1. Sepiring Seblak Bersama Kirana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: Widya
Mikurinrin_

Prompt:
Rizal menatap orang itu di ruangan OSIS. Menurutnya dia adalah segalanya. Bersama seblak dan obrolan dikala hujan, Rizal menjadi sangat senang.

🍀🍀🍀

Ketika angin berembus disitulah Rizal diam membeku, menelantarkan seblak yang mengepul di depan matanya.

Rambutnya yang panjang, hitam legam, terlihat lembut seperti sutera, tampak terurai indah tatkala menutup payungnya.

Perlahan matanya menari, melirik sekitar, mencari-cari keberadaan teman-temannya.

Tangan Rizal serasa lemas, padahal jantungnya menggebu-gebu ingin melambaikan tangan pada gadis itu.

Dirasa menemukan temannya, gadis itu langsung berlari menghampiri teman-temannya. Sepiring seblak tampak sudah disediakan untuk si gadis.

"Woi!" Gogon menggebrak meja.

Seketika nyawa Rizal seolah terkumpul kembali, tersadar dari lamunan pesona gadis tadi.

"Apa?" tanya Rizal sewot.

"Kenapa bengong?"

"Kayaknya aku kenal gadis tadi."

"Hah?! Gadis yang mana?" tanya Gogon dengan makanan penuh di mulutnya.

"Itu." Rizal memberikan kode melalui matanya.

"Sejak kapan kenal Kak Kirana?"

"Oh ... namanya Kirana?"

"Iya. Katanya kenal, tapi namanya aja kagak tahu."

"Nama emang gak kenal, tapi kita pernah bertemu."

Gogon hanya mendelikan bahu dan kembali menyantap baksonya, sementara Rizal juga menyantap seblaknya diselingi oleh senyuman disetiap kunyahannya.

***

Jam pelajaran olahraga adalah mata pelajaran yang paling disukai para lelaki. Tak dipungkiri perempuan juga demikian. Tapi, rata-rata mata pelajaran ini sering dipakai untuk ajang tenar, karena lapangan dikelilingi oleh gedung-gedung kelas.

Pagi itu guru olahraga memerintahkan murid IPS 1 untuk berlari duabelas menit mengelilingi lapangan. Tidak seperti laki-laki lain yang tebar pesona, Rizal fokus dengan olahraganya. Baginya cara untuk terkenal bukanlah seperti ini.

Setengah dari duabelas menit berlalu. Gogon berteriak "sepuluh" ketika Rizal melewati dirinya.

Awalnya fokusnya tak terganggu, tetapi ketika mendengar suara tawa gadis-gadis dari ruangan osis, inderanya seolah berkhianat. Tak bisa dicegah Rizal melirik sejenak, benar saja Kirana ada di sana.

Dari yang Rizal tahu Kirana adalah kakak kelasnya, beda satu tahun. Dia adalah sekretaris OSIS ketika Rizal di-MPLS.

Meski dia lebih tua dari Rizal, tetapi wajahnya tak demikian. Tubuhnya memang cukup tinggi, tapi pipi chubby kemerah-merahan itulah yang membuatnya tampak tidak tua.

Kini fokus Rizal benar-benar terganggu. Tiap kali dia melewati ruang OSIS, matanya tidak lepas dari Kirana yang tertawa lepas.

Rambutnya kini tidak diurai, melainkan bergaya ponytail membuat Rizal kian ingin mendekati Kirana. Tapi apakah bisa? Orang tak terkenal seperti dirinya tidaklah memiliki kesempatan banyak. Mungkin satu-satunya cara agar kenal dengannya adalah menjadi anggota OSIS atau MPK.

Prittt!!!

Suara peluit berbunyi. Artinya Rizal sekarang istirahat dan bergantian menghitung Gogon.

Napasnya terengah-engah. Air mineral yang membasahi tenggorokan seolah menjadi penolongnya kala ini. Setelah menghabiskan setengah botol, matanya kini kembali melirik Kirana, memperhatikan setiap gerak-geriknya.

"Zal, lima!" teriak Gogon.

Rizal terhentak dengan teriakan Gogon dan kembali fokus memperhatikan Gogon.

"Perasaan baru tadi mulai, kenapa udah lima lagi," batin Rizal.

"Sep, baru berapa putaran pasanganmu?" tanya Rizal pada teman di sampingnya.

"Baru dua, Zal."

"Sialan! Untung otak masih bisa dipake mikir."

Setelah duabelas menit berlalu akhirnya pelajaran olahraga usai. Anak-anak IPS 1 melakukan pendinginan untuk menghindari cidera.

Ketika melakukan pendinginan, Rizal melihat ruangan OSIS dan mendapati bahwa Kirana sudah tidak ada.

"Mungkin kembali ke kelas," batin Rizal.

Ketika batinnya berkata demikian, tetapi kenyataan menghancurkan segalanya. Kirana membawakan sebotol air mineral. Arahnya menuju Rizal, seketika jantung Rizal berdebar dengan hebat.

Namun, ketika Kirana semakin dekat dengan Rizal, dia lewat begitu saja dan memberikan air mineralnya itu pada Galih.

Deg!

Ada perasaan nyeri di dada, tapi Rizal tak boleh marah. Rizal harus teguh pendirian hanya ingin berkenalan dengan Kirana dan menagih janji, tak lebih dari itu.

***

Rizal tidak langsung pulang ketika bel berbunyi dan memilih untuk diam di kelas. Sesekali mengerjakan tugas, tetapi kebanyakan bermain game dan menonton film. Hingga sore melanda, kini tempatnya bernaung tengah diguyur hujan.

Menghela napas kasar, Rizal tak bisa berbuat pulang karena tidak membawa payung. Perutnya juga keroncongan meminta haknya.

Terpaksa Rizal harus menggunakan tasnya untuk berlari menuju kantin. Meski waktu menunjukkan pukul setengah lima sore, tetapi kantin masih setia buka. Hanya saja, kantin yang biasanya ramai, kini sepi karena sudah sore hari.

Matanya langsung tertuju pada gerobak seblak yang sepi. Bergegas Rizal langsung memesan satu mangkuk seblak asam, manis, dan pedas.

Seraya menunggu seblak jadi, di tengah-tengah bangku lainnya tampak gadis dengan rambut terurai susah payah memakan seblaknya.

Mata Rizal langsung membelalak lebar. Pasalnya dia mengenali dari postur tubuh gadis itu. Tak salah lagi, itu pasti Kirana. Kesempatan besar untuk dirinya.

Rizal segera membawa mangkuk seblak yang telah dia bayar menuju bangku Kirana. Kirana langsung mendongak ketika melihat laki-laki berdiri di depannya.

"Boleh ikut duduk di sini?"

....

"Rasanya tidak enak jika harus makan sendirian." Rizal tampak canggung karena Kirana tak menggubris permintaannya.

"Tentu saja. Menyenangkan sekali rasanya jika ada teman mengobrol."

Mendapat sambutan yang baik dari Kirana, Rizal segara mendorong bangku dan duduk berhadapan dengan Kirana.

"Kenapa tidak mengikat rambutmu?" tanya Rizal karena dia penasaran, padahal tadi pagi rambutnya diikat.

"Ikat rambutku hilang ketika di toilet," jawabnya sembari kepedasan.

Pipinya merah, keningnya berkeringat meski suasana dingin, dan sedari tadi Kirana terus mengelap hidung dan keningnya.

"Sesuka itu sama pedas?"

Kirana mengangguk.

"Tapi sepertinya, _Teteh_ nggak suka pedes."

"Iya, karena aku baru suka pedes, dikenalin teman-temanku."

Rizal kemudian memberikan sebotol air mineral pada Kirana.

"Terimakasih." Kirana langsung membuka air kemasan itu dan meminumnya. Semangkuk seblak itu nampak ludes tak bersisa.

"Emmm ... aku Rizal," kata Rizal menunduk.

"Aku Kirana." Kirana menjulurkan tangannya untuk berjabat.

Tentu saja dengan antusias Rizal menerima uluran tangan itu dan berjabat tangan. Rasa senang di dada begitu membuncah ketika Rizal merasakan lembutnya tangan Kirana.

"Kelas?" tanya Kirana.

"10 IPS 1."

"Berarti aku lebih tua darimu."

Rizal mengangguk.

"Tak apa. Jika sekolah sudah usai tidak perlu ada senioritas. Kamu boleh memanggilku Kirana saja."

"Siap, Teh."

"Ngomong-ngomong gimana rasanya jadi OSIS di sini?" tanya Rizal penasaran.

"Sangat seru! Tapi sangat melelahkan. Itu sudah konsekuensi, sih. Tertarik menjadi anggota OSIS?"

"Ya, aku tertarik. Aku juga perwakilan MPK dikelasku."

"Ohiya, IPS 1 berarti satu kelas dengan adikku, Galih."

"Jadi dia adiknya Kakak?"

"Sudah kubilang tidak usah ada senoritas."

"Tapi aku tidak nyaman."

"Terserah."

"Galih itu beneran adiknya Kakak?"

"Iya, kami saudara kandung."

Entah kenapa perasaan lega menyelimuti Rizal. Padahal tidak penting jika Galih adiknya atau mungkin teman dekatnya.

Suasana canggung sempat menyelimuti setelahnya, sekilas ide muncul di pikiran Rizal. Apa sekarang saja Rizal harus membahas hal "itu"? Rizal awalnya takut suasana canggung akan terjadi, tetapi kapan lagi Rizal bisa mendapatkan kesempatan berbicara dengan kirana.

Keputusan Rizal sudah bulat. Kini saatnya Rizal membahas hal itu dengan Kirana.

"Ngomong-ngomong, Kakak ingat dulu pernah menolong nenek-nenek yang hampir tertabrak mobil?" tanya Rizal. Kini sorot matanya berubah serius.

"Kapan?" Kirana merasakan keseriusan tersirat pada sorot mata Rizal.

"Waktu itu usiaku lima tahun, tandanya Kakak enam tahun."

Kirana sempat berpikir sejenak, mencoba menggali memori sebelum akhirnya teringat kembali.

"Oh ... sepertinya aku ingat pernah menolong nenek-nenek, dan di sana ada anak laki-laki yang memintaku untuk-"

"Ya. Itu aku, Kak. Sekarang aku sudah bertemu kembali dengan Kakak. Apakah Kakak akan menepati janji itu?"

Wajah Kirana tampak panik. Kirana yang awalnya tenang kini menjadi salah tingkah. Dia melirik kesana kemari seperti mengalihkan perhatian.

"Bagaimana kalau kita pulang saja?" tawarnya mengalihkan perhatian.

"Masih hujan, aku tidak membawa payung."

"Tapi aku membawa payung."

"Apakah Kakak ingin berjalan satu payung berdua denganku?"

"Ti-tidak. Tentu saja tidak. Tapi, daripada kau basah kuyup, 'kan?"

"Apakah Kakak terbebani oleh janji Kakak sendiri?"

"Hah? Kenapa kau berpikir demikian? Te-tentu saja tidak. Aku yang membuat janji, jadi aku harus bertanggung jawab."

"Tapi aku tidak akan meminta Kakak menepati janji itu sekarang, jika Kakak belum siap."

"Baiklah-baiklah. Akan aku pikirkan hal itu ketika sudah di rumah. Sekarang ayo kita pulang saja, sudah petang sekali, takut hujan semakin deras."

"Baiklah, Kak. Ayo kita pulang. Jangan merasa terbebani dengan janji itu, karena aku tidak akan memaksa Kakak."

"Jadi untuk sekarang ... bagaimana?"

"Kita berteman saja."

🍀🍀🍀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro