🦚 | Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning: bab ini sedikit 21+ ya, jadi yang dibawah umur, skip aja, nggak papa. Kalian nggak bakal missing, kok, kalau nggak baca satu bab aja. :V

🦚 Bagian 10 🦚


Gelas kelima telah aku teguk hingga tandas. Peduli setan dengan mataku yang mengabur dan rasa kantuk yang perlahan menyerang. Padahal, saat gelas pertama yang masuk ke tenggorokan, aku merasa sangat rileks, tubuhku ringan dan rasa penat seakan menghilang untuk sesaat. Walaupun demikian, sensasi panas dan menyakitkan untuk beberapa detik pertama cukup mengganggu.

Mengira bahwa semakin banyak aku minum, maka kenangan Pradipta dan wanita itu akan lenyap. Ya, memang lenyap karena beberapa detik berikutnya mataku berat.

“Cukup Sakura!”

Aku membenci suaranya. Namun, aku begitu mengantuk hingga tak ada kekuatan lagi untuk berdiri. Biarkan aku tidur sebentar. Sesudah itu, aku akan kembali meminum segelas lagi. Aku akan .... tiba-tiba tubuhku seperti melayang. Selanjutnya, aku tidak mengingat apapun. Pikiranku tidak bisa bekerja dengan baik saat ini.

🦚🦚🦚

Susah payah aku membuka mata. Samar-samar aku melihat bayangan Pradipta berada di atas tubuhku. Ini pasti mimpi, ya. Jika tidak mana mungkin kami sedekat ini, wajahnya yang tampan dengan tatapan tajam itu, bibir yang tebal dan hidung yang mancung. Apa yang terjadi?

Perlahan, tanganku bergerak memegang wajah Pradipta. Jujur, pandanganku masih kabur dan tubuh ini agak berat untuk digerakkan. Detik ini, aku kebingungan membedakan mana dunia nyata dan mimpi. Embusan napasnya yang hangat terasa di wajahku.

Untuk memutuskan rasa penasaran, aku meraba kepala Pradipta. Mimpi yang aneh karena begitu nyata. Hingga kurasakan bibirnya yang menempel di bibirku. Perlahan ia mulai menggerakkannya, mengigit pelan hingga aku tanpa sadar mendesah panjang.

Bagaimana bisa aku bermimpi melakukan ini bersama Pradipta. Sangat menjijikkan. Apakah ini efek samping dari melihat Pradipta berciuman dengan perempuan itu hingga alkohol mengambil ahli pikiranku seperti ini? Aku berdecak lidah disela-sela cumbuan kami ketika bayangan itu datang lagi. Emosi yang biasanya tidak seperti ini, pun meluap, dengan ganas aku memutar tubuh hingga berada di atas Pradipta.

Mengabaikan kepala yang berat dan seperti terikat sesuatu, aku menurunkan tubuh hingga sejajar dengan dada Pradipta. Tanganku mengusap kepala hingga ke lehernya. Sekali-kali aku tidak pernah melakukan hal ini, bahkan dalam mimpi sebelumnya. Ini sungguh sangat menjijikkan mengetahui sisi lain dari diriku.

Malam ini, aku bermimpi. Bunga tidur yang sangat menggairahkan. Suara erangan baik aku dan Pradipta memenuhi ruangan ini. Sentuhan yang begitu candu dan juga ... fase di mana aku benar-benar menjerit terkejut bercampur sakit untuk beberapa saat, hingga semua itu tergantikan dengan perasaan nikmat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Rasa hangat itu memenuhi perut bagian bawahku, terasa penuh. Aku berbaring di samping yang memeluk tubuhku. Tubuh kami yang berkeringat dan sedikit lengket menjadi sesuatu yang aneh. Perlahan semuanya mengabur dan gelap.

🦚🦚🦚

Aku terbangun. Pening yang terasa sakit, juga dadaku yang memanas. Ruangan dan benda di sekitarku terasa berputar, hilang gravitasinya. Kembali aku membuka mata setelah memejamkan rapat-rapat hingga cupit hidungku mengerut. Sekarang lebih baik. Detik setelah itu, aku menyadari bahwa ini bukan kamarku atau kakek dan nenek.

Kamar kami tidak memiliki poster The Beatles. Rumah kakek nenek tidak berwarna hitam dan abu-abu, juga aroma parfum bercampur keringat yang sangat berbeda denganku atau mereka. Intinya ini bukan tempat kami.

Samar-samar bayangan tadi malam bersama Pradipta memenuhi kepalaku. Sontak aku menurunkan padangan dan mendapati pakaianku yang berubah total menjadi kaos kedodoran tanpa celana pendek, hanya ... ya Tuhan apa yang kami lakukan?

Suara desahan, erangan dan sentuhan yang aku dengar dan rasakan beberapa jam lalu memenuhi otakku dengan jelas, aku mengingatnya. Memejamkan mata dengan helaan napas panjang, aku menekan pangkal hidung yang berdenyut hingga ke kening.

Aku harus keluar dari sini. Segera. Tanpa merapihkan lagi rambut yang acak-acakan dan pakaian yang tidak terbentuk lagi aku berjalan ke arah pintu dengan tergesa-gesa. Hingga pintu rumah Pradipta tiba-tiba terbuka. Pria itu berdiri di depanku dengan dua kotak susu, sandwich, dan ramyeon.

"Sakura, saya belikan ini." Pradipta tersenyum kecil, mengangkat kantong tersebut, menunjukkan ke arahku.

Melihatnya berdiri tanpa setitik rasa bersalah membuat mataku memanas dan segala macam amarah bertumpuk di kepalaku. Ini semua salahnya. Sialan. Perlahan aku mengepalkan erat kedua tanganku, menahan sebentar segala bentuk emosi, namun aku rasa pria itu benar-benar harus diberi pelajaran.

Dengan napas tertahan, dan air mata yang mengalir membasahi pipi, aku berjalan satu langkah ke depan Pradipta dan melayangkan satu tamparan keras hingga meninggalkan bekas merah di pipinya yang pucat.

"Ka–kamu kurang ajar! Tega, ya!" bentakku, mendorong kuat dan kasar tubuh Pradipta hingga ia terhuyung ke belakang.

Aku berlari keluar dari rumah pria itu dan detik berikutnya langkahku tertahan. Betapa terkejutnya aku ketika nenek dan kakek berada di depan pintu rumah kami, hendak membukanya. Mereka pun menoleh ke arahku dengan kening mengernyit heran.

Kami saling bertukar pandang untuk sesaat, sebelum aku menundukkan kepala dengan mata yang kembali memanas. Aku tidak sanggup menatap mereka lebih lama lagi. Sakit hati, jijik, tidak layak, kecil, najis, semuanya mengisi kepalaku saat ini. Aku kotor, buruk karena tidak bisa menjaga kepercayaan mereka. Diri ini tidak layak lagi disebut cucu mereka. Perlahan aku memundurkan satu langkah.

Pintu rumah Pradipta terbuka, aku menoleh kepadanya. Bekas merah di pipi pria itu masih terlihat jelas. Biarkan. Aku kecewa dan marah padanya. Ia jahat dan bejat.

"Ada apa ini? Kenapa kamu keluar dari kamar Pradipta?" tanya Nenek kebingungan, dari balik kacamatanya, aku tahu mata nenek tengah meneliti kami bergantian.

"Itu pakaian kamu?" Nenek melirik ke luar, salju tengah berjatuhan.

Entah karena mati rasa dengan semua reruntuhan kejadian yang terjadi, bercampur panik dan bersalah, aku tidak merasa kedinginan. Yang ada hanyalah penyesalan, kecewa, marah dan ingin menangis.

"Masuk dulu, di luar dingin." Kakek menepuk pundakku pelan, dengan lembut ia menarik tanganku. Aku semakin merasa bersalah.

"Kamu juga ikut saya!" Kakek berubah datar ketika berbicara kepada Pradipta. Garis-garis tegas, dan bibir yang terkatub rapat hingga rahangnya mengeras.

Dengan pandangan tertunduk aku mengikuti langkah kakek dan nenek. Segala macam alibi muncul di kepalaku untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku tidak akan mengakui apa yang kami lakukan tadi malam. Melirik ke Pradipta, semoga ia bisa diajak kerjasama. Aku percaya hubungan kami tidak akan menghasilkan bayi, sebab jika melihat dari tanggal, aku sedang berada di masa tidak subur, juga kami hanya melakukannya sekali saja.

To be Continued.

Ada komen yang
ingin kalian sampaikan
selama menemani Sakura dan Pradipta?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro