Bab 13 | Rintangan Menuju Sekolah dan Kekecewaan Bert

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading ^ ^

****

Filistin sudah memakai seragam sekolah. Gadis berhijab putih itu duduk di ambang pintu tenda sambil mengikat tali sepatunya. Ia berdiri dan segera berlari menuju belakang tenda menghampiri sang ibu yang tengah menjemur baju.

Bibir tipisnya mengembang sesampainya di sana. Wanita berbadan lebar dengan gamis hitamnya itu tengah memeras baju dan menggantungkannya satu per satu di tambang yang diikat di antara dua pohon kurma yang tak jauh dari tenda.

"Filin berangkat dulu."

"Kau sudah sarapan?"

Filistin mengangguk. "Tadi hanya sedikit, perutku mulas. Aku akan membawa sisanya untuk bekal ke sekolah."

Laila menggeleng sambil tersenyum menatap Filistin. Gadis bungsunya mengacungkan plastik berisi roti pipih yang telah diolesi minyak zaitun.

"Apakah nanti malam Ibu akan memasak sup Freekeh?"

Netra birunya melirik Asima yang sedang mengayak gandum durum hijau yang telah dibakar. Perempuan berwajah oval itu duduk di atas layar biru yang tergelar dekat kandang domba. Beberapa anak ayam berkeliaran di sekitarnya.

"Iya, nanti malam Ibu akan memasak itu. Bukankah kau yang memintanya kemarin?"

Filistin mengangguk, netra birunya berbinar.

"Sudah berangkatlah sekolah. Nanti kau telat."

"Iya, Bu. Asalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," sahut Asima dan Laila serempak.

Filistin berjongkok di hadapan Asima, meraup butiran gandum durum hijau yang telah diayak, lalu memasukannya ke saku baju.

"Kakak, aku minta sedikit, ya." Senyumnya melebar.

Asima menggeleng, lalu terkekeh pelan melihat tingkah adiknya. 

"Ya ampun, Filiin! Ini belum dimasak. Kau ini kebiasaan."

"Tidak apa-apa, ini enak. Lagipula sudah dibakar, bukan?" Filistin mengecup pipi kanan Asima singkat sebelum berlalu.

"Filiiin! Jangan lupa membeli permen lolipop untukku, ok!"

Filistin menoleh sambi mengacungkan jempolnya pada Asima. "Kali ini Kakak ingin rasa stroberi, bukan?"

Asima mengangguk cepat, melebarkan senyum manis mengintai punggung adiknya yang kini mulai menjauh. Akhir-akhir ini ia menjadi lebih tenang setelah Al Quds rutin membawanya ke kota untuk melakukan psikoterapi. Meskipun terkadang trauma itu datang lagi.

****

Filistin melambai saat netra birunya melihat sosok Reda yang telah menunggunya di jalan. Ia mempercepat ayunan kakinya melewati rerumputan liar yang hijau, sedikit tersuruk-suruk.

"Ayo, nanti kita telat."

"Ayo!"

"Kau mau tidak?"

"Apa?"

"Freekeh. Makanlah, ini baru saja dibakar, wanginya masih sangat kuat. Lezat sekali."

"Ah, tidak. Kau makan saja. Aku baru saja mengosok gigi."

"Hmm ... ya sudah."

Filistin sibuk mengunyah makanan khas Palestina itu. Meskipun teksturnya keras, tetapi ia senang menjadikannya cemilan. Padahal jika ingin diolah menajadi sup, butiran freekeh tersebut harus dimasak paling cepat satu jam agar lembut.

Mereka berdua berjalan beriringan membelah hamparan bukit untuk menuju sekolah. Di depan dua gadis itu ada juga beberapa anak dari desa Bait Kahel yang hendak berangkat untuk menimba ilmu.

Pagi yang cerah. Angin berembus sejuk. Beberapa kendaraan umum melintas di jalan. Baik itu kereta kuda, mobil bak pengangkut sayur, mobil pribadi dan truk. Segerombolan domba mengembik nyaring saat seorang  pengembala berjanggut putih memarahi mereka agar tidak melintas ke tengah jalan. Terlihat juga beberapa domba dan keledai yang tengah merumput di bawah bukit hijau. Filistin dan Reda mengulas senyum melihatnya.

"Kau sudah menghafal bukan? Hari ini kita ada ulangan matematika."

"Ya, tentu saja sudah." Filistin menoleh menatap Reda.

"Hah ... syukurlah. Kukira kau sibuk memikirkan tentara itu."

"Astagfirullah, tentu saja tidak! Belajar tetap jadi nomor satu bagiku. Lagipula aku masih kesal padanya. Lama-lama dia menyebalkan juga. Bert sangat galak dan tidak pernah tersenyum." Hatinya dongkol mengingat kejadian kemarin. "Oh, dan satu lagi! Dia tidak mau menerima gelang dariku. Padahal aku sudah susah payah memesannya."

Reda terkekeh-kekeh melihat ekspresi Filistin yang menggemaskan, membekap mulut lalu ia merangkul pundak sahabatnya.

"Tapi kau tetap menyukainya, bukan?" Reda menekan pipi Filistin dengan telunjuknya.

Bibir Filistin berkedut hingga membentuk lengkungan manis. Dia menyenggol siku Reda. Kedua pipi tirusnya semerah mawar merekah.

"Reda!"

"Apa?"

"Menurutmu salah tidak jika aku mencintainya?"

Mata Reda membesar, menatap Filistin dengan lekat.

"Kau serius sudah benar-benar mencintai tentara itu?"

Filistin mengangguk cepat. "Sepertinya begitu. Dia lelaki yang membuat jantungku berdebar untuk pertama kalinya dan entahlah ... aku sulit menjelaskan semua yang kurasakan padamu. Kelak kau juga pasti akan merasakannya. Bert, dia cinta pertamaku." Senyumnya semakin merekah, balas menatap Reda serius.

Reda mengulum senyum. Netra cokelat terangnya berbinar. Gadis tinggi itu jadi penasaran dan membayangkan bagaimana sosok lelaki yang akan membuat jantungnya berdebar kelak.

Mereka terus melangkah lebar melewati pagar besi yang dipenuhi kawat berduri sambil bergandengan tangan. Dari jarak sekitar dua meter sudah tampak pos penjagaan Israel yang harus mereka lewati setiap hari di saat pulang-pergi ke sekolah.

"Hei, Reda! Kau belum menjawab pertanyaanku. Menurutmu salah tidak perasaan ini?"

Reda sedikit tersentak, menghela napas pelan. "Menurutku tidak, lagipula kau tidak bisa mencegah perasaan itu datang, bukan? Maksudku ... perasaan itu bukan atas keinginan dirimu, melainkan Allah yang telah menyematkannya. Tapi saranku, kau jangan terlalu berlebihan dalam mencintainya. Kau paham tidak masksudku? Ingat, Filin, kalian berbeda. Kau seorang muslimah, sedangkan dia seorang Yahudi dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika keluargamu tahu tentang hal ini. Terlebih lagi kau sudah berani diam-diam bertemu dengannya."

Filistin berkedip. Tatapannya lurus ke depan. "Kau benar. Andai saja aku bisa mengendalikan hatiku, mana mungkin juga aku ingin mencintai seorang penjajah sepertinya, bukan?" Ia menghela napas. "Aku juga tidak akan berharap lebih dengan perasaanku. Aku sadar kami berbeda, dan kau jangan khawatir, aku akan selalu berdoa dan meminta pada Allah untuk tetap menjaga iman dan cinta sejatiku hanya untuk-Nya, di atas agama-Nya."

"Masya Allah, itu baru sahabatku. Lalu apa rencanamu sekarang? Apa kau akan menyatakan perasaanmu padanya?"

Filistin mengangkat bahu. "Entahlah, aku belum berani. Lagipula sepertinya dia tidak menyukaiku."

Raut wajahnya yang semula cerah mendadak layu. Filistin menghela napas. Ia memang tidak ingin berharap lebih. Hanya saja ia percaya, bahwa setiap doa tulus yang dilangitkan, suatu saat pasti akan membumi.

Nama Bert, menjadi salah satu doa yang selalu ia semogakan di setiap sujudnya. Ia sangat berharap Sang Khalik akan memberi tentara itu hidayah. Entah kenapa ia merasa, jika pertemuannya dengan Bert bukanlah hanya sebuah kebetulan, melainkan takdir.

Filistin dan Reda telah memasuki pos penjagaan bersama dengan puluhan siswa dan siswi Palestina lainnya. Dalam pos jaga tersebut terdapat empat tentara Israel bersenjata lengkap. Mereka menyerahkan tas dan digeledah, diinterogasi dan serangkaian pemeriksaan lainnya.

"Heh! Kalian berdua! Berikan tas kalian!" seru seroang serdadu Israel sambil menodong Filistin dan Reda dengan senjata laras panjang. Ia melayangkan tatapan mengintimidasi.

"Hei, lihat. Cantik sekali gadis ini. Aku baru kali ini melihat gadis seperti dia. Sungguh manis."

"Jangan menyentuhku!"

Filistin menepis tangan nakal salah seorang serdadu yang nyaris saja menyentuh kulit pipinya yang mulus dan seputih susu.

"Ck! Sombong sekali dia." Tentara itu meludah. "Buka kerudungmu, aku ingin melihat warna rambutmu."

Tentara tinggi beriris hijau zambrud itu terus mendekati Filistin. Tak peduli gadis cantik itu terus memukulinya dengan tas selempang berwarna biru.

Tiga Zionis Israel lainnya bersidekap, ada yang bersiul dan mereka terbahak. Seolah pelecehan itu adalah sebuah hiburan yang menarik.

"Buka kerudungmu jika kau tidak ingin peluruku menembus mata indahmu itu, Sayang."

"Tembak saja kalau begitu! Lebih baik aku mati untuk mempertahankan kerudungku daripada harus membuka auratku untuk Zionis sepertimu!"

"Ck! Besar juga nyalimu ha!"

Tentara itu berhasil mencengkeram rahang kecil Filistin dengan satu tangannya yang besar dan berotot. Ia mendesis, menatap netra sebiru laut yang sangat jernih itu.

"Tapi aku tidak tega menembak mata birumu yang sangat memukau ini, hm." Tentara itu menyeringai. "Izinkan aku mencicipi bibir manismu sebelum aku menyayatnya dengan pisau ini! Sudah lama sekali pisau kesayanganku tidak mandi darah Tikus Palestina sepertimu! Mulut banyak bicaramu ini harus diberi hukuman!"

"Lepaskan temanku! Jangan mengganggunya! Lepaskan Filistin!"

Reda hendak menghampiri Filistin dan menolongnya. Namun gadis berkulit kuning langsat itu justru menjerit kesakitan saat salah seorang tentara menarik ujung kerudungnya dari belakang, nyaris terlepas dan membuat lehernya tercekik. Mulut Reda megap-megap akibat sesak. Ia terus merapal doa, meminta pertolongan pada Allah.

Filistin meringis, matanya melebar saat dinginnya ujung pisau tajam menempel di pipi kanannya yang sangat halus. Ia menelan saliva sambil terus berdoa dalam hatinya. Bening hangat mengalir dari kedua sudut matanya, membasahi pisau dan punggung tangan tentara itu.

"Lepaskan dia!"

"Kalian Babi Hutan! Penjajah! Zionis Gila!"

"Lepaskan teman kami!"

"LEPASKAN GADIS ITU!"

Para siswa dan siswi yang berada dalam pos tidak tinggal diam. Masing-masing mereka, termasuk Reda yang telah terlepas memungut batu kerikil dan melempari para tentara bajingan itu. Mereka bertakbir. Perkelahian pun tak terelakkan. Para remaja Palestina terus melawan. Sebagian mereka ada yang tersungkur, ditendang dan dihantam kepalanya menggunakan punggung senjata Servu Tavor milik Zionis hingga berdarah dan memar.

"Allahu Akbar!"

Filistin berhasil menendang alat vital tentara bajingan yang hampir saja mencium bibir tipisnya. Ia meringis, mengusap pipinya yang perih akibat tergores pisau tajam itu. Lalu ia memukuli kepala tentara yang sedang kesakitan memegangi bagian bawahnya itu dengan tas selempang.

"Rasakan ini, Keparat! Rasakan! Semoga Allah segera mengazab kalian! Semoga kalian segera dimusnahkan! Amiin! Amiin Ya Rabbal Alamiin! KYAAAA!"

Kali ini dia berani menedang tentara iblis itu dengan sekuat tenaga, tepat di kepalanya yang dibungkus helm. Napas gadis itu memburu. Filistin sangat kesal, lancang sekali lelaki itu hendak mencium bibirnya.

"Lariii! Ayo, lari!" teriak seorang siswa berambut keriting.

Mereka pun berlari terbirit-birit sambil terus meminta pertolongan pada Allah. Desing peluru saling bersahutan dengan napas mereka yang terputus-putus dan desau angin yang semakin kencang.

Allah Maha Besar. Tidak ada satu pun dari mereka yang tertembak atas izin dan kuasa-Nya. Mereka mengembuskan napas lega setelah berhasil lari jauh dari pos penjagaan itu, saling melempar senyum haru dan mengucap syukur. Hamparan sabana hijau di tepi jalan menjadi tempat mereka melepas penat sebelum melanjutkan perjalanan panjang menuju sekolah. Mereka meluruskan kaki, mengusap peluh dan darah di bagian tubuh yang terluka.

****

Sesampainya di sekolah, mereka segera diobati oleh para guru. Filistin dan Reda kini berada di kelas khusus putri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan. Sebuah sekolah satu lantai yang sederhana itu pemberian dari PBB. Sebagian jendela tampak berlubang akibat ulah pemukim ilegal Yahudi yang sewaktu-waktu selalu melempari sekolahan mereka dengan batu, kini sementara ditutupi koran.

Perjuangan yang luar biasa anak-anak di Tepi Barat untuk pergi dan pulang sekolah. Itulah sebab sebagian besar anak-anak di Tepi Barat terpaksa putus sekolah karena ancaman, teror serta ulah brutal pemukim Yahudi maupun tentara Israel yang kerap terjadi di Tepi Barat.

Di mana para siswa di belahan dunia lain yang telah merdeka bisa pulang-pergi sekolah dengan keamanan yang terjamin, bahkan ada yang menggunakan kendaraan mewah. Mereka bisa belajar nyaman dengan fasilitias sekolah yang begitu 'wah' tanpa harus menghadapi pelecehan, maupun serangan yang bisa membuat sebagian mental anak menjadi trauma.

TEPI BARAT merupakan salah satu area C di Palestina yang dikuasai sepenuhnya oleh otoritas Israel. Memang tidak terjadi ledakan hebat seperti halnya di Jalur Gaza. Namun keadaan warga sipil di sana pun tak kalah menderita dengan adanya penindasan, perampasan rumah, penculikan, penggusuran rumah, pemerkosaan, pembantaian dan pembunuhan yang hingga detik ini masih terjadi.

"Reda, tolong kau bagikan kertas ulangannya."

"Siap, Bu."

****

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima. Sudah hampir dua puluh menit lelaki itu duduk di sebuah batu sambil meremas jemari besarnya. Wajah tegas yang kusut, tatapan tajam dan perasaan gelisah terus menghantuinya. Bert berulang kali mengembuskan napas berat sambil menguatkan pelukan pada senjata laras panjang yang sedari tadi berada dalam pangkuan.

"Di mana gadis itu? Kenapa dia belum datang?"

"Apa dia marah perihal kejadian kemarin sehingga tidak mau lagi bertemu denganku?"

"Atau apakah dia mengubah jadwal mengembalanya?"

"Apakah dia mati?"

"Atau ... apakah dombanya telah dijual?"

"Sial! Mengapa pikiranku sangat kacau? Dasar penipu! Katanya akan mengembala setiap sore, huh!"

Bert menendang dengan kasar sebuah ranting tak berdosa yang berada di bawah kakinya. Bibirnya menipis, meraih gelang kain berwarna pink dari saku celana hijau tua yang ia kenakan. Netra hijaunya menatap gelang itu dengan lekat tepat di tulisan 'FilBert'.

"Apakah ini yang dinamakan rindu?"

Setengah sadar kalimat barusan terlontar begitu saja dari bibirnya. Ia segera mengusap wajah, membuang napas kasar dan memasukkan kembali gelang itu dalam sakunya sambil mengunmpat. Baru kali ini dia dikecewakan oleh seorang wanita terlebih lagi oleh seorang gadis ingusam seperti Filistin. Bert mendesis.

Ponselnya berdering, panggilan dari Ze'ef masuk. Ia segera mengangkatnya.

"Hallo!"

"Bert, di mana kau?"

"Masih berpatroli, ada apa?"

"Hotelmu kebakaran!"

"APA?" Bert berdiri, rahangnya mengeras dan matanya melebar. "Aku segera ke sana!"

*****

Sorobeh freekeh, salah satu makanan fav aku juga. Enak masaknya pake kaldu ayam, rasanya tuh khas banget. Masak pake sayur dan daging pun bisa 😋❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro