Prolog Sang Putri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bu, kenapa perempuan itu jadi abdi laki-laki? Padahal, kita punya abdi dalem yang sangat banyak," tanya Padmini saat menemani Ibu Karmina di serambi gandok kanan. Lembaran buku yang ada di pangkuannya melambai tertiup angin dari taman yang dikelilingi bangunan rumah, dengan kolam ikan berhias patung cupid dari Italia pemberian sahabat Romo Wiryo.

Ibu Karmina, Bibi Padmini, tersenyum saat mendengar pertanyaan sang keponakan. Tangannya masih asyik memegang canting untuk menorehkan malam cair yang sudah tidak terlalu panas pada kain mori sesuai pola yang sudah dibentuk. "Dalam beberapa serat, perempuan Jawa itu ada lima pengertian. Sebagai wadon, wanita, kanca wingking, estri, dan garwa. Kamu tahu? Putri … Pupus tri perkawis, artinya kita sebagai putri Jawa harus menjalani peran sebagai wadon, wanita dan estri."

Padmini Larasati yang bergelar Raden Ajeng karena masih keturunan bangsawan Mangkunegaran itu hanya bisa mendesah napas panjang. Otak dan hatinya berontak, apalagi mendengar kata 'wadon'. Menurut Padmini, serat Jawa lebih sulit dimengerti daripada pelajaran yang pernah dia dapat di bangku pendidikan di ELS. Tapi, Ibu Karmina selalu mengatakan, bahwa selain membaca, menulis, serta berhitung, Padmini harus tahu dasar tradisi dan falsafah hidup dari naskah yang ditulis para pujangga Jawa. Memang, terlahir sebagai bangsawan Padmini punya keistimewaan mengenyam pendidikan yang langka bagi bumiputra.

"Padmini ingin jadi garwa, Bu," jawab Padmini bersemangat, menanggapi ucapan Ibu Karmina. "Sigaraning nyawa. Bukan hanya semata-mata abdi laki-laki." Mata yang sudut luarnya meruncing ke atas itu mengerjap. Sorotnya bercahaya penuh semangat.

Ibu Karmina lalu meletakkan cantingnya di atas panci kecil di atas angklo. Dia mengusap rambut hitam lurus Padmini yang digelung di tengkuk. "Sayangnya … kita sebagai wong wedok Jawa (perempuan Jawa) harus melakukan semua peran itu, walau kadang laki-laki jumawa, menganggap perempuan 'orang kedua', dan lupa bahwa kita adalah garwanya. Kamu tahu maksud Ibu, kan, Ngger?"

Binar mata Padmini redup seketika. Dia paham, bahwa tidak semua perempuan seberuntung Ibu Karmina di mana Romo Wiryo tidak mengambil selir sejak dibaptis oleh Pastor Belanda dan kemudian pernikahan mereka diperbarui dengan pengucapan janji sehidup semati sehingga perkawinan mereka hanya satu, utuh, dan tidak terceraikan.

Bahkan, ketika Romo Wiryo mendambakan anak perempuan, dia tidak mau mengambil garwa ampil atau gundik dan lebih memilih mengangkat Padmini, keponakannya, ketika kakaknya, yang merupakan ayah Padmini, diasingkan.

"Bu … Padmini mau punya suami seperti Romo Wiryo. Adakah laki-laki priyayi di luar sana yang setia pada satu perempuan?"

💕Dee_ane💕

Gimana ... gimana prolognya? Nantikan bab 1nya, yak. Aku tunggu jejak cinta kalian😘

https://www.youtube.com/watch?v=pNXzg52Qh4U


Kenalan dulu, nggih. Menika Raden Ajeng Padmini Larasati. Masih muda ... masih perawan kinyis-kinyis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro