dois

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



「 友達になりたい? 」

« lo mau, nggak, jadi teman gue? »




SEDARI KECIL, ORANGTUA Awan selalu memberitahunya kalau ia istimewa. Kalau mereka yang bilang, kesannya menjadi istimewa itu adalah sesuatu yang perlu dirayakan. Tapi, seiring Awan beranjak dewasa (oke, mungkin nggak dewasa-dewasa amat, toh pertengahan tahun ini juga ia baru bakal ulang tahun ke-16), Awan mulai merasa kalau menjadi istimewa itu nggak, ya, se-istimewa itu.

Pertama kali kata istimewa digunakan untuk menjelaskan Awan adalah sebelas atau dua belas tahun lalu. Awan ingat banget, waktu itu ia tahu-tahu sering banget diajak ke apa yang orang-orang dewasa sebut terapi. Terapi, bagi Awan waktu itu, selalu terjadi di hari Sabtu dan sifatnya hampir kayak sekolah, bedanya ia cuma sendirian. Di sana, Awan selalu disuruh melakukan banyak hal—entah itu main perosotan, main puzzle (yang nggak jarang jadi bagian paling seru dari terapi baginya, sampai-sampai ia berkali-kali tantrum kalau waktu main puzzle berhenti), atau ngobrol sama boneka-boneka tangan (Awan lebih sering diam sendiri, heran kenapa dinosaurus sama kucing bisa hidup di era yang sama, boro-boro ngomong). Sepulang dari sesi terapi pertama, Awan bertanya ke orangtuanya kenapa ia harus terapi. Kata Papa, itu karena ia istimewa. Awan sendiri nggak ngerti apa yang membuatnya begitu istimewa. Perasaan, segala sesuatu yang ia lakukan biasa saja. Apakah gara-gara ia hapal ibukota semua negara di dunia setelah memelototi peta berjam-jam di kamar? Apakah karena, di usia lima tahun, IQ-nya berada di angka 135? 

Namun, rupanya hal-hal itu, se-enggaknya di mata orang dewasa, memang membuatnya istimewa. Rupanya, nggak semua orang dewasa hapal ibukota semua negara di dunia. Nggak semua orang dewasa juga punya perfect pitch, bisa tahu nada dari sebuah lagu cuma dari mendengar sepintas. Tapi, yang membuat Awan tambah bingung, ia dipuji bahkan jika ia melakukan hal-hal yang kebanyakan orang bisa lakukan, kayak gosok gigi sendiri, pakai baju sendiri, atau berbicara satu kalimat penuh. Semuanya hal yang adiknya, Langit, sudah bisa lakukan lebih dulu. Saat Langit melakukan itu semua, ia nggak pernah dipuji, tapi kenapa Awan dipuji karena melakukan hal-hal sepele? Apakah semuanya karena ia istimewa? 

Lalu, waktu usianya delapan tahun,Awan mulai belajar kalau menjadi istimewa adalah hal yang buruk. Awan masihingat betul, malam itu ia kesulitan tidur. Saat nggak bisa tidur, Awan kecilbiasanya jalan-jalan keliling rumah sampai tubuhnya lelah sendiri. Saat itulah, secara nggak sengaja ia melewati ibunya yang tengah menelepon seseorang di ruang tamu. Ibunya terisak sambil bercerita dengan entah siapa yang ada di ujung lain telepon. Ia berbicara tentang bagaimana ia harus mengorbankan segalanya, mulai dari karirnya di Deloitte[3] hingga mimpinya, demi membesarkan Awan. Bagaimana nggak jarang ia merasa sedih karena Awan nggak mau menatap matanya saat berbicara. Bagaimana ia merasa Awan, dengan segala temperamennya, begitu sulit dimengerti. Bagaimana ia takut kalau Awan nggak akan pernah bisa tumbuh dewasa dan harus selalu bergantung padanya.

Bagaimana Tuhan nggak adil karena, mengutip langsung dari kata-kata yang waktu itu ia gunakan, Awan begini.

Awan masih belum mengerti banyak, tapi ia yakin betul kalau dari kata-katanya, sepertinya ibunya nggak sepenuhnya menyayanginya. Waktu itu, Awan ingat betul, ia langsung berlari ke arah ibunya di sofa ruang tamu dan ikut terisak. "Awan bikin Mama sedih," rengeknya waktu itu, berkali-kali. "Awan minta maaf. Awan bikin Mama sedih, Awan minta maaf."

Ibu Awan, yang baru saja menghapus air matanya, menggeleng. Ia memeluk Awan erat, mengelus rambutnya, dan mengecup keningnya. "Awan nggak bikin Mama sedih, kok. Mama sayaaaaang banget sama Awan." 

Saat itu, untuk pertama kalinya, Awan memandang mata ibunya langsung. Tapi, untuk pertama kalinya juga, Awan mulai mempertanyakan apakah ibunya benar-benar mencintainya karena ia istimewa.


「 友達になりたい? 」


"Untung kamu nggak kenapa-kenapa, Nak...."

Saat Mama memeluknya erat begini, Awan nggak bisa nggak memutar percakapan di telepon itu di kepalanya. Apalagi, kali ini kepalanya, se-enggaknya ujung kepalanya yang nggak diperban, benar-benar diusap-usap, punuk rambutnya dikecup berkali-kali seakan-akan Awan masih kecil. Sial, Awan jadi semakin teringat akan kejadian itu.

Awan nggak pernah suka berandai-andai, dan ia sendiri nggak pintar berandai-andai akan sesuatu, tapi untuk kali ini dalam benaknya ia bertanya-tanya apa yang akan terjadi seandainya ia tadi mati. Nggak ada bayangan konkret yang muncul di pikirannya. Tapi barangkali Mama nggak akan menderita lagi?

Tadi, setelah digendong di atas punggung cewek misterius tadi layaknya anak kecil, Awan dibawa ke UKS, di mana ia diberi pertolongan pertama, lalu ia dirujuk ke rumah sakit. Sudah tiga kali ia ditanyai kenapa bisa luka-luka parah sampai pendarahan hebat. Sudah tiga kali juga ia memilih diam. Ia tahu kalau ia jujur, ia akan tambah dihabisi oleh Surya dan kroco-kroconya, tapi di sisi lain ia juga bukan pembohong yang baik.

"Kamu tuh Mama sekolahin bukan buat berantem, Awan," ucap Mama lagi, yang—sama kayak suster UKS dan dokter IGD yang menanganinya tadi—berasumsi kalau Awan habis berantem. Mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut Mama, Awan khawatir lagi. Bahkan saat disiksa kakak-kakak kelasnya, ia masih menjadi beban orangtua.

Kalau mau, sebenarnya kamu bisa mengatai Awan bodoh, karena ia mau-mau saja diajak ikutan inisiasi masuk Beki—singkatan dari Bekibolangs, nama geng sekolahnya yang diambil dari posisi warung tongkrongan mereka yang lokasinya belok kiri boleh langsung dari belakang sekolah itu—saat hal tersebut sebenarnya nggak wajib. Tapi, sayangnya, ia nggak punya pilihan. Ia sudah duluan ditandai oleh Surya gara-gara ia dianggap utas yang, mengutip perkataan para agit waktu itu, "freak banget, anjir." (Awan nggak ngerti kenapa ngomongpanjang lebar mengenai perjalanannya ke sekolah naik MRT dari Lebak Bulus keBlok M, lengkap dengan jenis kereta yang digunakan, membuatnya freak.) Waktu pertama kali dicegat buat ikut ke tongkrongan, nggak ada ruang untuk menolak. Yang membuatnya bertahan sampai sekarang hanyalah janji para agit kalau nanti, setelah segala sesuatu berakhir, ia bakal jadi anak hits yang temannya banyak di sekolah. 

Intinya, sih, menjadi normal. Tanpa embel-embel istimewa. 

Bahkan jika itu berarti ia harus makan cicak hidup-hidup atau dihabisi enam lawan satu, Awan akan melakukan apa pun supaya bisa punya teman. Supaya ia diterima dan nggak dianggap aneh karena keistimewaannya. Maka saat Mama mulai menguliahinya panjang lebar mengenai bagaimana sekolah itu buat belajar dan bagaimana Mama nggak suka kalau ia ikut arus pergaulan yang salah, bahkan saat Mama mulai mempertanyakan kenapa belakangan ini Awan sering pulang malam apalagi kalau hari Jumat, Awan cuma diam sambil mengendus aroma Roti O yang tadi Mama beli sebelum menjenguknya. Diceramahi Mama panjang lebar hanya semakin mengingatkannya kalau ialah sumber penderitaan Mama selama ini, dan toh ia nggak pernah suka bau rumah sakit.

"AH, INI RUMAH SAKITNYA DISKRIMINASI!"

Kuliah panjang Mama diinterupsi oleh teriakan yang berasal dari lorong depan ruang IGD. Refleks, semua pasien yang berada di sana menoleh ke arah suara, seorang gadis berjaket hoodie yang nampaknya sedang tantrum. Sosok yang nggak asing bagi Awan, mengingat ialah yang menyelamatkan Awan tadi.

Gadis itu berjalan dengan grasak-grusuk, barangkali karena kadung kesal, ke arah tempat tidur di mana Awan berbaring. Di luar dugaannya—Awan kira ia harusnya sudah pulang duluan—ia menghampiri Awan dan bertanya, "Udah baikan?"

"Temannya Awan?" tanya Mama, membuat segala sesuatu tambah canggung.

"Eh? Iya, Tante," jawab gadis itu sambil menunduk sopan. Beda banget dengan tantrumnya barusan. Mama, yang sejak dulu memang selalu welcome dengan siapa pun yang mengaku temannya Awan mengingat putra sulungnya itu jarang punya teman, langsung berdiri dan mengizinkan gadis itu duduk di kursi tempatnya duduk sedari tadi.

"Awan ngobrol sama temannya dulu, ya," ucap Mama sebelum beranjak menuju ujung tirai bilik tempat tidur Awan.

Awan menggeleng. Untuk pertama kalinya semenjak diajak by one oleh Surya tadi, Awan membuka mulutnya untuk menjawab, "Bukan temannya Awan," tapi gadis itu keburu menyikut lengan Awan yang nggak diperban seakan-akan mengajaknya bersandiwara.

Setelah Mama keluar, barulah sifat asli gadis itu keluar. Seakan-akan Awan itu teman dekatnya, unek-uneknya sore itu keluar semua, "Tahu, nggak, Wan?" Awan sebenarnya agak kaget gadis itu tahu namanya. "Tadi ya, kan gue sempat nawarin buat donor darah ke lo, nih. Kebetulan goldar kita sama, tadi gue cek. Terus yaudah, gue isi formulir, kan, ya. Pas gue serahin gue malah diusir, anjir. Katanya gue belum cukup umur." Sambil melipat kedua lengannya, ia mendengus. "Emangnya kenapa, sih, mau donor darah aja kudu 17 tahun? Kayak nyoblos aja."

Awan, yang merasa kalau gadis itu kebanyakan bicara, cuma memiliki satu pertanyaan di benaknya: "Lo kenapa nyelamatin gue?"

"Soalnya gue nggak suka budaya utas-aud-agit nggak jelas ini," jawab gadis itu, nada bicaranya kini meredup. "Lo tahu sendiri, kan, di angkatan kita gue yang selama ini paling sering kena masalah sama agit?"

Awan menggeleng. Ia nggak begitu mengenal teman-teman seangkatannya di luar teman sekelasnya sendiri atau sesama utas cowok yang "direkrut" masuk Beki seperti dirinya. "Nama lo aja gue nggak tahu, lho."

Penyelamatnya itu malah tertawa terbahak-bahak. "Se-nolep itu, ya, lo? Hahaha. Nggak nyangka, lho, ternyata masih ada anak Beki yang nggak kenal gue." Melihat raut wajah Awan yang berubah suram, ia berhenti tertawa. "Yaudah, sok, kenalan dulu. Gue Dara, kelas 10-4. Utas paling problematik satu sekolah."

"Awan. 10-2," balasnya retoris, meski Dara sudah tahu namanya.

"Awan Cakrawala, kan, nama lengkap lo?" Awan mengangguk, meski ia agak bingung kenapa Dara tahu nama lengkapnya. "Gue inget terus, tahu, dari zaman daftar nama seangkatan pertama kali keluar waktu MPLS. Soalnya lucu aja."

"Uh... thanks?"

"Nama lo bagus, lho, Wan. Bisa bikin kalimat, kayak Galang Rambu Anarki gitu." Dara geleng-geleng kepala sendiri. "Tapi kok bisa-bisanya, sih, lo mau-mau aja dipanggil Cicak? Cicak kan jelek. Geli gitu. Nggak kayak awan, cantik."

"Nggak tahu, Gapat yang kasih," jawab Awan, mengacu pada Surya menggunakan nama tongkrongannya.

"Kalo kata gue, mending lo nggak usah ikut-ikutan Beki, dah. Geng kagak jelas gitu," Dara berhenti sebentar untuk membalas sesuatu, yang kayaknya penting banget, di ponselnya. "Kalo si Gapat ngajak lo nongkrong di Bekibolang, mending lo kabur aja."

"Nggak bisa," bantah Awan. "Kalau nanti gue nggak punya teman, gimana?"

"Gue mau, kok, jadi teman lo," jawab Dara meyakinkan sambil mengulurkan tangannya, seakan-akan mengajak Awan berjabat tangan. Meski bingung, Awan membalas jabatan tangannya, walau gerakannya masih terbatas. "Lo mau, nggak, jadi teman gue?"


[3] Salah satu dari 4 firma akuntansi terbesar di dunia. 



a/n; yha memang ini cerita agak nggak jelas karena gue nulis ini memang pure buat nyembuhin writer's block. mungkin kelihatan banget yha dari gaya bahasanya yang memang nggak konsisten (which i've only realized after re-reading the entire chapter... lol). nanti kalau udah selesai gue bakal edit cerita ini besar-besaran, kok, jadi tiap kritik ataupun saran sangat welcome! 

wdyt of the story so far? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro