Bab 3: Seoul Love Story

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 2
<><><><><

Bernyanyi adalah bagian dari hidupku. Bertahun-tahun aku melakukan hal ini di kamar mandi, kamar tidur, sekolah, di mana saja. Aku mengikuti lomba-lomba, dan prestasiku yang paling tinggi ada menjadi juara 2 di SMA. Aku kemudian membuat band kecil, beranggotakan teman-teman sekelas yang selaras denganku. Pada akhirnya, mama dan papa mengomel habis-habisan. Salah aku juga, karena mementingkan band kecilku ini alih-alih pergi ke tempat les untuk ujian masuk universitas.

Sejak kecil kami telah diatur harus seperti apa, dan aku tidak suka diatur. Jadilah, banyak pertengkaran yang terjadi antara aku dan kedua orang tuaku. Bahkan untuk bernyanyi dengan bebas di rumah saja tidak bisa, mama akan berteriak menyuruhku diam. Baginya, karena bernyanyi, aku tidak becus, dan bodoh.

Namun di sini, aku dengan leluasa bernyanyi. Tidak ada yang melarang, atau berteriak kencang saat aku menarik nada tinggi atau bergumam tidak jelas. Support system-ku—kakek dan nenek—adalah penyemangatku. Contohnya sekarang, aku tengah menyanyikan salah satu lagu yang sedang terkenal di Indonesia sambil membuka pintu rumah, nenek dan kakek ikut menggoyangkan kepala.

Yeonyein gatah.” [Kau terlihat seperti artis]
Hampir saja aku menjatuhkan ponsel ketika seruan menggoda dari bibi Ahn-jong yang berada di depan One room anaknya, tepat di sebelah kami. Wanita berusia setara dengan mama ini setiap pagi dan sore mengantarkan makanan dari rumahnya untuk Mina, anaknya. Jujur, aku sangat iri.

Aigo! Kamchagiya, Ajumma.” [Astaga, bikin kaget, Bi.] Aku memejamkan mata seraya menghembuskan napas lega. Bibi Ahn-Jong tertawa pelan sambil mengedipkan mata.


Waktu berjalan begitu cepat. Perasaan, baru seminggu yang lalu aku tiba di Seoul dan melaksanakan makan malam canggung bersama Pradipta. Selama itu, aku bisa digolongkan sebagai orang lucky, karena mendapatkan dua tetangga yang sangat baik dan sedikit berbeda dengan lainnya, mereka adalah Mina—bonus kedua orang tuanya—dan Pradipta si misterius yang menarik perhatianku dengan matanya.

Satu hal yang perlu diketahui, jangan berharap orang-orang di Seoul sama dengan orang di Indonesia yang setiap pagi mungkin saja bisa saling bertegur sapa atau bergosip. Kehidupan orang-orang Seoul terlalu apatis. Walaupun begitu, ada baiknya. Meskipun aku berpikir bahwa, bertegur sapa dan sedikit mengobrol untuk saling mengenal bagus untuk menghilangkan stres.

“Kau jadi ikut ke Itaewon untuk bernyanyi?” Bibi Ahn-jong tersenyum lebar.

Nee ..., aku akan mengikuti kalian. Besok kan Ajumma?” [Bibi]

“Datanglah bersama Mina-ya.” Bibi Ahn-jong menepuk pundak Mina yang baru saja keluar dari kamar dengan rapi, bersiap-siap ke kampus. Aku menjawab dengan mengangguk mantap.

Beberapa hari yang lalu Bibi Ahn-jong menawarkan aku untuk bernyanyi di kafe milik mereka yang berada di Itaewon. Tanpa berpikir dua kali, aku menerimanya dengan senang hati.

Jujur, alasan lainnya karena aku kebingungan dan sangat bosan. Tidak ada aktivitas yang kulakukan selain berbaring di atas tempat tidur, bernyanyi terus menerus, dan bermain ponsel. Kakek dan nenek juga sangat mandiri untuk mengurus diri mereka, yang bisa aku lakukan ada membantu hal-hal sulit bagi mereka. Jadi ini definisi pengangguran setelah kuliah? Aku sedikit rindu dengan kesibukanku yang lama. Aku juga berharap untuk segera bekerja.

Tiba-tiba pintu rumah di sebelah kami terbuka. Siapa lagi kalau bukan Pradipta. Aku sengaja tidak melihatnya dengan cepat, gengsi. Hingga ia berdehem, barulah aku mengangkat wajah, untuk memperhatikannya. Kali ini ia menggunakan hoodie hitam tebal yang dilapisi jaket dan celana jeans senada. Di punggungnya terdapat tas. Rambut panjangnya ia ikat sebagian. Aroma maskulin menyeruak memenuhi cuping hidungku. Style anak kuliah yang dapat membuat wanita ketar-ketir. Padahal umurnya sekitar 25 tahun.

Baru ku sadari ternyata sejak beberapa detik yang lalu aku menahan napas dalam-dalam ketika kami bertukar pandang. Segera setelah itu, aku membuang wajah ke sembarang arah. Salah tingkah jilid ke sekian.

Annyeong haseyo,” [Halo] sapa Pradipta sambil membungkukkan badan sedikit.
Ck. Pria ini sekali berbicara kenapa suaranya berat dan serak-serak basah? Aku menggeleng pelan. Bisa-bisanya aku meng-cosplay diri seperti panitia casting, menilai seseorang terus menerus. Catat. Aku hanya seperti ini kepada Pradipta.

••••

Lembaran foto yang kuambil lima tahun lalu ini adalah kenangan terindah dan terakhir setelah objek yang aku potret pergi untuk selamanya.

Foto yang aku ambil dengan kamera ponselku—karena cowok itu yang memintanya—adalah permintaan terakhir sebelum ia pulang ...  benar-benar pergi ke rumah Sang Pencipta.
Mata, telinga, pipi hingga leherku memanas, dan pandangan ini pun perlahan mengabur. Rasanya tenggorokanku tercekat menahan napas, tangis yang membanjiri hati.

Berkali-kali menatap fotonya, aku tetap saja larut dalam kesedihan. Ia membohongiku dengan senyumannya sebelum pulang, memberikan harapan bahwa kisah kami akan terus berjalan.

Doni Saputra, almarhum kekasihku. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas lima tahun silam. Andai saja, aku melarangnya datang ke rumah, pasti pria itu masih hidup hingga detik ini. Pengandaian selalu aku taruh bersama namanya. Selalu ada penyesalan, juga luka selalu ada di hati dan jiwa ini. Cinta pun masih ada, di relung terdalam di hidupku. Namun perlahan, aku bisa berjalan tanpanya, meskipun masih tertatih-tatih.

Hingga detik ini aku masih menutup hati. Bukan karena takut, hanya belum ada yang bisa menggantikan posisi Doni. Dia bukan hanya kekasih yang baik, ia kakak yang luar biasa yang selalu ada untukku, di saat aku sedih dan kecewa dengan keadaanku. Pengorbanan Doni sanggatlah besar. Mungkin juga karena ini aku merasa bersalah untuk memulai hubungan yang baru? Jujur aku takut mengkhianati cinta dan kepercayaannya.

Menghapus jejak air mata di kedua pipi. Aku bangun. Di luar suara bel rumah berbunyi. Aku menatap jam di dinding kamar menunjuk pukul 12 malam. Siapa yang datang selarut ini? Apa jangan-jangan orang jahat? Dahiku mengernyit, spontan alarm was-was berbunyi di otakku.

Aku bangun dari berbaring. Biasanya kakek dan nenek berada di dalam kamar dan terlelap. Jadi, tidak mungkin mereka akan keluar. Aku mengendap-endap menuju pintu utama rumah. Lampu rumah sengaja tidak aku nyalakan.

Setibanya di depan pintu, aku melihat layar monitor interkom yang menampilkan siapa yang ada di luar.

Mataku menyipit dengan kerutan halus yang semakin terlihat jelas. Tunggu .... bukannya itu Pradipta? Dari pakaiannya yang terakhir kali aku lihat tadi menunjukkan perawakan pria itu.

Menarik napas dan memantapkan hati, aku membuka pintu dan langsung memekik kaget karena tubuh Pradipta yang jatuh tersungkur ke lantai.

“Ma–maaf! Mengganggu malam-malam begini.” Dengan terbata-bata Pradipta berseru. Keringat dingin memenuhi tubuhnya. Kedua tangannya memegang perut. Aku bisa melihat raut kesakitan pada wajahnya. Ya Tuhan, ada apa ini?

“Kamu Sakit. Ayok berdiri dulu, masuk ke dalam.”

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro