14. Malam di Bendan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yak, tepat 18.00. Udah pada salat maghrib belum? Kalau belum, taruh dulu hpnya, terus ibadah. Habis itu bisa leha-leha baca kisahnya Haryo dan Ni. Jangan lupa kasih jejaknya juga part ini yak. Jumpa Sabtu depannnnn ....

💕💕💕

Haryo hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia menatap Padmini sambil memijit lehernya yang tak pegal. Ular katanya? Batin Haryo mendengkus. Ya, masih baik dipikir ular daripada Padmini menyangka ulat. Setidaknya ukurannya lebih besar.

Bibir Haryo mengerucut. Tawanya pada akhirnya menyembur. Sungguh polos istri mungilnya sehingga Haryo tak tega untuk memaksakan kehendaknya walau sebenarnya Haryo menginginkannya. Dia tahu bahwa berlaku asmara harus ada persetujuan keduanya. Walau sebenarnya Haryo bisa berdalih meminta hak, tapi melihat Padmini yang menunduk dan tak berani menatapnya, Haryo hanya bisa pasrah.

Masih ada hari esok. Begitu pikir Haryo.

Sementara itu, mendengar kekehan Haryo, Padmini perlahan mendongak. Dia bingung kenapa Haryo tertawa, padahal setahu Padmini, dia tidak melucu. "Kangmas …."

Haryo berdeham mendengar panggilan Padmini. "Ya, Diajeng?"

"Apa ada yang lucu?" Padmini meringis.

Kalau sudah seperti ini, Haryo ingin sekali mencubit kedua pipi Padmini. Bagaimana bisa gadis ini sepolos itu padahal pada malam pertama nalurinya bisa terurai dan mampu melambung ke surga dunia ketika Haryo menyentil simpul saraf di dada ranumnya? Sungguh, kalau bisa … Haryo akan membopongnya ke kamar detik ini juga.

"Kamu," jawab Haryo.

Padmini menunjuk dirinya. "Saya?" tanya Padmini dalam bahasa Jawa krama Inggil.

"Iya. Kamu. Siapa lagi di sini selain kita." Haryo menggerakkan dagu.

"Ni kenapa, Kangmas? Ni ndak melucu." Alis Padmini mengerut.

Haryo mengulum senyum. "Kamu … lucu. Tanpa kamu ngomong, kamu lucu dan menggemaskan. Seperti kucing yang ingin Kangmas elus-elus."

Pipi Padmini merona. Dia kembali menunduk seperti putri malu.

"Oh, ya, Ni, apa kamu sudah melakukan nasihat Ibu Karmina?" tanya Haryo mengalihkan pembicaraan.

"Nasihat? Yang mana?" Kepala Padmini meneleng, mengingat semua nasihat Ibu Karmina yang sangat banyak. Mungkin kalau ditulis kembali, Padmini bisa menerbitkan satu sastra petuah ibu.

"Yang suka … tidak suka."

"Ah, yang itu." Mata Padmini membulat lebar. Dia lalu memberikan cengiran lebar dan menggeleng. "Belum."

"Ayo, bereskan dulu makan malam ini setelah itu kita ngobrol di sentong."

Padmini menurut. Dia lalu membereskan alat makan sambil memanggil Mbok Akik. Biasanya ketika Mbok Akik menyuruhnya beristirahat, Padmini menurut. Tapi, kali ini Padmini justru ikut berjongkok di pawon sembari mencuci alat makan.

"Ndoro Ayu istirahat saja." Mbok Akik berusaha mengambil piring blek dari tangan Padmini.

"Ndak pa-pa, Mbok. Lagipula, aku belum ngantuk."

Mbok Akik melirik ke arah Lik Darto yang kebingungan karena kebiasaannya mengisap rokok linting setelah makan urung dilakukan. "Ndoro Haryo sudah menunggu. Ndoro Ayu sebaiknya berbenah. Lagi pula pekerjaan ini bisa dilakukan bujang-bujang. Ada Jinem, Sumi, dan Sri yang bisa mengerjakan."

Padmini menengok ke arah tiga bujang, abdi yang membantu di Ndalem Bendan. Mereka berdiri dengan bingung karena pekerjaannya diambil alih ndoronya.

Mau tidak mau, Padmini mencuci tangannya dan berdiri. Mbok Akik mengikuti dari belakang untuk membantu Padmini menyisir rambut panjangnya sebelum tidur.

Sesampainya di sentong kiwa, kamar yang dikhususkan untuk garwa padmi beristirahat, Padmini mengembuskan napas kasar. Ruangan itu tak terlalu lebar dengan satu lemari, ranjang, dan meja. Awalnya sewaktu di Kadipaten, Padmini memperoleh satu kamar di keputren, tetapi, Haryo menolak karena ingin beristirahat sekamar dengan Padmini. Mau tidak mau, Padmini tidur sekamar dengan Haryo di kesatrian.

Selama sepuluh hari seranjang dengan Haryo, cukup membuat batin Padmini was-was. Untungnya selama di Bojalali, Haryo selalu masuk ke kamar lewat tengah malam dan tidak membangunkan Padmini. Namun, begitu mendapat sentong sendiri saat tiba di Ndalem Bendan seperti sekarang, Padmini menjadi sedikit lega bercampur was-was. Lega karena bisa bebas dari Haryo. Was-was karena bisa saja saat pagi hari, Haryo keluar bersama perempuan lain dari sentongnya. Seperti Romo Soeta yang setiap hari memanggil istri-istrinya bergantian.

"Ndoro, monggo ganti dahulu," ujar Mbok Akik memgeluarkan kain batik dari lemari.

"Mbok, saya bisa sendiri," tolak Padmini halus.

"Ampun, Ndoro. Kawula hanya memastikan bahwa Ndoro terlayani dengan baik." Mbok Akik mengambil sebuah selendang.

"Selendang ini untuk apa?" tanya Padmini waspada.

"Untuk mengganti kemben. Dibebatkan di dada, agar lebih menarik Ndoro Haryo," jelas Mbok Akik.

Seketika Padmini melipat kedua tangannya ke arah dada. Kepalanya menggeleng. "Mbok, Ni ndak mau."

"Ndoro, ini pesan Ndoro selir. Beliau tahu Ndoro Ayu belum berlaku asmara dengan Ndoro Haryo." Mbok Akik maju dan berusaha menurunkan tangan Padmini. "Menurut cerita, kenapa Ndoro selir Partini menjadi wanita yang paling disayang dari seluruh garwa Kanjeng Bupati, itu karena Ndoro selir bisa memuaskan Kanjeng di kasur. Selendang ini sengaja diwariskan pada Ndoro Ayu, menantu dari anak tirinya. Padahal, bisa saja beliau memberikan pada istri Ndoro Suryo kelak."

Padmini melihat selendang yang tipis dan menerawang itu dengan sorot ngeri. Tak ada yang ditutupi dengan memakai kain itu. "Ni … Ni belum siap."

Mbok Akik mendesah. Tak lagi memaksa. "Ndoro, nyuwun pangamputen (minta maaf) sebelumnya. Kawula memang hanya sebagai emban dari Ndoro Haryo. Tapi, kawula sedih bila istrinya seolah menolak beliau. Beliau … beliau …."

Padmini mengernyit menatap Mbok Akik yang menunduk dengan punggung bergetar. "Kangmas Haryo kenapa, Mbok?"

Tak ada jawaban dari Mbok Akik. Dia hanya menarik napas dan mengembuskannya. Ditatapnya Padmini lekat-lekat. "Jangan menolak Ndoro Haryo, Ndoro. Simbok berharap, Ndoro Ayu bisa menjadi konco wingking yang mendukung Ndoro Haryo."

Percakapan mereka terhenti saat mendengar derik pintu yang terbuka. Rasanya jantung Padmini ingin lepas ketika sosok jangkung dengan setelan beskap hitam dan jarik itu mendatangi kamarnya. Seketika Mbok Akik duduk bersimpuh di lantai dengan kedua tangan tertangkup di depan hidung.

"Kamu masih di sini, Diajeng. Aku menunggu di sentong tengen dari tadi."

Pipi Padmini memerah. "Maaf, Kangmas. Ni … Ni …."

"Simbok boleh keluar. Malam ini aku akan tidur di sini kalau begitu."

"Baik, Ndoro." Mbok Akik berjongkok dan keluar dengan gerakan mundur hingga akhirnya pintu sentong kiri kembali tertutup, menyisakan Haryo dan Padmini di ruang mungil itu.

"Diajeng …." Haryo mulai membuka suara. Dia berjalan menuju meja tulis yang terdapat dua kain. Yang satu tipis, sedang yang lainnya hanya kain batik ukuran separuh. "Ini?"

Wajah Padmini seperti terbakar. Dia takut Haryo berpikiran dia akan menggodanya. Segera Padmini merebut kain-kain itu dan menyembunyikan di bawah kebayanya. Dia lalu duduk bersimpuh di lantai sambil menyembah Haryo.

"Ampun, Kangmas! Ini … ini pemberian Yu Partini."

Haryo mengernyit. "Yu Partini?" Haryo lalu berjongkok dengan lutut kiri menumpu ke lantai. "Coba keluarkan?"

Tangan Haryo menengadah. Dia sedikit membungkuk berusaha melihat wajah Padmini yang menunduk. "Diajeng …."

Padmini justru menggeleng. "Ini … ini ndak penting, Kangmas."

"Kalau ndak penting, kenapa kamu sembunyikan?" kejar Haryo.

Padmini gelagepan. "Ini … hanya untuk perempuan."

"Diajeng …." Suara dalam Haryo membuat kuduk Padmini bergidik. "Jangan uji kesabaran Kangmas."

"Kangmas …." Padmini memeluk perutnya yang menggelembung karena buntalan kain itu.

"Apa yang ndak Kangmas sukai. Nomor satu adalah Diajeng menyimpan ra-ha-si-a. Paham?"

Padmini mengerjap. Jelas dia paham dan apa yang dia pahami membuatnya dilema. Kalau ia mengeluarkan kain irit itu, Padmini takut Haryo menganggapnya seperti wanita murahan. Seingat Padmini, dulu ada seorang penari yang menjadi gundik Romo Soeta suka memakai baju minim bila hendak melayani mertuanya. Sepertinya, apa yang dilakukan gundik itu dilakukan juga oleh Yu Partini. Di sisi lain, bila Padmini tetap menyembunyikan, Haryo bisa marah karena Padmini memilih melakukan apa yang tidak disukai Haryo.

Dengan berat hati akhirnya Padmini mengeluarkan kain yang dia sembunyikan. "Ini, Kangmas."

Haryo mengambil kain itu lalu membentangkan kain selendang merah yang tembus pandang. Walau kain itu berada di depan wajahnya, dia masih bisa melihat Padmini dengan jelas. Seketika matanya mengerjap. Otaknya berkelana membayangkan tubuh mungil itu dibungkus kain yang dia pegang.

Perlahan Haryo menurunkan tangannya. Diamatinya Padmini yang sudah menunduk, seperti putri malu yang menguncup. "Ini … punyamu, Diajeng?"

Padmini mengangguk … tapi setelah itu menggeleng.

"Iya atau bukan?" tanya Haryo dengan alis mengerut.

"I … itu pemberian Yu Partini. Ja-jadi … sekarang jadi punya Ni," cicit Padmini dengan wajah yang memerah seperti kepiting rebus.

Dagu Padmini ditarik Haryo sehingga wajahnya terangkat. Bola matanya bergulir tak fokus, menghindari tatapan tajam sang suami.

"Aku menunggu kamu memakai ini. Tapi ndak malam ini. Nanti … kalau kamu sudah siap." Haryo tersenyum tenang. Dia lalu mendekatkan kepalanya ke daun telinga Padmini. "Pasti kamu akan terlihat … sensual?”

Bisikan yang mengetuk gendang telinga Padmini membuat gadis itu bergidik. Tubuhnya semakin membeku karena embusan napas Haryo menggelitik kulitnya. Ingin rasanya Padmini melebur seperti es mencair dan terserap tanah saking malunya. Apalagi kebiasaan Haryo seperti anjing pelacak yang mengendus lehernya kembali kumat.

"Kang … mas …." Suara Padmini bergetar, mencengkeram bahu kekar Haryo.

Haryo menegakkan tubuh. Kedua alisnya terangkat. "Ayo, kita tidur. Besok Kangmas harus mulai bekerja lagi."

Padmini lalu menurut dan naik ke atas ranjang. Dia berbaring di sisi dalam dengan Haryo yang memosisikan diri tidur di bagian luar setelah memasang kelambu untuk menghindari nyamuk dan hawa dingin. Keduanya sama-sama terlentang, menatap kelambu yang menjadi atap ranjang mereka dengan sinar temaram dari lampu minyak yang sengaja diredupkan.

"Diajeng …." Suara dalam Haryo memecah kebisuan.

"Nggih, Kangmas."

Haryo berdeham dan diam sejenak. Karena percakapan terjeda, Padmini harus menoleh menatap Haryo. "Besok … Kangmas sudah mulai bekerja lagi."

Padmini hanya mengangguk, tanpa suara.

"Hal yang Kangmas ndak suka lainnya adalah kalau ada orang yang mencampuri pekerjaan Kangmas."

Padmini mengernyit. "Akan Ni ingat, Kangmas."

"Pekerjaan Kangmas kadang ndak disukai banyak orang, Diajeng. Kamu jangan keluar sendiri tanpa ditemani Mbok Akik. Paham?" Ada penegasan pada kata terakhir yang diucapkan Haryo.

Padmini mengerutkan alis. "Kenapa Kangmas berkata begjtu? Bukannya seorang panewu menjadi sahabat terdekat wong cilik sehingga seharusnya dicintai banyak orang dari berbagai kalangan?"

Haryo memutar tubuh, menghadap Padmini. Tangan kanannya yang terlipat diangkat ke bawah kepala untuk dijadikan bantal. Dia menyentil kening Padmini. Suara serak Padmini yang mengaduh disambut kekehan Haryo. "Diajeng, Kangmas serius. Cukup berjanjilah pada Kangmas kalau kamu akan bersama Mbok Akik atau Jinem. Jangan sekali-kali keluar sendiri. Kecu merajalela. Beberapa hari Kangmas ndak ada di sini, sekelompok Kecu menjarah panen tebu milik Meneer Tabeling."

Tatapan Haryo yang tajam, membungkam mulut Padmini. Padahal Padmini ingin Haryo menjawab pertanyaannya. Akhirnya yang keluar hanya anggukan tanda setuju. Dia buru-buru meluruskan kembali kepalanya karena jantungnya kembali meronta saat ditatap Haryo.

"Diajeng …," panggil Haryo lembut.

"Nggih, Kangmas." Suara Padmini tercekat. Tubuhnya kaku karena jemari Haryo sudah mengelus lembut pipinya hingga kuduknya merinding.

"Apa yang ndak kamu sukai?" tanya Haryo sambil memandangi profil wajah Padmini.

"Ehm, apa ya?" Bibir Padmini mengerucut. "Apa Ni ada hak untuk ndak suka pada sesuatu?"

Haryo mengernyit. Dia mulai hafal kebiasaan Padmini yang selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain. "Maksudnya?"

Padmini menggigit bibir. Dia ingin jujur, kalau dia tidak suka dengan ide pernikahan ini. Namun, tentu dia tidak akan mengutarakannya. “Ya, bagaimanapun Ni harus menyukai apapun yang Ni hadapi? Seperti dulu saat Ni harus dikeluarkan di sekolah.”

Haryo tak menjawab. Dia justru mendekatkan kepalanya dan mengecup pelipis Padmini. “Ya. Terkadang dalam hidup, ada banyak hal yang harus tidak menyenangkan kita alami. Mau tidak mau kita harus belajar menyukainya.”

Kata-kata Haryo itu memancing Padmini memutar badannya. Suara dalam itu seolah magnet yang menarik perhatiannya. "Apa Kangmas pernah mengalami hal yang ndak menyenangkan?" Lagi-lagi Padmini tak bisa membendung kata-katanya.

Haryo mengangkat alis kirinya. "Menurut Diajeng?"

"Menurut Ni, Kangmas ndak pernah mengalami kepahitan seperti yang Ni alami. Kangmas lahir sebagai putra sulung dari garwa padmi yang mendapat  pendidikan layak. Tak ada alasan Kangmas mengalami hal yang tak menyenangkan," ujar Padmini.

Haryo tersenyum lebar hingga mata sayunya menyipit. Jari tangan kirinya mengusap lembut pipi kanan Padmini. "Diajeng, urip kui wang sinawang (Hidup itu saling melihat). Apa yang kamu lihat, belum tentu itu yang terjadi."

Padmini mengernyit. Dia tahu ungkapan itu, tapi tak bisa menebak apa maksudnya. Apakah mungkin yang dia lihat dan pikirkan itu tak sesuai dengan kenyataannya?

"Sudah malam. Ayo, kita tidur. Kangmas sudah mengantuk." Masih dalam posisi miring saling berhadap, Haryo menutup matanya setelah mengecup kening sang istri.

Sementara itu, Padmini yang masih penasaran, akhirnya harus menahan rasa ingin tahunya. Gadis itu memandangi wajah Haryo yang berjarak satu jengkal darinya. Embusan napas manis itu menyapu dagunya. Dia mengamati dengan detail setiap lekuk wajah yang selama ini tak berani dia pandang. Perlahan tapi pasti, jantung Padmini berdetak kencang saat matanya menatap hidung yang menjulang di wajah berahang tegas itu. Dalam hati, gadis itu menyadari satu hal.

Suaminya ternyata … ganteng!

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro