🦚 | Bagian 06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🦚 Bagian 06 🦚


Aku dan Pradipta turun dari kereta. Sensasi hangat di kereta karena penghangat seketika lenyap dalam hitungan detik saat kami menapaki kaki di lantai stasiun. Kira-kira suhu hari ini 0 derajat Celsius. Jangan tanyakan keadaanku sekarang sebab jari-jari tangan ini tak bisa digerakkan dengan maksimal. Luar biasa. Suhunya terlalu dingin bagiku yang gampang pilek, seperti orang yang berjalan di sampingku .... hm.

“Dingin?” tanya Pradipta melirikku sebentar. Aku mengangguk sembari menggosok telapak tanganku supaya tetap panas.

“Kamu nggak pakai sarung tangan?” Aku menggeleng lemah. Akan sangat menyusahkan jika menggunakan sarung tangan. Sejujurnya, jaket tebal yang terpasang di tubuh ini membuat kukesal, tidak bisa bergerak dengan leluasa. Kini aku paham mengapa beberapa orang lebih suka Summer dibandingkan Winter atau Autumn, sebab mereka bisa memakai celana pendek dan kaos bebas. Yang jelas, tidak merepotkan.

Tiba-tiba Pradipta menarik tanganku dan meletakkan sebuah benda panas seperti bantal berukuran sangat kecil, Hot pack. Bentuknya sekilas mirip koyo, akan tetapi di dalamnya terdapat butiran-butiran seperti pasir. Lalu Pradipta menggoyang tangan kami dan sensasi panas semakin terasa.

“Pakai. Lain kali bawa sarung tangan, daripada kamu beku,” katanya sembari melerai genggaman tangan kami.

Aku hendak menolaknya, namun tatapan pria itu memerintahkan untuk menerima dan menggenggamnya erat. “Iya, Mas. Maaf.”

Setalah itu, perhatian ku hanya tertuju pada sungai Han yang semakin dekat. Hamparan lampu di tengah malam, pada bulan Desember memang sangatlah indah, identik dengan Natal yang meriah. Kami dalam perjalanan ke Christmas Market di Hangangletaknya dekat dengan pinggiran sungai, dan aku bisa melihatnya.

Bukan tanpa alasan aku dan Pradipta pergi ke sana. Hari ini adalah hari ketiga aku bekerja sebagai vokalis pengganti dan karena sekarang malam Minggu, bini Ahn-Jong dan paman—entah bagaimana bisa mereka membuka Food Truck di Christmas Market—memintaku bekerja seperti biasa bersama Pradipta.

Tibalah kami di lapak jualan bibi Ahn-jong dan suaminya. Foot Truck berwarna putih polos yang sering aku lihat telah disulap menjadi indah dengan hiasan natal Om Santa Claus dan Snowman.

Annyeong haseyo.” [Hallo] Aku menyapa bergantian sepasang suami-istri dan anak mereka.

Eonnie! Kau bisa bernyanyi di sana!” Mina tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke arah ruangan--aku sedikit ragu menyebutnya bangunan karena itu terlihat seperti kerangka ruangan yang tidak diberi tembok. Sedangkan, lantai dua adalah rooftop, di tengah-tengah tempat itu bolong sehingga panggung live terlihat jelas dari atas--di depan kami yang banyak dikerumuni orang. Di sana juga disediakan meja dan tempat duduk yang ada penghangat, mirip seperti payung.

Aigoo. Malu! Banyak orang!” Aku menutup wajah yang bersemu merah. Gila. Banyak orang di sini, dan semua mata bisa melihat ke arahku jika aku benar-benar tampil.

Bahuku ditepuk seseorang. Menoleh ke samping ternyata itu paman Ha-Jun yang menyodorkan segelas kopi panas. “Jalhaesseo, Sakura-ya.” [Kerja bagus]

Gamsahamnida, Paman.” [Terima kasih.] Aku segera menerima gelas itu.

🦚🦚🦚

Tidak ada yang menyangka bahwa aku bisa bernyanyi dengan bebas di depan banyak orang asing--meskipun awalnya aku sedikit ragu. Menyadari sisi lain dari diriku yang selama ini tidak kuketahui adalah hal yang luar biasa. Ah, inilah sebabnya orang-orang sering berkata, ‘keluarlah dari zona nyamanmu untuk menemukan versi terbaik dirimu.’

Kusadari bahwa tidak ada salahnya mencoba.  Yups, hasilnya memuaskan. Banyak respon baik yang aku dapatkan, kira-kira sekitar lima lagu yang aku bawakan. Ada sedikit rasa tidak enak hati dengan penyanyi lainnya yang mengantri untuk mengisi panggung.

Terlebih lagi, rasa percaya diriku tidak lepas dari bantuan Pradipta yang selalu berada di samping bersama gitarnya. Tatapan teduh dan sayu itu mampu meluluhkan rasa cemasku. Perlu kuakui Pradipta sangat membantu.

Memikirkan spontan menggerakkan mataku untuk mencarinya dengan hati-hati supaya tidak ketahuan. Pradipta tengah duduk di bangku plastik yang paman Ha-Jun bawah dari kafe. Sedangkan aku dan Mina memilih memanaskan diri di dekat pemanas. Letak aku berdiri langsung menghadap Food Truck sehingga dengan mudah bisa menatap pria itu.

Eonnie? Kau menyukai Oppa?” tanya Mina ceplas-ceplos. Hak itu membuat aku tersedak kuah Eomuk--semacam otak-otak kalau di Indonesia yang terbuat dari ikan.

Meletakkan gelas Eomuk di atas meja seraya menarik napas dalam-dalam, aku pun berseru. “Ssst! Jangan keceng, kalau dia dengar bagaimana?”

Dengan mata berkedip bingung, ia menjawab. “Hoel! Jadi benar, Eonnie?”

Aniyo!” [Tidak] Aku menggeleng sambil menyilangkan tangan di depan dada. Yang benar saja Mina, lihat-lihat situasi dan tempat kalau bertanya, tolonglah, aku malu.

“Hmm ... Arassoyo, Eonni.” [Aku sudah tahu, Kak] Mina mengangkat kening dan mengigit bibirnya menggodaku. “Kalian tampak sangat serasi! Segera nyatakan perasaanmu padanya! Aku lihat banyak perempuan tertarik dengan oppa.”

Aigoo!” Aku tidak tahu harus merespon seperti apa lagi ucapan Mina yang kiranya menyumbang letupan aneh. Aku jarang mendapatkan godaan secara terang-terangan seperti ini hingga terasa kedua pipiku memanas di tengah suhu sedingin ini.

Woah! Eonnie! Dia berjalan ke sini!” seru Mina mengedipkan mata kanannya ke arahku.

Menundukkan kepala, aku tidak berani menatap Pradipta. Efek kupu-kupu berterbangan di perut benar-benar aku rasakan. Bahkan, bersama Doni pun, aku tidak segugup dan sedeg-degan ini.

Pradipta berdiri di samping tempat dudukku. Kali ini aku mengalihkan diri dengan cara menggulir halaman Instagram yang jarang kubuka. Astaga, tolonglah kerja samanya jantung.

Brak. Tiba-tiba, meja kami berbunyi dan bergetar, hingga barang-barang di atasnya sedikit bergeser. Karena terkejut, aku mengangkat kepala, melihat si pelaku utamanya adalah Mina yang cengengesan tanpa dosa. Ia berdiri dan berkata akan membantu orang tuanya dan pergi begitu saja.

Mina—ini sekali kucubit ginjalnya. Menggigit bibir bawah, aku menengok ke samping. Pradipta masih berdiri tanpa berniat pergi atau melakukan sesuatu.

“Mau jalan-jalan sebentar?” Pradipta mengulurkan tangannya ke arahku.

Huh?”

Sebenernya ada apa dengan Pradipta? Aku tidak paham dengan jalan pikiran dan tingkahnya yang abstrak. Sungguh, ia sangat sulit ditebak, penuh kejutan yang kadang membuat jantungku berolahraga di dalam sana.

Intinya setelah itu, sepanjang perjalanan kami tidak membahas apapun. Hanya suara angin dan orang-orang di sekitar yang menemani perjalanan sunyi dan canggung ini. Sekali lagi aku katakan, Pradipta itu aneh. Misterius. Dan jangan bayangkan adegan romantis lainnya, karena ... Ini sangat biasa. Namun, kalau boleh jujur, ini sedikit menyenangkan.

To be Continued

Catatan kaki:

Biasanya Christmas Market itu diadakan awal-awal Desember sampai tanggal 25 aja. Terus di sana kayak pasar Natal pada umumnya, ada banyak yang jualan di sana, dari pernak pernik homemade, dan banyak makanan dari berbagai negara. Jadi yah, rame. Hihihi.

Eomuk:

Pemanas:

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro