Episode - 5: Suara terbaik dari Alam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

            

Indonesia adalah negara kepulauan, dan negara terluas se-Asia Tenggara. Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang banyak dan melimpah ruah. Indonesia bagaikan surga yang tiada habisnya. Setidaknya itu yang berada di pikiran seorang wanita yang sedang duduk di meja kerja dengan sedikit menopang dagu. Matanya memandang hamparan laut dan pasir putih tanpa rumput di tengah-tengah hasil potret seseorang dari internet. Tidak lupa, ada watermark di salah satu sisi foto tersebut sebagai tanda bahwa foto itu ada pemiliknya.

"Hmm, andai aja aku bisa ke pulau Derawan." wanita manis itu berandai-andai. Dia menopangkan dagu, tanda bahwa dia sedang mengkhayal.

"Susah kali, Ran dapat izin dari Pak Eno," celetuk teman lelaki yang duduknya di sebelah meja kerja Rana. Pandangannya masih fokus ke komputer, sedang mengetik Berita Acara Pemeriksaan.

Rana, demikian nama wanita itu, mengerucutkan bibirnya. "Pak Eno kejam banget. Aku iki sumpek kadang, pengen gitu nikmatin weekend. Eh pas ndhek TP, malah disuruh ke kantor katanya ada kasus." Rana mencerocos tentang kegiatan weekendnya kemarin dengan mimik sebal.

AKBP Eno Sudarisman adalah atasan dari Rana, dia adalah kepala satuan reserse kriminal di Polrestabes Surabaya. Tidak galak, cuma kalau mau sesuatu itu selalu disampaikan dengan gaya datar yang membuat Rana dan teman-temannya kadang jadi segan.

Kemudian ekspresi wanita itu berubah lagi jadi ceria. "Masih untung ini kasus, aku nggak terlibat banyak. Cuma membantu mereka memetakan profil pelaku kasus pembunuhan di Wonocolo."

Teman lelakinya tidak menjawab, hingga suasana menjadi hening, karena baginya Rana mengganggu pekerjaan. Yang ada hanya suara ketukan keyboard, meskipun tidak keras, cuma bagi Rana, suara tersebut menjadi terdengar keras di telinganya. Dia menoleh ke teman lelakinya lagi, "Ndre, kon nggak risih, sama suara keyboard? kayaknya keyboardnya butuh diganti deh? Ntar aku bilang ke bagian umum deh kalau keyboar—"

"Ran, ini keyboardnya nggak apa-apa kali. Kon ae yang lebay. Duh sana Ran, kerjain tugasmu. Aku sibuk nih, dikejar deadline BAP." Teman lelakinya memotong cepat, tatapannya  jengah.

"Iya deh." Rana tidak berkutik dan kembali mengerjakan sesuatu di komputernya.

Kantor Satreskrim Polrestabes Surabaya merupakan kantor yang menjadi saksi bisu perjuangan Rana Arsyinta dalam menjalankan cita-cita yang selama ini ada di angan-angan. Walaupun sempat mendapat tentangan dari Papanya, Rana bisa membuktikan bahwa dia bisa jadi polisi yang sesuai bidangnya.

Selepas SMA, Rana memang tidak langsung menjadi polisi. Dia berkuliah di Universitas Airlangga fakultas psikologi selama 3,5 tahun. Setelah itu dia melanjutkan S2 di tahun yang sama, dan ketika dia lulus di tahun 2018. Dia mulai mendaftar polisi lewat jalur SIPSS, ketika berhasil melewati tahapan seleksi yang sangat banyak itu barulah menjalankan pendidikan layaknya polisi pada umumnya selama 6 bulan di AKPOL Semarang. Setelah lulus, dia berpangkat ipda dan sekarang menikmati kerjanya di kantor ini.

Suara pintu terbuka membuyarkan fokus Rana dan iptu Andre. Rupanya adalah temannya yang membawa tersangka baru.

Bukannya menunjukkan muka garang, Rana malah menatap sedih temannya yang mendampingi tersangka tadi. Seringai temannya mengatakan bahwa dia telah memenangkan taruhan dengan Rana yang diadakan seminggu lalu.  Baru kali ini Rana kalah dalam taruhan, kadang hidup memang tidak harus selalu menang atau kalah. Yah nggak jadi sego sambel Mak Yeye sebulan nih traktirannya, batin wanita itu.

Rana membulatkan rasa kecewanya dengan mengerjakan laporan dan analisis kasusnya hingga malam hari. Ketika Rana hampir tertidur, sebuah kantong plastik ditaruh di meja kerjanya.

"YES AKHIRNYA!!"

Teriakan Rana berhasil membuat teman-teman sesama polisi melemparkan pandangan mengernyit padanya. Rana melempar senyum terlalu manis, syukurlah itu sukses membuat mereka kembali fokus pada pekerjaannya. Wanita itu beralih pada IPDA Hendra yang duduk di sebelah kirinya. "Makasih lho Hen, titipan sego sambel Mak Yeyeku. Walau akhirnya nggak jadi di traktir selama sebulan," bisiknya.

"Udah makan sana di Pantry. Aku sek kerjo iki," usir ipda Hendra.

Rana bangkit dari kursi dan berjalan menuju pantry. Wanita itu mengambil salah satu kursi yang menghadap dapur dan membuka bungkusan makanan tadi. Satu suapan dari ayam dan telur dadar ditambah sambal yang mengguyurnya menjadi santapan nikmat sekaligus pedas. Apalagi ditambah sekelebat memori yang menurut Rana adalah yang paling tidak bisa dilupakan.

**

- Juni 2012, Sego Sambel Mak Yeye dan Taman Bungkul, Surabaya, 21:00 WIB.

Menurut Rana, makanan yang paling disukai di Surabaya adalah Sate Klopo dan Soto Lamongan Cak Har atau Nasi Goreng Jancuk yang tersedia di salah satu hotel mewah. Tetapi, lelaki di sampingnya ini malah membawa ke tempat yang sungguh di luar dugaan Rana sama sekali. Rana juga tidak menyesali pakaian yang dia kenakan dalam 'kencan' pertama (itu sih kalau memang disebut kencan), pakaian santai dengan celana jeans dan sepatu sandal, tak lupa dengan jilbab ala Hana Tajima itu membuat penampilannya masih terlihat normal.

"Kamu belum pernah kesini ya, Dek?" tanya lelaki itu lagi.

Rana menggeleng, dan buru-buru menjawab. "Tapi kalau menurut Kak Bi enak, bolehlah dicoba."

Mereka berdua akhirnya mendapat duduk setelah melewati beberapa antrian. Kemudian lelaki itu meninggalkannya sebentar dan kembali dengan dua piring yang berbeda lauk tetapi sama-sama dikucuri sambal. Sembari menikmati makan, Rana juga menikmati suara-suara yang ada di sekitarnya, suara penggorengan yang saling beradu, suara interaksi penjual dan pembeli, bahkan pengamen sekitar yang menyanyi dengan suara sumbang. Suara-suara itu seakan menjadi tambahan suntikan energi Rana karena sedari tadi jantungnya berdebar terus menerus di hadapan Obi.

"Buset dah. Abis juga kamu makannya, Dek." Obi mengunyah suapan terakhir tempe penyet yang dicampur oleh nasi.

"Heran pasti ya Kak, liat Rana kayak gini," tembak Rana langsung. Dia memasukkan jarinya ke dalam mulut, memastikan tidak akan ada sisa makanan yang tertinggal.

Mata Obi menunjukkan keterkejutan yang membuat Rana malah semakin ingin tertawa. Betapa polosnya lelaki di depannya ini. "Perempuan makannya nggak harus anggun terus kali, Kak. Nanti nggak abis-abis." Rana kemudian mencuci tangannya dengan kobokan sebelum dilap menggunakan tissue basah anti bakteri.

Obi kembali menunjukkan ekspresi senormal mungkin. Dia mengaduk teh hangatnya dan menyesapnya. "Jarang, ada cewek yang makannya kayak kamu, Dek." Obi mengambil tissue kering dan melap mulutnya yang basah.  "Kamu ngabisin makanan disini aja Kak Bi udah seneng kok."

"Memang enak kok, Kak Bi. Kali ini Kakak nggak salah kasih rekomendasi kuliner baru buat Rana. Pedasnya pas banget, kapan-kapan kalau ada waktu lagi Kak Bi harus ngajak Rana kesini lagi." Binar senang di mata Rana masih belum meredup. Entah ini efek makanan enak, apa orang yang ada di hadapannya saat ini?

Karena sudah ada antrian lagi, maka mereka tidak bisa banyak mengobrol lama. Jadilah lokasi obrolan dipindah ke Taman Bungkul. Taman legendaris yang biasanya jadi lokasi car free day warga Surabaya yang di malam hari menunjukkan kerlip lampu yang indah. Mereka berdua memutuskan untuk mengambil bangku panjang.

Tidak ada pembicaraan sama sekali. Obi dan Rana sama-sama menikmati suara jangkrik dan kerlip lampu, serta orang-orang yang lagi bercengkrama. "Nggak terasa banget bentar lagi Kak Bi udah masuk kuliah." Rana membuka pembicaraan.

"Ya begitulah, Dek." Obi menghadap ke Rana dan menatapnya lekat. Cukup membius Rana hingga tubuhnya mendadak beku. "Pesan Kakak cuma satu, belajar yang rajin dan jangan terlalu memaksakan diri kalau kamu nggak mampu."

Rana tahu apa yang dimaksud oleh Obi dengan 'memaksakan diri'. Kalau dipikir benar juga sih, sudah kelas dua belas harusnya belajar lebih giat untuk ujian, Rana tidak mau cita-citanya tidak bisa terwujud. Apalagi mengecewakan orang-orang yang sudah mendukungnya selama ini.

"Kakak mau lihat kamu mewujudkan cita-cita jadi criminal profiler, Dek Ran. Apalagi dengan kemampuan kamu yang super mumpuni itu."

Kemampuan Rana yang dimaksud Obi adalah dia bisa menilai seseorang tidak hanya dari bahasa tubuh, melainkan dari intonasi suara. Kadang Rana bingung, sebenarnya Obi itu ada 'rasa' apa tidak dengannya? Dari intensitas mengajak 'kencan' ya mau-mau aja, kemudian kedekatan mereka selama ini bahkan lebih dari sekedar hubungan Kakak kelas-Adik kelas. Rana bahkan pernah bilang terang-terangan bahwa dia mengagumi Obi, dan responsnya ... biasa-biasa aja malah. Ini bahkan lebih sulit dari mengerjakan tugas Fisika.

"Dek Ran ..." Obi membuyarkan lamunan Rana.

"Eh ya?" Rana tersadar tiba-tiba. "Rana janji, Rana akan menjadi criminal profiler yang hebat. " Gadis remaja itu membentuk jarinya dengan bentuk V.

Mata jenaka dan cerianya justru malah membuat Obi mengacak kepala Rana, yang malah membuat gadis itu semakin keblinger.

"Eh, Kak. Kak Bi pernah nggak? ketemu kayak ... wujud Kakak di masa yang berbeda?" tanya Rana. Malah semakin antusias dan bukannya tidak takut.

Obi tertawa kecil, yang sungguh membuai Rana. "Mana ada kali, Dek. Kamu ini ada-ada aja deh, Manusia punya tujuh kembaran di dunia, tapi nggak semuanya mirip."

"Justru itu, Kak." Rana mulai memancing perdebatan, "Pasti di antara tujuh kembaran itu, paling tidak ada yang mirip banget sama Kak Bi."

"Kok tiba-tiba kamu ngomong begitu?" Obi berusaha membalikkan topik bicara ke arah lain.

"Nggak tau. Penasaran aja, sih. Kata almarhumah nenekku dulu, keturunannya ada yang mirip banget sama aku. Keturunan sebelumnya ya." Rana cepat-cepat meralat. "Katanya dia nggak kalah cantik sama aku, tapi sayang, ada tragedi yang membuat dia trauma berat sampai akhir hayatnya." Rana mengingat-ingat dongeng neneknya tentang cerita zaman dahulu.

"Ceritain dong, Dek." Obi mendadak jadi penasaran. Padahal selama ini dia sendiri tidak terlalu tertarik mendengar cerita orang lain selain cerita-cerita komik DC.

Rana menggeleng cepat. "Nanti aja ah, aku males."

Obi menjadi bingung.

"Nanti Kak Bi ketiduran. Ntar nggak ada yang nganterin Rana pulang dong?" Ada sedikit nada rajuk nan jenaka dalam tiap perkataan gadis itu.

Obi hanya tersenyum tipis. "Ya sudah, tapi janji sama Kakak suatu hari kalau ketemu kamu harus cerita sama Kakak."

"Oke." Rana langsung menyetujui tanpa berpikir panjang.

Detik itu, mereka berjanji dengan disaksikan oleh jangkrik dan lampu jalan malam. Sayangnya hingga waktu berganti detik demi detik, janji itu masih belum direalisasi? Atau tidak? Entahlah.

**

Ingatan itu terus berada di pikiran Rana hingga saat ini. Dia melahap sego sambelnya sebelum pulang. Sego sambel ini juga yang membawa keakraban antara dia dan Obi yang dulunya serba canggung. Setelah bungkusan makanan licin, Rana membuang dan mencuci sendok sebelum pulang.

Rana menyewa kamar kos-kosan berukuran 3x4 meter di Jalan Sikat. Dia tidak terlalu sering pulang ke rumah orang tuanya akibat pekerjaannya yang terlalu menyita waktu. Ini aja Rana pulang dengan membawa berkas baru yang ada di meja kerjanya.

Kamar kos Rana cuma dilengkapi tempat tidur dan meja belajar yang menghadap jendela. Di meja belajarnya yang penuh dengan buku-buku tentang psikologi forensik dan alat make up yang dijadikan satu kotak, serta pigura dia dengan Obi berdua. Rana mempelajari berkas-berkas barunya, sesekali dia mencoret atau memberi stabilo, dan diiringi oleh suara hujan yang berasal dari aplikasi di ponselnya.

"Tersangka itu terlalu lihai, dia bahkan lebih banyak menangis daripada ngomong, minta ampun buat dibebasin. Apalagi cara berbicaranya seperti udah di skenarioin. Pasti terlatih dari sananya, masalahnya dia belajar dari siapa? Dari intonasi suara pengakuannya, dia cukup tertekan dan takut." Begitu gumamnya sembari mencoret-coret berkas lagi.

Dari berkas, tangan Rana beralih ke laptop, dia menggoogling jenis emas yang dicuri. Dia mengklik salah satu website yang menjual emas sejenis, rautnya tercengang. Ah rasanya semakin kesal saja, Rana yakin pasti emasnya sudah dijual entah ke siapa. "Nyusahin aja nih maling, awas aja kalau ketemu pelaku sebenarnya." Kakinya dia luruskan ke birai tempat tidur.

Suara hujan yang ada di ponsel Rana mengecil dan diganti dengan panggilan.

Terry Amira Calling

"Ya Ter?" sapa Rana tanpa mengucapkan halo.

"Oh Em Ji, Ran. Kamu nggak bakal percaya dengan apa yang barusan aku lihat." Terry berbicara tanpa basa-basi. Terry adalah sahabat Rana waktu kuliah S2 Psikologi dulu.

Sebelum buka suara, Terry kembali mendahuluinya. "I see your future husband in here."

"WHAT? dimana? dimana Ter? Eh beneran di Indonesia? Nggak mungkin. Eh, tapi dari nada bicaramu kamu nggak bohong deh." Kini Rana yang berteriak kaget dan panik, sambil menahan senyum bahagia.

Sesaat ada suara bising. "Ini, di Sutos. Dia lagi ada di toko mainan gitu sama anak SMA, cewek pula."

Rana ikutan bingung, tetapi cuma sebentar. "Ah itu si Nina, adiknya."

"Ya udah deh, aku cuma infoin itu aja. Ah senangnya yang calon suami yang selalu bikin Ranaku halusinasi terus telah kembali."

"Itu bukan halu, Ter. Itu sumber semangat." Rana berkilah, walaupun perkataan Terry ada benarnya.

"Ah whatever deh Ran, aku cuma infoin itu. Sisanya terserah kamu, bye Ran." Terry menyudahi percakapannya.

Senyum Rana mengembang. Akhirnya setelah sekian lama memendam rindu melalui stalking sosial media dan insta story, dan tidak berani melakukan DM. Ini saatnya, tidak ada lagi yang namanya menunda-nunda, bahkan suara alam pun sudah setuju dengan rencana Rana.

Masalahnya adalah ...

Kapan dia akan bertemu dengan lelaki itu?

**
A/N:
Maafkan diriku jarang update. Kuliah menyiksa, but masih ttep lanjut kok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro