Episode - 22: Pesugihan & Sketsa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Penangkapan Badrian Santoso membuat media massa heboh. Rana dan timnya bersusah payah menghalau wartawan, terutama kepada lampu blitz juru kamera yang menghalangi penglihatan. Ketika mereka memasuki gedung reksrimum, teman-teman Polisinya yang lain mulai mengambil alih penjagaan. Tadi juga sebelum ke kantor dia sudah mewawancarai beberapa saksi yang bekerja di rumah Badrian. Semua saksi tersebut mengatakan sesuai dengan bukti-bukti milik Hendra. Badrian dibawa ke ruang interogasi, sedangkan pengawal-pengawalnya dibawa ke ruang sebelahnya.

Walau tidak ikut dalam interogasi, Rana bisa mendengar dari luar.

Selama sesi interogasi, Badri tampak tenang. Dia menjawab semua pertanyaan dengan gestur santai seolah tidak terjadi apa-apa. Bagi Rana, entah mengapa itu terasa aneh. Badri seperti sedang menahan sesuatu, otot-otot di pelipisnya mulai menampakkan urat. Dia menyikut lengannnya ke arah Hendra. "Hen ... Hen."

"Hem?" Lelaki itu membuka headsetnya.

"Kamu masuk dong. Bantuin dia. Aku takut dia dihajar sama Badri," bisik Rana. Hendra mengangguk dan masuk ke ruang interogasi.

Suasana berubah menjadi makin suram, tubuh Badri tiba-tiba bergetar dan meronta. Dia memukul meja interogasi sekuat tenaga, tatapannya berubah jadi kosong. Badri berteriak lantang, saat ini dia tidak bisa berdiri tegak karena kedua tangannya diborgol. Anggota tim Rana yang bertugas menginterogasinya buru-buru meninggalkan ruangan. Hendra berusaha memegang lengan Badri, tetapi lelaki tua itu makin meronta.

"Bapak tenang, Pak." Hendra sudah berhasil mencengkram bahu Badri, tetapi masih sulit mendudukkannya.

"Lepaskan ... Lepas." Badri menggoyangkan bahunya ke kiri ke kanan. Matanya melotot lebar ketika melihat Rana yang masih berdiri di jendela. "Lastri ... Heh Lastri ..." Gayanya seperti orang kesurupan. Dia berkali-kali meronta dan memukul meja interogasi.

Sudah dibilang aku bukan Lastri masih saja nggak percaya, gerutu Rana dalam hati. Wanita itu akhirnya masuk ke ruang interogasi, Badri masih saja meracau. Saat Rana duduk di hadapannya, Badri masih meronta tetapi tidak separah sebelumnya.

Badri tersenyum lebar, namun mengerikan dan terkesan bengis. "Ha ha, Lastri. Aku yakin ... itu kamu."

Rana memutar bola mata. "Uh, tolonglah, Kek. Memang apa hubungannya sih aku sama Lastri? Perasaan cuma muka doang mirip."

Badri memiringkan kepala, menggoyangkannya. "Kalian itu mirip ... HAHAHHAHA. Mirip semuanya. Makanya kalian berdua pantas mati." Jarak wajahnya ke Rana menyempit, suaranya memelan. "Dimana kamu menyembunyikannya, Lastri?"

"Buset dah malah nanya balik."

"BOHONG!" Badri menjauh dan memukul tangannya lagi ke meja, terlihat bercak merah di buku-buku jarinya. "Kamu ... sama Lastri pasti bersekongkol menyembunyikannya. DIMANA DIA?" Dia tersenyum lebar, kepalanya bergerak kesana kemari dengan pandangan kosong. "Lastri ... dimana kamu ha?! Jangan sembunyi dari aku! HAHAHAHA." Suara Badri memelan, "Lastri, ayo keluar! Jangan sembunyi!"

Rana menatap Hendra yang berdiri di belakang. "Bawa dia ke ruang tahanan. Kalau kondisinya masih belum membaik sampai besok, terpaksa kita membawanya ke Menur." Menur adalah nama rumah sakit jiwa yang terletak di Surabaya.

Sepeninggal Hendra, Rana mencium aroma dupa. Padahal disini tidak ada dupa sama sekali. Mendadak, telinga kanannya berdengung.

Satu Minggu Kemudian, di Rumah Obi.

Sejak Obi menghilang, Nina dan kedua orang tuanya tak pernah berhenti mencarinya. Segala upaya telah dilakukan, tetapi hasilnya nihil. Alhasil, Eko dan Diana makin sedih dan frustasi. Lagi-lagi Nina yang bertugas menenangkan mereka berdua.

Nina bersimpuh di hadapan mereka  yang sedang menatap sedih pigura foto Obi. "Pak, Bu. Sudah dong, jangan sedih begini." Nina mengelus lutut mereka berdua.

Diana mengusap air matanya. "Ndhuk ...," Diana memegang tangan Nina. "Ibu bingung, Ndhuk. Ibu takut Masmu kenapa-napa disana." Sementara Eko ikut sedih dalam diam.

Nina memperhatikan keanehan dalam diri Bapak. Wajahnya masih sedih, tetapi seperti menahan sesuatu. Tangan Nina merasakan getaran di lutut beliau. Tidak sampai semenit, tubuh Eko bergetar, Ia mulai mengerang dan merasakan kesakitan di sekujur tubuh. Lelaki itu menggoyangkan tubuhnya, berusaha menghilangkan rasa sakit. Nina dan Diana mendadak panik.

"Pak ... tenang Pak." Diana memegang kedua bahu suaminya.

"Bu ... ini sakit Bu. Dia datang lagi Bu," lirih Eko di sela-sela erangannya. Wajah Diana mendadak pucat.

"Nin, tolong panggilkan dokter sekarang," perintah Diana.

Nina mengangguk dan cepat-cepat menelepon dokter lewat ponselnya. Setelah berbincang sebentar, dia melapor pada Diana. "Tenang Bu, bentar lagi Dokternya kesini."

Dokternya datang lima belas menit kemudian, ternyata dokter yang dipanggil Nina adalah Nisa. Cepat-cepat dia memeriksa Eko, mulai dari pemeriksaan dasar hingga mendiagnosis keluhan. Bukannya makin tenang, badan Eko semakin bergetar dan kesakitan. Diana langsung membawa suaminya ke kamar.

"Nin ... tadi pas aku periksa. Semua kondisinya normal, Bapakmu nggak sakit sama sekali," ujar Nisa pada Nina. Mereka berdua duduk di sofa tempat Diana dan Eko duduk tadi.

"Masa sih, Mbak Nis?" Nina ikutan bingung, "Tapi Bapak terlihat sakit beneran."

"Beneran, Nin, aku nggak bohong." Nisa masih mempertahankan argumennya. "Sesakit apa pun pasienku, pasti akan terlihat tanda-tandanya walau kecil. Ini tuh enggak, Bapakmu sehat."

"Apa jangan-jangan kelelahan, ya?" Nina mengusap dagu.

Nisa menggeleng. "Kalau kelelahan, Nin. Bapak kamu nggak bakal mendadak demam kayak begitu. Bapak kamu berapa kali mengalami ini?"

"Baru kali ini sepanjang pengamatanku," jawab Nina.

Terdengar teriakan panas dari kamar. Nisa dan Nina berlari ke kamar, ternyata Bapak makin menggigil. Beliau sudah melepas pakaiannya, dan karpet kamar sudah digulung sebelumnya. Diana menyiram Eko dengan air dingin dari baskom. Nina menyipitkan matanya seakan melihat pemandangan aneh.

"PANAS ... PANAS. Bu, tolong," pinta Eko kepada Diana untuk menyiramnya lagi. Diana menyiram sisa air tepat di atas kepala suaminya, rasanya dingin.

Setelah badan Eko tidak sakit lagi, dia bisa melihat Nina dan Nisa yang masih disitu. Apalagi dengan tubuhnya yang basah kuyup, serta tatapan Nina yang meminta jawaban.

"Bu ... Pak." Nina melirik mereka berdua bergantian. "Bapak nyembunyiin apa dari Nina?"

"Ndhuk ...,"

"Bapak," potong Nina, Ia lalu bersedekap, "Jangan bilang Bapak sering mengalami hal kayak gini berkali-kali." Pandangan gadis remaja itu penuh curiga.

"Nina ..., kamu jangan gitu ke Bapak? Nggak baik." Ibu berbicara lebih dulu.

"Bu ... pasti Ibu sekongkol sama Bapak, kan buat nutupin sakitnya?" Nina tetap mendesak, "Bapak sakit apa, Bu? Sampai-sampai Nina sama Mas Obi nggak tahu." Suaranya naik satu oktaf.

"Bapak nggak apa-apa Nin, cuma demam biasa," kilah Eko. Menjawab pertanyaan Nina terlebih dahulu.

"Bohong. Bapak bohong." Nina menatap Ibu, "Ibu juga, tanpa kecuali. Kalau Bapak sakit demam biasa, nggak mungkin sampai teriak kepanasan kayak kena api." Sorot mata gadis itu menyipit, "Bapak sama Ibu mungkin bisa membohongi Mas Obi, tapi nggak dengan Nina."

Eko dan Diana terdiam seribu bahasa. Nina berjalan masuk dan bersimpuh di hadapan Eko. "Pak, Bapak sama Ibu selalu mengajarkan Nina sama Mas Obi untuk jujur. Tapi mengapa justru orang yang paling Nina sayang malah melakukan sebaliknya." Tangannya memegang lutut Eko. "Mbak Nisa bilang kalau kondis Bapak sehat. Terus Ibu seperti orang yang tahu kalau Bapak bukan sekali dua kali mengalami ini. Kalau pertama kali, mana mungkin Ibu bisa serapi ini ngobatin Bapak."

Eko dan Diana saling berpandangan.

"Pak?" Nina menunggu jawaban dari kedua orang tuanya. Masih tidak ada tanggapan.

Eko menatap putri semata wayangnya dengan raut pasrah. Tatapan Nina seakan menuntut jawaban. Eko menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Baiklah kalau itu mau kamu. Bapak akan jujur, toh sudah saatnya kamu tahu."

Eko mengisyaratkan Nina untuk duduk disampingnya, yaitu pinggir ranjang. Sedangkan Diana keluar untuk mencuci baskom, wanita itu berkata pada Nisa. "Nisa mau tetap disini atau mau keluar sama Ibu?"

"Nisa mau pulang saja, permisi. Selamat siang. Kalau ada apa-apa bisa langsung kontak saya saja," pamitnya.

Sepeninggal Diana dan Nisa dengan pintu kamar yang tertutup. Kepala Nina bersandar di bahu Bapak. "Kamu pasti sudah baca buku harian Bapak yang adegan Bapak ditinggal sendirian di kereta api?" tebaknya.

Nina mengangguk. "Bapak sebegitu bencinya, ya, sama Kakek?"

"Bapak sebenarnya dari awal tidak membenci Kakek kamu. Tapi setiap lihat Kakek kamu itu, hati Bapak sakit sekali." Dia berhenti sejenak dan menyuruh Nina bangun sebentar untuk memakai pakaian, kemudian melanjutkan cerita. "Kakek kamu menganggap Bapak adalah pembawa sial karena sebenarnya almarhumah Nenek kamu itu adalah jimat keberuntungan Kakek tiap melakukan ritual pesugihannya di Gunung Kawi situ. Kakek kemudian melakukan kesepakatan dengan jin pesugihannya untuk menyerahkan bayinya untuk jadi tumbal setelah lahir nanti.

"Nenek jelas tidak mau, dia lebih baik mati daripada bayinya jadi tumbal. Sayang, Kakek sudah telanjur dengan kesepakatan itu. Ternyata, Nenek kamu beneran meninggal ketika melahirkan bayinya, yaitu aku. Kakek kamu sungguh terpukul, dia begitu mencintai istrinya. Akhirnya, atas amanah Nenek, Kakek membesarkanku dan Om Risjaf dengan cara berbeda. Kakek sungguh keras padaku, berbeda dengan Om Risjaf yang manis. Sampai ketika usiaku sepuluh tahun, aku tak sengaja melihat Kakek bersemedi dan menyerukan namaku berkali-kali. Sejak itu, aku mengalami hal-hal aneh, seluruh tubuhku sering panas dan rasanya juga seperti ditusuk paku berkali-kali. Aku baru bisa tenang ketika tiap mimpi aku bisa menusuk apapun yang ada di hadapanku. Ternyata, selama ini Kakek mendapat hukuman dari setan-setan pesugihannya karena lalai menyerahkanku sebagai tumbal. Akhirnya aku dijadikan perantara penyerahan tumbal."

Nina menutup mulutnya tak percaya.

"Ya, Nin, Bapak sendiri tidak tahu siapa korbannya karena roh Bapak seperti tersingkir sementara waktu."

Nina otomatis bangun dan terperangah tanpa suara. Membiarkan Eko berbicara.

Eko melanjutkan ceritanya. "Bapak tidak tahan lagi, Nin. Bapak berusaha mencoba untuk kabur, tetapi Kakek selalu tahu caranya menemukanku dan membawaku kembali berburu tumbal. Kalau tidak mau, seluruh badanku akan seperti tadi. Entah mengapa, waktu Bapak berusia duabelas tahun Kakek mengajakku berjalan-jalan ke Surabaya naik kereta. Ternyata aku langsung ditinggalkan begitu saja.

"Bapak yang waktu itu lemah, ringkih, tidak bisa apa-apa berusaha bertahan hidup di Surabaya. Ngemis pun Bapak lakukan, sampai ada seorang Ibu-ibu paruh baya menampung Bapak di panti Asuhan karena katanya beliau menemukanku dalam kondisi pingsan akibat dehidrasi. Bapak berusaha melupakan semuanya, Nin, memulai hidup baru di Surabaya.

"Sampai ketika kuliah, rasa sakit itu mendera Bapak lagi, kali ini lebih parah dari sebelumnya. Bahkan ada suara yang mengatakan kalau Bapak ini pembunuh, Bapak kejam, dan sebagainya.  Bapak seperti dilanda rasa bersalah, Nin, setelah itu." Eko menunduk penuh penyesalan, membuat air matanya menetes. Nina menenangkan Bapaknya sebisa mungkin.

"Bapak bingung siapa orang itu, Nin? Bapak menyesal, sungguh. Andai saja Bapak tau siapa orang itu, Bapak akan mengunjungi kuburannya dan meminta maaf."

"Pak ... sudah ya. Bapak nggak salah kok." Nina berucap pelan dengan nada lembut.

"Bapak juga takut kalau Masmu ternyata korban tumbal Kakek. Kamu tau sendiri, kan? Dek Rana juga tidak tahu kemana dia menghilang." Eko menyeka hidungnya dengan tisu.

"Pasti Mas Obi bakal ketemu, kok, Pak. Mas Obi, kan, kuat." Nina berasumsi menghilangnya sang Kakak pasti berhubungan dengan jam saku Pandora.

Senyum terukir di wajah Eko. "Bapak dan Ibu selalu berdoa agar Masmu baik-baik saja dimanapun dia berada."

Nina melihat kilat mata lega dan semangat dari Eko. Eko sendiri merasa lega setelah bercerita, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. "Nin, entah kenapa, Bapak seperti merasa kalau rasa sakit aneh ini perlahan menghilang."

"Apa mungkin ilmu pesugihan Kakek berkurang?" Nina berasumsi.

"Kalau benar, semoga saja terjadi."

Bapak dan anak tersebut mulai melakukan hal lain. Mereka tidak sadar bahwa sedari tadi Nisa mendengar pembicaraan mereka dari luar.

*

Polrestabes Surabaya, 11:30 WIB

"Ran, koyoke tahanan nomor 305 harus sesegara mungkin diperiksa di Menur," usul Hendra ketika Rana telah selesai menyelesaikan Berita Acara Pemeriksaan kasus Badrian Santoso. Mereka lagi-lagi berbicara ketika jam istirahat, terlihat dari beberapa teman-temannya yang sudah melakukan peregangan ringan.

"Tapi Badrian ketika nggak ndhelok aku. Nggak bakal kumat kayak kemarin di ruang interogasi itu. Oh, ya, gimana permintaanku atas profil seorang Lastri?" Rana memang meminta Hendra dan timnya dalam mencari Lastri setelah kejadian itu.

Hendra menggeleng, lalu cepat-cepat menambah, "Aku sama timku pasti bisa cari tau tentang Lastri."

Terdengar suara printer ketika mereka terdiam. "Hen, aku mau kamu lanjutin pencarian Lastri sedalam-dalamnya. Bila perlu tentang kehidupan maupun keluarganya. Naluriku mengatakan kalau Lastri masih hidup." Nada suaranya serius.

"Siap." Hendra melakukan penghormaan.

"Nggak usah sok formal gitu, Hen. Aku pusing nih. Kayaknya sekarang bukan sekedar pencurian barang kuno doang ini. Aku ingat waktu itu salah satu saksi yang kerja sama dia bertahun-tahun, bahwa dia pernah membunuh seseorang. Jika benar ... hukumannya bertambah dan sungguh menarik." Wanita itu memijit pelipisnya. Apalagi ditambah dengan Risjaf yang masih kurang bisa kooperatif dengan polisi. Ekspresi wanita itu makin terlihat suram saja.

Rana berdiri dan menaruh ponselnya dibalik saku celana. "Aku mau ke ruang tahanan dulu. Kamu istirahat aja, Hen," pamitnya.

Sepanjang perjalanan menuju ruang tahanan, Rana merasakan hal-hal menggelitik dan telinga sebelah kanannya yang mendengung. Ruang tahanan polrestabes Surabaya termasuk luas, terdapat lebih dari sepuluh blok. Setelah penjaga mengizinkan masuk, Rana berjalan menuju blok J, dimana Badrian Santoso ditahan bersama tiga tahanan lainnya. Telinga kanan Rana mendengung lagi.

Badri menyeringai senang melihat Rana yang berdiri di depan pintu tahanan sambil memegang telinga kanannya. "Sakit, hah, Lastri. Itu sambutan untukmu dariku."

"Lastri lagi, Lastri lagi. Dengar, ya, Kek, aku sama Lastri yang situ sebut tidak ada hubungannya sama sekali selain muka kami yang mirip." Sakit di telinga kanannya mulai mengganas.

Badri tertawa lebar, lelaki itu melesat cepat menuju pintu jeruji besi. "Lihat aku, Lastri." Suaranya mendadak berubah jadi mengerikan.

Tidak ada respon dari Rana sama sekali, dia masih memegangi telinga kanannya sambil mundur perlahan. Dia merasa bahwa ada sesuatu tak kasat mata yang sedang menyiksa dirinya. Rasanya sakit seperti ditusuk pisau berkali-kali, apalagi daerah perut. Ekspresi tertawa Badri lenyap.

"Kamu ... bukan Lastri?" tanya lelaki tua itu. Menyadari bahwa dia memang bukan Lastri.

"Kan sudah kubilang berkali-kali. Ah, Kakek ini nggak ... percaya aja," ujar Rana. Suara Badri terdengar seperti bingung, Dia seperti kehilangan arah, ini kesempatan Rana.

"Kek ...," Rana berjalan maju dan memegang pintu, mencoba mengalihkan dengung telinga. "Mungkin, Kakek bisa menceritakan bagaimana Kakek bisa membenci Lastri."

Tatapan Rana yang terkesan ramah dan simpati mulai membuat Badri terenyuh. "Apa untungnya kalau aku cerita ke kamu, nona Polisi?" Badan Badri bergetar, deru napasnya terdengar tak teratur. Tanda dia sedang menahan diri menurut Rana. Namun, dia harus tetap waspada.

"Ada untungnya, lah, Kek. Hukuman Kakek nanti di Pengadilan akan lebih ringan dari tuntutan Jaksa." Rana menawarkan solusi.

Gerak-gerik Badri terbaca lagi, ternyata selama ini dia pura-pura gila. Rana menahan ekspresi kesalnya sebisa mungkin. Dia tidak mau kehilangan peluang untuk menemukan Lastri.

Badri menghela napas. "Lastri itu adalah tumbalku berikutnya. Tapi dia juga menguntungkanku. Aku tidak sengaja memergoki Lastri dan anakku lagi jalan-jalan di daerah Embong Malang waktu aku sedang plesiran bisnis sekitar tahun delapan puluh satu pertengahan. Lastri juga menggagalkan pembunuhan anakku ketika itu."

"Anak?"

Badri mendengkus. "Kamu pikir anak saya cuma Risjaf saja, heh?"

"Ya, aku, kan mana tahu, Kek."

"Pacar kamu itu cucuku, Nona Polisi."

Rana terkesiap, pantas saja dia menyebut Obi cucunya. "Berarti ...?"

"Bapaknya Obi itu anak kandungku. Mungkin disini lebih dikenal sebagai Eko Wiantono. Aku yang menghancurkan rumahnya. Sialnya, anak buahku hampir membunuh Kekasihmu itu, padahal dia kuperintahkan untuk membunuh Bapaknya. Dasar bodoh!" gerutunya.

"Padahal aku sama Kak Bi belum pacaran," gumam Rana sepelan mungkin. Dia berusaha menetralkan detak jantungnya sebisa mungkin.

Badri memberikan tatapan mencemooh, tetapi Rana berusaha menghindari tatapan itu. "Kembali ke cerita. Singkatnya, aku gagal membunuh Lastri karena ada yang menolong mereka. Lalu, Lastri adalah tumbal yang selalu diminta oleh jin pesugihanku, dia cocok menjadi penghuni gunung Kawi. Setiap aku berhasil mendapatkan tumbal, maka kekayaanku berlipat ganda."

"Sekarang mereka berdua telah menghilang entah kemana. Maka dari itu aku membutuhkan batu-batu itu untuk kembali ke masa dimana aku hampir berhasil membunuh mereka." Badri bercerita seakan berbicara pada diri sendiri.

Rana sudah mengetahui soal batu-batu dan cermin yang menghisap Obi.

"Mereka?" Rana mengernyitkan dahi.

"Lastri dan suaminya, Ramdhani."

Rana memutar otak, tetapi Badri kembali berbicara, "Aku juga tidak menyangka kalau Dhani dan kekasih kamu itu mukanya sungguh mirip. Kebetulan sekali, ya."

"Kakek tahu, dimana Lastri sekarang? Dan tentang kondisi Obi?" tanya Rana sebagai penutup.

Badri menggeleng. "Kalau pun sudah ketemu, bakal ku bantai mereka langsung, nona Polisi. Kalau soal kekasihmu, asumsiku dia akan terjebak di suatu waktu."

Rana mengeluarkan ponsel, dan mematikan rekaman di dalamnya. Dia tersenyum lebar. Badri sangat terkejut, "Terima kasih sudah jujur ke saya, Kek. Oh, ya, soal batu-batu itu mungkin aku akan mencobanya sendiri seperti yang Kakek lakukan waktu di istanamu."

Badri menatap marah atas kepergian Rana. "HEH ANAK KECIL ... KEMBALI KAMU. KAMU NGGAK BAKAL BISA ... MEMBUKA PINTU CERMIN. KALAU PUN BISA, KAMU TIDAK AKAN MENEMUKAN KEKASIHMU." Rana berbalik dan meninggalkan sel tahanan Badri. Kakek itu menghantam sel sekuat tenaga hingga menarik perhatian tahanan lain.

Suara Kakek itu makin lama makin kecil di telinga Rana. Ketika di pintu keluar dia berbisik pada penjaga. "Tolong telepon pihak rumah sakit Menur, suruh cek kejiwaan tahanan nomor 305. Sekarang," perintah Rana dengan suara berbisik.

Penjaga itu mengangguk.

Sayangnya kesenangan Rana tidak bertahan lama, karena dia mendapatkan kabar yang membuatnya keluar kantor lebih awal.

*

Rumah Sakit Mitra Keluarga, Surabaya. Pukul 13:00 WIB.

Setelah bertanya pada resepsionis perihal lokasi Kakak sepupunya dirawat, Rana berlari cepat menuju UGD. Perasaan wanita itu tak menentu, tadi dia menerima telepon dari pihak rumah sakit katanya Benny mengalami luka parah ketika melawan pencuri. Ternyata ruang UGDnya berada di salah satu lorong, Rana langsung diperbolehkan masuk karena dari pihak keluarga.

Kak Benny sedang tiduran di brankar bagian tengah bersama punggung wanita yang cukup dikenalnya. Rana menghampiri dan menggenggam tangan Benny, membuat Nisa harus sedikit mundur.

"Mas, bikin Rana panik aja deh." Rana masih bersedih, tapi lega mengetahui Benny baik-baik saja walau banyak perban di bagian wajah, tangan, dan perut.

"Luka tusukan di perutnya Kak Benny nggak dalam, Ran. Tidak ada patah tulang, cuma ada memar-memar. Memar yang paling parah di lengan, sudah ku obati juga." Nisa memberitahu kondisi Benny.

Rana melirik sebentar lalu memandang Benny dengan tatapan datar. Benny sudah hafal tatapan itu. "Mau interogasi apalagi, Ran?"

Rana refleks memukul pelan lengan Benny yang disambut rintihan. "Rana lagi serius, masih sempat-sempatnya bercanda  sampeyan iki." Ia memajukan bibirnya.

"Habisnya serius banget, nggak kayak kamu yang biasanya, Ran." Tangan kiri Benny yang tidak terlalu parah lukanya mencubit pipi Adik Sepupunya itu.

Nisa mengamati kedua Kakak beradik itu dengan pandangan biasa saja. Walau hati kecilnya ada sebersit keinginan seperti itu. "Jadi ... kalian saudaraan selama ini?"

Benny bersandar di dipan. "Kita memang saudara sepupu, Nis. Tapi bukan sepupu-sepupu banget."

"Kok bisa?"

"Iya, jadi Mas Benny ini anak angkat dari Tanteku. Jadi, kita itu saudara angkat. Mamanya dia itu Kakaknya Bunda." Rana mengambil alih jawaban berikutnya.

"Mas, sampeyan belum ceritain kronologinya sampai babak belur begini," tagih Rana. Sambil diam-diam menyalakan alat komunikasinya ke rekannya di divisi Jatanras.

Awal ceritanya adalah Benny sedang ingin ke minimarket untuk membeli titipan makanan dia dan rekan sejawatnya dengan jalan kaki karena jarak rumah sakit dan minimarket tidak terlalu jauh. Namun, saat dalam perjalanan pulang ada dua orang penumpang motor yang hendak mengambil tasnya. Ciri-cirinya adalah jambret itu berpakaian layaknya orang kantoran biasa. Benny melawannya sebisa mungkin, tetapi dia tetap gagal dan babak belur. Bagian anehnya adalah jambret itu cuma mengambil sedikit uang tetapi dia mau mengambil buku sketsanya.

"Buku Sketsa yang mana?"

"Itu, Dek ... Buku sketsa yang jadi hadiah ulang tahunku ke duabelas. Hadiah dari Nenek."

"Ah itu ...," Seingat Rana, karena Nenek ingin mengembangkan bakat Benny di bidang illustrasi. Beliau menghadiahkannya buku sketsa A4 yang bisa diisi kembali kayak binder. Itu adalah buku sketsa favoritnya, memuat semua perkembangan kemampuan gambar sang Kakak sepupu. "Buku sketsamu yang tujuh puluh persen isi gambarnya semua adegan dongeng Nenek."

Benny mengacungkan jempol, lalu melanjutkan sisa ceritanya. "Jambret mana ada, Ran, pakai baju kayak orang kantoran sama rebutan buku sketsaku. Gara-gara buku sketsa juga sih perutku sampai ditusuk. Syukurnya sih buku sketsanya selamat." Ia melirik Nisa yang sedang memandang ke arah lain, membuat hati lelaki itu tenang, "Mungkin, kalau Nisa nggak cepat-cepat bawa aku ke UGD dan ngobatin luka-luka ini. Nggak tau deh."

"Ciri-ciri motornya gimana, Mas?" Suara Rana mengalihkan tatapan Benny pada Nisa.

"Motor bebek, warna hitam merek Y. Ada stiker dengan gambar benih tanaman di bagian depan sepedanya. Pengemudinya menggunakan helm full face warna oranye, terus yang bonceng helmnya biasa sih warna putih ada tulisan merek motor dan stiker yang serupa."

Tangan Rana tiba-tiba mengepal. "Badri sialan." Mau apa lagi Kakek tua itu dengan sketsa Kakak sepupunya?

Mulut Rana mendadak terkunci. Jika dilihat dari samping, Benny itu persis seperti ... dirinya. Walau tidak sepenuhnya, hanya bagian hidung, mata, dan bibir. Rana duduk di pinggir brankar, berkata pada Nisa. "Nis ..., tolong dong kamu perhatikan wajahku sama Mas Benny."

Nisa mengusap dagu, memandang wajah Rana dan Benny bergantian. "Kalian ... memang ada kemiripan sih walau nggak banyak."

"Hem ...," Rana bergumam. Sementara Benny bingung, "Kalian ini kenapa sih? Mirip-mirip apaan sih?"

Rana menimbang-nimbang. Sebuah ide muncul dari pikirannya, "Mas Ben itu persis banget sama orang yang aku cari buat kasusku. Aku butuh dia biar bisa menjerat Badrian seutuhnya."

"Ya terus caranya gimana? Masa pakai sulap?" Alis Benny terangkat.

"Mas Ben ingin, kan, ketemu sama orang tua kandung sampeyan?" Rana bertanya balik.

"Ya ..., mau sih." Benny masih bingung tetapi dia bisa berusaha mencerna perkataan Rana.

Ucapan sang Kakak sepupu memantik kobaran petunjuk menurut intuisi Rana. Dia tersenyum riang, "Nis, aku minta bantuan kamu. Tolong cari riwayat rekam medis dan data-data dari rumah sakit tempat Mas Benny dilahirkan. Rana merasa kalau orang yang aku cari ini berhubungan dengan keluarga biologis Mas Benny."

"Bisa-bisa aja sih, Ran." Nisa menyetujui ide itu, "Tapi bakalan agak lama sedikit. Nggak apa-apa, kan?"

Rana mengangguk.

"Terus Mas Benny tugasnya apa dong?"

"Mas Ben istirahat dulu aja. Aku nggak mau Mas Ben sakitnya makin parah," jawab Rana serius.

Benny sungguh tersentuh, Rana walau bertingkah konyol tetapi dia peduli. Dia langsung memeluk Rana seerat mungkin, sampai Rana hampir kehabisan napas. "Ih ... Mas ... Ben. Le ... pas." Rana menepuk punggungnya.

Jakarta, 5 April 1981

Gambar yang menampilkan Rana, Benny, dan Nisa menghilang dari cermin ruang baca Babeh. Obi lega bahwa mereka baik-baik saja saat ini. Lelaki itu memegang jam sakunya, lalu menghadapkannya pada cermin.

Cermin itu mulai menampakkan tampilan tentang gambaran apa yang terjadi dengan Dhani dan Lastri setelah menikah. Kemudian, gambar itu berubah menjadi suasana Dhani dan Lastri yang sedang dalam bahaya. Mereka berdua sudah diambang maut.

Obi menutup mulutnya ketika melihat apa yang terjadi dengan mereka berdua. Ternyata ini adalah hal yang harus dilakukannya.

Bersambung

•••

A/N:
3600++ words
Happy Reading!!

Nisa versi glamorous abis hihihi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro