44. Bantuan Mirah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers! Malam Minggu datang lagi. Saatnya kalian ngabubu-read sambil nungguin buka. Kuy, kasih vote n komen sebanyak2nya.

💕💕💕

Berita penculikan Padmini terdengar oleh Soemirah. Siang itu, saat Haryo dan Padmini sampai di Ndalem Bendan, anak juragan batik Laweyan itu sudah di sana, menanti dengan gelisah.

Melihat Mirah di situ, batin Padmini berdesir. Namun, dia berusaha tak menunjukkan karena melihat ketulusan Mirah yang mengkhawatirkannya dan sang suami. Atau mungkin hanya kepada Haryo saja, mengingat perempuan itu lebih terfokus pada suaminya.

"Kangmas, Diajeng … kalian baik-baik saja?" tanya Mirah yang menyongsong kedatangan Haryo dan Padmini.

"Aku ndak pa-pa, Rah. Ada apa datang  ke sini?" Haryo berjalan melintasi pendapa diapit Mirah dan istrinya. Lantai tegel yang mengkilat itu kini tercetak lumpur berbentuk telapak kaki.

"Saya mendapat kabar kalau Diajeng diculik dan Kangmas nekat menghadapi Meneer Van Gaal," terang Mirah dengan pandangan yang tak bisa dialihkan dari Haryo.

"Kamu tahu dari mana?" tanya Haryo. Tangannya mengibas debu beskap yang melekat sejak kemarin pagi.

"Tadi ada orang Banyoedono yang datang ke Laweyan, menceritakan kabar ini. Jadi, saya langsung datang kemari." Tentu saja informasi yang didapat Mirah begitu banyak, mengingat dia punya usaha batik besar di Laweyan. Seingat Padmini, tak ada kabar sekecil apapun yang tak diketahui Mirah.

"Matur nuwun (Terima kasih). Alhamdulillah, kami baik-baik saja." Haryo mengurai senyum di wajah yang lelah. "Kamu tunggu di sini dulu. Kami mau mandi dahulu."

Sejam kemudian, Haryo dan Padmini sudah duduk di ruang makan. Siang itu, para bujang memasak sayur gori dengan ikan asin serta sambal. Awalnya, dalam perjalanan, perut Padmini terasa keroncongan. Namun, kedatangan Mirah di rumah saat mereka tiba, membuat lambungnya tiba-tiba terisi penuh.

Ruang makan yang tak terlalu besar itu kini berisi tiga orang yang tengah melahap sajian makan siang hangat. Ruangan yang cukup luas itu rasanya sesak dengan kehadiran tamu tak diundang. Meskipun Padmini tak nyaman karena ruang makan itu didominasi suara Mas Rara yang bercakap tentang kasus kecu yang semakin merajalela, dia berusaha menekan perasaannya. Padmini ikut duduk dan melahap makanannya untuk menghormati tamunya.

"Kangmas, tindakan Kangmas benar-benar berani. Menentang Asisten Residen tentu akan mempengaruhi jabatan Kangmas." Mirah kemudian menatap Padmini. "Diajeng, kamu sungguh beruntung karena Kangmas Haryo rela melakukan apa saja demi kamu."

Padmini dan Haryo bersirobok pandang. Dia tahu bahwa yang dilakukan suaminya sungguh perbuatan besar karena bisa mengancam jabatannya. Namun, ucapan Mirah terdengar tak tulus dan berbumbu kecemburuan. "Nggih, Mbakyu. Saya beruntung sekali menjadi garwa Kangmas." Walau diucapkan dengan sopan, tapi Padmini seolah menekan bahwa Haryo adalah miliknya.

"Kalau mendengar cerita Kangmas, saya ndak menjamin Kangmas akan mendapat rekomendasi promosi jabatan. Meneer Van Gaal itu orangnya pendendam. Bila ada pejabat di vorstenlanden yang ndak cocok dengannya, dia akan menyingkirkannya. Orang itu bisa saja melapor ke Sinuhun atau juga berkomplot dengan kroni-kroninya untuk menjatuhkan Kangmas," kata Mirah sambil berbisik seolah ucapannya tabu didengar orang lain. Padahal di tempat itu hanya ada mereka bertiga.

Kunyahan Padmini terhenti. Ada rasa bersalah yang menyusup. Walau tak terucap, dia tahu Haryo merisaukan akibat dari pilihannya menyelamatkan Padmini. Sementara kenyataannya Padmini baik-baik saja.

"Sikap Meneer Van Gaal itu harus diakhiri. Dia semakin menekanku sehingga membuatku seperti penjajah untuk rakyatku sendiri," komentar Haryo. Dia kemudian menyuapkan sesendok nasi tanpa menyertakan lauk saking pikirannya tergiring oleh ucapan Mirah yang sedikit banyak mengganggunya sejak semalam.

Namun, getar suara Haryo terdengar sarat kecemasan di telinga Padmini. Dia melirik Haryo yang sejak semalam berwajah pucat, seolah darah enggan mengaliri kepala lelaki itu. Tiba-tiba Padmini menyesal. Seandainya dia tidak langsung pergi begitu setelah membaca surat itu, tentu hal ini tidak akan terjadi. Parahnya, sekarang Padmini merasa menjadi perempuan lemah yang tidak bisa membantu membereskan kekisruhan yang disebabkan olehnya.

Untuk kesekian kalinya Padmini berdecak. Gara-gara dia diculik, Mirah justru ada alasan untuk menginap di rumahnya karena juragan batik itu menawarkan bantuan untuk bernegosiasi dengan Residen. Lalu, apa sumbangsih Padmini untuk meringankan beban Haryo?

Dalam secarik kertas, akhirnya Padmini menumpahkan perasaannya. Dia menuliskan surat dalam aksara jawa kepada Damar yang dia kenal mempunyai banyak teman.

Kangmas Damar yang Ni kasihi,

Malam ini Ni gundah. Karena Ni, Kangmas Haryo akan kehilangan segalanya.

Padmini mengembuskan napas berat. Dia menoleh ke arah pintu sentong yang tertutup. Haryo belum memasuki sentongnya, padahal jam dinding sudah menunjuk pukul sepuluh. Dengan perasaan kesal karena melihat Mirah merebut perhatiam suaminya, Padmini melanjutkan ceritanya tentang penculikan itu dalam deretan kata.

Apakah Kangmas bisa membantu Ni seperti yang Ni utarakan untuk menyelesaikan masalah kecu itu? Ni tahu, hal ini akan mempunyai risiko terhadap karier Kangmas Haryo. Tapi, bagi Ni, lebih baik nantinya Kangmas Haryo kehilangan jabatan, daripada menjadi penjajah untuk rakyatnya.

Padmini lalu melipat kertas itu dan memasukkan dalam amplop yang dibubuhkan alamat tempat tinggal Damar di Semarang. Rencananya, besok dia akan meminta Jinem untuk mengirimkannya.

"Loh, Diajeng belum tidur?"

Padmini terlonjak sesudah menutup laci untuk menyimpan suratnya. Suara langkah Haryo sama sekali tak terdengar sebelum membuka pintu. Padahal malam ini sangat sunyi.

"Kangmas?" Ada rasa lega yang membuat hati Padmini mencelus. Haryo masuk ke kamarnya. "Ni pikir Kangmas ndak ke sini." Rasa kesalnya sudah tak terbendung lagi dan keluar begitu saja melalui sindiran halus.

Namun, Haryo justru terkekeh. Dia tak lantas menenangkan istrinya, tapi malah melepas kain iketnya hingga rambut ikal yang gondrong terkuak.

Padmini duduk di tepi ranjang, menanti respon Haryo. Entah kenapa, sejak Haryo menyatakan cinta, Padmini tak mau kehilangan suaminya. Rasa ingin memiliki Haryo membuat Padmini cemburu dan tak ingin suaminya dekat dengan perempuan lain.

"Kenapa, Diajeng? Kangmas lihat hari ini kamu diam saja?" Haryo meletakkan beskapnya di gantungan di belakang pintu.

"Ndak pa-pa, Kangmas." Padmini berusaha mengingkari apa yang dia rasakan. Terlebih saat otaknya mengingatkan bahwa dia harus menjadi istri yang baik dan tidak banyak menuntut.

Derak ranjang menguasai ruangan saat Haryo duduk di samping Padmini. Wajah lelaki itu tiba-tiba mendekat dan mengecup bibir Padmini yang maju ke depan beberapa centimeter tanpa gadis itu sadari. Mendapati ciuman itu, mata Padmini membeliak. Pipinya memerah seketika.

"Kangmas!" Padmini memukul pelan bahu Haryo.

"Kalau bibirmu memberengut seperti ini, kamu terlihat menggemaskan, Diajeng. Siapa yang sangka, perempuan manja ini sangat kuat dan bisa menghajar Karyo."

Padmini menggigit sudut bibirnya. Udara yang menyusup dari celah jendela tiba-tiba tak lagi membuatnya dingin. Peluh mulai merembes ketika Haryo mengelus lembut tepi rahangnya dan melayangkan tatapan tajam. "Kupikir, Kangmas bakalan kehilangan kamu, Diajeng."

"Justru Ni yang takut kehilangan Kangmas. Ni ndak sanggup berpikir jernih saat membaca surat itu. Ni … Ni … takut peristiwa Romo berulang kembali." Suara Padmini mulai bergetar. Sebenarnya dia juga ingin mengatakan kalau wanita itu tak sanggup melihat Haryo dekat perempuan lain. Namun, kalimat itu kembali tertelan.

"Ndak. Demi kamu, Kangmas akan hidup lebih lama. Untuk menjaga kamu, Diajeng."

Hati Padmini meleleh mendengar ucapan manis Haryo. Dia serta-merta memeluk suaminya dengan erat. Akhir-akhir ini, dia merasa ingin dekat dengan suaminya. Bahkan dia selalu ingin menghidu aroma manis yang menguar dari tubuh Haryo.

"Diajeng, ayo kita tidur."

Padmini menggeleng. Malam ini, Padmini sengaja menunggu Haryo.

Haryo merasakan gerakan kepala sang istri. Dia melerai pelukan Padmini dan mengangkat kepala yang menunduk itu. "Ada apa, Diajeng?"

"Malam ini … perkenankan Ni memijat Kangmas. Kangmas terlihat kelelahan." Wajah Padmini sudah seperti kepiting rebus. Bola matanya bergulir ke kanan kiri, menghindari tatapan suaminya.

Jakun Haryo bergerak naik turun. Dia mengerjap. Tanpa dia katakan, Padmini paham apa yang dia rasakan. Tak dimungkiri badan Haryo sangat lelah karena dua malam dia tidak tidur. "Kamu juga lelah, Diajeng."

"Tapi, Kangmas terlihat kecapekan. Ayo, sekarang lepas bajunya dan tengkurap." Padmini bahkan menarik ujung kaus putih yang Haryo kenakan hingga sebatas dada.

"Tung-tunggu, Diajeng."

Alis Padmini menekuk. Bibirnya memberengut. "Ni ndak pengin Kangmas sakit." Hanya ini yang bisa Padmini lakukan untuk saat ini agar mengurangi beban suaminya.

Haryo mendesah pasrah. Dia menanggalkan kaus hingga dada bidang dengan ukiran otot yang indah terkuak, lalu merebahkan diri telungkup.

Setelah mengambil minyak kayu putih yang disimpan di botol kaca dan membalurkan di punggung sang suami. Haryo seketika menggeliat saat jari mungil itu memijatnya. Lelaki itu tak menyangka bahwa tangan kecil Padmini mampu menembakkan tusuk konde tajam dengan tepat. Bahkan tangan itu sangat kuat meremas otot-otot kakunya. Haryo kemudian teringat pada peristiwa di mana dia berhasil mengambil keperawanan Padmini. Dulu, kuku-kuku di tangan mungil itu menancap dan mencakar punggungnya seperti berusaha membela diri.

"Kenapa, Kangmas? Apa pijatan Ni tak enak?"

Setelah otot punggungnya melemas, pijatan Padmini di paha Haryo, justru membangunkan bagian tubuh yang lain. Untuk menepis naluri yang tiba-tiba muncul, laki-laki itu berusaha memejamkan mata. Nyatanya, gerakan tangan Padmini semakin membuatnya gelisah. Maka, diapun seketika berbalik berbaring terlentang menghadap istrinya.

"Kangmas, belum sele—" Padmini membeliak, saat Haryo menangkup bukitnya.

"Sekarang, giliran Kangmas yang memijat kamu, Diajeng." Haryo menarik tubuh Padmini hingga wanita itu membungkuk. Dia membungkam mulut istrinya, memberi lumatan kecil pada bibir itu.

Melihat wajah Haryo yang pucat, Padmini menarik badannya. "Kangmas kelelahan. Sebaiknya setelah pijit, Kangmas segera tidur."

"Sebentar saja …." Haryo memohon.

Padmini mendengkus. Dia tak bisa menolak, terlebih saat kancing kebayanya sudah terurai dan dengan mudah Haryo menarik kembennya sehingga lelaki itu leluasa memainkan simpul saraf yang membangunkan naluri purbanya hingga pergumulan di ranjang tak terelakkan lagi.

Dalam waktu singkat, Haryo terengah ketika benihnya kembali tersembur di rahim Padmini. Lelaki itu seketika rubuh di tubuh istrinya. Padmini mengerjap dan merasakan tubuh suaminya seperti bara api yang panas. "Kangmas?" Wanita itu mendorong raga kekar Haryo hingga lelaki itu tergeletak di sisinya. Napasnya tersengal dengan keringat dingin yang mengucur. "Gusti Allah, Kangmas!"

Padmini menepuk wajah yang memutih itu. Dia menyesal karena menuruti keinginan Haryo, padahal sudah tahu kondisi sang suami tak bagus. Dengan segera Padmini meraih kain jariknya dan membebat badannya begitu saja sebelum mengenakan kebaya. Dia kemudian keluar untuk mengambil air yang akan digunakan mengompres tubuh Haryo yang terasa panas.

***

Haryo membuka matanya perlahan. Dia meringis karena merasa kepalanya terasa berat. Ruangan itu tak lagi temaram karena sinar matahari sudah masuk melalui celah jendela kayu. Suara sapu lidi yang bergesekan dengan tanah, sesekali diiringi senandung merdu Sumi yang disahut kokok merdu ayam bekisarnya, menandakan hari telah berganti.

Saat hendak bangun, Haryo merasakan kain kecil lembab yang berada di dahinya jatuh ke bantal. Dengan badan yang lemah, Haryo menegakkan tubuh dan mendapati Padmini duduk di lantai sementara kepalanya bersandar pada tangan terlipat yang menumpu di bibir ranjang.

"Diajeng?"

Padmini tersentak. Dia segera bangkit dari duduknya. Namun, karena gerakannya yang tiba-tiba, tubuhnya limbung. Beruntung Haryo segera menangkap lengannya dan membantunya duduk.

"Kamu kenapa tidur di bawah?" tanya Haryo heran.

"Semalam Kangmas demam.” Padmini mengecek dahi Haryo dengan menempelkan punggung tangan kanan. Dia lalu mengembuskan napas lega karena suhu badan suaminya sudah turun walau masih hangat.

Melihat kantung di bawah mata Padmini, Haryo yakin istrinya tak istirahat cukup. Terlebih mendapati Padmini tidur di lantai, pasti semalam wanita itu menjaga dan merawatnya. "Matur nuwun," kata Haryo tulus sambil mengelus kepala Padmini. "Besok lagi, jangan tidur di lantai. Bagaimana kalau kamu sakit?"

"Tenang, Kangmas. Ni sudah biasa. Kangmas mau makan apa? Biar Ni masakkan."

"Ndak. Terima kasih. Ini sudah terlalu siang …" Haryo menengok ke arah jendela yang disusupi sinar mentari hingga membentuk garis cahaya di kamar itu. "Kangmas harus bergegas."

"Kangmas mau ke mana?"

"Kangmas mau menemui Meneer Schneider di Soerakarta." Haryo menegakkan tubuh dan mengambil celananya yang diulurkan Padmini. Dia bangkit, lalu mengenakan celana tiga perempat itu.

"Kangmas jadi mau menemui Tuan Residen? Kondisi Kangmas kurang bagus. Semalam Kangmas demam." Padmini terlihat khawatir.

"Kangmas harus melakukannya, Diajeng. Demi kita …." Haryo menyibak anak rambut Padmini ke belakng telinga.

"Apa … semua ini karena Ni?"

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro