarkannya dari ingatan kelam itu.

"Eh iya?" Lastri mengerjapkan matanya berkali-kali, menahan diri agar tidak menangis. Ingatan kilas balik itu memberikan pencerahan mendadak pada Lastri, "Dhan ..., apa mungkin, apa mungkin ada orang yang ingin kita celaka?"

"Tapi siapa, Las?" Dhani bertanya lagi.

Pelayan rumah datang dengan dua minuman hangat yang ditaruh di cangkir kaca berukiran bunga. Kedua insan itu menyesapnya pelan. "Aku juga nggak tahu, Dhan. Kayaknya sejak kamu menemukan batu di Monas, banyak kejadian aneh menimpamu, sayang." Tentu saja Lastri tahu cerita Dhani yang hampir terhisap cermin. Dia nggak lupa ekspresi ngeri lelaki itu yang malah terlihat lucu.

Dhani menebak-nebak, siapa kira-kira yang melakukan hal tersebut?

"Lagi pula, uang kita, kan, yang penting aman. Jadi aku sangat berasumsi ini bukan perampokan." Lastri berucap lagi, menyesap minuman hangatnya.

Dhani dan Lastri membahas hal lain, obrolan mereka didominasi oleh politik. Terutama partai politik saat ini yang cuma tiga saja. Partai Merah, Partai Kuning, dan Partai Hijau. Beda dengan pemilu ketika dia kecil, banyak sekali partai yang berpartisipasi. Dhani menaruh curiga pada Partai Kuning, karena mereka sepertinya bertindak curang. "Kesel juga sih, Partai Kuning menang terus. Apalagi hasil suaranya beda jauh banget sama Partai lainnya," gerutu Dhani.

"Husss ...," Lastri cepat-cepat menghentikan gerutuan tersebut dengan jarinya, "Kamu tahu kan, bahaya banget kalau jelekin Partai Kuning. Apalagi Presiden masih ada hubungannya dengan tuh Partai."

"Habis mereka menang terus sudah dua kali, Las. Aku nggak tahu lagi kalau pemilu ke depan itu gimana. Kalau menang lagi, ku jamin, pasti Presiden memang ada apa-apanya." Dhani mulai deh mencerocos keluhannya, apalagi dia sempat mendengar obrolan Bu Tini dan tetangganya yang memuji Partai Kuning.  "Sampai kapan dia akan menguasai Indonesia?" Nada suaranya sudah pelan walau masih menggerutu.

Lastri sendiri sebenarnya agak takut ketika Dhani menggerutu seperti itu, dia nggak mau kehilangan kekasihnya. Tunggu dulu, pikiran Lastri mendadak memunculkan sebuah dugaan. "Dhan ..., kamu tahu, kan, sudah banyak kejadian perampokan terus besok atau setelahnya sudah hilang begitu saja?"

Dhani tentu saja ingat dengan berita yang heboh di televisi tentang penemuan mayat dimana-mana, tapi si pembaca berita cuma mengingatkan bahwa harus meningkatkan waspada. Lelaki itu lebih sering menonton acara Dunia dalam Berita, isinya jauh lebih menambah wawasan daripada berita sore atau pagi.

"Las ... apa orang-orang jahat tersebut mengincar batu-batu milik Babe?" Entah dari mana Dhani bisa berbicara seperti itu.

Lastri mengendikkan bahu. "Kemungkinan sih begitu, cuma kurang kuat. Katamu walau batu Babe kamu semua ajaib, tapi apa yang mereka incar? Batu Akik tersebut harganya nggak semahal emas."

"Tapi intinya ... kita seperti diingatkan seseorang untuk jangan bertindak lebih jauh." Lastri menghabiskan minuman hangatnya.

"Aku yakin, pasti Babe ada hubungannya dengan batu-batu ini." Motivasi Dhani menguat lagi, batu-batu Babenya seperti menyimpan cerita. Dibutuhkan dua batu lagi untuk menyelesaikan ceritanya secara utuh. Dengan cara itu, Ia bisa mendapatkan posisinya serta cerita dibalik menghilangnya beliau.

Titik-titik dari semua cerita ini sedang berproses, Dhani yakin bahwa Ia bisa. Dhani melupakan sesuatu, bahwa ada salah satu orang terdekatnya yang membantu merancang semua ini.

Bersambung

•••

A/N:
3400++ kata
Happy Reading!!

Pak dokter Benny pas lagi nggak praktek sama jaga hihihihi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro