4. Pertemuan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang suka sama hisfic, mana suaranya? Semoga kalian betah baca cerita ini ya. Kasih jejak cinta kalian ya, Deers😘😘

💕💕💕

Ternyata apa yang dirancang Padmini tak seindah yang terjadi. Dia pikir permohonannya yang ditulis Romo Wiryo ditolak karena sampai dua bulan ini tidak ada jawaban. Tapi, pagi ini, Ibu Karmina masuk ke dalam kamarnya di sayap kiri rumah untuk mengabarkan hal yang menurut wanita paruh baya itu baik.

"Ni, selamat. Syaratmu terkabul!" Mata wanita paruh itu berbinar cerah, mengabarkan begitu membuka pintu jati bercat hijau pastel.

Gerakan menyisir Padmini terhenti di tengah helaian rambut panjangnya, begitu melihat ibu angkatnya di ambang pintu. Dia segera duduk bersimpuh di lantai dan memberi hormat pada bibinya. Ibu Karmina membungkuk, mengangkat Padmini, dan memeluknya.

Ibu Karmina melerai rengkuhannya. Kedua tangannya memegang bahu Padmini dan menatapnya dalam. "Selamat, ya, Nduk! Syaratmu terkabul! Kanjeng Bupati mau mengabulkan permohonanmu."

"Di … dikabulkan?" Tenggorokan Padmini tercekat. Suara serak basahnya semakin serak.

"Uwis (Sudah). Ayo, cepat dandan sing ayu. Kita kedatangan Kanjeng Bupati bersama putranya, Haryo." Ibu Karmina tak hentinya mengurai senyum. Matanya berkaca-kaca menahan tangis haru.

Sementara itu, mata Padmini yang memerah justru mengisyaratkan ngilu karena sebentar lagi dia akan menikah dan diboyong ke keluarga suaminya. Seandainya bisa, Padmini ingin memanjat tembok tinggi rumah ini sehingga bisa lari dari pernikahan. Tapi, hendak kemana dia pergi? Hanya keluarga Romo Wiryo saja yang mau menampungnya dan memperlakukan dia seperti manusia, setelah kejadian Romo Tirto, ayah kandungnya, ditangkap dan diasingkan, hingga meninggal di perjalanan.

Keluarga yang lain? Tidak! Mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak diperbolehkan mengambil anak pemberontak. Hanya Romo Wiryo yang berani mengambil gadis kecil sebelas tahun dan anak laki-laki lima tahun, yang menangis di sudut kamar.

"Sendika dhawuh, Ibu."

Begitu Ibu Karmina keluar, Padmini duduk dengan punggung melengkung di kursi di depan meja rias. Dia termenung menatap bayangan dirinya di dalam cermin. Ia mengambil serit untuk menyisir rambutnya berharap juga bisa mengurai kekusutan yang tiba-tiba menerjang otaknya. Padmini menghela napas panjang, berharap bisa menghilangkan gundah. Dia tidak dapat melarikan diri lagi. Dia harus kuat menapaki takdir yang sudah digariskan untuknya.

Setelah memoles wajah dengan bedak dan sedikit gincu agar tampilannya tampak segar, Padmini mengambil kebaya terbaiknya. Dia mengenakan bros yang disematkan di depan dadanya untuk mempermanis tampilan. Setelah itu, dengan langkah yang berat, Padmini mendatangi serambi kanan omah dalem, tempat para tamu berkumpul.

Setelah sampai di tepi serambi, Padmini berjongkok dan berjalan mendekat dengan kepala menunduk. Walau tak melihat, dia merasakan tatapan tajam dari para tamu yang mengikuti gerak-geriknya, hingga membuat kuduk berdiri.

"Duduk sini, Ni." Romo Wiryo mempersilakan Padmini bergabung.

Padmini hanya bisa menurut, dengan wajah yang berusaha dia sembunyikan. Dia lalu bangkit dan duduk di sebelah sang romo.

"Ni, ini calon suamimu. Raden Mas Haryo Bayoeadji Sastrodikromo." Romo Wiryo membuka suara.

Padmini hanya mengangguk, dan dia semakin menunduk seperti putri malu yang menguncup.

"Nduk Cah Ayu, perlihatkan wajahmu. Mereka sudah jauh-jauh dari Bojalali ingin menemuimu sebelum pernikahan." Ibu Karmina menimpali. "Nuwun sewu, Kanjeng Bupati, sejak romonya meninggal, dia sedikit susah bergaul dengan orang yang baru ditemui. Apalagi dia lantas dipingit setelah dikeluarkan dari sekolah."

Padmini perlahan mendongak. Wajahnya terasa panas. Dia membayangkan yang bernama Haryo itu seperti teman-teman Damar yang lain. Namun, saat pandangannya bersirobok dengan pemuda berbeskap hitam dan destar motif senada dengan jariknya, Padmini tertegun.

Raden Mas Haryo Bayoeadji tidaklah seperti yang dia pikirkan selama ini. Perawakannya tinggi kekar dengan rahang tegang dan hidung mancung. Mata hitamnya yang dalam seolah ingin menarik Padmini dalam cengkeraman dominasinya.

Seketika pipi Padmini memerah, mendapati tatapan mereka bertabrakan. Dia mengalihkan pandangan dan kemudian kembali menunduk. Tangannya meremas jarik berharap bisa mengendalikan debaran jantungnya yang tiba-tiba bergemuruh kencang.

"Ayu. Benar-benar putri keraton yang ayu!" Kanjeng Bupati Soetanagoro yang kemudian dipanggil Padmini Romo itu memuji dengan tulus. "Sejujurnya, Romo penasaran siapa gadis yang memberi syarat saat menikah. Menghilangkan pakem itu bukan kebiasaan kami. Tapi, Haryo justru bersikeras mau meminangnya. Apa kowe tresno tenan (kamu cinta betul) sama Diajeng Padmini, Le?"

"Inggih, Romo. Sejak tahu diajengnya Damar, saya mboten segan mengambilnya menjadi garwa padmi." Suara Haryo yang terdengar tenang dan berat mampu justru semakin membuat Padmini berdebar.

"Apa kalian pernah bertemu?" tanya Romo Wiryo antusias.

"Belum."

Sungguh Padmini penasaran ingin melihat lebih jelas calon suaminya. Namun, saat bola matanya bergulir ke kanan, tatapan mereka kembali bertumbuk.

Ah! Lagi-lagi tatapan itu seperti memercikan bara api yang membuat pipi Padmini panas. Dia yakin wajahnya sekarang seperti kepiting yang baru saja diangkat dari air rebusan. Apalagi senyum miringnya itu, berhasil membuat dada Padmini kembang kempis karena baru kali ini dia dipandang intens seperti itu oleh laki-laki yang bukan saudaranya.

Hanya duduk diam di situ, di sebelah Haryo, mampu membuat peluh Padmini mengucur deras. Ingin rasanya dia memakan es cendol buatan Mbok Tiyah untuk mendinginkan badan dan otaknya yang gerah. Kepala seperti mengepulkan asap sehingga dia tak bisa mengikuti pembicaraan para sesepuh karena terlalu tegang.

"Jadi, akad nikah akan dilaksanakan sebulan lagi."

Padmini mengerjap. Dia meremas pahanya. Secepat itukah? Saat dia akan membuka suara, bibirnya kembali terkatup, melihat dua laki-laki utama di masing-masing keluarga berjabat tangan, untuk menegaskan perjanjian mereka.

Selesai jamuan makan siang dan menunaikan salat dhuhur, Haryo mendatangi Padmini yang sedang mengobrol dengan ibunya. "Ibu, kepareng dalem (bolehkah saya) berbicara dengan Diajeng Padmini?"

"Monggo. Sebaiknya begitu agar kalian saling mengenal."

Mendengar Ibu Karmina memberikan restu, Padmini mengerjap.

"Sana, Nduk. Bicara sebentar sebelum mereka pulang."

Mau tidak mau, Padmini berdiri, menghampiri Haryo. Dia masih menunduk.

"Diajeng, bisa kita berjalan-jalan sebentar di halaman samping?"

Jantung yang sudah tenang itu kembali menggila. Padmini meremas-remas ujung kebayanya, atau bahkan dia ingin mengangkat jariknya untuk mengambil langkah seribu. Sungguh, walau dia dikelilingi laki-laki karena saudaranya semua laki-laki, dia tetap tak nyaman bertemu dengan laki-laki asing.

Angin semilir yang menyapa Padmini sewaktu selopnya menapak tanah di halaman samping itu nyatanya tidak bisa menyejukkan hatinya yang gerah karena dibanjiri peluh gugup. Berulang kali dia mengusap telapak tangan, tetap saja basah.

"Diajeng, ini Kangmas bawakan sesuatu." Sebuah kotak dari kayu jati disodorkan ke hadapan Padmini.

Padmini menengadah. Dengan ragu, dia menerimanya. "Menika napa (Ini apa), Kangmas?"

"Itu … batik. Kangmas harap kamu menyimpannya."

Haryo dan Padmini saling bertatapan. Sorot mata Haryo yang tajam itu tampak teduh seperti dedaunan pohon mangga yang menghalangi terik. Apakah orang ini akan menjadi 'garwa' yang benar-benar sebagai belahan jiwanya?

***
Tidak ada lagi alasan bagi Padmini menolak. Selain karena titah pamannya yang sedang berkuasa, keluarga Haryo yang dikenal menjunjung tinggi tradisi itu mengabulkan permintaan anehnya. Dan, justru karena itu, Ibu Karmina benar-benar menekankan pada Padmini agar menjadi perempuan yang mendampingi Haryo dengan baik.

"Ni, ini serat Darmawasita yang ditulis oleh Gusti Mangkunegara IV. Kamu pelajari baik-baik bagaimana harus bersikap sebagai seorang istri." Ibu Karmina meletakkan buku itu di atas meja tulis Padmini.

"Ini kepunyaan Eyang kakung?" Padmini memandang takjub dan mengelus sampul naskah itu.

"Iya. Romo yang meminjam dari Mangkunegaran untuk putri satu-satunya yang disayangi."

Walau terdengar halus, desahan Padmini tertangkap oleh pendengaran. "Ni, Ibu tahu semua tulisan-tulisan ini susah dijalankan. Ibu memberikan bekal ini semata-mata karena ingin kamu menjadi yang pertama dan utama bagi calon suamimu, Nduk. Ibu … Ibu …." Ibu Karmina tergugu dengan bahu naik turun.

"Bu, Ni tahu apa yang Romo dan Ibu lakukan semata-mata untuk kebaikan Ni." Padmini menggigit bibir bawahnya dengan keras untuk meredam perih.

"Berjanjilah, agar menjadi perempuan yang kuat ya, Nduk. Kamu harus bisa bahagia dan belajar mencintai Raden Mas Haryo." Dengan berlinang air mata, Ibu Karmina menatap Padmini, dan mengelus lembut pipi kuningnya.

"Nggih, Bu."

***

Serat Dharmawasita ….

Serat itu ditulis oleh kakeknya 30 tahun lalu. Setiap lembar berisi petuah orangtua untuk anak-anaknya. Tidak dimungkiri, Mangkunegara IV adalah adipati mangkunegaran yang sangat memperhatikan kemandirian ekonomi bagi rakyatnya. Pabrik gula Tjolomadoe yang dibangun semasa kakeknya menjabatnya berhasil menjadi pabrik gula terbesar yang dimiliki bumiputra. Tak hanya di Hindia Belanda, tapi juga se-Asia Tenggara.

"Supaya manis cara mendidik anak, saya  ceriterakan bagaimana saya menulis nasihat pada tanggal 13 hari Selasa Wage, bulan Maulud mangsa ke-9 Dal dengan sengkalan tahun. Pesanku untuk anak-anakku, laki-laki maupun perempuan. Harap semuanya memperhatikan nasihatku."

Pupuh Dhangdhanggula yang ditulis dalam aksara jawa itu membuat trenyuh hati Padmini. Seolah kakeknya sendiri yang bertutur. Setiap lirik yang dia tembangkan dengan suara serak basah itu menggetarkan batin Padmini.

Kini Padmini beralih ke pupuh kinanthi pada bait ke 3 dan 4. "Ajaran yang lainnya, yang membuat seseorang dihargai oleh laki-laki, bukanlah
karena mantra-mantra atau pemikat halu sebagai sarana untuk mencapai tujuan,
melainkan ada dalam tingkah lakumu, seperti yang dinyatakan berikut ini. Kalau perempuan itu menurut, sungguh-sungguh akan disenangi suami. Menurut menyebabkan sayang, mentaati perintah menimbulkan kasih dan sungguh-sungguh mewujudkan cinta. Kalau jujur akan dipercaya suami."

Menurut? Itu sama halnya perempuan harus menurut ditata oleh laki-laki. Lalu bagaimana bila lelaki salah? Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di otak Padmini. Namun, dia belum bisa mencernanya. Bukankah selama ini yang Padmini lakukan hanya menurut?

Semalaman Padmini berpikir, tetap dia tak menemukan jawaban. Sampai keesokan paginya, saat sarapan bersama, Ibu Karmina membuka suara. "Nduk, Cah Ayu, apa kamu sudah membaca serat Darmawasita?"

Kunyahan Padmini terhenti. Dia menatap Jati yang masih melahap bubur tumpangnya, sementara Wira memilih memakan nasi dengan telur ceplok mata sapi saja.

"Ampun, Ibu. Ni sudah membaca. Muatannya begitu dalam seolah Ni mendapat wejangan dari Eyang Kakung sendiri."

"Ni, perlu kamu ingat ya, Nduk, sewaktu menikah nanti kamu harus mengenali pribadi suaminya dengan hati. Apa yang dia suka, apa yang ndak dia suka. Bagaimana ekspresinya bila dia suka … dan begitu pula sebaliknya. Kadang, laki-laki enggan bicara, tapi kita yang harus mengerti. Leres ngaten (Benar begitu) to, Romo?"

"Ibumu benar, Ni. Selama ini kamu bebas berpendapat di sini. Nanti … di luar sana, kamu harus menata bicaramu," imbuh Romo Wiryo.

"Romo kaliyan (dan) Ibu, mboten usah banyak risau. Saya tahu Ni bisa membawa diri. Ni ini … karena dia mboten suka berkonflik, kadang dia memendam semuanya. Paling nangis di pojokan kamar apa mbatik semalaman. Benar to, Ni?" Jati tersenyum lebar memandang adik sepupunya.

"Kangmas …." Air mata Padmini tak kuasa meleleh di pipi.

"Ojo khawatir. Nanti, kangmasmu ini akan sering menengokmu dengan Dimas Wira," hibur Jati.

Air mata Padmini tak kuasa meleleh di pipi. Kehangatan keluarga Romo Wiryo ini pasti akan dia rindukan. Padmini hanya berharap semoga dia akan bahagia dengan pernikahan ini.

Ya … semoga ….

💕Dee_ane💕

Mampir juga kuy ke work Kak RoxanaMusai. Ada kisah bersetting era Victorian .

Sama ke cerita Kak kireiskye buat pencinta saeguk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro