19. Kekhawatiran Haryo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa kali Haryo melirik ke arah jam bandul yang tergantung di salah satu dinding ruangan kerjanya. Tumpukan kertas yang sedang dikerjakan, akhirnya dia rapikan dan ditumpuk di meja yang lain. Sejak kemarin, laki-laki itu menjadi sangat bersemangat dengan jam makan siang. Dia sudah tak sabar menanti Padmini dan makanan apa yang dibawa istrinya siang ini karena perutnya sudah keroncongan. Energi dari sarapannya sudah terkuras untuk memutar otak menghadapi masalah di daerah yang dia pimpin.

Sudah setengah jam berlalu dari waktu zuhur. Sambil menanti, Haryo membaca buletin Taman Pewarta terbitan Samanhudi—-seorang saudagar batik Laweyan yang mendirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1905. Sebuah berita dalam bahasa Jawa-Melayu yang menjadi tajuk rencana di halaman pertama membuat alis Haryo mengernyit tajam. Dia membaca kabar yang menyebutkan peristiwa perkecuan yang terjadi seminggu lalu di wilayah distrik Banyoedono. Dia tak menyangka kejadian saat dia tak ada di tempat itu, tercium oleh jurnalis Taman Pewarta yang bisa eksis selama enam tahun sejak 1902. Diremasnya kertas koran enam halaman itu hingga pembuluh darah di punggung tangannya mononjol. Wajahnya memerah karena geram dengan ketidakbecusan anak buahnya dalam menjaga keamanan lingkungan. Selain itu, terselip kekhawatiran bahwa ada orang yang sengaja ingin menjatuhkan citranya di mata Residen Soerakarta, karena semua peristiwa itu sepertinya direncanakan dengan rapi.

Di saat Haryo di puncak kekesalannya, ketukan pintu yang memburu terdengar. Haryo mengira Padmini sudah datang. Namun, saat dia mempersilakan orang yang mengetuk masuk, ternyata yang tampak adalah Supri yang berjalan jongkok dengan cepat menghampirinya.

"Ada apa?"

"Ampun, Ndoro." Lelaki berwajah bulat yang menjadi salah satu pegawai di kantor kapanewon itu mengangkat tangannya. "Ada laporan kecu lagi di kebun yang dikontrol Meneer Krul."

"Apa?" Suara Haryo meninggi. Kepalan tangan yang meremas surat kabar Taman Pewarta itu makin kencang. Wajahnya sontak memerah dengan urat yang berdenyut di pelipis. "Bagaimana bisa? Apa saja kerja kalian?"

"Ampun, Ndoro. Masalah kecu ini makin meluas saja sejak Ndoro membuat irigasi untuk beberapa perkebunan swasta di daerah Pengging." Laki-laki bertubuh gemuk besar itu takut-takut membela kawannya di bagian keamanan.

"Di mana Parno sekarang?" tanya Haryo dengan dada kembang kempis. Perut yang sempat keroncongan terlupakan karena kasus kecu yang selalu bisa memantik emosinya.

"Dia sudah ada di sana, Ndoro."

Haryo lantas berdiri. Dia menghela napas sejenak untuk menetralkan perasaan yang meluap-luap. Dalam pikirannya, dia akan mengamuk dan mencaci maki bawahannya yang tak becus bekerja, bila menemukan Parno nanti. "Ayo, kita pergi."

Supri menurut, mengikuti titah atasannya. Badan gempalnya berjalan di belakang Haryo sehingga mereka persis angka nol dan satu bila dilihat dari jauh. Langkah Haryo yang panjang membuat Supri terengah mengikuti panewunya. "Siapkan sepedaku!" seru Haryo dengan suara keras pada tukang kebun yang ada di situ.

Sudip yang tengah berjongkok dan mencabuti rumput di tepian pendopo mendongak. Alih-alih segera melakukan perintah Haryo, dia hanya melongo dengan arit yang masih di tangan.

"Dip, siapkan sepeda Ndoro Panewu." Dengan tergopoh Supri menghampiri Sudip dan mengangkat laki-laki yang konon katanya lambat berpikir karena pernah jatuh dari tebing.

"Se-sepeda?" Sudip tergagap.

Haryo menggeram. Sepertinya hari ini banyak hal yang membuatnya ingin mengamuk. Dengan perut kosong dan cuaca terik, menjadi paket lengkap yang seolah semakin ingin memperkeruh suasana hatinya. "Yo wes, yo wes (Ya sudah, ya sudah), biar aku ambil sendiri. Nunggu kamu jalan, besok baru berangkat!" sarkas Haryo sambil mengayunkan kaki menapak halaman berdebu.

Dengan langkah memburu, Haryo mengambil sepedanya sementara Supri berlari tergopoh mengambil sepedanya sendiri hingga perut besar di balik beskap luriknya bergoyang. Dua orang itu mengayuh sepeda keluar dari pekarangan depan kantor kapanewon. Namun, baru beberapa meter roda sepeda mereka menggelinding di jalanan berkerikil, dari jauh dia melihat sosok gadis yang terduduk di pinggir jalan.

Haryo memicingkan mata, memastikan yang dilihatnya betul Padmini. Merasa yakin dengan penglihatannya, dia mempercepat kayuhan sepeda hingga akhirnya kedua kakinya mengerem laju sepeda ketika sudah dekat dan akhirnya berhenti tepat di depan Padmini yang merintih.

"Diajeng?" Haryo melompat turun dari sepeda dan menurunkan standar dengan tergesa. Saking terburu-buru, penyangga sepeda itu belum stabil sehingga badan sepeda ambruk begitu saja. Haryo tak menghiraukan sepedanya. Dia memilih menghampiri sang istri.

Padmini mendongak. Wajahnya sudah basah dengan mata memerah. "Kangmas ...."

Tangis Padmini pecah, seperti anak kecil tersesat yang jatuh. Haryo lalu berjongkok dengan lutut kanan menumpu tanah. Belum sempat mulutnya terbuka, tubuh mungil itu memeluknya erat. Sangat erat hingga Haryo terjengkang ke belakang.

"Diajeng, kenapa kamu duduk di pinggir jalan?" tanya Haryo mengelus-elus punggung istrinya. Pipinya memerah ketika ada beberapa orang yang kebetulan lewat melihatnya. Dia tersenyum tanggung dengan bingung dan canggung karena Padmini sekarang menempel seperti lintah di jalan. DI tengah hari yang terik.

"Diajeng, ayo berdiri," bisik Haryo pelan. Dia mendorong badan Padmini hingga pelukan mereka terurai.

Gadis remaja itu masih sesenggukan. Bahunya bergetar, dengan wajah yang kotor karena tertempel tanah dan pasir.

"Di mana Jinem atau Mbok Akik?" Haryo memandang berkeliling sambil membersihkan air mata serta kotoran di muka Padmini.

Padmini menunduk, menyembunyikan wajah bersalah. Kepalanya menggeleng. "Tadi ... tadi Ni memaksa keluar sendiri."

Alis Haryo mengerut, membentuk tiga guratan di pangkal hidung. Geraman suaranya membuat Padmini semakin menciut nyalinya. "Kangmas 'kan sudah beritahu supaya kamu keluar dengan mereka! Sekarang lihat apa yang terjadi?" Haryo mendengkus. Niatnya untuk pergi ke kebun tebu Meneer Williem seperti harus urung dia lakukan. Dia lalu bangkit dan menunduk untuk membantu Padmini berdiri.

Namun, saat lengan Padmini diangkat Haryo, gadis itu merintih. Gadis itu membungkuk, memegang pergelangan kakinya. Haryo pun kembali menurunkan tubuh dan memeriksa kondisi tungkai Padmini. Permukaan sisi luar kaki Padmini terdapat luka lecet. Ketika Haryo memegang pinggiran luka, gadis itu semakin meringis.

Haryo menggigit sudut bibir, melihat sekeliling. Tak jauh dari mereka berada, sandal yang dipakai sang istri terlihat putus talinya, sehingga Haryo menduga otot Padmini terkilir. Tak ingin membiarkan Padmini duduk di tanah lebih lama, Haryo lantas memosisikan lengan kanannya di bawah lutut Padmini dan tangan kanan pada punggung. Dengan sekali tarikan napas, Haryo mengangkat raga kecil itu hingga kaki istrinya melayang di udara. Padmini sontak terpekik. Tangisnya seketika terhenti, berganti wajah yang mirip seperti tomat matang.

"Kangmas, turunkan!" Padmini memukul dada kekar Haryo, tapi tak dihiraukan oleh lelaki itu.

"Diajeng, kamu diam saja." Haryo kemudian berbalik, berbicara kepada Supri. "Supri, tolong tegakkan sepedaku. Aku akan mendudukkan Ndoro Ayu di sadel boncengan."

Supri segera menjalankan permintaan Haryo. Laki-laki berkumis tebal itu mengangkat sepeda hingga berdiri tegak. Dengan hati-hati, Haryo mendudukkan Padmini di boncengan belakang. "Pri, jaga jangan sampai oleng."

Setelah memastikan Padmini duduk dengan nyaman di belakang, Haryo lalu meraih setang dan mulai duduk di atas sadel dengan kaki panjangnya yang bisa menapak tanah. "Pegangan Kangmas, Diajeng!" seru Haryo menoleh ke belakang. Kemudian dia berkata pada Supri, " Wes (Sudah), Pri, kamu bisa lepas peganganmu."

Lagi-lagi Supri hanya menurut, melepas pegangannya begitu memastikan Haryo sudah bisa menguasai sepedanya.

Sebelum Haryo mengayuh pedal sepeda, dia berkata, "Pri, kamu ke kebun Tuan Krul. Aku akan mengantar Ndoro Ayu pulang dulu."

"Nggih, Ndoro."

Kaki kanan Haryo kemudian memutar pedal sepeda hingga roda mulai bergerak kembali. Tubuh Padmini tertarik ke belakang saat sepeda bergerak maju tanpa aba-aba. Seketika tangan Padmini melingkar pinggang Haryo karena ini kali pertama Padmini membonceng sepeda.

"Kangmas, pelan-pelan!" Tangan Padmini semakin erat memeluk tubuh kekar Haryo. Matanya terpejam dengan erat.

Haryo menunduk, menatap tangan gadis muda yang mencengkeram beskapnya. Bahkan otot perut Haryo ikut teremas kuat dan punggung kekarnya bisa merasakan tonjolan saat tubuh Padmini menempel. Seketika Haryo tersenyum simpul. Jantungnya berdebar dengan kencang karena baru kali ini juga dia memboncengkan seorang gadis. "Kamu belum pernah membonceng sepeda, Diajeng?"

"Dereng nate (Belum pernah), Kangmas. Ni dipingit, jadi ndak bisa pergi ke mana-mana. Lagipula Ni selalu pergi dengan dokar." Padmini masih memejamkan matanya. Dia bahkan menyembunyikan wajah di punggung Haryo.

"Kalau begitu, nanti Kangmas akan mengajak kamu berkeliling dengan sepeda. Kamu mau?" Haryo masih mengayuh sepedanya. Tubuh Padmini yang kecil tidak menjadi beban untuknya. Sejenak dia melupakan kegusarannya karena masalah kecu yang akhir-akhir ini semakin merajalela.

"Mau, Kangmas. Asal sama Kangmas, Ni mau diajak ke mana saja."

Senyuman lebar terbit di wajah Haryo saat mendengar jawaban sang istri. Sayangnya, dia harus memutar kemudi ke kanan, sehingga membuat laju sepeda berbelok dan masuk ke halaman rumah yang luas. Bel sepeda sengaja Haryo bunyikan untuk memberi tanda kedatangannya.

Tak lama kemudian, Lik Darto datang tergopoh dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. "Ndoro sudah pulang?" Lik Darto tak bisa menyembunyikan nada keheranan. Sejak awal Haryo menjabat sebagai panewu tiga tahun lalu, pada tahun 1905, tak pernah sehari pun lelaki itu pulang lebih awal. Yang ada dia justru akan kembali ke rumah pada sore hari.

"Iya. Ndoro Ayu jatuh."

"Jatuh? Jatuh dari mana?" Lik Darto memberondong tuannya dengan pertanyaan.

Alih-alih menjawab, Haryo justru bertitah, "Lik, tolong pegang sepedanya." Haryo turun setelah memastikan Lik Darto melakukan perintahnya. Dia lalu berjalan ke belakang sepeda dan membopong kembali Padmini.

Saat masuk melalui pendapa, Jinem dan Mbok Akik datang menyambut. Wajah mereka memucat melihat kondisi Padmini yang kotor dan terluka, digendong oleh Haryo yang tampak berpeluh.

"Gusti Allah! Ada apa ini?" Mbok Akik ikut berjalan membuntuti Haryo menuju pringgitan, ketika lelaki itu melaluinya.

"Ndoro Ayu jatuh. Kenapa kalian membiarkan dia pergi sendiri?" jawab Haryo ketus.

Mendengar nada suara Haryo, Padmini merasa bersalah pada kedua abdinya. "Kangmas ... Ni yang salah. Ni yang maksa pergi sendiri."

"Walaupun begitu, tetap saja harusnya mereka ndak membiarkan kamu keluar sendirian." Haryo tetap merasa kedua abdinya yang bersalah. "Buka, Nem!"

Dengan sigap, Jinem membuka pintu sentong kiwa dan memberi jalan agar Haryo masuk lebih dulu. Setelah membaringkan Padmini di bibir ranjang, Haryo meminta Jinem dan Mbok Akik menyiapkan air baskom serta handuk kecil.

"Kamu nekat, Diajeng." Pada akhirnya Haryo kembali membuka suara sambil mengamati luka Padmini, setelah Mbok Akik dan Jinem keluar dari kamar.

"Maaf, Kangmas. Ni ndak akan mengulangi lagi." Tangis Padmini kembali pecah. Dia mengusap matanya berulang kali seperti anak kecil yang takut dimarahil.

Haryo mendesah panjang. Dia tidak mungkin menyampaikan kabar bahwa di distrik ini sedang tidak aman. Laki-laki itu khawatir Padmini akan menganggapnya tidak melakukan tugas dengan baik.

"Yang penting, jangan kamu ulangi lagi. Urusan Kangmas banyak. Jadi, kamu harus bisa menjaga diri dengan baik. Jangan berkeliaran. Ngerti kowe (Paham kamu)?"

Haryo bangkit. Dia memutuskan hanya akan membersihkan saja luka Padmini karena menganggap lukanya tak serius dan hanya lecet saja sehingga tak perlu memanggil dokter di Bojalali atau di pabrik gula Bangak. "Lukamu ndak pa-pa. Mungkin ototmu yang keseleo." Haryo membuka pintu lemari dan mengeluarkan salah satu kebaya karena yang dipakai Padmini sekarang robek dan kotor.

"Kamu itu ... kalau jadi istri harus manut suami." Haryo kembali duduk. Khotbahnya berlanjut, menasihati istrinya. Tangan laki-laki itu menjulur, hendak mengurai benik kebaya Padmini.

"Kangmas ...." Padmini menahan tangan Haryo.

"Kangmas bantu ganti kebayamu." Haryo menurunkan tangan Padmini. Namun, sejurus kemudian dia menyadari perhiasan yang tersemat di leher sang istri. "Kamu ... pakai kalung mutiara? Untuk apa?"

Padmini menggigit bibir. Dia menunduk menyembunyikan raut bersalah. Kalung itu merupakan salah satu hadiah peningset sewaktu lamaran. Seharusnya hanya dipakai untuk acara khusus saja.

"Diajeng ...." Haryo menggeram.

"Maaf, Kangmas. Tadi Mbakyu Mirah ke sini. Dia mengajak Ni jalan-jalan."

Alis Haryo mengerut. "Soemirah?" Hanya ada satu nama Soemirah yang dia kenal. Gadis Mas Rara yang berbakat berjual batik dari Laweyan. "Ada perlu apa dia ke sini? Biasanya hanya hari Minggu dia ke rumah. Dia tahu Mas ndak suka diganggu saat bekerja."

Batin Padmini tercubit. Berarti obrolannya dengan Mirah tadi ada benarnya. Hubungan Mas Rara itu cukup dekat dengan sang suami.

"Ehm, dia teman Ni. "Kami kenal dari dulu. Dia menyukai batik buatan Ni sehingga berniat menjualkan. Hari ini dia mengantar uangnya." Padmini mengambil buntalan sapu tangan dari selipan stagennya, lalu membukanya. "Ini."

Haryo mengerjap. Lembaran uang gulden itu tergulung di atas selembar sapu tangan bersama gulungan yang lain. Haryo menduga Padmini memisahkan uang belanja dengan uangnya hasil batiknya. "Simpan saja uangmu. Jangan kamu gunakan. Masih ada Kangmas yang bisa mencukupi kebutuhanmu. Sekarang lepas kebayamu dan ganti dengan kebaya ini."

Padmini meletakkan sapu tangan dan gulungan uang itu di permukaan kasur di sebelah dia duduk. Dia menunduk sambil melepas beniknya dengan tangan bergetar. Tatapan mata Haryo yang intens membuat dadanya bergemuruh kencang. "Kangmas jangan lihat seperti itu ...."

"Lihat bagaimana?" Haryo terkesiap. Padahal saat itu pikirannya melalang buana karena memikirkan tempat tinggal mereka tidak aman untuk sang istri.

"Seperti itu. Ni malu." Pipi Padmini tak bisa berbohong karena sudah memerah.

Haryo terkekeh. "Kenapa malu? Menjadi garwa, sigaraning nyawa atau belahan jiwa, ndak melihat ketelanjangan karena mereka sudah satu jiwa. Apa kamu masih menganggap Kangmas ini orang lain, Diajeng?"

💕Dee_ane💕

Sudah ngeklik bintang? Sudah komen? Authornya kembali nyungsep siap nulis buat part lanjutannya

Fakta di Balik Fiksi

Gaes, tahukah kamu sama Samanhudi yang aku sebut di atas? Yup! Beliau adalah K.H Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam pada tahun 1905. Sebelum mendirikan organisasi ini, beliau menerbitkan sebuah buletin berisi enam halaman dengan judul Taman Pewarta pada tahun 1902. Buletin ini terbit setiap tiga kali seminggu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro