9. Meredam Gairah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers! Udah bab 9 aja Padmini sama Haryo meramaikan jagad orange. Kuy, ramaikan dengan vote and komen. Semoga kalian suka🥰

💕💕💕

Hawa di kamar itu seharusnya cukup dingin di musim kemarau bulan Agustus. Tapi, desah serak yang terus mengudara membangkitkan sesuatu yang tertidur di bawah sana. Sebagai laki-laki muda nan sehat, nalurinya mudah terpancing dengan lekak-lekuk tubuh perawan.

Kedua tangan Haryo yang bekerja ingin membangunkan hasrat alami Padmini, nyatanya juga berhasil membuat gairahnya sendiri terpacu. Tubuh Padmini yang terasa sangat halus seperti sutra, membuat dia ingin berlama-lama membelainya. Tak hanya itu, begitu selubung kainnya merosot di lantai, Haryo terkesiap karena mengagumi bagian tubuh seorang perempuan di balik kembennya. Molek ... seperti gunung yang ingin dia taklukan dan akhirnya menjadi kerinduan untuk memanjatnya lagi ... lagi ... dan lagi.

"Kangmas ...." Panggilan itu membuat Haryo mendongak. Tangannya masih bekerja untuk memompa gairah gadis yang selisih usianya 12 tahun itu.

Ah, cantik! Wajah yang mendongak dengan mulut meloloskan desah akibat ledakan kenikmatan itu telah bermandi peluh. Dengan keremangan cahaya dian, Haryo bisa menangkap kharisma seorang putri bangsawan. Ditambah rintih nikmat suara serak itu membuat gelenyar di batin Haryo.

Begini perempuan mencapai puncaknya? Haryo mengusap pangkal tungkai Padmini yang tak lagi tegap berdiri. Jarinya basah oleh madu wanita yang memancar setelah melambung ke surga dunia.

Sepertinya, Haryo menyukai ibadahnya. Ia yakin bisa memberikan nafkah sehari sekali. Tidak, sehari tiga kali mungkin?

Haryo terkekeh dalam hati seraya membaringkan Padmini yang kainnya sudah teronggok di lantai. Dia masih memberi hadiah Padmini kecupan di kening dan lumatan di bibir yang tak berbalas. Dia ingin segera memasuki inti tubuh mungil itu dan memiliki raga molek yang mampu membuat nafsu purbanya menggeliat.

Dengan tergesa, Haryo menarik tubuhnya. Dia berdiri di samping ranjang untuk melepas destar, beskap, kaus putih, stagen dan akhirnya jarik yang membebat tubuh bawahnya. Celana pendek yang menonjolkan keperkasaannya, segera diturunkan.

"Diajeng ...." Masih menapak di lantai sisi ranjang, Haryo membungkuk sambil menarik pundak Padmini.

Ketika badan itu berputar, pekikan lantang berkumandang. Mata Padmini pun membeliak, dan dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Haryo terlonjak. Dia menoleh ke kanan kiri untuk memeriksa apakah ada yang aneh. Tapi hanya ada mereka berdua di situ. "Diajeng, ada apa?"

Padmini menggeleng. "Ular. Gede."

Ular? Gede? Haryo belum bisa mencerna. Dia masih mencari-cari apa yang dimaksud Padmini. Tak ada ular masuk di kamar mereka. Terlebih kamar mereka berada di dalam omah ndalem. Alis Haryo mengerut sambil memahamj apa yang terjadi. Seketika matanya melebar saat dia menunduk menatap batang tubuhnya yang sekeras kayu.

"Diajeng ...." Haryo akhirnya bisa memahami apa yang sang istri takutkan.

Padmini beringsut ke pojok sambil meraih bantal untuk menutupi tubuhnya. Wajahnya disembunyikan di bawah kedua lengan terlipat. "Ampun, ampun Kangmas. Ni ... ni ajrih (takut)."

"Diajeng ... Ni ...." Haryo mencoba mendekat. Tapi tangan Haryo ditepis kasar oleh Padmini.

Haryo membeliak. Dia tak percaya Padmini takut pada bagian tubuhnya. Padahal banyak teman-teman laki-lakinya iri padanya. Tak putus asa. Haryo naik ke ranjang dengan merangkak. Namun, semakin mendekat Padmini semakin terisak. Punggung gadis itu bergerak naik turun.

Awalnya Haryo ingin marah. Gairah yang ingin diluapkan itu terhenti di tengah. Mau dengan apa dia menuntaskan? Dia bukan tipe laki-laki yang suka berhubungan dengan penari tarub. Bahkan memberi saweran dengan menyelipkan di kemben saja Haryo tak pernah. Tapi, melihat Padmini ketakutan bagai melihat hantu, membuat Haryo mundur. Dia duduk dengan punggung melengkung sementara senjatanya tegak mengacung siap bertempur.

"Diajeng, kamu ... menyiksa Kangmas kalau begini." Haryo merintih nyeri karena dia butuh pelepasan. Seharusnya dia ingat pesan empan papan, supaya jangan tergesa-gesa. Kalau begini dia sendiri yang rugi!

Dengan kecewa, Haryo mengambil kembali baju yang berserakan. Dilihatnya bayangan dirinya di cermin pintu lemari kayu jati di salah satu sisi ruangan. Ular? Gede? Ya, lebih baik dikira ular daripada dikatakan ulat. Haryo terkekeh miris sambil menghibur diri. Dia menggeleng-geleng, memikirkan cara agar hasratnya bisa kembali turun.

"Diajeng, kali ini kamu bisa istirahat. Mungkin kamu terlalu lelah." Haryo memakai selopnya dan saat akan melangkah, suara Padmini menahannya.

"Kang-Kangmas, mau ke mana?"

"Cari angin. Sama nonton tarub lagi," ucapnya datar tak melihat Padmini.

Sementara itu, Padmini menelan ludah. Di malam pertama, Haryo keluar dari kamar pengantin mereka dan justru menonton tarub? Tidak! Dia harus menahannya.

Namun, saat Padmini sudah berada di tepi ranjang, suara klik dari pintu tertutup terdengar.

"Kangmas?" Padmini mengerjap hingga buliran bening itu kembali leleh.

Ah, seharusnya dia tidak berteriak saat melihat benda yang tegak di bawah perut itu. Namun, melihatnya saja Padmini sudah ngeri. Dia membayangkan perihnya ular besar itu menggeliat di liang tubuhnya.

"Duh, biyung (Ibu)! Bagaimana ini?" Padmini menepuk dahinya kuat-kuat. Dia menyesal karena kebiasaannya bereaksi spontan itu membuat Haryo gusar. "Ni, Ni ... bagaimana bisa jadi garwa padmi kalau memuaskan suamimu saja kamu ndakq bisa!" ujar Padmini pada dirinya.

***

Pertunjukan tarub masih dipadati orang yang ingin menonton atau menyawer. Suara gendang dan gamelan menambah semarak malam yang dingin.

Dalam kekecewaannya, Haryo sengaja mendatangi kamar Damar. Dia mengetuk pintu kamar bercat hijau pastel di kesatrian, sambil menatap taman di tengah rumah.

"Loh, Yo, kenapa?" Damar membuka pintu dengan rambut yang kusut. Matanya merah, karena memaksakan bangun setelah terlelap.

"Aku turu kene (Aku tidur sini)." Haryo mendorong Damar sehingga sahabatnya terpaksa memberi jalan.

Damar melongok ke luar dahulu, memastikan tidak ada yang melihat. Pasti aneh sekali pengantin laki-laki tidur di kamar ipar laki-lakinya.

"Ada apa?" Damar menutup kembali pintu dan menghampiri Haryo yang terlihat kusut.

Haryo menghela napas panjang sebelum mengembuskan. "Mar, adikmu ini satu-satunya anak perempuan di keluarga Wiryokoesoemo. Apa dia ndak pernah melihat 'barang' lelaki?"

Damar mengernyit. "Maksudmu?"

"Bagaimana bisa malam pertama, adikmu teriak melihat 'milik'-ku," ungkap Haryo lirih, menatap ke bawah dengan miris.

Akhirnya Damar sadar apa yang dibicarakan Haryo. Tawanya meledak keras. Mendapati tawa Damar, Haryo semakin kusut. Dia memilih membaringkan tubuhnya di ranjang Damar.

"Mosok to? Perasaan Padmini ndak sepolos itu. Dia membaca banyak buku. Ilmu alam termasuk anatomi manusia pun dia pelajari." Tawa Damar masih menguar. Dia menggeleng-gelengkan kepala.

"Nyatanya dia teriak dan mengatai ular!" Haryo mengangkat tangan kirinya untuk bantalan kepala.

"Yo, kamu yang terburu-buru. Dalam berhubungan ndak boleh tergesa-gesa dan harus dilakukan dengan sukarela. Dengan cinta. Perempuan itu kalau bercinta tanpa cinta, rasanya hambar. Tubuhnya bereaksi, tapi jiwanya hampa." Damar menarik kursinya mendekati bibir ranjang. "Padmini itu paling suka sama cerita Amongraga dan Tambangraras. Dia pernah nanya, apa suaminya besok bisa sebijak Amongraga yang mampu membuat jiwa dan pikiran suami istri bersatu sehingga tak melihat lagi ketelanjangan."

Haryo termangu, memikirkan ucapan Damar. "Satu jiwa dan pikiran," gumamnya.

"Garwa ... sigaraning nyawa. Belahan jiwa. Artinya kalian harus jadi satu jiwa dulu. Kamu adalah separuh jiwa untuk Padmini, dan begitu sebaliknya."

Haryo berdecak. "Teori! Kamu juga belum menikah juga!"

Damar mendengkus. "Minta saran mesti dicibir."

"Kalau saran lain mungkin aku percaya, Mar. 'Belahan jiwa'? Wong belahan jiwa kamu saja belum ketahuan hilalnya."

Tawa Damar kembali menyembur. "Aku masih fokus ke pergerakan, Yo. Kamu tahu kan, tulisanku bisa jadi membahayakan aku."

"Kowe itu goblok, Mar! Naif! Dungu! Kamu melawan sistem kolonial yang mengakar kuat. Ya mesti saja bakal kalah." Haryo menatap sahabatnya prihatin. Idealisme Damar selalu berbentrokan dengan ambisinya. Walau begitu, tetap saja mereka bisa bersahabat.

"Aku ngerti. Makanya itu aku belum menikah. Aku takut nasib anakku seperti Padmini dan Wira yang mendapat cap anak penjahat." Suara Damar semakin rendah. "Yo, sana kembali ke kamarmu. Aku ngantuk. Besok masih harus nganter boyongan ke Bojalali."

Haryo mengembuskan napas kasar. Mau tidak mau dia keluar lagi dan kembali ke kamarnya. Sejujurnya dia takut lepas kendali melihat tubuh polos yang begitu wangi serta mulus. Kulit kuning langsat Padmini selalu mengundang untuk dibelai.

Apakah dia harus mengulanginya pelan-pelan? Membuat Padmini tak berkutik sebelum dia bertindak menyatukan tubuh? Namun, gagasannya kembali terpatahkan saat melihat Padmini sudah tidur bergelung dengan pakaian lengkap: jarik dan kebaya yang seolah membentengi dirinya untuk disentuh.

"Ealah, jebul aku nikah sama anak kecil!"

💕Dee_ane💕

Muka kusut Haryo yang ndak dikasih jatah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro