28. Jejak Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berhubung aku hutang banyak banget di project ini, dan tertinggal jauh dari temen-temen, maka aku kudu ngebut nih >.< Semoga nggak bosen ya. Emang pacenya rada lambat karena kalau kecepetan takut feelnya nggak dapat. Mohon maaf bila cerita ini banyak kekurangannya. Jangan lupa kasih jejak2nya ya. Sayang kalian, Deers😘

💕💕💕

Tubuh Padmini melayang dalam bopongan lengan kekar Haryo. Dengan sangat berhati-hati, seolah membawa kristal yang berharga, Haryo membaringkan Padmini di atas ranjang mereka. Jantung Padmini yang sudah bergemuruh, semakin kencang degupnya karena tatapan teduh Haryo. Dia hanya bisa memasrahkan diri pada tuntunan sang suami.

"Kamu percaya Kangmas, Diajeng?" tanya Haryo yang masih duduk di tepi ranjang sambil membelai pipi Padmini yang sudah semerah tomat matang.

Padmini mengangguk lemah. Dia menggigit bibir sambil mencengkeram kain baju kebaya yang dia kenakan untuk meredam dada yang kembang kempis.

Melihat reaksi Padmini, Haryo tersenyum simpul. "Kangmas ndak akan pernah lagi menyakitimu."

Padmini hanya diam. Lidahnya kelu karena yang sekarang dia dengar hanya detakan jantung mendobrak rusuk. Terlebih saat wajah Haryo semakin mendekat, gadis itu lantas memejamkan mata agar Haryo tidak melihat kegugupan yang terpancar dari matanya.

Bibir Padmini kini terasa basah oleh cecapan lembut yang membuat gelenyar di sekujur tulang belakang. Wangi manis aroma napas Haryo lambat laun menenangkannya. Belum lagi usapan tangan Haryo di kepala, seolah mengatakan bahwa Padmini akan aman dalam rengkuhannya.

Ciuman Haryo pelan, tak menuntut. Lelaki itu terlihat sekali menahan gairahnya yang sebenarnya sudah meletup agar tidak membuat Padmini tak nyaman. Ya, sepertinya Haryo sudah mempelajari beberapa serat tentang asmaragama yang mengatakan bahwa berlaku asmara tidaklah boleh terburu-buru.

Perlakuan Haryo pada tubuh Padmini mampu mengikis nalar gadis itu dan menguak naluri purbanya. Rasa malu itu menguap pelan berganti dengan keberanian Padmini untuk membalas setiap kecupan Haryo. Bahkan gadis itu tidak menyadari Haryo sudah melucuti kebayanya. Kalau saja kemben yang dia pakai itu tidak menyulitkan Haryo saat mengurainya, Padmini pasti masih terlena dengan belaian sang suami.

Seiring dengan dengan kemben yang sudah lepas membebat badannya, kini raga Padmini sudah tak lagi dilapisi benang sehelai pun. Entah kenapa, saat Haryo memandangi lekuk tubuhnya dengan penuh damba, Padmini merasa menjadi wanita paling cantik di dunia. Padmini bahkan tidak melihat ketelanjangannya, karena merasa bahwa laki-laki di depannya adalah separuh nyawanya. Bagian dari hati dan tubuhnya.

Haryo lalu melepas pakaiannya, menguak ukiran otot perut yang membuat Padmini kagum. Namun, kali ini pandangan sayu Padmini menangkap sebuah bekas luka di bagian pinggang bawah kiri Haryo. Selama ini dia jarang melihat tubuh Haryo bertelanjang dada. Saat memakaikan beskap dan kain jarik pun, Haryo sudah mengenakan kaus putih.

"Kangmas, ini?" Padmini menegakkan tubuhnya dengan menaikkan kain kemben untuk menutup dada polosnya. Tanpa sadar tangan Padmini terulur dan mengusap bekas luka bakar itu.

"Luka bakar." Haryo menatap tangan Padmini yang mengelus pelan bekas lukanya. Baru kali ini, ada orang lain yang mengusapnya. "Kamu takut?"

Padmini menggeleng. "Pasti dulu sakit sekali."

Haryo terkekeh. "Iya. Tapi Kangmas puas karena pada akhirnya kamu selamat dan untungnya bukan kamu yang mendapat luka ini."

Alis Padmini mengerut. "Ni selamat?"

"Kamu lupa peristiwa kebakaran di Ndalem Wiryokoesoeman? Saat itu ada anak perempuan yang membatik di ruang belakang sampai ketiduran hingga ndak sadar ada kebakaran. Saat itu, Kangmas sedang menginap di sana dan malam itu, karena tidak bisa tidur, Kangmas mencari angin. Saat melihat asap dan jilatan lidah api dari dalam, Kangmas langsung berlari karena mendengar suara gadis kecil yang terbatuk-batuk. Tanpa pikir panjang, Kangmas mendobrak pintu dan menemukan kamu." Haryo mengusap lengan Padmini dan menangkup pipi Padmini. Mata Padmini sudah memerah dan kini melelehkan bulir bening saat mendengar cerita yang selama ini tidak pernah gadis itu tahu. "Beruntung Kangmas datang pada saat yang tepat karena atap yang mau ambruk itu akhirnya ndak mengenaimu."

"Tapi justru mengenai Kangmas karena Kangmas melindungi Ni?" tebak Padmini dengan suara sengau. Air matanya sudah semakin deras mengalir di pipi.

"Kangmas rela. Yang penting kamu selamat ... ya kita berdua selamat." Haryo tersenyum sendu yang justru membuat bahu Padmini semakin bergetar naik turun. Laki-laki itu lalu memeluk Padmini dan mengecup lembut kepala Padmini.

"Kenapa ndak ada yang cerita sama Ni? Setahu Ni selama ini, Kangmas Damar yang menyelamatkan Ni."

"Iya. Kangmas yang minta Damar agar ndak cerita. Ndak enak karena seharusnya Kangmas sebagai tamu ndak seharusnya berkeliaran malam-malam. Lagipula saat itu kamu kan dipingit. Kangmas ndak ingin ada rumor yang ndak enak karena tiba-tiba kita bertemu di malam hari. Kangmas tahu kamu sering digunjingkan sebagai anak bangsawan yang disingkirkan." Haryo mengusap punggung Padmini.

Hati Padmini tercubit. Dia tidak menyadari bahwa selama ini Haryo begitu dekat dengannya. Pantas saja saat Padmini tertidur di kamar untuk membatik malam itu, Haryo terlihat tak nyaman pada pagi harinya. Sungguh, Padmini merasa menjadi wanita yang lemah dan tidak bisa diandalkan karena sejak awal sudah berlindung di bawah rengkuhan lelaki dewasa di hadapannya.

Padmini menghela napas panjang. Kini, tidak ada alasan baginya untuk menyerah. Jejak perhatian Haryo yang tertoreh di tubuhnya, menjadi tanda bahwa mereka secara tidak langsung telah terhubung sejak dahulu.

Aktivitas mereka pun berlanjut. Ciuman dan belaian Haryo yang lembut di bagian tubuh sensitifnya perlahan membuat Padmini melambung ke awang-awang. Badannya terasa ringan saat madu dari liang tubuhnya terus mengalir. Layaknya kumbang yang hinggap di kelopak bunga, Haryo menyesap madu manis yang semakin membuat Padmini bergoyang laksana setangkai bunga yang menari tertiup angin. Padmini kini hanya bisa merintih dan menggigit erat bibirnya agar desahannya tak menggaung di malam sunyi.

Hawa dingin Bendan yang menyusup dari kisi-kisi jendela tak mampu mendinginkan raga berpeluh kedua insan yang saling merengkuh. Terlebih Padmini yang tenaganya mulai terkuras karena beberapa kali dilambungkan Haryo ke surga dunia yang membuatnya melupakan segala kepenatan. Hingga akhirnya lelaki yang mengungkung tubuhnya itu menarik badannya sambil menatap gadis yang terengah selepas digulung pelepasan.

"Diajeng, kamu siap menjadi satu dengan Kangmas?" tanya Haryo sambil menyeka peluh di kening Padmini.

"Kangmas adalah garwanya Ni. Ni rela menjadi belahan jiwa Kangmas."

Haryo menarik bibirnya dan mendaratkan ciuman di kening sang istri. "Berdoalah dalam hati karena apa yang kita lakukan ini ibadah. Semoga benih Kangmas yang akan menyemai rahimmu dikehendaki Gusti Allah menjadi manusia baru."

Padmini hanya mengangguk lemah karena sejatinya badannya sudah sangat lelah. Hanya saja dia berusaha menguatkan diri agar bisa melayani suami untuk membuktikan kesungguhannya.

Namun, nyatanya, menjadi dewasa itu menyakitkan. Menjadi wanita dan istri yang sepenuhnya perlu kerendahan hati untuk menerima segala rasa yang diberikan. Menelan semuanya agar rasa sakit itu berubah menjadi surga seperti yang dijanjikan Haryo.

Padmini mengencangkan rahang berusaha menahan nyeri yang mulai menyerang saat perlahan-lahan Haryo memasukinya. Rasa sakit yang seolah ingin mencabik ototnya itu, membuat Padmini menitikkan air mata.

"Diajeng, apa kamu kesakitan?" Haryo tak tega karena rona Padmini perlahan memudar. Apalagi istrinya terlihat menahan sakit sampai menitikkan air mata.

"Kangmas, kenapa sakit sekali? Rasanya ndak seperti tadi? Apa Kangmas salah jalan?"

Alis Haryo mengerut. "Salah jalan?" Dia menunduk, memastikan apa yang dia arahkan sudah benar pada posisinya. "Sudah benar, Diajeng. Ndak mungkin salah. Bagaimanapun insting Kangmas paham lubang mana yang harus dimasuki. Apa kita tunda sajakalau memang kamu kesakitan?"

"Ndak, Kangmas. Ni ... Ni kuat." Padmini berusaha tersenyum meski sekujur tubuh serasa terkoyak. Walau tadi Haryo sudah mempersiapkan raganya agar bisa menerima saat penyatuan, tetap saja bagi Padmini, bagian tubuh Haryo itu membuat inti tubuhnya sesak dan ngilu.

"Kangmas takut kamu kesakitan." Kini giliran Haryo yang cemas.

Padmini menggeleng. "Ni mohon ... jadikan Ni garwa Kangmas sepenuhnya."

Haryo mengembuskan napas panjang. Dia lalu menguatkan diri untuk mengoyak tabir kesucian yang selama ini Padmini jaga. "Diajeng, tahan sebentar ya. Seperti kata Kangmas tadi, nanti rasa sakitnya akan hilang perlahan-lahan."

Padmini mengangguk, berusaha mempercayai perkataan yang diucapkan Haryo untuk kesekian kalinya. Gadis itu lalu menghela napas panjang dan meraup udara sebanyak-banyaknya agar tubuhnya kuat saat Haryo memasuki liang kesuciannya. Dan, saat keperawanannya ditembus oleh keperkasaan sang suami, Padmini sudah tidak bisa menahannya. Dia menancapkan kuku-kukunya di punggung Haryo dan menggigit pundak berotot liat sang suami. Sementara itu, Haryo menerima dengan rela perlakuan Padmini. Dia merasa, sakit di punggung dan pundaknya, tidaklah sebanding dengan pengorbanan sang istri yang berani membuka diri dan hati untuknya setelah beberapa saat mereka menikah.

Setelah perjuangan panjang, akhirnya mereka bersatu. Menjadi satu tubuh ... satu hati ... satu jiwa. Rasa sakit yang Padmini rasakan, lambat laun terkikis dan berubah menjadi sensasi baru yang lebih dahsyat hingga akhirnya dia berkali-kali mencecap kenikmatan yang disuguhkan oleh sang suami.

***

Malam panjang akhirnya berlalu berganti dengan hari baru. Petualangan Padmini dan Haryo mengarungi gelombang kenikmatan yang menggebu berakhir saat ayam jantan berkokok menjelang subuh. Seandainya saja Padmini tidak terlihat kelelahan, mungkin Haryo masih kalap melampiaskan nalurinya yang selama ini dia tahan. Tapi, Haryo merasa malam ini sudah cukup bagi mereka. Dia tidak ingin membuat Padmini terlalu lelah karena meladeninya. Masih ada hari esok untuk melanjutkannya, bukan?

Subuh ini, sengaja Haryo membiarkan Padmini tertidur. Wajah lelah yang terlelap itu membuat Haryo bergetar. Laki-laki itu tersenyum bila mengingat pergumulan mereka semalam. Wajah polos Padmini raib, berganti ekspresi seksi yang membuat hasratnya semakin meruncing. Walau kini tubuhnya juga penuh luka karena cakaran dan gigitan Padmini, tapi laki-laki itu pun rela. Sungguh, Haryo tidak menyesal telah menikahi Padmini. Gadis yang sekarang menjadi wanitanya itu menyimpan banyak kejutan. Terlebih saat melihat bercak darah yang cukup banyak di sprei, semakin membuat hati Haryo berbunga karena Padmini sudah memberikan yang terbaik untuknya.

Sarapan pagi ini, Padmini tidak hadir di ruang makan. Ibu Kemuning tampak tak nyaman melihat ketidak hadiran menantunya. Padahal Ibu Kemuning hari ini sudah memasak dan menyiapkan sarapan sementara sang menantu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.

"Di mana Ni?" tanya Ibu Kemuning ketika mereka tengah menikmati bubur tumpang buatan Ibu Kemuning.

Haryo menggigit bibir. Pipinya memerah. Dia malu mengatakan pada akhirnya berhasil memerawani istrinya sendiri. "Ni ... kelelahan Ibu. Saya memang meminta Mbok Akik agar ndak membangunkannya."

"Kelelahan? Jalan ke Laweyan saja sudah kelelahan begitu. Bagaimana kalau harus menemani kamu dinas ke luar kota sewaktu menjabat menjadi bupati?" Bibir Ibu Kemuning mencebik tak suka.

"Semalam ... Ni sudah melakukan kewajibannya sebagai istri, Bu. Jadi, bukannya wajar kalau dia kelelahan. Selir-selir Romo pun juga demikian saat pertama datang ke rumah dan melayani Romo." Haryo tak rela saat Ibu Kemuning mencibir Padmini.

"Le, kamu jangan terlalu memanjakan Padmini. Bisa-bisa dia menjadi wanita yang lemah." Ibu Kemuning memandang tegas sang putra.

"Nggih, Bu." Haryo tak memrotes. Percuma juga berdebat dengan ibunya.

"Ah, seandainya Mirah itu berdarah bangsawan, pasti sangat cocok bersanding denganmu." Ibu Kemuning mengembuskan napas kasar.

"Ibu—" Haryo menatap dengan pandangan memohon agar tidak membawa-bawa nama Mirah. Namun, saat dia akan membuka mulutnya, Lik Darto datang membawa sepucuk surat.

Haryo menerima amplop itu dan membaca nama dan alamatnya pengirimnya. Dengan tergesa, dia menyobek ujung kanan amplop dan mengeluarkan kertas yang tertoreh tulisan huruf latin tegal bersambung yang ditulis oleh Residen Soerakarta.

"Dari Tuan Residen, Bu." Senyum cerah Haryo terbit karena berharap ada kabar tentang pengangkatan panewu Bojalali.

Haryo lalu membaca surat dalam bahasa Belanda itu dengan hati-hati karena tidak ingin ada satu kata pun yang terlewat. Tapi, perlahan senyum yang terurai di wajah Haryo terkikis, ketika dia membaca kabar di alinea ketiga.

💕Dee_ane💕

Aseeekkk, Haryo lega dah dapat jatah >.<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro