Episode - 20: Kerusakan Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


4 Jam sebelum kembali ke masa lalu

Satu minggu berlalu sejak kejadian penyerangan mendadak di Polrestabes Surabaya. Mereka bekerja cepat untuk mengusut para pelaku, dan sekarang sudah ditemukan. Suara keras dan nyaring anak-anak divisi Jatanras ketika menginterogasi sungguh menyiksa telinga Rana. Kemana pun dia berpindah, masih tetap kedengaran dengan nyaring. Padahal ruang interogasinya berjarak dua lantai dari ruang divisinya.

Samar-samar suara yang dia kenal terdengar semakin dekat.

"Ran, aku duwe kabar baik ambek buruk." Hendra tiba-tiba sudah berdiri di hadapan meja kerja Rana. Mau tak mau dia mengalihkan pandangannya dari komputer yang sedang menampilkan dokumen BAP dan chat whatsappnya dengan Obi.

"Berita apaan memangnya?"

"Kabar baiknya adalah aku sudah menemukan pemilik sepatu boots." Rana memandang rekan kerjanya dengan takjub. Akhirnya ada pencerahan lebih besar soal kasus pencurian barang antik Museum Surabaya.

"Apakah dia kembaran Boots monyetnya Dora?" tebak Rana polos.

Hendra melipat bibirnya. "Ini luweh gedhe teko koncone (lebih besar dari temannya) Dora oke." Lelaki itu menyerahkan dua buah file pada Rana.

Isi dua file itu berbeda-beda. File pertama adalah tentang kecocokan foto sepatu boots dengan foto Badrian yang menghadiri acara formal dan santai, tambahannya adalah informasi tentang Badri yang mengunjungi Museum Surabaya tiga hari seblum pencurian. File kedua menampilkan transaksi pembelian sepatu Boots yang entah dari mana Hendra mendapatkan info tersebut serta CCTV Museum Surabaya dua hari sebelum kejadian yang sudah dijadikan satu oleh Hendra dalam flashdisk OTG.

Rana mendengar dan melihat semuanya dibalik komputer, mengabaikan Hendra sejenak.

Tidak ada yang mencurigakan di awal waktu, sampai Hendra menyuruhnya memajukan waktunya satu jam. Posisi itu adalah dimana Badri menatap lama barang-barang curian yaitu mesin ketik produksi tahun 1960, guci antik produksi tahun 1978, serta satu set wayang kulit dengan tempatnya. CCTV berganti dengan malam pencurian.

"Ran, cepetin dikit waktunya." Hendra menunjuk layar komputer Rana.

"Sabar, Hen. Satu-satu dulu napa. Tanganku dua nih, nggak kayak squidward yang aslinya delapan tapi masing-masing tentakelnya dibagi empat," protes Rana.

Hendra mengatupkan bibir, mengingatkan dirinya untuk terus bersabar.

Rana mempercepat waktunya hingga pintu museum terbuka. CCTV menampilkan gerakan pencuri yang lincah mengambil mesin ketik dan guci antik. Dahi gadis itu berkerut ketika pencuri itu makin lincah mengambil sisa barang. Binar mata Rana makin terang kala rekaman itu belum selesai. Rekaman CCTV berpindah dari ke pintu belakang, dimana Rana ingat bahwa jejak sepatu bootsnya berakhir disitu. Ada mobil boks besar yang kemudian mengangkut barang-barang tersebut, gerakannya lebih pelan.

Kerutan di dahi Rana memudar ketika tahu siapa yang melakukan pencurian, yaitu AN dan DN. Terlihat dari bentuk fisik mereka yang sesuai dengan database kepolisian. Hendra dan Rana saling bersitatap sesaat.

"Mereka suruhannya Badri." Hendra dan Rana berkata serempak.

"Panggil mereka kesini sekarang, Hen. Adakan interogasi terakhir sebelum meringkus Badri. Suruh anak buah aja yang manggil," perintah Rana cepat.

Setelah Hendra berbicara dengan anak buah di Walkie Talkie, Rana bertanya. "Kabar buruknya apa, Hen?"

Muka Hendra tampak gusar, ragu. Tetapi dia tetap berusaha untuk menyampaikan. Lelaki itu menarik napas, "Kita sedikit kesulitan menangkap Badri, kita butuh strategi lebih tepat. Walau fisiknya agak ringkih, tapi akalnya banyak. Tim kita nyamar beberapa kali ke rumah sama kantornya terkecoh terus."

Rana membuka lagi file Badri. Hendra benar, fisik Badri memang lebih kuat layaknya orang masih berusia 50an. Rana merasa bahwa aura kharismatiknya tidak alami. Seharusnya di usianya, kerutan-kerutan wajahnya terlihat jelas. Ini malah terlihat awet muda yang berlebihan. "Aku rasa dia pakai semacam susuk awet muda dan pesugihan."

"Aku dapat infonya juga. Ada dua, yang pesugihan ada di Gunung Kawi. Kalau susuknya ada di Banyuwangi."

"Dari mana kamu dapat info semua ini, Hen?" tanya Rana lagi sambil mengusap dagu.

"Nyamar jadi orang kaya sejak acara pameran barang antik di Jatim Expo memang menguntungkan tau." Hendra mengangkat alisnya bangga.

"Kalau tau dari dulu napa nggak bilang wey?" Rana berseru setengah tidak terima, lalu tertawa geli.

"Kan aku harus memastikan dulu. Bertahan dalam penyamaran susah tau. Terus kamu sama Andre juga ada kasus ringan lain, kan." Hendra beralasan, membuat Rana mengernyit jijik.

Mereka berdua kemudian larut dalam pekerjaan masing-masing. Salah satu anak buah yang disuruh Hendra mengetuk pintu keras-keras, menimbulkan protes penghuni divisi Harda termasuk Rana dan Hendra. Kedua orang itu menghampirinya di ambang pintu.

"Itu ...." dia mengatur napasnya. Wajahnya panik sekali. "Ayo ikut ke ruang tahanan sekarang!" Rana dan Hendra mengikuti langkah anak buah mereka. Perasaan Rana menjadi tidak enak, membuat benaknya bertanya. Apa yang terjadi dengan AN dan DN?

Rana dan Hendra menemukan jawabannya ketika sampai di ruang tahanan. Wanita itu menutup mulutnya, sedangkan Hendra lebih berteriak pada tahanan lain untuk lebih tenang serta menyuruh anggota yang berjaga disitu untuk menghubungi dokter.

AN dan DN tergeletak tak bernyawa, tetapi Rana memperhatikan lebih rinci bahwa ada busa putih yang keluar dari bibir. Rana melihat ada makanan yang sudah berantakan. "Ckck, Badri memang terlalu pintar menghalau bangkainya sendiri," gumamnya.

3 Jam sebelum kembali ke masa lalu

Satu Minggu sudah dari kejadian dimana Nina mengetahui rahasia Kakaknya. Pada awalnya dia sakit hati karena Obi selalu mengajarkan kejujuran tetapi malah dia sendiri yang melanggar. Sedangkan Nisa, dia tidak marah dan menasihatinya dengan bijak.

Rumah kontrakan sekarang menjadi sepi. Bapak dan Ibu yang sedang kerja, Nina lagi sekolah. Suasana sepi membuat Obi jadi rindu kehangatan keluarga. Bapak walau berubah jadi makin pendiam, tetapi intensitas komunikasi tidak terputus. Mengapa pula Bapak tidak mengakui orang tua kandungnya sendiri?

Terdengar suara ketukan pintu.

Nisa datang dengan membawa bungkusan makanan. "Aku bawakan kue rangin kesukaan Mas Obi."

"Ah Dek, nggak usah repot-repot." Obi tetap menerima pemberian Nisa sekaligus mempersilahkannya masuk. Bau harumnya menggelitik indera penciuman Obi.

Kak Bi, Rana sukanya yang pakai gula pasir, habis manisnya alami. Obi mengerang dalam diam, kenapa jadi terngiang suara Rana di saat ada Nisa?

Sekarang mereka berdua duduk berdampingan di ruang televisi. Eletronik berbentuk kotak tersebut menyala tapi tidak ada satu pun yang memperhatikan. Nisa yang asyik menikmati kue ranginnya, membuatnya terlihat menarik di mata Obi. Nisa memang wanita sempurna, dan juga lucu. Lelaki itu juga menangkap tatapan sendu Nisa, yang seakan memberi Obi rasa teduh sejenak.

"Mas, kok lihatin aku seperti itu?" Nisa tersadar bahwa Obi meliriknya cukup intens.

"Ah enggak apa-apa kok," kilah Obi sambil mencomot kue rangin lalu memakannya cepat-cepat. Suaranya berubah parau, Obi tersedak abis. Impuls, Nisa memukul pelan punggung Obi.

"Pelan-pelan Mas ...," bisik Nisa. Khawatir kalau Obi jadi kenapa-kenapa.

Obi bernapas lega karena makanannya sudah kembali ke jalur semula.

"Lain kali kalau makan pelan-pelan, ya, Mas," ujar Nisa dengan nada lembut. Binar matanya masih sedikit khawatir.

Wanita itu menyodorkan segelas air mineral kepada Obi. Tenggorokannya basah, terasa segar kembali. Nisa kemudian membicarakan hal-hal lain pada Obi, tetapi tatapan lelaki itu malah tidak fokus. Dua menit sekali Obi melirik ponselnya khawatir, ingin sekali Nisa bertanya tapi takut jadi tidak sopan.

Menghela napas, Nisa meninggalkan Obi untuk berjalan di sekitar rumah kontrakan. Lagi pula, dia punya topik pembicaraan apa lagi? Rasanya sesak ketika melihat lelaki yang dicintainya malah mengkhawatirkan orang lain.

Langkah kaki Nisa terhenti ketika melihat benda berbentuk persegi panjang yang ditutupi oleh kain batik warna hijau. Nisa paham benda itu dari penyangganya. Dia duduk di hadapan benda itu dan menyingkirkan kainnya. Piano Nisa membuatnya bertemu dengan Obi, tetapi keyboard ini membawa keakraban padanya.

Setelah mesinnya menyala, dia teringat oleh satu lagu yang membuatnya akrab dengan Obi. Jemari Nisa menari di atas tuts-tuts keyboard itu, otaknya mengingat setiap not balok dan partitur lagunya dengan jelas. Tidak menyangka bahwa dia lancar memainkan lagu tersebut sampai selesai, padahal jarinya masih kaku.

"Masih mainin time travel theme?"

Ah trik yang berhasil, Nisa langsung membalikkan kepala. Ia terkekeh samar, "Sudah jarang sih sebenarnya. Tapi entah kenapa Nisa kangen main lagu itu."

"Ketahuan sih, tadi pas bagian nada cepat pergerakan tanganmu terasa lambat," komentar Obi.

Suasana rumah kontrakan Obi jadi semakin sunyi. "Boleh ikut gabung main? Kayak dulu." Belum sempat Nisa bilang Iya, Obi sudah duduk di sampingnya. Hati Nisa makin riang, dia akhirnya berhasil menarik perhatian Obi dari ponselnya.

Nisa memainkan lagi bagian awal dari lagu dari film yang dibintangi oleh Jay Chou tersebut. Obi tersenyum, melirik pergerakan jemari Nisa. Menit berikutnya, bagian chorus mengalun. Itu adalah bagian Obi, jadinya mereka saling mengisi, membuat harmoni yang indah dan halus walau didominasi oleh nada Mayor.

Jika Obi menikmati permainannya, justru berbeda dengan Nisa. Sedari tadi dia bergerak gelisah terus, rasanya sesak bercampur senang. Sesak karena lagi-lagi Ia tidak menangkap pancaran cinta dari mata lelaki itu. Senang karena Obi masih mengingat kenangan yang menurutnya spesial. Hal ini membuat pipinya menjadi basah.

"Nis, kamu kenapa?" tanya Obi.

Air mata itu kembali lolos, Nisa membiarkan tangisannya meluap perlahan-lahan. "Dek Nisa, jangan sedih. Tenang ya ...," gumam Obi.

Nisa mengangkat kepala, menatap Obi lurus. Kapan Obi sadar? Kapan lelaki itu melihat Nisa sebagai orang yang dicintai, bukan sebagai Adik? Pertanyaan itu membuat tangisannya makin meluap. "Mas Obi ... Mas," lirihnya sembari sesenggukan. Lagi-lagi lidahnya kelu untuk menyampaikan maksudnya. Dia takut kehilangan Obi.

Tubuh Nisa bersandar di bahu Obi, terlihat seperti berpelukan. Walau lelaki itu tak membalas pelukannya, ada rasa tenang menyelimutinya. Ia ingin seperti ini lebih lama, walau dia tau pancaran cinta dari Obi padanya belum ada, Nisa yakin suatu hari pasti hal itu akan ada untuknya. Dia tidak mau sama orang lain, Ia hanya ingin bersamanya. Tangisan Nisa perlahan berhenti, cuma tersisa sesenggukan.

"Nis ...," panggil Obi melirih.

Dipanggil seperti itu membuat Nisa buru-buru melepaskan diri dari pelukan Obi. "Oh ... maaf Mas ... maaf," gumamnya kikuk. "Aku terlalu mellow, padahal ini cuma lagu biasa. Nisa lagi bimbang banget." Biarlah dia berbohong, setidaknya aman.

Obi memegang kedua bahu Nisa, menatapnya lekat-lekat. Memutuskan untuk tidak bertanya kenapa. "Dek ... kamu kalau ada apa-apa jangan pernah pendam sendiri. Cerita saja sama orang yang kamu percaya."

Nisa mengangkat kepalanya. Tatapan Obi sungguh tulus, tidak ada kebohongan. Tangan lelaki itu masih belum lepas dari bahunya, membuat Nisa merasa terlindungi. "Mas ..., aku ..., sebenarnya ....," Nisa berkata ragu. Mungkin ini saatnya, sebelum semua terlambat. Obi menunggu perkataan selanjutnya.

"Aku sa—"

"Kak Bi?"

Tatapan Obi langsung teralih ke sumber suara yang berada di ambang pintu sepersekian detik. Disitu sudah ada Rana yang menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa diartikan.

*

Rasa mual melihat jasad AN dan DN membuat Rana ingin pergi dari situ, dia memang merasa ada penyusup, cuma pikirannya tak karuan untuk mengusut penyusup. Biarkan itu menjadi pekerjaan Hendra sementara waktu, hari-hari Rana sudah terlalu berat. Sekalian juga, dia ingin pergi ke rumah kontrakan barunya Obi, apalagi lelaki itu akan mengajaknya mencari udara segar. Rana langsung semangat empat lima meluncur.

Karena pintu rumahnya tidak terkunci, Rana langsung menerobos masuk. Dia sungguh khawatir kalau ada kejahatan yang menimpa lelaki itu. Dia bersyukur Obi baik-baik saja, tetapi ada perempuan yang membelakanginya. Apalagi ditambah tangannya masih tak lepas dari bahu perempuan itu.

Rasa marah melingkupi dirinya.

Obi langsung melepas tangannya di bahu perempuan itu dan setengah berlari ke arahnya. "Ran ..., kamu sejak kapan ada—"

"Kak Bi," Rana langsung memotong perkataan Obi, "Kak Bi sendiri malah ngapain berduaan sama wanita?! Kakak nggak tahu kalau dari tadi Rana khawatir?!" Suara Rana naik dua oktaf. Perempuan yang membelakanginya mulai berdiri. Betapa terkejutnya Rana karena wanita itu adalah wanita yang dilihatnya di rumah sakit. Wanita pujaan Kakak Sepupunya.

"Ran ..., kamu tenang dulu, jangan emosi. Nisa kesini karena ...," Obi makin khawatir. Dia tidak mau ada perang dunia ketiga, dan juga ini adalah pertama kali Obi melihat Rana segusar dan seemosional begini. Ah sungguh membingungkan.

"Karena apa, Kak Bi? Oh ..., ternyata Rana paham sekarang. Pantesan aja waktu di rumah sakit dia terus yang masuk ke kamar Kak Bi, lalu sok-sokan memantau kesehatan segala." Rana bernapas sejenak, "Kakak nggak sadar, ya? Dia itu cinta sama Kakak. C-I-N-T-A." Rana lalu menatap Nisa dingin. Dia menepis tangan Obi yang berusaha menahannya. "Iya, kan? Kamu cinta juga sama Kak Bi?"

Nisa terperanjat, kenapa wanita ini tahu? Tapi Rana segera berbicara lagi, "Ekspresi kamu itu bisa ditebak, Nis. Kalau kamu nggak cinta, kenapa kamu malah repot-repot kesini dengan alasan bermain piano bersama? Waktu di rumah sakit aku sengaja mendiamkanmu karena aku ingin mengamatimu lebih jauh."

"Iya, aku memang cinta sama Mas Obi." Jawaban Nisa membuat terkejut Obi. Lelaki itu tak tau harus bersikap seperti apa, sementara Rana melipat tangannya.

Ekspresi wanita berjilbab itu terlihat dingin tetapi memancarkan rasa puas. "Tapi sayang, aku yang dekati dia duluan, Nis."

"Toh juga kamu belum menjadi kekasih Mas Obi seutuhnya. Jadi aku berhak dong mendekatinya juga." Nisa terbawa perasaan, seenaknya saja Rana berbicara begitu.

Adu mulut dua wanita itu terjadi, semua saling mempertahankan argument dan rasa cemburu. Obi melerainya sebisa mungkin, tapi itu malah membuat api perang mereka tersulut.

DOR! DOR! DOR!

Dua wanita itu bungkam, menyisakan derap langkah sepatu boot. Suara itu semakin dekat, hingga muncul sosok Kakek-Kakek berusia hampir 90an dengan tiga algojonya di belakang. Salah satu algojo berhasil mencengkram Obi, membua Rana refleks menoleh dan mengacungkan pistol. Nisa langsung berlindung di balik Rana.

"Udaranya panas betul, ya. Ayo lanjutkan adu mulut kalian! Saya suka sekali mendengarnya." Kakek itu tertawa, "Cinta memang buta. Itulah kenapa aku tak suka, membuatku lemah."

"Badrian Santoso. Nggak perlu mencari susah-susah rupanya. Sungguh kebetulan yang haqiqi." Suara Rana yang mengejek membuat Badri menoleh ke Rana.

Badri terkejut bukan kepalang. "Bagaimana ... bagaimana mungkin? Aku pikir kamu sudah mati waktu itu, Lastri."

Rana bingung. "Lastri? Siapa lagi itu Lastri?"

Obi yang masih dalam cengkraman algojo tersebut berusaha melepaskan diri, tapi algojo ini malah semakin kuat menahan tangan Obi ke balik punggung. "Diam kamu," desis si algojo. Mata lelaki itu melihat sana sini, mencari peluang untuk kabur dan menyelamatkan dua wanita itu terlebih dahulu.

"Ah, apa jangan-jangan kamu anaknya Lastri sama Dhani gila itu? Ah nggak mungkin sepertinya. Mereka sudah mati waktu itu." Badri melanjutkan ocehannya. Rana merasakan remasan Nisa di bahunya makin erat, membuat Rana tertawa datar.

Ia melirik sepatu yang dikenakan, ternyata benar dialah pemilik sepatu boots pencuri barang-barang hilang di Museum Surabaya.

Pistol Rana makin teracung ke wajah Badri. "Badrian Santoso, anda ditahan karena anda adalah dalang utama dibalik pencurian barang bersejarah di Museum Surabaya."

Satu hal yang tidak diduga Rana, Badri bisa menendang pistol Rana. Cengkraman Nisa terlepas dari bahunya, membuat algojo kedua menempelkan pistolnya di balik kepala wanita berambut pendek tersebut. Perut Rana ditendang oleh Badri hingga jatuh tersungkur.

"RANA," teriak Obi, menyaksikan wanita itu masih berusaha melepaskan diri dari algojo itu. Dia sungguh tidak tega melihat orang yang disayangnya tersiksa seperti itu. Tunggu, disayang?

Badri membalikkan badan menuju Obi yang sedang meronta. "Oh cucuku yang malang." Mata lelaki itu menangkap benda yang ada di leher Obi. Benda yang sudah diinginkan sejak dahulu. "Ternyata benar, kuncinya ada di kamu. Dasar Hendrawan dan Pandora yang bodoh!"

"Aku akan melakukan apa saja yang kamu minta tapi tolong lepaskan Rana dan Nisa. Mereka bukan urusan kamu, Kek," pinta Obi.

Badri tidak menjawab, tapi melihat ke arah Rana yang mulai lelah menghadapi algojonya. Ketika mereka berhenti menyerang, Kakek tua itu menatap Rana penuh tantangan. "Kamu nggak akan bisa menangkapku, manis. Pencurian di Museum Surabaya itu adalah awal dari segala pencapaian yang ku kejar dari dulu." Kakek itu tidak sadar bahwa pistol Rana sudah berada di bawah kaki wanita itu

Badri memerintah algojo itu. "Bawa cucuku."

Obi meronta dan mengerang untuk dilepaskan, tapi terlambat karena algojo itu memukul lehernya hingga pingsan. Rana mengambil pistol dan membidiknya ke kaki algojo. "Oh tidak bisa. Seenaknya saja kamu bawa Kak Bi pergi tanpa izinku," ujarnya marah.

Satu tembakan meleset. Rana berdiri dan mengejar mereka, tapi terlambat. Mereka sudah menghilang.

Nisa menunduk ketakutan dan menyalahkan dirinya sendiri. Rana menghela napas, mengumpulkan kesabarannya. Dia bertekad untuk menangkap pelaku kriminal itu karena sudah membawa Obi dan juga mangkir. "Kamu hubungi Om Eko dan Tante Diana. Begitu juga Nina, tak lupa teman-temanku di kantor. Mana ponselmu?" tangan Rana terulur, membuat Nisa menyerahkan ponselnya. Rana mengetikkan nomor ponsel lalu mengembalikannya. "Nanti aku share lokasi ke kamu."

"Terus kamu sendiri gimana?"

"Aku harus menyelamatkan Kak Bi." Rana mengangguk mantap.

2 Jam sebelum kembali ke Masa lalu

Obi membuka mata perlahan. Situasinya gelap, lelaki itu menggerakkan kepalanya ke atas, sebuah cahaya lampu. Gerakan tangannya kaku, dia meronta tapi tangannya tak bisa bergerak. Kedua tangannya terikat di belakang, begitu juga dengan kakinya di sisi kiri dan kanan kursi. Lelaki itu mengerjapkan matanya berkali-kali sampai terbuka sempurna. Di sekitarnya cuma ada kayu dan besi usang serta satu penerangan dengan meja besi di samping kiri. Obi masih berusaha melepaskan diri sambil berteriak samar.

"Tenanglah, Obi. Kalau kamu memaksa melepaskan diri, maka akan susah."

Obi memutar bola mata, suara robot yang sungguh dikenalnya. Pandora berada di hadapannya, membuka kain yang menutup mulutnya. "Apa kamu disini untuk peringatan lagi, Pandora?" tanya Obi sarkastik setelah mengambil napas.

Pandora mengangguk samar. "Waktu kamu sempit, Bi. Dhani membutuhkan kamu sekarang. Energi yang ada di jam saku semakin menipis."

Obi terkekeh datar. "Gimana bisa aku kembali ke masa lalu kalau alatnya saja diambil sama Kakek aku sendiri?"

Pandora memberikan gestur takjub. "Syukurlah permainanku berkembang sejauh ini." Anonim itu mengambil pisau di meja dan membuka ikatan tangan Obi. "Badri memang Kakek kandung kamu, dia membenci Bapakmu sendiri karena anak pembawa sial. Apalagi ditambah keluarga Dhani yang menyebabkannya sengsara. Kalau kalian bisa menghentikan perbuatan Badri dengan cara yang lebih baik. Itu akan merubah waktu keseluruhan."

"Aku akan ... tetap hidup?" tanya Obi setengah ragu.

Pandora mengangguk. "Bahkan kehidupan kalian akan lebih sejahtera. Selama kamu bisa kembali ke masa ini tepat waktu."

Obi mengibaskan tangannya sebelum melepas ikatan tali di kakinya. Dia paham kalau Bapaknya Dhani adalah simpatisan partai berlogo palu arit. Cuma dia masih kurang ngeh akan hubungan Badri dengan keluarga Dhani. "Kamu akan mengetahuinya lebih banyak ketika keluar dari ruangan busuk ini. Bawa pisaunya, siapa tahu butuh."

Obi mengintip situasi melalui lubang kunci, tidak ada penjaga sama sekali. "Ambil jam itu dan kembalilah. Selesaikan permainan ini. Satu lagi, Bi. Dhani berhasil membuka pintu kecil antara masa lalu dan masa depan. Jika permainan berakhir, kembalilah lewat pintu besar."

Ruang bawah tanah ini tersambung ke ruang televisi. Obi menutup pintu dengan sangat pelan, kakinya menelusuri tiap sisi ruang televisi. Sepanjang perjalanan, Obi mengamati barang-barang antik yang menjadi pajangan di meja, serta souvenir dari luar negeri. Obi melihat sebuah pigura besar yang memuat lukisan keluarga Badri di bagian dinding yang tinggi. Dia menutup mulutnya ketika melihat sosok anak lelaki yang kira-kira berusia 10 tahun dengan ekspresi murung. Mukanya sungguh mirip dengannya waktu kecil, tetapi tubuh Bapak lebih kurus seperti tak terawat. Sebegitu bencikah Kakek kepadanya?

Dia menangkap sebuah cahaya dari salah satu pintu. Langsung saja dia mengendap-ngendap masuk, ternyata itu adalah ruang kerjanya Badri.

Obi mengambil sisi di balik rak buku, mengamati Badri yang tertawa senang kepada seseorang di sampingnya. "Jam saku ini memang kuncinya, Sjaf. Akhirnya aku bisa kembali ke masa lalu dan bisa merubah merubah semuanya."

1 Jam sebelum kembali ke masa lalu

Rana sungguh hafal kebiasaan Obi yang selalu memakai pelacak ponsel, dan untung sinyalnya aktif. Sinyal tersebut membawa ke rumah istana Badrian Santoso. Rumah ini tiga tingkat, dan banyak penjaga yang berkeliaran. Wanita itu berjalan ke arah rumah tersebut, menghabisi secara diam-diam para penjaga dengan silent pistol berisi peluru bius yang didapat dari racikan Benny. Sebelum masuk, dia mengirim lokasi ke Nisa lewat chat.

Wanita itu memasuki pintu samping, dan berjalan mengendap-ngendap memeriksa ruangan satu persatu. Tidak ada tanda-tanda Obi, Rana menggeliat gelisah. Tapi dia langsung mengenyahkan pikiran negatif tersebut, dia yakin kalau Obi baik-baik saja. Samar-samar dia mendengar suara remasan kertas dan jatuhnya barang berat, membuatnya menendang pintu tersebut.

Pintu terakhir memuat barang-barang antik, dengan menggunakan lampu flash ponsel Ia dapat melihat lebih jelas. Ternyata barang bukti telah ditemukan dengan tertata rapi di gudang, membuat Rana memotret semuanya dan langsung mengirimnya ke Hendra. Tetapi Ia meminta untuk lebih sigap dan jangan gegabah dalam menyergap nanti.

Rana keluar dari ruangan tadi. Sinyal pelacak ponsel Obi semakin dekat. Alih-alih bukan ke arah tersebut, melainkan menyinari senternya ke dinding yang memuat pigura ukuran sedang. Foto itu sama persis dengan yang dilihat Rana waktu pameran museum.

"Ada hubungan apa aku dengan Lastri?" gumamnya.

Rana menemukan Obi di balik sofa ruang kerja Badri, langsung saja Obi membekap mulutnya. Dia seakan memberitahu Rana bahwa ada sesuatu.

"Pa ... sudahlah hentikan semua ini. Apa Papa nggak lelah? Harusnya Papa menikmati masa tua. Toh mereka sudah berhasil Papa singkirkan, jangan ...," keluh Risjaf.

"Diam kamu, Sjaf!" bentak Badri, "Kamu juga bohong sama Papa soal Eko yang ternyata masih hidup. Berterima kasihlah pada Roy yang dengan sukarela memberi info bahwa Eko bekerja padanya. Dasar nggak becus!"

"Eko sudah bahagia dengan kehidupannya sendiri, Pa ..."

"Sjaf," Badri menaikkan oktaf, "Adik kamu itu pembawa sial, gara-gara dia keluarga kita jadi sengsara dan banyak menemui kesialan."

"Kesialan yang merupakan efek samping pesugihan Papa," sindir Risjaf, "Apa pekerjaan Papa dengan sindikat Herritage masih belum membuat Papa puas dengan kehidupan? Toh Papa juga punya jabatan dewan komisaris perusahaan holtikultura yang sekarang Risjaf pegang." Risjaf membeberkan fakta tentang keluarga Adiknya.

"DIAM KAMU!" Badri tidak tahan dengan sindiran putra pertamanya yang banyak benarnya. "Aku bekerja sama dengan Herritage untuk mengambil sesuatu dari dalam barang curian di Museum Surabaya. Lihat ini!" Risjaf memajukan badan dan melihat apa yang dikerjakan Papanya.

"Batu-batu ini ditemukan di balik barang antik Museum Surabaya. Cuma ini yang aku butuhkan, barangnya terserah mau mereka apakan," lanjut Badri dengan bangga.

"Apa hubungannya batu ini dengan Eko?" Risjaf masih merasa bingung dengan semua ini.

Sebuah bias cahaya saling memantul di antara batu-batu tersebut, membentuk formasi persegi. Badri mengeluarkan jam saku Obi dari saku jasnya, membuat bias cahaya itu semakin membesar. "Kamu lihat, Walau Freddy Martadinaja gagal mendapatkan berlian putih, tapi batu putih ini bisa menggantikannya. Meskipun kekuatannya tidak sehebat si berlian putih." Jawaban Badri sungguh tidak nyambung.

Batu yang berada di jam saku Obi mengeluarkan biasnya. Sehingga pantulannya terasa. Ke empat batu itu melayang sendiri, dengan tambahan pantulan dari ujung batu membentuk huruf X. Saat itulah Badri mengarahkan jam sakunya ke cermin terdekat. Kacanya berubah jadi riak air.

Badri menyeringai, "Dengan begini, aku bisa kembali ke masa dimana aku bisa meyakinkan Mama kamu untuk tidak menambah anak lagi. Jika gagal, maka aku langsung kembali ke masa dimana aku meninggalkannya di kereta."

Rana refleks mengeluarkan silence pistol, naas tembakannya meleset ke arah Risjaf.

Sebelum kembali ke Masa Lalu

Badri terkejut melihat Risjaf yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Ia menoleh ke arah pintu, ada Rana dan Obi yang keluar dari persembunyian.

"Tidak ada waktu untuk lari lagi sekarang, Badrian. Jalan kamu sudah buntu," ujar Rana, mengacungkan pistol, "Menyerahlah, Kek. Lagipula penjara masih lebih mending daripada lari-lari nggak jelas begini."

"Kembalikan barangku. Dan kamu nggak berhak mengganggu kehiupan Bapak dan Ibu," ujar Obi.

"Kakek, KAKEK katamu." Badri tersinggung, nadanya langsung naik tiga oktaf. "Aku memang tua, tapi belum Kakek-kakek banget." Lalu Kakek itu berteriak memanggil pengawalnya, dan tidak ada respon sama sekali.

"Percuma kali. Semua pengawal kamu lagi pada bobok cantik." Rana terkekeh.

"Benarkah?" Badri berhasil membangun suasana suram di ruang kantornya. Lelaki itu menyeringai licik, apalag

"Er, Dek Ran ...." Tengkuk Obi terasa dingin akibat mulut pistol yang menempel. "Diam," bisik si Algojo pada Obi, "Turunkan senjatamu, atau ...." Suara pelatuk dari pistol berbunyi dengan jelas di telinga Rana. Hanya butuh satu tarikan, Obi akan binasa. Pelan-pelan, Rana menurunkan acungan senjatanya.

Badri memerintahkan mereka berdua untuk maju. Rana diam-diam menyalakan walkie talkie di balik pinggang. Walkie talkie itu berukuran compact, sehingga terlihat seperti memakai ponsel biasa. Kakek tua itu berhadapan dengan Obi.

"Seharusnya Bapak kamu sudah ku bunuh dari dulu, Bi."

Obi menggeram tertahan. "Sebenarnya apa salah Bapak sama Kakek?"

"Salah Bapak kamu itu adalah, dia mengetahui semua kegiatan pesugihanku, Bi. Tapi setiap melihat mukanya, selalu ada bayangan Nenek kamu. Jadi aku selalu kalah melawan egoku. Aku sudah siap untuk menyerahkan darah Bapak kamu untuk jadi tumbal waktu itu, tapi aku tetap saja gagal hingga akhirnya aku membuangnya di kereta. Tapi nyatanya dia bertahan hidup sampai sekarang. Kamu tahu siapa yang selalu membantunya?" Badri menoleh ke Rana yang menunduk mengheningkan cipta.

"Oh tidak hanya itu saja, ada orang lain yang lebih tahu sebelum Lastri—"

"Oh ayolah, aku Rana, bukan Lastri. Bisakah Kakek tidak berhalusinasi untuk hari ini?" potong Rana.

Badri tidak memperdulikan Rana dan melanjutkan ceritanya, "Hendrawan Prasetya, Kakakku sendiri. Dia yang sebenarnya tau lebih awal, dan itu gara-gara benda ini." Badri menunjukkan jam saku yang bias cahayanya mulai melemah. "Kamu pasti tidak tahu kalau benda ini lebih dari sekedar membawamu ke masa lalu?"

"Oke, aku antara paham dan masih bingung sedikit. Kak Bi, jadi selama Kakak menghilang nggak jelas itu berarti ...," ucapan Rana menggantung.

"Iya, Nona polisi," Badri melanjutkan, "Teman kamu ini memang berbohong. Dia berbohong karena baginya kamu tidaklah penting serta menolong Pamannya di masa muda." Melihat tatapan Rana yang terkejut, Obi hanya menunduk.

"Jam saku ini bisa mempercepat waktu untuk ke momen yang dimaksud. Untuk memunculkan kekuatan ini dibutuhkan batu-batu itu agar ketika kita masuk, dengan instan misiku berhasil. Tiga batu ini tersembunyi di balik benda-benda antik Museum Surabaya, sedangkan batu satunya ada di sahabat kamu yang jago silat itu.

"Aku akan ke masa lalu untuk melakukan hal yang seharusnya ku lakukan dari dulu." Kakek itu membisikkan telinganya ke Obi, "Membunuh orang-orang yang menghalangi ambisiku. Gara-gara Bapak kamu dan keluarga Dhani, aku gagal bekerjasama dengan Pemerintah. Aku butuh Pemerintah agar bisnisku makin berkembang."

Obi tidak tahan lagi, semua yang didengarnya sungguh sakit. Dia harus mendapatkan jam saku itu sebelum dia masuk ke dalam cermin. Lelaki itu menginjak kaki Badri penuh emosi, mengaduh kesakitan sehingga jam sakunya terlepas dari tangan. Rana langsung menangkapnya, Ia berlari menjauh sedikit.

"Kak Bi, tangkap." Rana melempar jam saku dan Obi berhasil menangkapnya lebih dulu.

Kekuatan jam saku ini makin melemah, dia harus segera kembali ke masa lalu dan menyelesaikan misinya. Obi menekan tuas pemutar jam, membuat cermin di samping meja kerja Badri mengeluarkan cahaya.

"Oh kamu tak bisa kemana-mana, Nak." Badri berdiri dan meraih Obi.

Cermin itu menarik tangan dan anggota tubuh Obi lebih kencang. Sebelum pergi, dia memberi lirikan mata kepada Rana mengatakan bahwa Ia akan baik-baik saja dan akan menjelaskan semua ketika kembali. Rana berhasil menumbangkan Badri dengan tembakannya.

Riak air cermin menghilang, begitu juga dengan Obi.

"Aku ... sayang ... Kakak," lirih Rana terengah-engah.

Bersambung

•••

A/N:
Yes tinggal 10-12 bab lagi tamat. Ini juga bagiannya sengaja ku panjangin aja biar seru hahhaha.
4200++ words
Happy Reading!!

Ga usah sedih Mas Obi, toh kalau jodoh sama Rana nggak kemana wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro