32. Merana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang nungguin cerita ini? Kasih vote n komen. Di KK udah sampe part 40. Kalau pengin baca dulu, silakan mampir ke sana😊 Jangan lupa jejak cintanya. Kalau vote 150 dan komen 100, besok aku update deh😘 *jiahhh, sok pemes, pake nodong segalak

***

Malam ini Padmini berusaha untuk tidak menangis walau dadanya seolah dibebat tali tambang yang membuat sesak. Dia tidak ingin orang tahu dirinya sedang bersedih karena melihat mata sembabnya. Sekuat tenaga wanita itu bertahan dengan membuat pola batik di buku catatannya, karena tidak mungkin dia melakukan kebiasaannya membatik di saat hati galau, ketika berada di rumah mertua. Dia pun berusaha membunuh kebosanan dengan membaca buku yang dikirim Jati hari ini untuk menghabiskan sisa malam.

Namun, serapat-rapatnya Padmini ingin mengubur kesedihannya, Ibu Kemuning tetap saja bisa menghiduinya. Seperti pagi ini, saat sarapan, di depan semua anggota keluarga yang berkumpul—Romo, selir, serta semua putra dan putri yang berjumlah lebih dari sepuluh orang—Ibu Kemuning memberi tatapan tajam ke arah Padmini.

Susah payah Padmini menelan makanannya. Walau sudah mengambil sedikit nasi, tapi dia merasa isi dalam piringnya tak kunjung berpindah ke lambungnya. Tatapan sang ibu mertua seolah benar-benar ingin mencekik leher.

"Yo, kamu harus cepat selesaikan masalah kecu itu. Pertimbamgkan saran Romo untuk mengganti semua orang-orang keamananmu." Romo Soeta memulai percakapan yang lebih serius.

Wajah Haryo merah padam. Dia hanya mengangguk sambil berkata lirih. "Inggih, Romo."

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Sudip?" tanya Romo Soeta lagi.

Padmini melirik ke kanan. Melihat reaksi Haryo, Padmini tahu percakapan itu membuatnya tak nyaman.

"Sudip ... dia saya tempatkan di bagian kebersihan. Juga kurir untuk mengantar surat. Untuk dijadikan keamanan atau yang lain ... daya tangkapnya sangat lambat," terang Haryo.

Romo Soeta mendesah. "Seandainya kamu ndak teledor sampai peristiwa itu terjadi, tentu orang macam Sudip ndak perlu kamu jadikan karyawan."

Haryo menunduk. Dia menatap nasi yang masih separuh di piringnya. Laki-laki itu tahu, tidak seharusnya dia berkuda terlalu kencang sehingga menabrak ibu Sudip hingga meninggal. Sejak saat itu, Sudip seperti orang linglung. Demi menghindari tudingan, Romo Soeta memberinya pekerjaan di kantor kapanewon."

"Romo, saya lihat halaman kantor kapanewon tampak asri karena Sudip selalu menyiram bunga-bunga. Bahkan tak ada rumput liar yang tumbuh." Entah kenapa, ketika Sudip dianggap tak becus, Padmini merasa kasihan. Walau tak pernah berhubungan langsung, Padmini tahu Sudip adalah karyawan yang rajin.

"Ni, untuk apa kamu ikut percakapan laki-laki? Ora ilok (Tidak baik)!" sergah Ibu Kemuning.

Padmini terkesiap dan langsung melipat bibir. Kepalanya menunduk sambil merutuk dalam hati karena kelepasan bicara.

"Ampun, Bu. Saya sebagai suami yang salah karena ndak bisa memberitahu Ni," sahut Haryo. "Mohon Ibu jangan marah."

"Mestinya dia tahu! Begini ini yang Ibu khawatirkan saat kamu memutuskan menikahinya, Le! Anak priyayi terbuang ... ndak dapat didikan bagus dari keluarga—"

Wajah Padmini merah padam. Telinganya berdenging saat Ibu Kemuning mengungkit orangtuanya. Bukan Romo Tirto atau keluarga Romo Wiryo yang salah ketika Padmini berlaku lancang seperti ini. Mereka sudah memberi banyak bekal ilmu walaupun Padmini tak mengenyam pendidikan formal. Padmini memang diajarkan untuk berani menyampaikan pendapatnya. Bahkan guru Belanda pun didatangkan untuk mengajarinya bahasa Belanda. Belum lagi, kedua kakak laki-lakinya sering mengiriminya buku-buku dan mengajarinya banyak hal saat mereka pulang berlibur. Tak hanya itu, peran bibinya pun sangat besar mendidik Padmini untuk disiapkan menjadi seorang wanita tangguh yang akan menjadi istri.

Namun, semua yang dia dapatkan dari keluarga Wiryokoesoema menguap begitu saja, saat menghadapi ibu mertuanya, karena sekuat tenaga Padmini harus menahan lidahnya. Dia tidak bisa mengemukan pendapat karena bisa menjadi debat. Maka yang bisa Padmini lakukan, hanya meremas paha dengan erat.

"Sudah, sudah! Kita sedang sarapan. Lagipula, jarang sekali kita bisa makan bersama lengkap seperti ini!" Romo Soeta menengahi. Laki-laki paruh baya itu lalu menatap menantu pertamanya. "Nduk ... Ni ... dengarkan kata ibu mertuamu, ya, Ngger. Romo tahu kamu masih muda dan hidup dalam keluarga yang memilih berlaku seperti orang Barat. Dibaptis ... potong rambut ... bahkan anak laki-lakinya menulis artikel yang terkesan menyerang pemerintah. Tapi, kowe mesti eling (kamu harus ingat). Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kamu hidup di keluarga ini dan harus beradaptasi menjadi garwa padmi yang baik. Contohlah ibunya Haryo. Dia benar-benar mengamalkan petuah para sesepuh. Dalam serat-serat Jawa, seorang istri mesti patuh dan bisa menyenangkan suami."

Ucapan Romo yang tenang itu menampar Padmini. Matanya kini tak kuat menahan bulir bening yang sudah menggenang. Dalam sekali kerjap, air matanya jatuh di punggung tangan yang bergetar.

"Ampun, Romo. Nasihat Romo akan Ni ingat baik-baik." Suara Padmini bergetar.

Usapan Haryo di punggung Padmini justru membuat bahunya naik turun. Tangisnya tak kuasa menguar, memenuhi ruang makan. Padmini merasa bodoh, lemah, dan cengeng setelah menikah. Ke mana sekarang perginya pribadi ceria dan tangguh itu?

Padmini tak bisa menahan tangis. Dia lalu mengangkat kedua tangan tertangkup di depan hidung. "Ampun, Romo. Saya undur diri dulu."

Melihat anggukan Romo Soeta, Padmini lalu bangkit dan berlari begitu saja tanpa menghiraukan lagi orang-orang di situ.

***

Padmini merana ....

Haryo seolah tak peduli. Bahkan laki-laki itu tak mengejar Padmini untuk mencari tahu keadaannya.

"Ni, apa yang kamu harapkan? Kangmas Haryo pasti semakin marah sama kamu!" rutuk Padmini sambil mencibir bayangannya sendiri di cermin.

Namun, belum tuntas kesedihannya sirna, Ibu Kemuning sudah masuk ke kamarnya. Hah, sepertinya Ibu Kemuning gemar sekali merundungnya dengan tatapan keji.

"Ni, Ibu dengar kamu ditegur Haryo tadi malam di pendapa." Suara Ibu Kemuning seketika membuat Padmini menggigit bibir erat. Dalam posisi bersimpuh, dia mengangkat tangan, memberi sikap hormat dalam adat Jawa.

"Ampun, Ibu. Kangmas hanya salah paham saja." Padmini berusaha menjelaskan duduk masalahnya.

"Salah paham? Bagaimana bisa suami istri ... yang baru saja menikah, sudah diselimuti kesalahpahaman? Apa yang kamu lakukan, Ni?!" seru Ibu Kemuning dengan nada tinggi.

"Sa-saya ... saya hanya mengucapkan selamat pada Kangmas Suryo ...."

"Kamu salah! Seharusnya kamu ndak terlihat berdua dengan laki-laki lain! Bukankah kamu sudah membaca Serat Darmawasita? Di situ jelas-jelas tertulis agar kita menjauhkan diri dari kesalahpahaman! Bagaimana bisa ...." Ibu Kemuning mendengkus. Dia kehabisan kata-kata dan merasa percuma memarahi istri Haryo yang terlalu liar sampai urat lehernya menonjol. Bahkan pengetahuan seperti ini saja, Padmini lupa!

Setelah mengatur napasnya untuk mengikis amarah, Ibu Kemuning melanjutkan bicaranya. "Ni, kalau kamu ndak tahu aturan dan terlalu ikut campur urusan laki-laki, Ibu akan membujuk Haryo mencari selir ... ah bukan! Bukan! Perempuan itu akan mencarikan garwa padmi untuknya. Tingkahmu sungguh akan membuat malu keluarga Ndoro Bupati!"

"Ibu ... Ni ... Ni minta maaf. Ni janji—"

"Janji? Kamu ini berlagak lemah tapi sok pintar di depan laki-laki! Kamu perempuan! Kamu harus ingat, takdirmu itu hanya seputar dapur, sumur, dan kasur! Ndak perlu sekolah pun, semua perempuan Jawa tahu itu!"

Ibu Kemuning berdiri. "Selama kamu di sini, jangan harap kamu bisa bertingkah Padmini!"

***

Seharian Padmini tak bertemu Haryo. Saat makan siang, para laki-laki tak terlihat. Menurut Yu Partini, Haryo memang sengaja dipanggil Romo karena permasalahan kecu itu.

Padmini mendesah panjang. Punggungnya melengkung seolah menahan beban. Dia menatap Yu Partini yang sedang membuat pola batik di selembar kertas. Sementara itu, yang ditatap merasakan kegundahan wanita muda di sebelahnya.

"Ada apa, Ndoro?" Yu Partini melirik ke arah Padmini.

Padmini menggeleng. Dia tak mau membagikan kegelisahnya. Lebih baik ia telan sendiri apa yang dia rasakan.

"Ndoro kangen sama Ndoro Haryo?" tebak Yu Partini.

"Ndak, Yu!" Pipi Padmini memerah. Kedua telapak tangannya bergerak ke kanan kiri, memberi penyangkalan.

"Kangen yo ndak pa-pa. Ndoro Haryo itu suami Ndoro Ayu sendiri bukan?" goda Yu Partini.

Padmini melipat bibir. Dia memang rindu dengan keberadaan Haryo. Selama ini, lelaki itu selalu merengkuhnya setiap malam. Bahkan jauh sebelum Padmini mau memberikan hati dan raganya. Selain itu, dia juga terbiasa mendengar suara napas halus saat dia terbangun tengah malam. Dan, ternyata saat berada di rumah mertuanya, Padmini merasa kehilangan Haryo. Terlebih setelah Haryo terlihat marah karena dia bercakap dengan Suryo.

Yu Partini kini meletakkan pensilnya. Dia memutar badan seraya menatap Padmini. "Ndoro, kalau misal Ndoro ditegur Ndoro Ayu Kemuning seperti tadi, jangan diambil hati. Maksud Ndoro Ayu Kemuning baik."

"Iya, Yu. Ni ngerti." Namun, kalimat itu hanya di mulut saja. Buktinya Padmini masih tak paham kenapa Ibu Kemuning bersikap keras padanya, sementara dengan Mirah begitu lembut.

Walaupun Yu Partini bersikap baik dan berusaha menghiburnya, tetap saja kesepiannya tak memudar. Malam ini, Padmini tetap tak bisa bertemu suaminya, karena Haryo mendapat undangan makan malam di kediaman asisten residen. Ibu Kemuning ikut mendampingi Romo Soeta, sementara Padmini tak diajak serta karena Ibu Kemuning tak ingin gadis itu merusak suasana. Padmini hanya menurut. Walau hatinya nyeri karena dianggap tak layak bersanding dengan putra sulung Bupati.

Malam pun terasa panjang. Kesunyian yang menyergap membuat pikirannya semakin kusut. Apalagi Haryo seperti tak terjangkau, meski mereka tinggal satu atap.

Tak ingin tersiksa dengan kondisinya, Padmini memutuskan harus bicara dengan Haryo besok. Dia tak ingin didiamkan tanpa kejelasan!

***

Pagi akhirnya menjelang. Padmini bergegas bersiap untuk makan pagi setelah membantu memasak. Saat dia menuju ruang makan, dia bertemu Suryo. Sungguh, dia tak ingin ada kesalahpahaman lagi bila terlihat oleh anggota keluarga lain. Terlebih Ibu Kemuning dan Haryo. Dia pun berjalan secepat mungkin untuk menghindari adik iparnya.

"Ni!" Langkah lebar Suryo bisa menyejajari Padmini. Tangan lebarnya berhasil menggapai pergelangan tangan wanita itu.

Tubuh Padmini berputar, menghadap Suryo. Jarinya berusaha mengurai cengkeraman tangan Suryo. "Lepas, Kangmas!" Padmini menoleh ke kanan kiri, berharap tak ada yang melihat.

"Ni, maaf. Apa kamu kesulitan karena aku?" Suryo sedikit membungkuk, menyetarakan wajahnya dengan Padmini.

Padmini mendengkus, mendengar pertanyaan retoris itu. "Kalau memang Kangmas tahu, sebaiknya jangan seperti ini!"

"Maaf. Aku hanya ingin bertanya." Suryo pun menegakkan tubuh sambil menarik Padmini ke lorong yang lebih sepi agar bisa berbicara dengan nyaman. "Ini tentang Kangmas Haryo."

Tubuh Padmini yang mungil berusaha berontak. Tapi, melihat wajah serius Suryo dan tentang Haryo, dia akhirnya menurut.

"Ada apa?" tanya Padmini masih was-was.

"Apa kemarin Asisten Residen datang ke Bendan?"

Padmini mengerutkan alis, lalu mengangguk. "Iya. Ada masalah apa?"

Suryo berdecak sambil tangan kirinya berkacak pinggang "Jadi betul?"

"Wonten napa (Ada apa)?" Padmini tak kuasa diliputi keingintahuan.

"Hati-hati. Rakyat Banyoedono sudah di puncak kekecewaan mereka. Selama ini Kangmas Haryo memang belum diserang secara langsung. Tapi, aku khawatir ... justru orang-orang terdekatnya yang diserang."

"Maksudnya?" Padmini berusaha menangkap apa yang Suryo ucapkan.

"Kamu, Ni! Bisa jadi kamu yang akan menjadi sasaran kekecewaan rakyat karena ulah Kangmas Haryo menerima suap untuk mencarikan lahan sewa bagi perusahaan swasta itu." Kali ini wajah Suryo begitu tegang.

"Suap?" Padmini menggeleng. Dia menutup mulutnya yang menganga lebar karena tak percaya Haryo ternyata pejabat busuk yang selama ini dia benci.

Ya, karena pejabat penerima suap dan suka mencari muka di depan pemerintah kolonial Hindia Belanda, romonya ditangkap, diungsikan, dan meninggal! 

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro