12. Glassworld

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis: Icha
Catrella2

Prompt:
Fuyu lagi naik bis untuk keluar kota. Tapi di tengah jalan, bisnya mogok.

🍀🍀🍀

“Cangcimen, cangcimen, cangcimennya Neng?” tawar seorang pedagang asongan kala melewati bangku gadis berjilbab biru tua. Namun, gadis itu menggelengkan kepalanya cepat membuat si Pedagang harus mencari pembeli lain.

Bus yang ia tumpangi belum juga berangkat. Padahal, jadwalnya sudah pas hal itu membuat Fuyu mengembuskan napas gusar.

Merasa bosan, akhirnya ia memandang ke luar jendela. Kegiatan itu tak berlangsung lama saat saku jaketnya bergetar. Sebuah nama muncul di layar ponselnya.

“Halo, Fuyu? Sudah sampai mana?” pertanyaan itu membuat ia kembali mengingat betapa tidak tepat waktunya bus yang akan membawanya pulang kampung.

“Masih di terminal, busnya belum jalan,” jawabnya kemudian. Matanya masih melirik ke arah luar. Walau sudah malam, terminal di sini tak tampak akan sepi. Apa mereka tak akan segera pulang ke rumah?
Saat batinnya berkelana dengan pertanyaan tersebut suara dari loudspeaker atas ponsel mengalihkan fokus.

“Kalau sudah sampai jangan lupa kabarin. Hati-hati, ya.”  Setelah Fuyu membalas dengan jawaban singkat, panggilan diputus secara sepihak sebab sayang pulsa.

Dari arah depan, terdengar suara Kondektur yang memberitahu bahwa bus akan segera melaju dan benar saja, sedetik kemudian bus berjalan dalam kecepatan sedang.

****

Bunyi berdecit membangunkan Fuyu dari lelapnya, ia memandang ke arah depan yang tengah ribut sembari menggosok mata pelan. Ada apa? Batinnya penuh rasa ingin tahu. Demi keponya yang semakin memuncak, Fuyu memberanikan diri menepuk bahu penumpang di sampingnya.

“Permisi, ada apa ya di depan sana? Tampaknya sangat ribut?” penumpang yang terlihat lebih muda setahun darinya terdiam sebentar.

“Ah, itu, tadi katanya bus ini mogok,” jawabnya per sekian detik. Langsung saja, Fuyu mengecek ponselnya. Jam digital di atas layar ponsel menampilkan angka dua dini hari.

“Apa Supir dan Kondekturnya bilang akan berapa lama kita di sini?” Saat Fuyu bertanya lagi si gadis menggeleng lemah. Gawat, mereka mogok di lingkungan yang rawan akan kasus perampokan serta pembunuhan.

Jika memang itu kenyataannya, wajar para penumpang lain risau. Tak ada yang tak mengenal daerah Hellion, di sinilah biasanya pusat perampokan dan pembunuhan berencana. Jika mereka lebih lama lagi di sini, besar kemungkinan para penjarah akan datang dan membunuh setiap orang dalam bus.

Dihimpit dengan rasa gusar dan takut, Fuyu menangkap jajaran pohon menjulang tinggi. Tunggu, jika ia ke hutan besar kemungkinan ia bisa selamat sampai rumah, ‘kan? Walau tak pasti keberhasilannya, Fuyu segera berdiri. Ia memikul satu-satunya tas yang ia bawa, membuat gadis di sampingnya mengerutkan kening.

“Kamu mau ke mana?” Fuyu mengalihkan pandangan sejenak kepada si gadis sebelum memandang ke pintu bus bagian belakang.

“Pulang.” Setelah itu, ia melewati si gadis tanpa menoleh barang sejenak saja. Tindakannya membuat ribut seluruh penghuni bus. Bahkan, sang supir sempat mencegahnya walau pada akhirnya tak bisa berbuat apa-apa karena Fuyu tidak mengubris panggilannya.

Daripada mati tak berdaya, lebih baik ia berjuang hidup. Begitulah tekad dadakan yang Fuyu tanamkan di jiwa.

Setidaknya, sampai dua menit kemudian.

****

Deru napas Fuyu tak beraturan, bajunya sudah compang-camping bekas menghindari senjata tajam yang berkali-kali mengincar nyawa. Jika ia tahu ada penyamun di dalam hutan, mana sudi ia datang ke sini!

Dari arah belakang dapat ia dengar cekikikan para pria bertubuh besar dengan luka di sekujur tubuh. Mereka hanya berkisar beberapa meter darinya dan dapat dipastikan Fuyu tertangkap tak lama lagi. Keadaan memang tak menguntungkan bagi Fuyu, tetapi sebab tekad ingin selamat dan rebahan di kasur tersayang Fuyu memacu kaki lebih cepat.

Adrenalinnya entah sejak kapan naik, peluh membanjiri sekujur tubuh, hijab biru tuanya telah hilang sebab ia menyelamatkan diri saat sempat tertangkap sebentar. Tas … sudah hilang.

Sekali lagi, intuisinya menyuruh ia berguling ke arah samping dan sebab hal itu kepalanya selamat dari sabetan parang. Ia memandang ke belakang sebentar, netranya bersitobrok dengan netra para penyamun yang haus darah. Fuyu berusaha bangkit, tetapi tak bisa sebab rasa nyeri di pergelangan kaki.

Dalam kondisi kritis, jantungnya berpacu dengan gila. Matanya masih melihat para penyamun yang semakin dekat. “Mampus aku,” gumamnya. Sekuat tenaga, ia menyeret kakinya walau begitu tak ada guna. Ini akhir hidupnya, mati ditangan penyamun karena terlalu percaya diri tak ada orang jahat di hutan.

Setidaknya, pemikiran mati itu hanya bertahan beberapa detik saat sebuah lubang hitam muncul di depannya. Sebuah tangan keluar dari lubang hitam, membuat Fuyu bergidik.

“Raih tanganku, sekarang!” perintah dari dalam lubang hitam, Fuyu ragu. Bagaimana jika ia akan mati ketika mengapai tangan itu? Lagipula lubang hitam itu tampak sangat mencurigakan.

“Tik-tok, waktu sudah tak banyak. Mau mati di tangan para perampok atau menerima bantuanku?” Lubang hitam itu kembali berucap. Sebenarnya, Fuyu tak ingin menerima kedua opsi itu. Namun, daripada mati di tangan para penyamun yang kejam, lebih baik ia menerima uluran bantuan itu.

Ketika ia menggenggam tangan dari lubang hitam, perampok itu telah ada di depannya, hendak menarik tubuhnya, tetapi kalah cepat dengan gaya tarik lubang hitam. Pandangan Fuyu kabur dan rasa ingin menumpahkan makan siangnya tiba-tiba timbul.

****

“Oh, sudah bangun.” Suara asing terdengar oleh Fuyu.
Mata sipitnya memandang sekitar dengan asing. Hamparan bunga di tengah hutan gelap? Memangnya ada?

“Ini bukan duniamu.” Jawaban tak terduga dari gadis di depannya membuat Fuyu tersentak kaget. Bukan dunia manusia? Jelas-jelas itu bohong. Namun, ia tak bisa gegabah sekarang. Cukup dengan pengalaman dirinya yang dikejar perampok karena terlalu gegabah.

“Jadi, ini di mana?” tanyanya kemudian. Senyum cerah terbit di wajah gadis satunya. Tunggu, hanya perasaannya saja atau mereka serupa jika mengesampingkan warna rambut dan mata.

Tubuhnya tanpa basa-basi segera menjauh dari si gadis. Gadis itu sempat terdiam bingung kemudian terkikik. “Kenapa? Kaget karena kita serupa?” sebab tawa itu, mata sipit si gadis makin membentuk bulan sabit. Menyembunyikan iris sewarna lautan di dalamnya.

Fuyu mengangguk cepat sebagai jawaban, matanya kemudian berbinar. Apa gadis di hadapannya ini cenayang?!

“Aku bukan cenayang,” ucap gadis itu malah membuat Fuyu makin yakin atas hipotesis tak berdasarnya.
“semua pertanyaanmu tercetak jelas di wajah, makanya aku bisa selangkah lebih maju darimu.” Lanjutnya kemudian menyisir helaian rambut sewarna nyala api.

“Kita ada di Glassworld. Duplikat duniamu.” Gadis itu menjawab pertanyaan Fuyu sebelumnya. Fuyu mengangguk-angguk saja, walau tak terlalu paham dengan maksud gadis itu.

Melihat tindakan Fuyu, gadis itu mengeluarkan napas lelah. “Sudah kuduga, kamu tak akan paham.” Kemudian, ia mulai menggambar di udara kosong. Secara ajaib, sebuah garis bercahaya muncul dariketiadaan membentuk sebuah lingkaran.

“Jika disederhanakan, Glassworld itu bagai cermin. Ia memantulkan pemandangan yang ada di hadapannya, membentuk sebuah dunia baru di dalam cermin. Sampai sini, paham?” Fuyu mengangguk. Jadi, teori pantulan, huh?

Setelah di rasa Fuyu paham, ia kembali berucap. “Nah, walau sama dengan dunia manusia tapi ada yang berbeda dari Glassworld. Di sini, kami dapat menggunakan sihir.” Tangan kiri gadis yang tak melakukan apa-apa mulai mengeluarkan api berukuran kecil. Membuat Fuyu terkagum.

“Jadi, dapat dikatakan kami memiliki penampilan yang sama dengan salah satu manusia, tetapi memiliki perbedaan yang cukup jauh.” Setelah hal itu, garis bercahaya dan api menghilang. Fuyu mengembuskan napas tak terima keluar dari bibir, membuat si gadis terkikik geli.

“Namaku, Bian. Kamu?” Fuyu mengedipkan mata beberapa kali sebelum tersenyum cerah.

“Fuyu, salam kenal, Bian.”

****

Kedua gadis itu sekarang tengah berjalan di pasar. Menurut ucapan Bian, jika Fuyu ingin pulang mereka harus tahu tentang lokasi portal penghubung dua dunia.

Fuyu sempat bertanya soal kenapa tak menciptakan lubang hitam—rupanya itu portal—yang sama dengan waktu itu, tetapi Bian harus dengan berat hati bilang tak bisa. Portal masuk dan keluar berbeda, jadi tak ada gunanya masuk ke sana jika kamu tak ingin terjebak dalam ruang kosong.

Untuk mendapatkan hal itu, mereka harus ke serikat. Aneh rasanya karena sejauh mata memandang setingan dunia ini hampir mirip dengan game rpg. Apalagi ada job seperti Mage, Warrior, Tank, dan sebagainya. Ditambah dengan kata serikat, membuat Fuyu berpikir bahwa mereka ada di dalam game alih-alih dunia lain.

Saat mereka masuk ke dalam pintu masuk serikat, banyak manusia dengan berbagai macam armor di sana. Ada yang berkerumun ke depan papan pengumuman dan ada juga yang minum-minum. Bian berjalan santai ke arah salah satu meja.

“Tuan Jion, benar?” mendengar namanya di sebut, pria yang ditaksir separuh abad, tetapi memiliki tubuh yang bugar menoleh. Ia memandang Bian dan Fuyu seksama sebelum menjawab.

“Ya, benar. Ada urusan apa?” Senyum terkembang di bibir Bian, ia tak salah ingat rupanya.

“Cermin-cermin di dinding, seberapa lama akan selalu bersinar?” Mendengar ucapan Bian si pria tegang sejenak sebelum bangkit berdiri.

“Ikuti aku,” perintahnya kemudian berlalu keluar. Fuyu dan Bian mengekor dari belakang.

“Kamu ingin aku membawa kalian ke cermin keluar?!” pertanyaan dengan nada tinggi bergema di ruangan kecil samping bangunan serikat. Membuat Fuyu dan Bian kaget. Tak butuh waktu lama sebelum Bian angkat suara.

“Ya, Fuyu harus pulang ke dunianya.” Mata pria itu terbelalak kaget, ia memandang Fuyu dengan seksama sebelum mengembuskan napas lelah.

“Dua puluh ribu koin emas,” ujar pria itu kemudian.

“Lima belas.” Bian menyerang dengan harga lebih murah.

“Sembilan belas.” Seakan tak puas, pria itu menaikkan penawaran. Lagipula pekerjaannya kali ini berbahaya.

“Sepuluh ribu atau aku akan membeberkan rahasia tentang anakmu.” Si pria tak percaya dengan pendengarannya.

“Kau ….!” Pria tersebut dapat saja melukai Bian jika gadis itu tak segera membangun benteng api. Mereka saling tatap, mengabaikan fakta Fuyu yang mulai kepanasan karena suhu naik secara drastis.

“Hah, deal.” Pada akhirnya, si pria mengalah. Bian tersenyum senang kemudian Fuyu bernapas lega senab suhu ruangan kembali normal.

“Kita bertemu di ujung pintu masuk pasar. Kita pergi ke sana malam ini.” Dengan perintah itu, si pria keluar dari ruangan.

****

Malamnya, seperti yang disepakati mereka berkumpul di depan pintu masuk pasar. Setelah memberi beberapa peringatan, sebuah cahaya terang menyelimuti mereka yang mulai melebur. Tujuannya adalah bukit Jinjer, tempat portal keluar berada.

Berkat sihir teleportasi dari Bian, mereka sampai dengan mudah. Namun, bukan berarti mereka bisa semudah itu mendekati portal.

Ada makhluk penjaga di sekitar portal berwarna keemasan tersebut. Oleh karena itu, Jion mengatakan untuk bersembunyi sementara dia akan mengalihkan perhatian penjaga gerbang.

Saat Bian dan Fuyu bersembunyi, muncul seekor kelinci berwarna putih. Ia memandang Jion sebentar dengan mata imutnya. Kemudian, tubuhnya berubah menjadi seukuran beruang. Matanya yang semula imut berubah menjadi haus darah.

Itu benar-benar kelinci imut tadinya? Yang benar saja! Belum sempat Fuyu mencerna situasi, Bian menariknya menjauh. Sempat membuat Fuyu hilang keseimbangan, untunglah ia tak terjatuh bisa-bisa ambyar kalau hal tersebut terjadi.

Selagi Jion mengalihkan perhatian, tanpa terduga mereka dicegat oleh kelinci lain. Hal tersebut membuat Fuyu dan Bian terhenti.

Bian menyuruh Fuyu mundur sementara dirinya memasang kuda-kuda. Sama seperti kasus Jion, kelinci itu membesar dan mulai mengarahkan salah satu kakinya ke arah Bian.

Gadis itu berkelit dengan cepat dengan segera ia mengeluarkan serangan api bertubi-tubi. Namun, nahas kelinci itu dapat menghindarinya dengan mudah.

Matanya terpatri ke arah Fuyu yang lemas. Kemudian secepat kilat ia ayunkan tangannya ke arah Fuyu. Bian yang melihat hal tersebut segera memasang badan, membuat malah dirinya yang terkena serangan.

“L-lari … Fuy ….” Dengan terbata, Bian menyuruh Fuyu berlari ke arah gerbang yang tak terlalu jauh dari mereka. Fuyu menolak.

“Tidak! Bagaimana jika kalian mati karena aku lari?!” Bian tersenyum di sela batuk darahnya sembari berdiri.

“Ta-k akan t-terjadi … m-mereka akan p-pergi jika k-kamu tak ada lagi.” Setelah itu, Bian kembali menyerang dengan sihir api. Membuat fokus kelinci hanya kepadanya.

Dengan enggan, Fuyu akhirnya berlari. Ia tak menoleh ke belakang, tak ingin melihat bagaimana kedua orang itu memberinya jalan untuk pulang. Semua karena dirinya. Jika ia tak berlari ke hutan pada saat itu, Bian dan Jion tak akan berjuang seperti ini agar ia bisa kembali ke dunia asalnya.

Semua salahnya, salahnya, salahnya!
Saat ia masih mengutuk diri sendiri teriakan Bian membuatnya menoleh. Seekor kelinci lainnya memukul tubuhnya, membuatnya terhempas ke samping. Sakit menjalar ke seluruh tubuh, di sela matanya yang mulai memburam ia melihat kelinci itu berjalan ke arahnya dengan langkah besar-besar.

Ini akhir hidupnya? Dengan pertanyaan itu, Fuyu memejamkan mata dengan damai.

****

Saat ia membuka kedua matanya, jok kursi bus bagian depan muncul begitu saja. Ia segera mengucek mata. Ia tak salah lihat ‘kan?! Diedarkannya sekeliling, para penumpang banyak yang terlelap. Apa-apaan ini?

Saat ia melihat ke arah pakaiannya, tak ada bekas compang-camping ketika kabur dari kejaran para penyamun ataupun baju aneh yang diberikan oleh Bian. Bahkan, jilbab biru tuanya tak lepas. Ia membuka kunci ponsel, melihat jam digital yang menunjukkan angka dua dan tak ada kejadian bis mogok. Apa semuanya hanya mimpi belaka?

End

A/N : KAK FUY, MAAFKAN ADIKMU INI//sungkem//

Oh, ya. Jika ada kesalahan baik dari penulisan dan yang lainnya Cat minta maaf.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro