7. Lagi Dan Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepanjang perjalanan kembali ke Taman Langit, Nandra terus mengoceh perihal gadis yang ditemuinya tadi yang tak lain adalah Hani. Ia benar-benar penasaran berapa banyak manusia indigo yang dianugerahi untuk bisa melihat mereka.

"Bukankah sepertinya dia gadis yang baik?" tanya Nandra begitu sampai di Taman Langit

"Tidak! Pokoknya jangan bertemu dengannya!" sahut Gendra dengan wajah datar dan dinginnya

"Kenapa? Dia bahkan bisa melihat sosok Jiwa Yang Hilang lho!"

Seketika itu pula Gendra dan Yandra menatap Nandra

"Kalian tidak tahukan? Itulah sebabnya aku mendekati manusia itu. Aku sempat melihat dan mendengar saat dia bertanya pada jiwa yang hilang!" ucap Nandra dengan wajah penuh antusias bercerita.

"Benarkah?" tanya Yandra memastikan. Nandra pun segera mengangguk.

"Hei Gendra, apa kau sebelumnya sudah pernah bertemu dengannya? " tanya Yandra tiba-tiba.

Gendra pun memasang wajah tak minat seketika.

"Hah, benar ya kau sudah bertemu dengannya kan sebelum ini? Pantas saja ia mengenalimu! Harusnya kau minta bantuan padanya saja, itu akan memudahkan kita bukan? "

"Tidak! Jangan libatkan manusia itu!" tolak Gendra cepat

"Kenapa?"

"Dia menyusahkan!"

Setelah berkata demikian Gendra pun melenggang pergi. Mendengar ucapan Gendra tersebut, Nandra jadi bingung sendiri. Tak hanya itu yang membuat Nandra bingung, ia pun mulai bertanya-tanya mengapa Hani yang notaben bisa melihat mereka tapi tidak mengetahui siapa mereka.

Namun di detik berikutnya Nandra mendadak menganga saat sinaps otaknya memberi sebuah perkiraan padanya.

🍁🍁🍁

Di tempat lain, tepatnya di kamar Hani. Gadis ceria itu tengah mengunyah cemilan dengan penuh semangat. Sesekali matanya berlarian ke berbagai arah. Gadis itu tengah berpikir, ya berpikir mengenai tiga sosok yang ditemuinya tadi sore.

"Makhluk apa ya mereka itu? Sayap hitam tebal, lembut dan kokoh itu benar-benar mempesona!" celetuk Hani sambil terus memenuhi mulutnya dengan cemilan.

Seketika ia menghentikan gerakan mulutnya dengan mata membesar.

"Oh My GOD!!! Apa mereka---"

" Hani ! "

Panggil Aska dari luar kamarnya. Hani pun segera melangkah menuju pintu dan segera membuka pintu kamarnya.

"Ayo pergi makan ke luar! Teman-temanmu juga akan ikut, " ajak Aska membuat wajah Hani berbinar.

Untuk urusan makan Hani memang nomor satu. Ia memang sangat menyukai makan. Jika sudah mengenai makan ia akan lupa dengan hal yang sejak tadi ia pikirkan. Yah begitulah Hani. Biarkan saja, biarkan dia senang dengan hobinya.

🍁🍁🍁

Aska mengajak Hani dan para teman-temannya ke sebuah kedai cepat saji. Aska ingin mengucapkan terima kasih pada pegawai paruh waktunya yang sudah bekerja keras minggu ini hingga pemasukan cafe tersebut melesat tinggi. Selain itu Aska pun ingin memastikan bahwa Hani sudah mulai bisa melupakan masalahnya mengenai kematian Bian sehari lalu.

Kedai tempat mereka makan tampak ramai malam itu, hingga membuat mereka mendapatkan tempat di bagian luar. Meski demikian mereka tampak senang karena bisa makan gratis.

Setelah memesan beberapa menu, mereka pun terlibat obrolan seru dan sesekali membuat mereka tertawa bersama. Di tengah obrolan dan candaan itu, tiba-tiba Aska menatap seseorang laki-laki paruh baya yang baru saja masuk ke kedai tersebut. Pandangan Aska begitu berbeda namun ia segera melepaskan pandangannya dari orang itu, secara bersamaan Hani pun menatap pria paruh baya itu dengan pandangan yang sama seperti dengan Aska.

Sedetik kemudian, Hani melempar pandangan pada sang kakak tapi Aska terlihat tengah bercengkrama dengan yang lain. Seolah tak melihat apapun yang berbeda dari pria itu. Hani kembali melayangkan pandangannya pada lelaki tadi, raut sendu tiba-tiba saja mendominasi wajahnya.

Tak lama ia melihat sekelebat makhluk hitam melesat masuk ke dalam kedai. Hani tersentak kaget lalu menatap Aska. Aska yang sejak tadi tengah mencandai Lenka terlihat santai membalas tatapan Hani. Ia bahkan tersenyum pada Hani. Matanya seakan berkomunikasi menanyakan ada apa pada gadis itu. Sepertinya Aska tak melihat apapun, itulah pikiran Hani.

"A-aku ke toilet dulu ya," pamit Hani.

"Jangan lama-lama, Han. Pesanan kita udah mau diantar lho," ucap Baryu yang segera diiyakan oleh Hani.

Di dalam toilet, Hani membasuh wajahnya dengan air. Entah kenapa akhir-akhir ini ia mengalami hal-hal aneh yang membuat dirinya pusing sendiri. Terlebih mengenai Aska yang sepertinya tidak sesuai dengan dugaannya.

Setelah menuntaskan kegiatan singkatnya itu, Hani pun beranjak keluar toilet, baru beberapa langkah dari sana ia bisa melihat sosok yang ia kenal tengah berdiri tak jauh dari pria paruh baya yang diperhatikannya tadi.

"Ya ampun itu si ganteng arwah penasaran!" pekik Hani senang."Ngapain coba dia di situ?"

Tanpa pikir panjang Hani pun melangkah mendekati sosok yang tak lain adalah Gendra. Dengan tindakan yang begitu senyap dan tak mencurigakan sekitarnya, Hani pun menarik Gendra dengan paksa. Malaikat Maut itu kaget seketika.

"Ih! Kamu nakal banget sih! Jangan gangguin orang yang mau makan!" bisik Hani sambil celingukan memastikan tak ada orang lain yang melihatnya tengah bicara sendiri.

"Kamu laper? Mau makan? Ayo ikut aku aja, jangan ganggu orang lain makan!" lanjut Hani sambil menarik tangan Gendra. Dengan cepat Gendra menepis tangan Hani lalu ganti menarik tubuh gadis itu masuk kembali ke toilet.

"Aduh duh! Ihh kok tarik-tarik gitu sih!" protes Hani tak terima kerah bajunya ditarik seperti kucing.

Gendra tampak acuh, ia melihat ke jam gantung yang dibawanya. Detik waktu terus berjalan membuatnya frustasi sendiri hingga ingin membenamkan diri ke laut antartika saat ini juga.

Gendra menghantamkan tatapan tajam dan dinginnya pada manik mata Hani, membuat gadis itu ciut seketika.

"Berhentilah mengganggu pekerjaanku!" ucap Gendra penuh penekanan. Hani mengernyit keningnya.

"Kerjaan arwah gentayang kayak kamu apaan? Emang arwah gentayang punya kerjaan?"

Gendra mengeram kesal tapi malah terlihat mengemaskan di mata Hani, membuat gadis itu tersenyum gemas.

"Aku bukan arwah gentayang!" Suara Gendra terdengar tertahan. Ya ... ya ... ia memang tengah menahan kekesalannya pada Hani.

"Trus apa? "

Gendra diam sesaat. Sejenak ia berfikir bagaimana bisa ada manusia indigo sebodoh ini yang tak mengenali dirinya sebagai Malaikat. Lebih tepatnya Malaikat Maut.

"Berhentilah bertanya dan mengganggu pekerjaanku! Jika kau mau tahu siapa aku perhatikan aku dari sini dan jangan bicara apapun karena waktunya sudah tiba."

Gendra melesat pergi bagai angin, membuat Hani refleks bergerak keluar dari toilet mengikutinya. Sejenak ia berdiri di depan pintu toilet yang sepi tersebut dan melirik apa yang tengah dilakukan arwah penasaran tampan itu.

Wujud Gendra tak berubah sedikit pun, ia memakai tudung hitamnya dan tak berapa lama wajahnya bersinar terang, memperlihatkan ketampanannya yang seketika membuat Hani melongo. Perlahan ia pun mencabut nyawa pria paruh baya itu dengan penuh kelembutan.

Setelah selesai, sayap hitamnya terbentang lalu melesat pergi membawa jiwa pria paruh baya itu. Dan itu membuat Hani refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kakinya lemas seketika, pasalnya ini adalah pertama kalinya ia melihat kejadian seperti ini.

Bersamaan dengan itu pria paruh baya itu tiba-tiba terjatuh dari kursinya. Orang-orang di sekitar yang melihatnya pun segera membantu dan mencoba menyadarkan tubuh pria yang sudah ditinggalkan oleh jiwanya. Tak hanya orang yang berada di dalam kedai, kakak dan teman-temannya di luar sana pun refleks menengok ke dalam kedai dan berlari ke dalam karena rasa penasaran.

🍁🍁🍁

Hani termenung di balkon kamarnya. Benar perkiraannya mengenai sosok arwah gentayangan yang adalah Malaikat Maut tapi ia masih sedikit tak percaya bahwa Gendra benar-benar Malaikat Maut, bahkan Malaikat Maut yang sangat tampan.

"Ya ampun ... ini benar-benar gila! Aku benar-benar baru kali ini liat Malaikat Maut!" seru Hani sambil mengacak rambutnya sendiri.

"Liat siapa, Han?" Suara Unti membuat Hani terkejut terlebih kepala Unti telah bersandar di bahu Hani dengan rambut panjang yang menjuntai.

"Ish! Kalau datang tuh salam kek, jangan tiba-tiba muncul kayak setan! " omel Hani yang diikuti oleh tawa kikikan Unti.

"Lah, aku kan emang setan! Kok tumben jam segini belum bobo, Han? Kangen ya sama Unti?" tanya Unti membuat Hani meliriknya sebal.

"Gak kebalik tuh, bukannya kamu yang dari kemarin ngerengek mau ngobrol sama aku! "

"Hihihi ... iya ya, btw turut berduka cita ya Han atas meninggalnya mantan bangcat kamu itu. "

Hani melirik dengan tatapan horor ke arah Unti. Bisa-bisanya Unti sebut Bian dengan sebutan seperti itu. Unti sendiri hanya cekikikan tak jelas, raut wajahnya terlihat senang saat mengucapkan bela sungkawa yang sepertinya tak ikhlas ia ucapkan.

"Cepat cari pacar baru, Han. Cepet move on! Hihihi," ucap Unti mengejek sambil mengedip-edipkan matanya ke arah Hani.

"Ihh berisik!"

"Belum bisa move on juga dari mantan gak setia itu? Orangnya bahkan udah pergi ke neraka lho Han."

Tepukan keras pun dianugrahkan Hani pada lengan Unti. Unti pun mulai melayang ke atas dahan pohon tempat favoritnya.

"Jangan ngomong gitu ih! Lagian masih mendingan dia ketauan udah pergi ke neraka, lha kamu? " balas Hani membuat Unti manyun semanyun-manyunnnya.

"Hani jahat!!! Teman macam apa kayak gitu!! " pekik Unti sambil mengerak-gerakan dahan tempatnya duduk.

"Awas patah tuh dahan! Tar jatuh trus mati buat kedua kalinya kan gak lucu hahahaha ...," ledek Hani sambil tertawa puas

"Hani!!"

"Berisik! Jangan panggil namaku terus!" omel Hani membuat Unti diam seketika dengan wajah yang masih ditekuk bak origami.

Seketika Hani terpikirkan mengenai sikap aneh Aska kemarin dan hari ini. Sikap yang menunjukkan bahwa ia juga seorang indigo. Untuk memastikannya, Hani pun menanyakan hal tersebut pada Unti. Apakah pernah Aska melihat Unti yang selalu duduk di halaman belakang saat jam cafe tutup. Pasalnya itulah kegiatan Unti tiap hari. Tepat pukul 23.00 ia akan duduk di bangku halaman belakang hanya untuk menatap Aska yang tengah beberes dengan tatapan penuh cinta.

"Gak tuh, Aska gak pernah liat aku tuh."

Hani termenung seketika. Jika benar begitu kenapa sikap Aska seolah menunjukkan bahwa ia juga seperti dirinya?

"Emang Aska bisa liat hantu juga Han? Aku mau dong Han dipandangin sama Aska," ucap Unti penuh harap

"Mendingan aku suruh Kak Aska mandangin lukisan Nyi Roro Kidul aja dibanding nyuruh dia mandangin kamu!" cetus Hani diikuti geraman kesal dari Unti.

"Adik ipar gak tau diri, minta kuhajar kamu ya! " seru Unti sok galak

"Adik ipar apaan lagi, jangan mengkhayal Unti sayang ...  kamu sama Kak Aska beda dunia, beda prinsip dan beda selera!! " Hani membalas dengan tawa mengembang karena merasa menang telah membuat Unti memanyunkan bibirnya lagi.

"Aku sungguh kecewa dengan ucapanmu oh adik ipar! Begitu teganya teganya teganya oh teganya dirimu terhadapku! " sahut Unti berakting lebay bak pemain sinetron. Hani sendiri hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan makhluk yang satu ini. Membuatnya penasaran bagaimana dirinya saat masih hidup dulu.

5 Maret 19

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro