PROLOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Southamptons, New York, 2021

    Perpisahan?

    Seorang wanita berwajah Kaukasian menatap kekasihnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Satu sisi dia memang menginginkan ini, karena dia sendiri sudah tidak tahan dalam suatu ketidakpastian, sementara di sisi lain, ada secuil hatinya mengatakan tidak ingin berpisah. Sedangkan lelaki di hadapannya membalas tatapannya dengan hati yang teguh. Sejenak, suasana Beach House yang sejak dari tadi sepi malah semakin sunyi.

    Wanita itu menghela napas. "I get it, Bi. I guess it's better that way. So, we're friends now?" Tangan si wanita terulur ke hadapannya.

    Si pria mengangguk sembari membalas uluran tangannya. Jabat tangan itu sudah menunjukkan bahwa hubungan mereka telah berakhir. Jenny kemudian berpamitan untuk melanjutkan acara masaknya di dapur yang tadi terhalang karena pembicaraan, sedangkan Obi kembali ke kamarnya di lantai dua. Sesampainya di kamar, Obi menghembuskan napas dengan sangat lega seakan dia sedang mengeluarkan beban terdalamnya.

    Hubungan Obi dan Jenny memang dari awal memang sudah buntu. Jenny ingin hubungan yang lebih ke jenjang sangat serius, sedangkan Obi masih belum mau. Sebenarnya tidak ada yang tahu bahwa hati Obi sudah tertancap pada seseorang yang berada di Indonesia. Ah, mengingat orang itu membuat Obi jadi semakin rindu Indonesia.

    Lantas untuk menyalurkan kerinduannya, Obi kemudian duduk di kursi kayu yang berhadapan dengan meja yang seperti meja belajar. Dia menaruh tas ranselnya di meja tersebut, mengeluarkan beberapa buku yang dia bawa, laptop, dan map berisi lembaran-lembaran kertas revisian Disertasinya. Ya, dimana pun dan kapan pun Obi selalu menyempatkan diri untuk mengerjakan revisian disertasinya. Semenjak dosen kesayangannya meninggal akibat insiden sahabatnya dua tahun lalu, dia tidak bisa konsultasi lagi sebebas dulu. Beruntung professornya sungguh mengerti kondisi Obi dan beliau tetap meminta revisian draft disertasinya segera diselesaikan dan di kirimkan melalui email.

    Lelaki itu sungguh menikmati pergerakan jemari di atas keyboard laptop. Obi sungguh menikmati untaian kata-kata yang mengandung ilmiah. Obi menatap figur kedua orang tua dan adik satu-satunya dalam benaknya. Mereka bertiga tersenyum bahagia, dan melontarkan untaian kata-kata motivasi buatnya. Kemudian Obi sesekali melirik ke buku referensinya, mengutip beberapa kalimat dan menyalinnya ke rangkaian pembahasan disertasi. Tidak lupa untuk memberi footnote sebagai penanda bahwa dia tidak melakukan plagiasi. Soalnya kata Nira, plagiasi itu pertanda tidak kreatifnya kita sebagai manusia.

    "Nira ... Nira. Kamu ini." Obi menggumam, menggeleng kecil, tetapi jemarinya masih setia menari di atas keyboard. Nira sedang bermain di pantai bersama Satya dan Tio, Obi memang sedang tidak ikut bermain karena dia masih keasyikan berkutat dengan disertasinya.

    Suara burung camar yang terbang dan deburan ombak semakin menguasai suasana Beach House. Suara-suara ini membuat Obi teringat lagi akan suasana kesukaan orang itu. Namun, Obi langsung mengenyahkan khayalannya dan menuntaskan revisiannya.

    Setelah mengerjakan revisian disertasinya dengan tuntas, Obi membereskan barang-barangnya, kecuali buku-buku yang dibiarkan berserakan untuk ditata dalam meja belajarnya. Dia mengernyit ketika laptopnya tidak berhasil masuk dengan sempurna dalam tas. Obi berusaha memaksa laptopnya masuk, tetapi tidak berhasil. Dia kembali menaruh laptopnya di meja dan meraba tasnya.

    Lelaki itu berhenti meraba ketika menggenggam sebuah benda mungil. Obi mengeluarkan tangannya dan sebuah benda berbentuk lingkaran dengan motif emas lengkap dengan kalungnya. Sebuah seringai kecil terbentuk dari bibir Obi, "Ya ampun aku lupa kalau aku bawa ini."

    Obi meraba dan menimang-nimang benda keramat ini. Benda yang dimilikinya sejak awal kuliah dulu. Hadiah yang merupakan hadiah kelulusan SMA-nya dari seorang anonim terkenal yang bernama Pandora. Sayang sekali bahwa hadiahnya tidak bisa dijalankan hingga saat ini. Pandora suka bener omongannya, gue jomblo dan hadiahnya tidak berfungsi, pikirnya. Selama alat itu tidak berfungsi, Obi menggunakannya sebagai kalung dan tentu saja dia menyembunyikannya di balik baju atau kemeja. Entah mengapa dia ingin merubah waktunya, toh juga nggak bakalan berfungsi. Kan gue masih belum ada pasangan.

    Obi membuka penutup jam saku tersebut, semua jarum jam dan penggerak detiknya seakan berhenti di satu tempat yaitu pukul 12. Obi melihat ke jam dinding dan mulai menyesuaikan waktunya. Dia menarik pemutarnya ke atas, kemudian memutarnya hingga ke jam yang dituju. Obi tidak sadar sama sekali bahwa selama mengatur waktu, jam saku mulai berfungsi sebagaimana mestinya.

    Ketika menekan pemutarnya kembali, sesuatu terjadi.

    Cahaya putih menyilaukan mata Obi. Ia berusaha meredupkan cahaya tersebut, jemarinya kembali menarik pemutar jam saku tersebut. Sial, cahayanya malah semakin terang dan menghalangi pemandangan Obi.

    "Arghhh ... sakit. Mataku," kata Obi disertai teriakan.

    "TOLONG!" teriaknya lagi dengan suara yang lebih keras. Tetapi tetap tidak ada yang mendengar hingga Ia terjatuh dari kursi. Suara Obi perlahan mengecil dan menghilang.

    Hal yang Obi tahu adalah suasana gelap yang menyelimutinya.

*

Area Blok M, Jakarta, Desember 1979.

    Seorang lelaki berbadan proporsional, dengan kemeja putih yang dibalut suspender coklat dan kacamata hitam baru saja keluar dari Aldiron Plaza. Dia mengamati pemandangan kota yang sudah ditinggali sejak lahir. Jakarta yang mulai padat, berbeda dengan Jakarta waktu dia masih kecil. Dulu, Jakarta tidak banyak dipenuhi gedung-gedung bertingkat. Jakarta masih sungguh asri, banyak becak dan mobil-mobil berjenis VW Beetle, Datsun, dan bis yang mempunyai kap depan yang sungguh panjang. Sejak pemerintahan Orde Baru, Jakarta berbenah. Program Perencanaan Pemerintah yang dinamakan Repelita sudah berjalan ketiga kali, menekankan di bidang industri. Maka tak heran banyak sekali investor dari Luar Negeri yang membuka kantor perwakilan dan banyaknya pembangunan gedung bertingkat, terutama di area Thamrin dan Sudirman.

    Sore hari di Jakarta memang padat. Terbukti dari halte bis sudah padat, ada orang yang duduk sedang menyantap gorengan, ada yang berdiri sambil mengamati pergerakan kendaraan yang melengang dengan lancar, bahkan ada yang sedang membaca buku. Lelaki itu memilih untuk duduk hingga bis tujuannya datang. Tembang Kemesraan milik Broery Marantika yang bersumber dari salah satu radio milik calon penumpang menambah ramainya halte bis.

    Ketika kaki laki-laki itu hampir menginjak undakan tangga Bis, sebuah tangan menyentuh bahunya. Refleks dia berbalik dan mencengkram tangan tersebut hingga menyingkir sedikit dari area bis. "To ... long. Sa ... ya ... di ... ma ... na," ujar si pemilik tangan yang tadi menyentuh bahunya. Suaranya lemah seakan habis di kejar sesuatu.

    "Kamu di Jakarta woy. Lu pikir dimana? Amerika?" jawab Ramdhani asal.

    Si pemilik tangan yang tadi agak menunduk kemudian menatapnya tepat di mata Ramdhani, kemudian Ia mengedipkan matanya berkali-kali, menyerap cahaya sebanyak mungkin. Dia mengangkat alis, lalu kepalanya menengadah ke langit sore Jakarta. Pemilik tangan kembali bingung, Ramdhani langsung mengajak orang itu menyingkir ke Halte Bus.

    "Lu siapa sih? Seenaknya aja pegang-pegang tangan orang, gua pikir tadi Intel apa ABRI. Masih untung gua nggak jotos lu," tanya Ramdhani.

    Pemilik tangan tidak menjawab.

    "Heh lu denger kagak omongan gua. Lu itu siapa?" ulang Ramdhani. Nada bicaranya tidak sabar.

    Pemilik tangan masih saja membisu.

    "Bang, itu orangnya mau pingsan. Bawa pulang aja, siapa tahu belum makan," sahut orang yang suaranya berasal dari sebelah kanan Ramdhani. Orang itu lebih peka situasi daripada Dhani sendiri.

    Belum sempat Dhani menanggapi, pemilik tangan malah terjatuh di pahanya. Dhani yang terkejut langsung mengguncangkan tubuhnya. "Woi, bangun woi." Tubuh itu tak bereaksi. Dhani memeriksa nafas dan detak jantungnya di hidung dan leher. Semua masih berfungsi dengan baik. Maka Dhani membawa orang pemilik tangan tersebut ke Bis yang berhenti, membawa ke rumahnya.

    Langit Jakarta yang menggelap, dan bintang yang bersinar walau tak banyak menjadi teman Dhani dalam perjalanan pulang. Entah apa lagi kejutan dari semesta yang akan diterimanya nanti. Dhani melirik orang tadi, yang masih saja belum terbangun. Bahkan ketika sampai di rumah saja, belum ada tanda-tanda terbangun orang tersebut.

Bersambung

•••

A/N:
Outline belum rampung tapi nekat aja nulis, untung Prolog haha. SELAMAT DATANG DI CERITA ON GOING aku yang baru.
Setelah perombakan blurb akhirnya aku cocoknya sama cerita ini. Siapa itu Dhani? Ya nanti akan di kupas tuntas di cerita ini okehhh 😚.

Aku ga akan update cepet soalnya masih belum rampung total outline cerita ini haha. Sampai jumpa di update selanjutnya hahaha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro